Embargo OPEC (1973) dalam Perspektif Strukturalisme


Minyak adalah sumber daya yang paling berharga bagi perekonomian modern yang berbasiskan pada industri. Sebab minyak merupakan bahan bakar yang paling efisien dalam menggerakkan perindustrian. Oleh sebab itu, setiap negara akan berlomba-lomba untuk mendapatkan minyak sebanyak-banyaknya demi meningkatkan kinerja perekonomiannya. Namun, tidak semua negara memiliki minyak di teritorinya, sehingga terdapat negara yang menjadi produsen minyak dan negara yang mengkonsumsi minyak.

Pada tanggal 10-14 September 1960, lima negara produsen minyak terbesar di dunia, yaitu Irak, Iran, Arab Saudi, Venezuela, dan Kuwait, berkumpul dalam Baghdad Conference untuk menyepakati pembentukan suatu organisasi internasional yang kemudian disebut dengan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjaga stabilitas harga minyak dunia. Untuk melakukannya, OPEC memiliki mekanisme untuk mengkoordinir kebijakan negara anggotanya yang terkait dengan perdagangan minyak.

Dalam keadaan tertentu, OPEC memiliki kekuatan untuk membuat sebuah kebijakan yang dapat mengguncang dunia. Pada tahun 1973, OPEC membuat kebijakan agar negara-negara anggotanya mengembargo perdagangan minyak dengan negara-negara Barat. Hasilnya minyak menjadi sangat langka di negara Barat, sehingga harga minyak pun melambung tinggi. Perekonomian pun tidak dapat berjalan, karena kekurangan bahan bakar, sehingga untuk beberapa saat terjadi krisis ekonomi di tingkat global. Setelah beberapa kali dilakukan negosiasi, OPEC akhirnya menghentikan embargonya, sehingga dunia perlahan-lahan dapat pulih dari krisis.

Dalam studi Hubungan Internasional, setiap peristiwa yang terjadi tidaklah berdiri sendiri. Selalu ada alasan di balik suatu peristiwa dan alasan tersebut memiliki kekuatan untuk mendorong terjadinya peristiwa seperti yang dijelaskan di atas. Salah satu paradigma yang berkembang dalam studi Hubungan Internasional untuk memahami suatu peristiwa di tingkat internasional adalah Strukturalisme. Dalam hal ini, strukturalisme berangkat dari asumsi dasar yang menyatakan bahwa sistem internasional kita tidaklah anarkis, seperti yang dikatakan Realisme, melainkan hierarkis. Dengan sistem internasional yang hierarkis, berarti ada negara yang memiliki posisi di puncak hierarkis dan memiliki kekuatan atas negara-negara di bawahnya. Para strukturalis mengklasifikasikan negara yang berada di puncak hierarki dan negara yang berada di dasar hierarki sebagai Negara Inti dan Negara Periphery. Relasi yang tercipta di antara Negara Inti dan Negara Periphery bersifat vertikal atau tidak setara, layaknya relasi antara penguasa dan subjeknya.

Dalam kerangka berpikir strukturalisme, pembentukan OPEC dan kebijakannya terhadap negara Barat dapat dipahami sebagai sebuah usaha perlawanan vertikal yang dilakukan oleh negara Periphery terhadap negara Inti. Perlawanan tersebut bersifat vertikal, dalam artian negara-negara OPEC memiliki kapasitas yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Inti yang direpresentasikan oleh negara Barat. Dalam Teori Dependensi, yang merupakan salah satu produk kerangka berpikir strukturalisme, peluang negara anggota OPEC untuk menang terhadap negara Barat menjadi kecil karena keberlangsungan mereka sendiri sangat bergantung terhadap kebijakan negara Barat.

Dengan menggunakan paradigma Strukturalisme, makalah ini akan berusaha menjelaskan mengapa OPEC dibentuk dan mengapa OPEC bekerja seperti sekarang. Makalah ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama, makalah ini akan menjelaskan latar belakang pendirian OPEC. Pada bagian kedua, makalah ini akan menjelaskan logika yang dimiliki OPEC dalam membuat kebijakannya. Pada bagian ketiga, makalah ini akan menjelaskan hambatan-hambatan yang dimiliki OPEC berdasarkan teori dependensi.


Latar Belakang Pendirian OPEC

OPEC adalah suatu organisasi antarpemerintah (intergovernmental organization) yang didirikan oleh Iran, Irak, Kuwait, Saudi Arabia dan Venezuela. Dalam pembuatannya, inisiatif datang dari Menteri Energi dan Tambang dari Venezuela, Juan Pablo Pérez Alfonso, dan dari Saudi Arabia, Abdullah al-Tariki. Lalu, pemerintah dari Irak, Iran, Kuwait, Saudi Arabia dan Venezuela bertemu di Baghdad untuk mendiskusikan cara untuk meningkatkan harga dari minyak mentah yang diproduksi oleh negara-negara tersebut.

Pertemuan di Baghdad pada September 1960 tersebut terjadi ketika adanya transisi dari ranah politik dan ekonomi internasional, dengan de-kolonisasi yang luas dan banyaknya negara-negara yang baru merdeka didalam dunia yang sedang berkembang. OPEC terbentuk ketika sebagian besar dari pasar minyak internasional terpisah dari ekonomi dengan perencanaan terpusat (centrally planned) dan didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. OPEC muncul dengan pernyataan kebijakannya yaitu semua negara memiliki hak untuk melaksanakan kedaulatan terhadap sumber daya alamnya. OPEC awalnya memiliki markas di Jenewa, Swiss lalu pindah ke Wina, Austria pada tanggal 1 September 1965.

Berdirinya OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) dipicu oleh keputusan sepihak dari perusahaan minyak multinasional (The Seven Sisters) pada tahun 1959/1960 yang menguasai industri minyak dan menetapkan harga di pasar internasional. Perjanjian “The Tripoli-Teheran Agreement” antara OPEC dan perusahaan-perusahan swasta tersebut pada tahun 1970, menempatkan OPEC secara penuh dalam menetapkan pasar minyak internasional.

Organisasi OPEC dibentuk sebagai jawaban atas jatuhnya harga minyak di pasaran dunia. Kondisi ini terjadi akibat dari perusahaan minyak raksasa seperti British Petroleum (BP), Shell, Exxon Mobil, Texaco, Socal dan Gulf menurunkan harga minyak dunia sehingga limpahan minyak negara-negara konsumen. Harga minyak tidak lagi ditentukan oleh negara-negara pengekspor melainkan ditetapkan oleh negara-negara konsumen. Hal inilah yang membuat harga minyak dunia jatuh pada pasar minyak dunia sebelum dibentuknya organisasi OPEC.

Jika dikaitkan dengan asumsi strukturalis dimana aktor utamanya adalah perusahaan multinasional, ‘The Seven Sisters’ merasa bahwa merekalah yang berkuasa atas eksploitasi yang dilakukan. Eksploitasi yang dilakukan oleh ‘The Seven Sisters’ berhubungan juga dengan teori strukturalisme tentang ‘core-periphery state’. Contohnya Exxon Mobil yang dimiliki oleh Amerika Serikat.

Amerika Serikat melalui Exxon Mobil melakukan eksploitasi ini dengan mengambil sumber daya alam (resources), dan juga mendapatkan power. Mereka menguasai 90% ekspor minyak mentah ke pasar dunia dengan mengendalikan setiap jalur pipa yang penting di dunia, seperti Pipeline TransArabian 753 mil dari Qaisuma di Arab Saudi ke Laut Mediterania, yang dimiliki oleh Exxon, Chevron, Texaco, dan Mobil. Exxon memiliki jalur pipa antarprovinsi sepanjang 100 mil di Kanada dan juga pipa sepanjang 143 mil di Venezuela. Jalur pipa sepanjang 799 mil di Alaska dimiliki oleh British Petroleum dan Exxon. Dengan mengontrol arteri yang penting, mereka dapat membatasi aliran minyak, membatasi pasokan ke kilang.


Logika Tindakan OPEC

Menurut anggaran dasar dari OPEC, salah satu tujuan pokoknya adalah penentuan dari cara-cara terbaik untuk melindungi kepentingan organisasi, secara individual dan kolektif. Tujuan lainnya adalah mengejar jalan-jalan dan cara-cara untuk menjamin kestabilan harga pada pasar minyak internasional dengan maksud mencegah fluktuasi yang berdampak negatif. Dengan tetap memperhatikan kepentingan-kepentingan dari negara-negara produsen minyak dan keperluan untuk menjaga pendapatan yang baik dari negara-negara tersebut. Dan mengatur persediaan minyak yang teratur dan efisien dari minyak bumi kepada negara- yang menjaga pendapatan dari mereka yang berinvestasi kepada industri perminyakan.

Sekitar tahun 1970an kebutuhan minyak dunia meningkat tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan minyak mentah Amerika saja, munculnya negara-negara Eropa dan Jepang sebagai negara yang juga membutuhkan minyak untuk perkembangan kegiatan produksi industrinya menyebabkan persaingan untuk mendapatkan minyak menjadi lebih intensif untuk memenuhi konsumsi setiap negara tersebut. Besarnya permintaan ini menyebabkan negara-negara Arab sebagai produsen minyak dunia mempunyai kesempatan untuk meningkatkan harga minyak dunia. OPEC mendapatkan power yang besar dikarenakan ketergantungan dunia terhadap minyak mentah yang mereka miliki. Karena meningkatnya permintaan dunia negara-negara Arab perlahan-lahan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing di negaranya, sehingga meningkatkan kuasa mereka atas produksi minyak dunia.

Pada tahun 1973 terjadi perang negara-negara Arab dengan Israel sehingga menyebabkan puncak dari kenaikan harga minyak dunia saat itu. Negara-negara Arab mengurangi produksi minyak dan melakukan embargo terhadap Amerika, Eropa Barat, dan Jepang. Target utama mereka adalah Amerika dan Belanda, karena Belanda memasok persenjataan ke Israel dan mengizinkan Amerika untuk menggunakan lapangan terbang Belanda untuk juga memasok persenjataan ke Israel.

Tanggal 16 Oktober 1997 Arab Saudi, Iran, Irak, Abu Dhabi, Kuwait, dan Qatar masing-masing menaikan harga minyak 17% ke level 3,65 dolar AS per barel dan mengumumkan pengurangan produksi minyak. Sehari kemudian OPEC sepakat untuk menggunakan minyak sebagai senjata untuk mendesak negara industri maju agar tidak mendukung Israel dalam perang Israel vs Mesir dan Suriah.

Bentuk senjata ini menjadikan krisis yang besar dinegara-negara industri maju yang sangat bergantung pada produksi minyak mentah dari negara-negara OPEC tersebut. Kegiatan produksi tidak berjalan baik, berbagai kegiatan terhambat, harga transportasi menjadi naik, inflasi terjadi di negara-negara maju. Kelumpuhan ekonomi dan ketidak mampuan dari negara-negara industri maju tersebut kemudian digunakan kembali oleh OPEC untuk keuntungan negara anggotanya. Walaupun perang telah berakhir OPEC tetap melakukan kembali melakukan upaya menaikan harga minyak dan akhirnya harga minyak dunia berada pada harga 11,65 per barel. Terjadi kenaikan harga minyak hingga 470% dalam jangka waktu hanya satu tahun.

Awal tahun tersebut, Mesir dan Suriah, dengan dukungan negara-negara Arab lainnya, meluncurkan serangan mendadak terhadap Israel pada hari paling suci dalam kalender Yahudi, Yom Kippur. Israel kalah dalam hal jumlah, dan hal ini mengakibatkan kewaspadaan akan nuklir semakin tinggi, yang juga memuat hulu ledak ke pesawat dan rudal jarak jauh. Berdasarkan hal ini, Amerika Serikat memilih untuk kembali membantu Israel dengan senjata dan sebagai respons, OPEC memutuskan untuk "menghukum" AS. Yang haI ini berlangsung sampai Maret 1974.

Dengan tindakan negara-negara Arab yang bisa dilihat sebagai awal dari embargo minyak dan kemungkinan jangka panjang harga minyak yang tinggi, pasokan terganggu, dan resesi, keretakan yang kuat diciptakan dalam NATO. Selain itu, beberapa negara Eropa dan Jepang berusaha untuk memisahkan diri dari kebijakan AS di Timur Tengah. Produsen minyak Arab juga terkait berakhirnya embargo dengan upaya AS berhasil menciptakan perdamaian di Timur Tengah, yang situasinya rumit. Untuk mengatasi perkembangan, pemerintahan Nixon memulai negosiasi paralel dengan kedua produsen minyak Arab untuk mengakhiri embargo, dan dengan Mesir, Suriah, dan Israel untuk mengatur tarikan pasukan Israel kembali dari Sinai dan Dataran Tinggi Golan setelah Arab menarik diri dari wilayah Israel. Pada 18 Januari 1974, Menteri Luar Negeri Henry Kissinger telah menegosiasikan penarikan pasukan Israel dari bagian Sinai. Janji penyelesaian yang dinegosiasikan antara Israel dan Suriah sudah cukup untuk meyakinkan produsen minyak Arab untuk mengangkat embargo pada bulan Maret 1974.

Kebijakan OPEC untuk embargo minyak apabila dipandang dalam paradigma strukturalis adalah salah satu cara untuk mengantisipasi sistem monopoli ekonomi dunia ( dalam hal ini minyak ) yang cenderung dikuasai oleh para negara core-industri bukan oleh negara penghasil minyak, strukturalis memandang adanya inter-relationship antara negara core-industri dengan negara periphery-agrikultur justru menyebabkan suatu interdepensi yang mana malah melemahkan posisi negara periphery.
Wakil-wakil dari negara-negara anggota OPEC (Kepala Delegasi) bertemu di konferensi OPEC untuk mengkoordinasi dan menyatukan kebijakan-kebijakan perminyakan mereka, dalam rangka untuk meningkatkan stabilitas dan harmonisasi di pasar minyak. Mereka didukung oleh Sekretariat OPEC, dipimpin oleh Dewan Gubernur dan dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal, dan oleh berbagai badan dari organisasi, termasuk Dewan Komisi Ekonomi dan Sub-Komite Monitoring Kementerian. Negara anggota mempertimbangkan situasi pasar minyak dan meramalkan fundamental pasar, seperti nilai pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak dan skenario persediaan minyak. Lalu mereka mempertimbangkan bagaimana perubahannya, jika ada mereka akan melakukan produksi. Contohnya, pada konferensi negara-negara anggota yang lalu mereka memutuskan untuk meningkatkan atau menurunkan produksi minyak kolektif mereka untuk mempertahankan kestabilan harga dan persediaan minyak yang merata untuk memenuhi permintaan dari konsumen pada jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Setelah lebih dari 40 tahun berdiri, OPEC telah menerapkan berbagai strategi dalam mencapai tujuannya. Dari pengalaman tersebut OPEC akhirnya menetapkan tujuan yang hendak dicapainya yaitu memelihara dan meningkatkan peran dari minyak sebagai sumber energi utama dalam mencapai pembangunan ekonomi berkelanjutan, fungsi OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia diimplementasikan melalui cara-cara berikut ini, yaitu:
  • Koordinasi dan unifikasi kebijakan perminyakan antar negara anggota; 
  • Menetapkan strategi yang tepat untuk melindungi kepentingan negara anggota; 
  • Menerapkan cara-cara untuk menstabilkan harga minyak di pasar internasional sehingga tidak terjadi fluktuasi harga; 
  • Menjamin income yang tetap bagi negara-negara produsen minyak; 
  • Menjamin suplai minyak bagi konsumen; 
  • Menjamin kembalinya modal investor di bidang minyak .


Hambatan bagi Kebijakan-Kebijakan OPEC

Pengaruh OPEC terhadap pasar minyak telah banyak mendapat kritikan, sebagian negara anggota OPEC telah mengkhawatirkan dunia dan memicu inflasi yang tinggi diantara negara berkembang dan negara maju ketika mereka menggunakan embargo minyak pada krisis minyak pada tahun 1973. Kemampuan OPEC dalam mengendalikan harga minyak telah berkurang dari tahun ke tahun, sehubungan dengan penemuan dan perkembangan dari cadangan minyak yang besar di teluk Meksiko dan di Laut Utara, keterbukaan dari Rusia dan modernisasi pasar. Negara-negara OPEC masih menguasai dua pertiga dari persediaan minyak dunia, dan pada April 2009, 55,5% dari produksi minyak dunia, menjadikan OPEC organisasi yang mempunyai control yang besar terhadap pasar minyak dunia,hal diatas menunjukan bahwa pengaruh OPEC terhadap harga minyak dunia sedangkan untuk kelompok produsen lainnya atau Negara nonOPEC adalah seperti anggota dari OECD dan negara-negara pecahan Uni Soviet memproduksi 26,4% dan 18.8% dari total produksi minyak dunia.

Walaupun embargo minyak terjadi dan menyebabkan Amerika Serikat dan beberapa negara non-produsen minyak dibuat khawatir, bisa dibilang embargo minyak yang dilakukan oleh OPEC ini tidak sempurna dan malah mendapat respon negatif dari dalam kubu OPEC itu sendiri. contohnya bisa dilihat dari ketidak konsistennya salah satu negara pendiri yaitu Arab Saudi karena mereka tidak merasa berkepintingan terhadap masalah yang terjadi di Timur Tengah dan mereka cenderung lebih fokus kepada kebutuhan dalam negeri yang notabene lebih membutuhkan pasokan barang seperti barang-barang elektronik yang memang tidak dapat mereka hasilkan yang tentunya menyebebkan kebutuhan mereka akan peran Amerika Serikat sebagai negara yang sudah sangat maju dan bisa dibilang pelopor dalam kemajuan teknologi. Tentu dalam hal ini Arab Saudi tidak ingin kehilangan pemasok dalam memenuhi kebutuhan dalam negerinya hanya karena mereka ikut untuk tidak memasok minyak ke Amerika Serikat karena jika mereka ikut melakukan hal tersebut, tentu saja Amerika Serikat akan berhenti untuk memasok kebutuhan dalam negeri Arab Saudi itu sendiri.

Hal tersebut pun menjadi pertanyaan, yaitu mengapa dengan sangat mudahnya Arab Saudi bisa tidak ikut penuh dalam embargo yang dilakukan oleh OPEC padahal Arab Saudi adalah salah satu anggota bahkan salah satu pendirinya?

Hal tersebut bisa dijelaskan melalui teori dependensi, yang dimaksud dengan dependensi (ketergantungan) itu sendiri adalah keadaan dimana kehidupan ekonomi negara – negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara – negara lain, di mana negara – negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Yang dimaksud didalam kasus ini yaitu adanya depedensi antara Arab Saudi terhadap Amerika Serikat yang bisa kita sebut hubungan antara periphery state dan core state yang seperti dijelaskan juga didalam teori struktualisme bahwa periphery state cenderung lebih senang berhubungan dengan core state daripada dengan periphery state lainnya karena menurut mereka berhubungan dengan core state yang memang negara maju tentu lebih menguntungkan mereka. Dan didalam OPEC juga tidak adanya peraturan tegas mengenai hal ini jadi bisa dibilang kebijakan yang melibatkan negara-negara anggota yang cenderung adalah periphery state untuk tidak berhubungan dengan Amerika Serikat ataupun negara barat lainnya yang cenderung core state akan bisa dibilang tidak akan bisa berjalan dengan sempurna karena masih adanya teori dependensi ini.


Kesimpulan

OPEC dibentuk sebagai respon dari monopoli yang dilakukan perusahaan-perusahaan minyak multinasional terhadap perdagangan minyak dunia. Monopoli ini berakibat pada eksploitasi menyakitkan yang dirasakan oleh negara-negara Timur Tengah sebagai negara produsen minyak terbesar di dunia. terdapat enam dampak yang ditimbulkan dari terjadinya peristiwa krisis minyak yang terjadi pada tahun 1970-an tadi yang berkaitan dengan aspek geopolitik dan geoekonomi. Keenam dampak tersebut antara lain ekspor minyak dari negara-negara Timur Tengah atau negara-negara yang terletak di wilayah Teluk Persia dan Afrika Utara tidak mungkin mengalami pertambahan dalam jumlah besar untuk kurun waktu 10 tahun mendatang, walaupun seandainya tidak terjadi konflik antara Arab dengan Israel yang memicu timbulnya Perang Suez-Sinai dan berlanjut Perang Yom Kippur, permasalahan tentang minyak akan tetap terjadi suatu hari nanti.

Minyak telah menjadi bagian dari instrumen politik bagi negara-negara penghasil minyak, misalnya saja embargo minyak yang dilakukan oleh Arab Saudi terhadap Israel dan negara-negara pendukungnya dapat menjadi salah satu taktik geoekonomi, jika negara produsen maupun negara konsumen tidak mengubah arah kebijakannya maka pada dua dekade ke depan sangat mungkin terjadi persaingan antarnegara disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya minyak, ketergantungan AS dan negara-negara Barat atas suplai minyak dari Timur Tengah akan dapat membahayakan perekonomian negara-negara importir tersebut dan pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang cenderung lamban dan didukung banyaknya hutang yang mereka miliki dapat mengancam sistem perekonomian internasional sehingga negara-negara maju dituntut untuk bersikap rasional dalam menetapkan harga ekspor minyak ke negara berkembang karena hancurnya perekonomian negara berkembang, nantinya dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian internasional.


Ditulis oleh: Dwiky Surya Gumilang, Gema Ramadhan Bastari, Muhammad Rifki Widyastomo, Nurul Khairunnisa Siregar, Qurotul Aini, Rizky Risyandagri 


Comments

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia