Calder Kent: Menjelaskan Karakteristik Negara Reaktif dalam Formasi Politik Luar Negeri Jepang
Tulisan ini merupakan critical review terhadap tulisan yang dibuat oleh Kent Calder pada tahun 1988. Tulisan ini akan mencoba membandingkan generalisasi yang dibuat oleh Calder dengan studi lain yang bersifat lebih partikular. Tulisan ini juga akan membandingkan hasil studi Calder pada tahun 1988 dengan studi yang dilakukan pasca-Perang Dingin untuk mengetahui relevansi dari temuan Calder dengan Politik Luar Negeri Jepang hari ini.
Ringkasan
Tulisan yang dibuat oleh Calder menjelaskan mengenai karakteristik negara reaktif pada Politik Luar Negeri Jepang dan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya karakteristik tersebut. Negara reaktif dalam pengertian Calder dikarakterisasikan melalui dua elemen: (1) Negara tersebut gagal mengambil inisiatif untuk membuat Politik Luar Negeri yang penting ketika negara tersebut memiliki kapabilitas dan insentif untuk melakukannya; (2) Negara tersebut merespon tekanan dari luar untuk berubah meskipun secara tidak terarah, tidak sistematis, dan terkadang tidak utuh. Konsep ini menurut Calder sangat eksklusif terlihat pada Politik Luar Negeri Jepang. Sebab semenjak tahun 1970-an, Jepang telah bangkit menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-2 di dunia dan memiliki kemampuan untuk menentukan arah perekonomian dunia ketika itu.
Menurut Calder, terdapat tiga faktor yang menyebabkan Politik Luar Negeri Jepang memiliki kecenderungan untuk menjadi reaktif. Faktor pertama adalah konsiderasi strategi yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Semenjak kekalahannya di Perang Dunia ke-2, Jepang berusaha menghindar dari komitmen internasional untuk dapat fokus menggenjot perekonomiannya. Keunggulan perekonomian Amerika Serikat yang berbagi keuntungan dengan Jepang membuatnya tidak perlu repot-repot untuk bersikap proaktif terhadap sistem politik global. Namun, hal ini juga menciptakan ketergantungan yang amat besar dari Jepang terhadap AS. Untuk mempertahankan kondisi dimana AS berbagi keuntungan dengan Jepang, strategi Politik Luar Negeri Jepang diarahkan agar dapat mempertahankan hubungan baik Jepang dengan AS. Oleh sebab itu, agar Jepang dapat tetap mempertahankan diplomasi isolasionisnya, mereka harus mengikuti kemauan Amerika Serikat. Dengan kata lain, menjadi negara reaktif merupakan bagian dari konsiderasi strategi Politik Luar Negeri Jepang.
Faktor Kedua adalah kondisi sistem internasional. Pada masa-masa awal Perang Dingin (1950-1960), Amerika Serikat membutuhkan bantuan dari Jepang untuk menghadapi China dan Uni Soviet. Amerika Serikat menekan Jepang untuk membuat Politik Luar Negeri yang mendukung tindakan mereka. Ketika itu terjadi, Tokyo terlihat sangat terpaksa melakukannya, karena mereka harus mengubah diplomasi isolasionis mereka demi memenuhi kepentingan pragmatis mereka. Hal ini terlihat terutama pada beberapa perjanjian keamanan dengan Amerika Serikat, Pengadopsian IMF, dan status artikel 9 konstitusi Jepang. Namun, Calder mengakui kesulitan untuk menjelaskan sikap reaktif Jepang pada tahun 1980-an ketika tekanan dari Amerika Serikat tidak terlalu besar dan Jepang sudah bangkit menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-2 di dunia.
Faktor ketiga adalah karakteristik pemerintahan Jepang itu sendiri. Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki otoritas yang sangat terfragmentasi. Liberal Democratic Party (LDP) yang mendominasi pemerintahan Jepang selama setengah abad merupakan gabungan dari beberapa partai dengan ideologi yang mirip. Merger ini menyebabkan munculnya faksi-faksi di dalam LDP yang masing-masing memiliki pengaruh dalam pembuatan keputusan. Hal ini menyebabkan Perdana Menteri tidak dapat melakukan keputusan yang terlalu ekstrem, sehingga kondisi status quo di Jepang terus dipertahankan. Namun, betapapun parahnya perpecahan di dalam LDP, partai tersebut memiliki kecenderungan untuk mengikuti kemauan kelompok kepentingan di Jepang, seperti Perusahaan Multinasional dan Kelompok Petani. Calder berargumen bahwa kelompok kepentingan tersebut merupakan konstituen utama dari LDP, sehingga LDP selalu mendengarkan kemauan mereka. Perusahaan Multinasional menginginkan kondisi perekonomian yang stabil, terutama dalam hal hubungan Jepang dan Amerika agar mereka dapat tetap bertahan. Kelompok petani menginginkan tidak adanya intrusi dari perdagangan internasional yang dapat mengacaukan pasar domestik mereka. Ketidakhadiran otoritas yang tegas dan kepentingan domestik yang mendukungnya menyebabkan Jepang menjadi negara Reaktif.
Perbandingan dengan Studi yang Lebih Partikular
Calder memang berhasil menjelaskan karakteristik negara reaktif dalam pembentukan Politik Luar Negeri Jepang, namun tesis tersebut dibuat berdasarkan generalisasi Politik Luar Negeri Jepang yang dilakukan di negara Barat, sehingga tidak dapat menjelaskan Politik Luar Negeri Jepang yang dilakukan di wilayah seperti Asia Tenggara dan Afrika, dimana Jepang memiliki pengaruh yang besar. Calder seolah mengasumsikan bahwa Jepang akan terus menerus menerima tekanan Amerika Serikat dan menyesuaikan Politik Luar Negeri-nya dengan tekanan tersebut, sementara menafikkan kemungkinan Jepang untuk bersikap proaktif, seolah-olah Jepang akan selalu menjadi reaktif kapanpun dan dimanapun. Beberapa studi kasus yang bersifat lebih partikular menunjukkan bahwa terdapat kasus dimana Jepang bersikap proaktif dalam membuat Politik Luar Negeri sekaligus menjelaskan faktor-faktor yang memungkinkan Jepang bersikap proaktif. Dua studi kasus yang akan digunakan sebagai pembanding dari tesis Calder adalah Japan as a Reactive State?: Analyzing Japan’s Relations with Social Republic of Vietnam oleh Keiko Hirata dan Japanese Aid Diplomacy in Africa: an Historical Analysis oleh Makoto Sato.
Dalam studi pertama, Keiko Hirata melakukan analisis terhadap hubungan Jepang dengan Republik Sosialis Vietnam (SRV) pada tahun 1970-1990. Berdasarkan studi tersebut, Keiko menemukan bahwa Jepang berusaha menjadikan SRV sebagai jembatan yang dapat menghubungkan Jepang dengan dunia komunis. Hal ini dilakukan terutama setelah penurunan pengaruh AS di Indochina pada tahun 1970-an. Keiko menyimpulkan bahwa sikap reaktif yang ditunjukkan oleh Jepang disebabkan oleh seberapa besar tekanan asing (gaiatsu) yang didapatkannya. Jika pemerintah Jepang merasa tidak menerima terlalu banyak gaiatsu, maka mereka dapat membuat Politik Luar Negeri yang bersifat proaktif. Melalui studi ini, Keiko telah membuktikan bahwa tesis yang dibuat oleh Calder terkait sikap reaktif Jepang tidak berlaku dalam kasus Politik Luar Negeri Jepang terhadap SRV. Selain itu, Keiko juga menjawab kesulitan Calder dalam memahami Reaktivisme Politik Luar Negeri Jepang pasca-1980-an ketika pengaruh AS tidak lagi begitu dominan terhadap Jepang.
Dalam studi kedua, Makoto Sato melakukan analisis terhadap kebijakan bantuan (aid policy) Jepang kepada negara-negara Afrika semenjak tahun 1970. Berdasarkan studi tersebut, Sato menemukan bahwa aid policy di Afrika dibuat berdasarkan kepentingan Jepang sendiri, bukan berdasarkan tekanan dari negara mana pun. Kepentingan tersebut di antaranya adalah keuntungan ekonomi jangka panjang yang dapat diraih ketika Jepang memiliki hubungan baik dengan Afrika, seperti akses terhadap sumber daya minyak yang dimiliki Afrika. Kemudian, Jepang juga membutuhkan dukungan dari negara-negara Afrika di Majelis Umum PBB untuk mewujudkan ambisinya menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Hasil temuan Sato, digabungkan dengan argumen Keiko terkait pengaruh gaiatsu dalam menentukan apakah Jepang akan bersikap proaktif atau reaktif, kembali menegaskan bahwa Tesis yang dibuat oleh Calder tidak berlaku dalam kasus yang bersifat partikular seperti aid policy Jepang kepada Afrika.
Perbandingan dengan Studi Pasca-Perang Dingin
Harus diakui bahwa tulisan yang dibuat oleh Kent Calder pada tahun 1988 merupakan salah satu tulisan paling berpengaruh dalam studi terkait Politik Luar Negeri Jepang. Namun, sebaik apa pun sebuah studi, relevansinya akan menjadi luntur ketika dihadapkan pada studi-studi yang dibuat di masa selanjutnya. Hal inilah terjadi pada studi yang dilakukan oleh Morgenthau terkait Realisme yang relevansinya menjadi semakin luntur ketika dihadapkan dengan banyaknya studi mengenai Konstruktivisme dan Postmodernisme. Studi Kent Calder pun tidak akan luput dari nasib yang sama. Satu studi yang akan dijadikan bahan perbandingan pada bagian ini berjudul Japan’s Changed Perception Towards Security Issues yang ditulis oleh Kyoko Hatakeyama.
Dalam studinya, Kyoko berusaha untuk melakukan konfrontasi langsung terhadap tesis negara reaktif yang diasosiasikan terhadap Politik Luar Negeri Jepang. Kyoko berusaha menolak tesis bahwa tekanan asing adalah faktor utama yang menyebabkan Jepang membuat Politik Luar Negeri-nya. Untuk melakukannya, Kyoko melakukan studi terhadap tiga kasus yang terjadi setelah Perang Dingin Berakhir, yaitu Perang Teluk, Ancaman Nuklir Korea Utara, dan Peristiwa 11 September. Kyoko berargumen bahwa ketiga peristiwa tersebut bertanggung jawab dalam meningkatkan konsiderasi Jepang terhadap keamanan negaranya. Lebih lanjut lagi, ketiga peristiwa tersebut juga memicu permintaan dari masyarakat Jepang agar pemerintah lebih proaktif dalam masalah keamanan. Hal ini menunjukkan bahwa setelah terjadinya ketiga peristiwa tersebut, telah muncul perubahan yang mengarah kepada Jepang yang lebih proaktif. Kyoko membuktikan argumennya dengan menunjukkan bahwa keterlibatan Peacekeeping Operation Jepang dalam Perang Teluk bukanlah diputuskan karena ada tekanan asing, namun karena adanya kepentingan dari Jepang untuk melakukannya, yakni untuk memperkuat Self-Defence Force (SDF)-nya yang sebelumnya tidak dapat mempraktekkan kemampuannya di medan perang. Studi yang dilakukan Kyoko menunjukkan bahwa kondisi domestik Jepang pasca-Perang Dingin mendukung adanya perubahan Politik Luar Negeri Jepang arah proaktivisme. Dengan demikian, argumen Calder yang menyatakan bahwa kondisi domestik Jepang merupakan faktor reaktivisme Jepang menjadi kurang begitu relevan lagi.
Kesimpulan
Berdasarkan kritik yang telah diberikan oleh penulis dan didukung oleh tiga tulisan pembanding, tulisan ini menyimpulkan dua hal. Pertama, tesis Kent Calder yang menjelaskan bahwa Jepang merupakan negara reaktif yang hanya dapat membuat Politik Luar Negeri jika ada tekanan asing merupakan sebuah tesis yang didasarkan pada generalisasi dari kasus-kasus di negara Barat saja. Dengan demikian, tesis Calder akan mengalami kesulitan dalam menjelaskan kasus Politik Luar Negeri Jepang yang terjadi di wilayah lain. Studi yang dilakukan oleh Keiko Hirata dan Makoto Sato menunjukkan bahwa Jepang menunjukkan elemen negara proaktif dalam menjalankan Politik Luar Negeri-nya di Vietnam dan Afrika. Studi tersebut menyimpulkan bahwa Jepang hanya akan menjadi reaktif di wilayah dengan gaiatsu yang besar dan akan menjadi proaktif di wilayah dengan gaiatsu yang relatif kecil. Kedua, tesis Calder tidak akan bertahan cukup lama. Beberapa isu yang terjadi pasca-Perang Dingin berpotensi untuk mengubah kondisi domestik Jepang ke arah mendukung proaktivisme. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi domestik tidak lagi dapat dianggap sebagai faktor reaktivisme Jepang.
Menurut Calder, terdapat tiga faktor yang menyebabkan Politik Luar Negeri Jepang memiliki kecenderungan untuk menjadi reaktif. Faktor pertama adalah konsiderasi strategi yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Semenjak kekalahannya di Perang Dunia ke-2, Jepang berusaha menghindar dari komitmen internasional untuk dapat fokus menggenjot perekonomiannya. Keunggulan perekonomian Amerika Serikat yang berbagi keuntungan dengan Jepang membuatnya tidak perlu repot-repot untuk bersikap proaktif terhadap sistem politik global. Namun, hal ini juga menciptakan ketergantungan yang amat besar dari Jepang terhadap AS. Untuk mempertahankan kondisi dimana AS berbagi keuntungan dengan Jepang, strategi Politik Luar Negeri Jepang diarahkan agar dapat mempertahankan hubungan baik Jepang dengan AS. Oleh sebab itu, agar Jepang dapat tetap mempertahankan diplomasi isolasionisnya, mereka harus mengikuti kemauan Amerika Serikat. Dengan kata lain, menjadi negara reaktif merupakan bagian dari konsiderasi strategi Politik Luar Negeri Jepang.
Faktor Kedua adalah kondisi sistem internasional. Pada masa-masa awal Perang Dingin (1950-1960), Amerika Serikat membutuhkan bantuan dari Jepang untuk menghadapi China dan Uni Soviet. Amerika Serikat menekan Jepang untuk membuat Politik Luar Negeri yang mendukung tindakan mereka. Ketika itu terjadi, Tokyo terlihat sangat terpaksa melakukannya, karena mereka harus mengubah diplomasi isolasionis mereka demi memenuhi kepentingan pragmatis mereka. Hal ini terlihat terutama pada beberapa perjanjian keamanan dengan Amerika Serikat, Pengadopsian IMF, dan status artikel 9 konstitusi Jepang. Namun, Calder mengakui kesulitan untuk menjelaskan sikap reaktif Jepang pada tahun 1980-an ketika tekanan dari Amerika Serikat tidak terlalu besar dan Jepang sudah bangkit menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-2 di dunia.
Faktor ketiga adalah karakteristik pemerintahan Jepang itu sendiri. Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki otoritas yang sangat terfragmentasi. Liberal Democratic Party (LDP) yang mendominasi pemerintahan Jepang selama setengah abad merupakan gabungan dari beberapa partai dengan ideologi yang mirip. Merger ini menyebabkan munculnya faksi-faksi di dalam LDP yang masing-masing memiliki pengaruh dalam pembuatan keputusan. Hal ini menyebabkan Perdana Menteri tidak dapat melakukan keputusan yang terlalu ekstrem, sehingga kondisi status quo di Jepang terus dipertahankan. Namun, betapapun parahnya perpecahan di dalam LDP, partai tersebut memiliki kecenderungan untuk mengikuti kemauan kelompok kepentingan di Jepang, seperti Perusahaan Multinasional dan Kelompok Petani. Calder berargumen bahwa kelompok kepentingan tersebut merupakan konstituen utama dari LDP, sehingga LDP selalu mendengarkan kemauan mereka. Perusahaan Multinasional menginginkan kondisi perekonomian yang stabil, terutama dalam hal hubungan Jepang dan Amerika agar mereka dapat tetap bertahan. Kelompok petani menginginkan tidak adanya intrusi dari perdagangan internasional yang dapat mengacaukan pasar domestik mereka. Ketidakhadiran otoritas yang tegas dan kepentingan domestik yang mendukungnya menyebabkan Jepang menjadi negara Reaktif.
Perbandingan dengan Studi yang Lebih Partikular
Calder memang berhasil menjelaskan karakteristik negara reaktif dalam pembentukan Politik Luar Negeri Jepang, namun tesis tersebut dibuat berdasarkan generalisasi Politik Luar Negeri Jepang yang dilakukan di negara Barat, sehingga tidak dapat menjelaskan Politik Luar Negeri Jepang yang dilakukan di wilayah seperti Asia Tenggara dan Afrika, dimana Jepang memiliki pengaruh yang besar. Calder seolah mengasumsikan bahwa Jepang akan terus menerus menerima tekanan Amerika Serikat dan menyesuaikan Politik Luar Negeri-nya dengan tekanan tersebut, sementara menafikkan kemungkinan Jepang untuk bersikap proaktif, seolah-olah Jepang akan selalu menjadi reaktif kapanpun dan dimanapun. Beberapa studi kasus yang bersifat lebih partikular menunjukkan bahwa terdapat kasus dimana Jepang bersikap proaktif dalam membuat Politik Luar Negeri sekaligus menjelaskan faktor-faktor yang memungkinkan Jepang bersikap proaktif. Dua studi kasus yang akan digunakan sebagai pembanding dari tesis Calder adalah Japan as a Reactive State?: Analyzing Japan’s Relations with Social Republic of Vietnam oleh Keiko Hirata dan Japanese Aid Diplomacy in Africa: an Historical Analysis oleh Makoto Sato.
Dalam studi pertama, Keiko Hirata melakukan analisis terhadap hubungan Jepang dengan Republik Sosialis Vietnam (SRV) pada tahun 1970-1990. Berdasarkan studi tersebut, Keiko menemukan bahwa Jepang berusaha menjadikan SRV sebagai jembatan yang dapat menghubungkan Jepang dengan dunia komunis. Hal ini dilakukan terutama setelah penurunan pengaruh AS di Indochina pada tahun 1970-an. Keiko menyimpulkan bahwa sikap reaktif yang ditunjukkan oleh Jepang disebabkan oleh seberapa besar tekanan asing (gaiatsu) yang didapatkannya. Jika pemerintah Jepang merasa tidak menerima terlalu banyak gaiatsu, maka mereka dapat membuat Politik Luar Negeri yang bersifat proaktif. Melalui studi ini, Keiko telah membuktikan bahwa tesis yang dibuat oleh Calder terkait sikap reaktif Jepang tidak berlaku dalam kasus Politik Luar Negeri Jepang terhadap SRV. Selain itu, Keiko juga menjawab kesulitan Calder dalam memahami Reaktivisme Politik Luar Negeri Jepang pasca-1980-an ketika pengaruh AS tidak lagi begitu dominan terhadap Jepang.
Dalam studi kedua, Makoto Sato melakukan analisis terhadap kebijakan bantuan (aid policy) Jepang kepada negara-negara Afrika semenjak tahun 1970. Berdasarkan studi tersebut, Sato menemukan bahwa aid policy di Afrika dibuat berdasarkan kepentingan Jepang sendiri, bukan berdasarkan tekanan dari negara mana pun. Kepentingan tersebut di antaranya adalah keuntungan ekonomi jangka panjang yang dapat diraih ketika Jepang memiliki hubungan baik dengan Afrika, seperti akses terhadap sumber daya minyak yang dimiliki Afrika. Kemudian, Jepang juga membutuhkan dukungan dari negara-negara Afrika di Majelis Umum PBB untuk mewujudkan ambisinya menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Hasil temuan Sato, digabungkan dengan argumen Keiko terkait pengaruh gaiatsu dalam menentukan apakah Jepang akan bersikap proaktif atau reaktif, kembali menegaskan bahwa Tesis yang dibuat oleh Calder tidak berlaku dalam kasus yang bersifat partikular seperti aid policy Jepang kepada Afrika.
Perbandingan dengan Studi Pasca-Perang Dingin
Harus diakui bahwa tulisan yang dibuat oleh Kent Calder pada tahun 1988 merupakan salah satu tulisan paling berpengaruh dalam studi terkait Politik Luar Negeri Jepang. Namun, sebaik apa pun sebuah studi, relevansinya akan menjadi luntur ketika dihadapkan pada studi-studi yang dibuat di masa selanjutnya. Hal inilah terjadi pada studi yang dilakukan oleh Morgenthau terkait Realisme yang relevansinya menjadi semakin luntur ketika dihadapkan dengan banyaknya studi mengenai Konstruktivisme dan Postmodernisme. Studi Kent Calder pun tidak akan luput dari nasib yang sama. Satu studi yang akan dijadikan bahan perbandingan pada bagian ini berjudul Japan’s Changed Perception Towards Security Issues yang ditulis oleh Kyoko Hatakeyama.
Dalam studinya, Kyoko berusaha untuk melakukan konfrontasi langsung terhadap tesis negara reaktif yang diasosiasikan terhadap Politik Luar Negeri Jepang. Kyoko berusaha menolak tesis bahwa tekanan asing adalah faktor utama yang menyebabkan Jepang membuat Politik Luar Negeri-nya. Untuk melakukannya, Kyoko melakukan studi terhadap tiga kasus yang terjadi setelah Perang Dingin Berakhir, yaitu Perang Teluk, Ancaman Nuklir Korea Utara, dan Peristiwa 11 September. Kyoko berargumen bahwa ketiga peristiwa tersebut bertanggung jawab dalam meningkatkan konsiderasi Jepang terhadap keamanan negaranya. Lebih lanjut lagi, ketiga peristiwa tersebut juga memicu permintaan dari masyarakat Jepang agar pemerintah lebih proaktif dalam masalah keamanan. Hal ini menunjukkan bahwa setelah terjadinya ketiga peristiwa tersebut, telah muncul perubahan yang mengarah kepada Jepang yang lebih proaktif. Kyoko membuktikan argumennya dengan menunjukkan bahwa keterlibatan Peacekeeping Operation Jepang dalam Perang Teluk bukanlah diputuskan karena ada tekanan asing, namun karena adanya kepentingan dari Jepang untuk melakukannya, yakni untuk memperkuat Self-Defence Force (SDF)-nya yang sebelumnya tidak dapat mempraktekkan kemampuannya di medan perang. Studi yang dilakukan Kyoko menunjukkan bahwa kondisi domestik Jepang pasca-Perang Dingin mendukung adanya perubahan Politik Luar Negeri Jepang arah proaktivisme. Dengan demikian, argumen Calder yang menyatakan bahwa kondisi domestik Jepang merupakan faktor reaktivisme Jepang menjadi kurang begitu relevan lagi.
Kesimpulan
Berdasarkan kritik yang telah diberikan oleh penulis dan didukung oleh tiga tulisan pembanding, tulisan ini menyimpulkan dua hal. Pertama, tesis Kent Calder yang menjelaskan bahwa Jepang merupakan negara reaktif yang hanya dapat membuat Politik Luar Negeri jika ada tekanan asing merupakan sebuah tesis yang didasarkan pada generalisasi dari kasus-kasus di negara Barat saja. Dengan demikian, tesis Calder akan mengalami kesulitan dalam menjelaskan kasus Politik Luar Negeri Jepang yang terjadi di wilayah lain. Studi yang dilakukan oleh Keiko Hirata dan Makoto Sato menunjukkan bahwa Jepang menunjukkan elemen negara proaktif dalam menjalankan Politik Luar Negeri-nya di Vietnam dan Afrika. Studi tersebut menyimpulkan bahwa Jepang hanya akan menjadi reaktif di wilayah dengan gaiatsu yang besar dan akan menjadi proaktif di wilayah dengan gaiatsu yang relatif kecil. Kedua, tesis Calder tidak akan bertahan cukup lama. Beberapa isu yang terjadi pasca-Perang Dingin berpotensi untuk mengubah kondisi domestik Jepang ke arah mendukung proaktivisme. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi domestik tidak lagi dapat dianggap sebagai faktor reaktivisme Jepang.
Comments
Post a Comment