Kompleksitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Era SBY
Semenjak itu, pendekatan kompleksitas mulai mengemuka dalam kajian HI. Kompleksitas yang dimaksud dalam pendekatan ini adalah sekumpulan agen semi-otonom dengan kebebasan bertindak yang interaksinya menciptakan pola dalam sistem. Keistimewaan utama dari pendekatan ini adalah kemampuannya untuk melihat keterhubungan dalam unsur-unsur sistem internasional yang meliputi berbagai dimensi, baik makro maupun mikro, untuk menjelaskan sistem tersebut secara utuh (Nafiaturrofiah, 2015). Pendekatan inilah yang akan digunakan untuk menjelaskan kebijakan luar negeri Indonesia (KLNI) pada periode Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tinjauan Literatur: Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Indonesia adalah negara yang lahir di tengah persaingan kekuatan global. Sebagai negara baru yang memiliki posisi geografis strategis dan sumber daya alam besar, Indonesia selalu menjadi bahan perebutan dari kekuatan-kekuatan global yang berkuasa di masanya. Dalam bahasa paling vulgar, Franklin B. Weinstein menganalogikan Indonesia sebagai ‘gadis cantik’ yang selalu dilirik, digoda dan ingin dimiliki atau dikuasai oleh negara-negara besar (Weinstein, 1976). Situasi inilah yang kemudian melahirkan prinsip bebas aktif dalam KLNI. Melalui prinsip bebas aktif, Indonesia menjadi memiliki kebebasan untuk memposisikan dirinya di tengah dinamika politik Internasional sekaligus berperan aktif dalam mempengaruhi dinamika tersebut. Prinsip inilah yang menjadi landasan filosofis KLNI hingga sekarang (Saputra, 2012).
Tinjauan Literatur: Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Indonesia adalah negara yang lahir di tengah persaingan kekuatan global. Sebagai negara baru yang memiliki posisi geografis strategis dan sumber daya alam besar, Indonesia selalu menjadi bahan perebutan dari kekuatan-kekuatan global yang berkuasa di masanya. Dalam bahasa paling vulgar, Franklin B. Weinstein menganalogikan Indonesia sebagai ‘gadis cantik’ yang selalu dilirik, digoda dan ingin dimiliki atau dikuasai oleh negara-negara besar (Weinstein, 1976). Situasi inilah yang kemudian melahirkan prinsip bebas aktif dalam KLNI. Melalui prinsip bebas aktif, Indonesia menjadi memiliki kebebasan untuk memposisikan dirinya di tengah dinamika politik Internasional sekaligus berperan aktif dalam mempengaruhi dinamika tersebut. Prinsip inilah yang menjadi landasan filosofis KLNI hingga sekarang (Saputra, 2012).
Akan tetapi, prinsip bebas aktif tidak bersifat statis dan senantiasa diperbaharui berdasarkan interpretasi dari individu yang menjabat sebagai presiden di setiap masanya. Kebudayaan Indonesia yang sarat dengan budaya patron-klien mengakibatkan presiden, sebagai kepala negara, memiliki kekuatan yang besar untuk menentukan interpretasi dari prinsip bebas aktif tersebut. Berbeda dengan negara yang memiliki sistem politik mapan, seperti AS, yang kebijakan luar negerinya cenderung konsisten di setiap pemerintahan, KLNI cenderung berubah-ubah setiap pergantian presiden. Sebagai contoh, kebijakan luar negeri Indonesia di era Soekarno cenderung bersifat provokatif dan menantang kekuatan-kekuatan besar di tingkat global, sementara di era Soeharto cenderung bersifat low-profile dan sangat mendukung kekuatan Blok Barat (Weinstein, 1976). Dengan demikian, faktor ideosinkretis dari Presiden Indonesia memiliki peranan sangat penting dalam menentukan filosofi KLNI.
Interpretasi seorang Presiden Indonesia terhadap prinsip bebas aktif umumnya didasarkan pada korelasi antara kepentingan nasional dengan situasi politik internasional yang sedang terjadi pada masanya. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, situasi Perang Dingin yang mewarnai dinamika politik internasional dan kepentingan nasional Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya mendorong Soekarno untuk menginterpretasikan prinsip bebas aktif sebagai independensi Indonesia dari dua blok besar dalam Perang Dingin namun tetap berperan aktif dalam mendukung negara-negara yang setuju terhadap prinsip Indonesia. Interpretasi inilah yang membuat Indonesia mengeluarkan kebijakan luar negeri untuk mendukung negara-negara yang baru merdeka dan berkontribusi dalam pembentukan gerakan non blok (Weinstein, 1976).
Kompleksitas Kebijakan Luar Negeri Era Susilo Bambang Yudhoyono
SBY menjabat sebagai Presiden Indonesia di tengah kemajuan era globalisasi. Perang Dingin sudah berakhir, pertentangan ideologi sudah terlupakan, dan kapitalisme telah menjadi norma utama yang melandasi hubungan internasional. Di dalam era ini, negara dituntut untuk bersikap pragmatis untuk mendapatkan keuntungan dalam melakukan hubungan internasional. Pada saat yang sama, Indonesia baru saja pulih dari krisis ekonomi dan membutuhkan suntikan dana yang cukup besar untuk melanjutkan pembangunan.
Di samping itu, Indonesia masih mendapatkan rapor merah dari komunitas internasional akibat rekam jejaknya yang buruk dalam isu-isu hak asasi manusia (HAM) selama pemerintahan Soeharto. Korelasi dari situasi politik internasional dan kondisi dalam negeri inilah yang mendorong SBY untuk menginterpretasikan prinsip bebas aktif sebagai kebebasan Indonesia untuk menentukan dengan siapa mereka melakukan hubungan sekaligus berperan aktif dalam mengatasi permasalahan-permasalahan internasional. Thousand Friends and Zero Enemies pun menjadi slogan yang merepresentasikan prinsip bebas aktif versi SBY (Piccone & Yusman, 2014).
Interpretasi SBY terhadap prinsip bebas aktif pada akhirnya menjadi landasan filosofis bagi formulasi KLNI oleh institusi-institusi di tingkat nasional. Dalam hal ini, formulasi KLNI yang dilakukan oleh institusi-institusi nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi politik domestik Indonesia. Pasca-runtuhnya orde baru, gelombang demokratisasi melanda Indonesia dan mentransformasi konstelasi politik domestik. Jika pada masa orde baru konstelasi politik domestik hanya dikuasai para elit politik, konstelasi politik di masa reformasi bersifat lebih terbuka sehingga memungkinkan beragam aktor dari latar belakang berbeda untuk ikut terlibat dalam proses pembentukan KLNI.
Interpretasi SBY terhadap prinsip bebas aktif pada akhirnya menjadi landasan filosofis bagi formulasi KLNI oleh institusi-institusi di tingkat nasional. Dalam hal ini, formulasi KLNI yang dilakukan oleh institusi-institusi nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi politik domestik Indonesia. Pasca-runtuhnya orde baru, gelombang demokratisasi melanda Indonesia dan mentransformasi konstelasi politik domestik. Jika pada masa orde baru konstelasi politik domestik hanya dikuasai para elit politik, konstelasi politik di masa reformasi bersifat lebih terbuka sehingga memungkinkan beragam aktor dari latar belakang berbeda untuk ikut terlibat dalam proses pembentukan KLNI.
Athiqah Nur Alami menjelaskan bahwa proses perumusan dan pelaksanaan KLNI di era reformasi sarat dengan pelibatan aktor-aktor negara dan non-negara. Aktor negara meliputi pemerintah pusat dengan jajaran kementerian dan legislatif serta pemerintah daerah. Sementara aktor non-negara meliputi lembaga internasional, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat sipil. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyebut strategi ini sebagai diplomasi total, dimana seluruh pemangku kepentingan di dalam negeri dituntut untuk bersinergi dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Dengan demikian, kebijakan luar negeri tidak lagi menjadi domain bagi eksekutif, melainkan juga legislatif, dan seluruh masyarakat (Alami, 2010).
Melalui strategi diplomasi total, sebuah KLNI tidak lagi dimulai dan diakhiri di tingkatan eksekutif. Berbeda dengan pemerintahan Soekarno dan Soeharto dimana presiden memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan dan melaksanakan KLNI, pemerintahan SBY harus memperhatikan kondisi domestik dan tuntutan masyarakat yang diwakili oleh LSM. Selain itu, KLNI yang telah dirumuskan pun harus mendapatkan audit dari Dewan Perwakilan Rakyat yang berperan sebagai mitra kritis eksekutif. Hal ini tentunya tidak terlepas dari konstelasi politik domestik Indonesia pada masa pemerintahan SBY yang kental dengan warna demokrasi.
Melalui strategi diplomasi total, sebuah KLNI tidak lagi dimulai dan diakhiri di tingkatan eksekutif. Berbeda dengan pemerintahan Soekarno dan Soeharto dimana presiden memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan dan melaksanakan KLNI, pemerintahan SBY harus memperhatikan kondisi domestik dan tuntutan masyarakat yang diwakili oleh LSM. Selain itu, KLNI yang telah dirumuskan pun harus mendapatkan audit dari Dewan Perwakilan Rakyat yang berperan sebagai mitra kritis eksekutif. Hal ini tentunya tidak terlepas dari konstelasi politik domestik Indonesia pada masa pemerintahan SBY yang kental dengan warna demokrasi.
Ditambah lagi, pemerintah pusat dan jajaran kementerian tidak lagi menjadi satu-satunya pihak yang dapat merumuskan dan melaksanakan KLNI. DPR sebagai legislatif juga ikut berkontribusi dengan melakukan diplomasi parlementer kepada parlemen-parlemen di negara lain. Kebijakan ini sangat banyak dilihat dalam upaya pemerintahan SBY untuk membangun regionalism ASEAN melalui ASEAN Community. Kemudian pada saat yang sama, pemerintahan daerah, melalui hak otonominya, kini memiliki hak untuk melakukan hubungan dengan pemerintah daerah di negara lainnya guna menunjang kebutuhan ekonomi daerahnya. Hal ini terlihat dalam kerja sama sister-city yang menjadi popular pada masa pemerintahan SBY (Alami, 2010). Pada akhirnya perumusan dan pelaksanaan KLNI di era SBY pun menjadi kental dengan prinsip demokratis.
Demokratisasi tidak hanya mempengaruhi perumusan dan pelaksanaan KLNI, namun juga orientasi dari KLNI itu sendiri. Secara umum, orientasi KLNI di era SBY diarahkan pada peningkatan kerjasama ekonomi dengan economic powerhouse yang umumnya berafiliasi dengan negara Barat, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Uni Eropa. Akan tetapi, prinsip bebas aktif yang diinterpretasikan SBY juga memungkinkan Indonesia untuk membangun kerjasama ekonomi dengan economic powerhouse baru, seperti China dan India. Fokus pada kerjasama ekonomi ini tidak lain didorong oleh kondisi ekonomi Indonesia yang masih lesu setelah pulih dari krisis 1997.
Demokratisasi tidak hanya mempengaruhi perumusan dan pelaksanaan KLNI, namun juga orientasi dari KLNI itu sendiri. Secara umum, orientasi KLNI di era SBY diarahkan pada peningkatan kerjasama ekonomi dengan economic powerhouse yang umumnya berafiliasi dengan negara Barat, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Uni Eropa. Akan tetapi, prinsip bebas aktif yang diinterpretasikan SBY juga memungkinkan Indonesia untuk membangun kerjasama ekonomi dengan economic powerhouse baru, seperti China dan India. Fokus pada kerjasama ekonomi ini tidak lain didorong oleh kondisi ekonomi Indonesia yang masih lesu setelah pulih dari krisis 1997.
Tingginya angka kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan serta terhambatnya pembangunan infrastruktur menuntut pemerintahan SBY untuk meningkatkan penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. Untuk melakukannya, pemerintahan SBY pun berupaya meningkatkan kepercayaan komunitas internasional terhadap kondisi domestik Indonesia. Demokratisasi yang berjalan dengan lancar di Indonesia pun menjadi nilai jual yang meningkatkan kepercayaan investor terhadap stabilitas politik di Indonesia (Inayati, 2006). Tidak hanya soal peningkatan ekonomi, KLNI era pemerintahan SBY juga mulai diorientasikan kepada perlindungan bagi warga negara Indonesia di luar negeri. Pembentukan orientasi ini tidak lain terjadi berkat adanya gerakan kepedulian yang digalakan oleh LSM-LSM buruh migran Indonesia (Fahmi, 2007).
Akan tetapi, walaupun masyarakat telah dilibatkan dalam pembentukan KLNI, interpretasi SBY terhadap prinsip bebas aktif masih membatasi pelaksanaan KLNI. Dengan berlandaskan pada slogan 'thousand friends and zero enemies', KLNI di pemerintahan SBY menjadi tidak mampu memberikan posisi yang tegas terhadap permasalahan-permasalahan internasional, khususnya isu-isu hak asasi manusia, karena khawatir akan menyinggung mitra dagang Indonesia yang tidak memiliki rekam jejak baik dalam isu HAM, seperti China.
Akan tetapi, walaupun masyarakat telah dilibatkan dalam pembentukan KLNI, interpretasi SBY terhadap prinsip bebas aktif masih membatasi pelaksanaan KLNI. Dengan berlandaskan pada slogan 'thousand friends and zero enemies', KLNI di pemerintahan SBY menjadi tidak mampu memberikan posisi yang tegas terhadap permasalahan-permasalahan internasional, khususnya isu-isu hak asasi manusia, karena khawatir akan menyinggung mitra dagang Indonesia yang tidak memiliki rekam jejak baik dalam isu HAM, seperti China.
Sebagai contoh, pemerintahan SBY menolak untuk meratifikasi Statuta Roma mengenai International Criminal Court (ICC) dengan alasan sudah memiliki undang-undang HAM yang mencukupi dan bersikap abstain dalam menghadapi kasus nuklir Iran. Keengganan pemerintah SBY untuk memiliki musuh demi memperbanyak mitra ekonomi menyebabkan kemampuan KLNI menjadi sangat terbatas. Sebagai justifikasi, pemerintah SBY menyatakan bahwa mereka mendukung prinsip non-intervensi dalam berhubungan dengan negara lain. Prinsip inilah yang kemudian berupaya dikembangkan di tingkat kawasan melalui ASEAN (Piccone & Yusman, 2014).
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kompleksitas KLNI di pemerintahan SBY dapat dilihat dalam keterkaitan tiga aspek: (1) Dinamika sistem internasional; (2) Interpretasi presiden terhadap prinsip bebas-aktif; (3) konstelasi politik domestik. Dinamika sistem internasional mempengaruhi bagaimana SBY menginterpretasikan prinsip bebas-aktif, sementara konstelasi politik domestik menentukan apa yang harus dicapai oleh KLNI. Dalam hal ini, dinamika sistem internasional yang mendukung pragmatisme mendorong SBY untuk menciptakan slogan 'thousand friends and zero enemies'.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kompleksitas KLNI di pemerintahan SBY dapat dilihat dalam keterkaitan tiga aspek: (1) Dinamika sistem internasional; (2) Interpretasi presiden terhadap prinsip bebas-aktif; (3) konstelasi politik domestik. Dinamika sistem internasional mempengaruhi bagaimana SBY menginterpretasikan prinsip bebas-aktif, sementara konstelasi politik domestik menentukan apa yang harus dicapai oleh KLNI. Dalam hal ini, dinamika sistem internasional yang mendukung pragmatisme mendorong SBY untuk menciptakan slogan 'thousand friends and zero enemies'.
Sementara itu, konstelasi politik domestik yang demokratis menyebabkan lebih banyak aktor yang terlibat dalam perumusan KLNI sehingga menghasilkan orientasi KLNI yang lebih beragam. Pada akhirnya, konstelasi politik yang demokratis juga mempengaruhi sistem internasional dengan memberikan kepercayaan dari komunitas internasional terhadap stabilitas politik di Indonesia. Hal ini kemudian mendukung KLNI pemerintahan SBY yang bertujuan untuk menarik lebih banyak PMA ke Indonesia. Akan tetapi, seluruh KLNI yang telah dirumuskan ini masih tetap dibatasi oleh interpetasi SBY terhadap prinsip bebas-aktif yang mengharuskan Indonesia untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menyinggung negara lain.
Alami, A. N. (2010). Profil dan Orientasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Orde Baru. E-Journal LIPI , 163-181.
Fahmi, U. (2007). Politik Luar Negeri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Retrieved December 27, 2016, from Scribd: https://www.scribd.com/doc/135510994/Politik-Luar-Negeri-Presiden-Susilo-Bambang-Yudhoyono
Inayati, R. S. (2006). Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia. E-Journal LIPI , 35-49.
Nafiaturrofiah, S. (2015, December 21). Masa Depan Studi Analisis Kebijakan Luar Negeri: Pendekatan Kompleksitas dan Neurobiologi. Retrieved December 27, 2016, from UNAIR: http://salma-fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-151004-SOH320-Masa%20Depan%20Studi%20Analisis%20Kebijakan%20Luar%20Negeri:%20Pendekatan%20Kompleksitas%20dan%20Neurobiologi.html
Piccone, T., & Yusman, B. (2014, February 14). Indonesian Foreign Policy: 'A Million Friends and Zero Enemies'. Retrieved December 27, 2016, from The Diplomat: http://thediplomat.com/2014/02/indonesian-foreign-policy-a-million-friends-and-zero-enemies/
Saputra, A. B. (2012). Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Susilo Bambang Yudhoyono Tahun 2009-2011. Retrieved December 27, 2016, from Repository UNRI: http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/1066/PLN%20RI%20Era%20Presiden%20SBY%202009-2011.pdf?sequence=1
Weinstein, F. B. (1976). Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence from Soekarno to Soeharto. Itacha : Cornell University Press.
Comments
Post a Comment