Masyarakat Sipil Rusia Sebelum dan Sesudah Komunisme
Pada Desember 1993, Rusia menggelar pemilu legislatifnya yang pertama dengan banyak partai yang berpartisipasi. Dunia menganggap bahwa pemilu legislatif tersebut merupakan terobosan besar bagi negara yang penduduknya selama lebih dari lima puluh tahun telah menelan propaganda anti-demokrasi. Beberapa akademisi mengatakan bahwa kemunculan pemilu demokratis, betapapun cacatnya, harus dianggap sebagai pencapaian revolusioner bagi Rusia (Evans, 2011).
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jumlah pemilu yang telah diadakan di Rusia, pola-pola otoriter Rusia justru semakin bertambah kuat. Hari ini, pluralisme politik mengalami penurunan drastis akibat dominasi Partai Rusia Bersatu dalam parlemen yang berhasil mengantongi lebih dari 64% suara dan memenangkan pemilu presiden secara berturut-turut dengan jumlah suara di atas 70%. Akibat begitu kuatnya partai ini, pemindahan kekuasaan dari Vladimir Putin ke Dimitri Medvedev pada 2007-2008 dan kembali ke Putin pada tahun 2012 dapat berlangsung dengan sangat mulus (Evans, 2011)). Sebuah protes berskala besar memang sempat terjadi, menuntut agar Putin turun dan digelar pemilu ulang, namun protes tersebut berhasil dibubarkan dalam waktu kurang dari seminggu dan semenjak itu tidak ada lagi protes yang mempertanyakan legitimasi kepemimpinan Putin (Map Report, 2015). Data bahkan menunjukkan bahwa polling popularitas Putin tetap stabil di angka 65% (Adonis, 2015).
Vladimir Putin dan pendukung-pendukungnya telah berhasil mengkonsolidasikan rezim semi-otoriter di Rusia, dimana infrastruktur demokrasi berdiri kokoh namun pelaksanaannya sangat tidak demokratis. Mereka memang memiliki parlemen yang berfungsi dan pemilu yang berjalan secara konsisten, namun mereka telah menguasai teknik yang memungkinkan faksi penguasa untuk memanipulasi media massa, partai politik, dan opini publik sehingga mereka dapat menentukan segala hasil dari proses demokrasi. Dengan demikian, demokrasi di Rusia pasca-komunisme tidak lebih dari sekedar permainan yang sudah diatur (Adonis, 2015).
Masyarakat Sipil Pra-Komunisme di Rusia
Sejarah masyarakat sipil di Rusia dapat ditarik dari masa Imperium Rusia, tepatnya pada tahun 1762, ketika Catherine the Great mengeluarkan kebijakan reformasi terhadap berbagai bidang di Rusia yang memicu penciptaan organisasi-organisasi masyarakat seperti Russian Geographical Society, Free Economics Society, Moscow Agricultural Society, Russian Technical Society, dan Pirogov Association of Russian Doctors. Organisasi-organisasi ini kebanyakan bergerak di bidang ilmu pengetahuan, sastra, seni, hiburan, dan kegiatan amal. Organisasi-organisasi ini dibentuk dengan tujuan melakukan kerjasama bersahabat dengan otoritas Tsar yang dikenal amat otoriter dan memiliki kendali penuh terhadap hampir seluruh aspek masyarakat Rusia. Di paruh kedua abad XIX, organisasi-organisasi ini menjadi aktor utama untuk melobi pemerintah agar menciptakan reformasi sosial dan hukum (Buxton & Konovalova, 2013).Organisasi-organisasi masyarakat yang dibentuk pasca-reformasi Sosolviya ini memang mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan Imperium dan sampai batas tertentu mengendalikannya. Akan tetapi, pengaruh yang dapat diberikan mereka masih sangat minim (Uhlin, 2006). Beberapa bahkan tidak bertindak sebagai pengendali kekuatan Imperium namun justru bertindak sebagai asisten Imperium, seperti yang dilakukan oleh Russian Geographical Society (Buxton &Konovalova, 2013). Oleh sebab itu, eksistensi organisasi-organisasi masyarakat di masa Imperium Rusia ini dianggap masih jauh dari apa yang dipahami sebagai masyarakat sipil hari ini.
Pada tahun 1860, Tsar Alexander II mengeluarkan kebijakan reformasi Zemstvo dan menciptakan hak warga sipil. Organisasi-organisasi sosial semakin banyak bermunculan dan semakin plural sebagai akibat dari kebijakan ini. Di awal abad ke-20, tercatat sebanyak 5,000 organisasi sosial baru telah terdaftar. Tidak hanya meningkat dari segi kuantitas, organisasi-organisasi sosial di Rusia juga mengalami peningkatan dari segi kualitas dengan menjadi lebih professional dan mampu menyediakan jasa pendidikan serta kesehatan pada kelompok-kelompok minoritas di Rusia (Buxton & Konovalova, 2013). Kebanyakan akademisi menganggap bahwa periode ini merupakan awal dari kemunculan masyarakat sipil di Rusia (Uhlin, 2006).
Akan tetapi, peningkatan pluralisme juga membuka celah bagi organisasi-organisasi radikal untuk berkembang. Contoh paling signifikan adalah organisasi masyarakat Narodniks dengan gerakan “to the people” nya yang berujung pada revolusi 1905 (Buxton & Konovalova, 2013). Revolusi tersebut berhasil menumbangkan Imperium Rusia dan mendirikan negara Sosialis Rusia yang secara efektif mengakhiri perkembangan masyarakat sipil yang baru mulai terbentuk di Rusia. Hal ini menyebabkan Rusia tidak memiliki masyarakat sipil yang cukup mapan sebelum kemunculan komunisme (Uhlin, 2006).
Masyarakat Sipil Rusia di Bawah Komunisme
Kekuasaan Uni Soviet, terutama di bawah teror Stalin, telah menghancurkan segala bentuk aktivitas sosial independen yang sedang berkembang di Rusia. Seluruh organisasi sosial, baik yang bergerak di bidang politik maupun hiburan, dibubarkan, para pemimpinnya dibunuh, dan sumber dayanya diberangus. Genosida, pembantaian etnis, dan pemindahan paksa kemudian menghancurkan segala daya yang tersisa dari organisasi sosial di Rusia untuk dapat berdiri kembali (Uhlin, 2006).
Stalin kemudian menciptakan sebuah jaringan raksasa organisasi masyarakat terpusat yang memonopoli seluruh bidang yang sebelumnya dipromosikan oleh organisasi masyarakat sipil. Jaringan organisasi ini efektif mengisi kekosongan ruang di antara pemerintah dan swasta yang sebelumnya ditinggali oleh masyarakat sipil. Namun, bukannya menjadi ruang untuk merepresentasikan kepentingan publik, Stalin menggantinya menjadi sebuah ruang untuk melakukan doktrinasi dan mobilisasi politik untuk mendukung rezim komunis yang baru terbentuk (Ekiert & Foa, 2011). Beberapa contoh organisasi yang menjadi bagian dari jaringan raksasa terpusat tersebut adalah Soviet Committee for Peace, Union of Atheists, dan Union of Women, yang semuanya secara eksplisit berideologi komunisme (Buxton & Konovalova, 2013).
Beberapa organisasi sosial sempat bertahan di bawah rezim totaliter Stalin. Kebanyakan dari organisasi tersebut bergerak di bidang hiburan, pendidikan, atau kebudayaan, dan kebanyakan hanya bergerak di tingkat lokal. Mereka berfungsi sebagai pelestari kebudayaan daerah dan menyediakan sebuah ruang untuk aktivitas yang bebas dari intervensi politik (Ekiert & Foa, 2011). Beberapa organisasi politik juga bertahan, seperti Orthodox Monarchist Union dan jaringan pemberontak People’s Labour Union (yang memiliki jaringan transnasional), namun mereka dipaksa untuk bergerak di bawah tanah dan tidak mampu untuk membuat pernyataan publik. Terdapat juga beberapa kritik terhadap pemerintah yang dilontarkan melalui harian tidak resmi Samizdat. Akan tetapi, seluruh gerakan sosial tersebut masih terlalu lemah, terlalu terfragmentasi, dan terlalu mudah dihancurkan, sehingga sangat jauh dari kategori masyarakat sipil yang dipahami hari ini. Dapat dikatakan bahwa perkembangan masyarakat sipil di bawah kekuasaan totaliter Stalin menemui jalan buntu. Situasi ini terus berlanjut sampai masa kepemimpinan Kruschev dan Brezhnev (Uhlin, 2006).
Naiknya Mikhail Gorbachev sebagai Premier Uni Soviet membawa perubahan signifikan terhadap situasi masyarakat sipil di Uni Soviet. Kebijakan Perestroika dan Glasnost yang diciptakannya meningkatkan keterbukaan dalam sistem politik dan mengurangi tekanan negara terhadap masyarakat sehingga memberikan ruang bagi organisasi sosial untuk dapat berkembang. Untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun, terdapat tanda-tanda bahwa pemerintah Soviet akan mentoleransi aktivitas organisasi sosial. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kebangkitan kembali masyarakat sipil di Rusia (Uhlin, 2006).
Secara umum, terdapat tiga fase dari kebangkitan kembali masyarakat sipil di Rusia. Fase pertama adalah pada April 1985 sampai dengan Januari 1989, dimana berbagai organisasi politik independen di Rusia mulai terbentuk. Kebanyakan organisasi ini bersifat moderat dan hanya berfokus pada isu kebudayaan, namun ada juga beberapa yang memiliki agenda politik, seperti Perestroika Club – kelompok diskusi di Moscow, Memorial – kelompok pembela HAM, dan Citizen’s Dignity yang juga berfokus pada isu HAM. Sampai tahun 1989, tercatat sebanyak 60,000 organisasi sosial telah terbentuk di Rusia (Uhlin, 2006). Organisasi-organisasi ini telah terbebas dari ideologi komunisme dan memiliki kemampuan untuk melobi pemerintah. Keanggotaannya secara umum bersifat sukarela atau berdasarkan keuntungan-keuntungan tertentu yang ditawarkan oleh masing-masing organisasi (Ekiert & Foa, 2011)).
Walaupun kebanyakan organisasi ini tidak mempromosikan nilai-nilai liberal, namun mereka berkomitmen melawan hegemoni Partai Komunis, dan mengadvokasikan aturan hukum serta hak dan kebebasan warga sipil. Di antara organisasi-organisasi tersebut juga ada organisasi radikal yang menggunakan metode konfrontasi langsung seperti turun ke jalanan untuk melakukan demonstrasi. Kebanyakan aktivis-aktivis dari organisasi semacam ini menemui nasibnya di tahanan. Namun mereka hanya akan ditahan selama beberapa jam atau hari dan tidak dikirim ke kamp penjara sebagai pemberontak seperti yang kerap dilakukan sebelum Gorbachev memimpin (Uhlin, 2006). Kemajuan yang terjadi pada situasi organisasi sosial di Uni Soviet ini membawa perubahan signifikan terhadap hubungan negara dan masyarakat (Ekiert & Foa, 2011).
Fase Kedua dari kebangkitan masyarakat sipil di Rusia adalah pada pemilihan umum anggota kongres Uni Soviet di tahun 1990 dimana terjadi peningkatan aksi konfrontasi dari organisasi-organisasi sosial yang baru terbentuk di tahun 1985 terhadap pemerintah. Konfrontasi ini dipicu oleh mobilisasi kampanye yang sangat masif, mengingat ini merupakan pemilu kompetitif dan terbuka pertama yang diadakan di Uni Soviet. Kendati aturan-aturan pemilu masih lebih menguntungkan Partai Komunis, beberapa pendukung demokrasi berhasil terpilih. Namun dampak terpenting dari pemilu pertama ini adalah ia berhasil memicu mobilisasi popular yang meningkatkan partisipasi masyarakat dan secara efektif menjadi landasan bagi demokratisasi di Uni Soviet. Setelah pemilu, organisasi payung demokrasi pertama di Uni Soviet ––Moscow Union of Voters–– terbentuk, dilanjutkan dengan sejumlah konferensi nasional terkait pergerakan demokrasi (Uhlin, 2006).
Akan tetapi, kehadiran instrumen demokrasi dalam Uni Soviet untuk pertama kalinya memberikan pilihan yang sulit bagi para aktivis pro-demokrasi ketika itu. Mereka harus memilih apakah terus melanjutkan pembangunan gerakan massa untuk melawan rezim komunis atau fokus pada pembangunan infrastruktur demokrasi yang baru terbentuk dengan masuk ke dalam sistem sebagai representasi warga? Kebanyakan aktivis memilih untuk bergabung dengan sistem politik yang telah direformasi tersebut dan berhasil mendapatkan posisinya di parlemen. Pada awalnya, aktivis-aktivis ini masih terlalu lemah untuk mempengaruhi situasi parlemen yang masih didominasi partai Komunis. Namun pada perkembangannya, dengan dibantu oleh organisasi-organisasi sosial, baik yang lokal maupun yang transnasional, mereka mampu mempengaruhi pembuatan keputusan di parlemen. Pada akhir tahun 1990, mereka telah berhasil mengambil inisiatif dari tangan Gorbachev dan semakin memperluas keterbukaan dalam struktur politik (Uhlin, 2006).
Fase ketiga kebangkitan masyarakat sipil di Rusia terjadi setelah serangkaian peristiwa-peristiwa di penghujung tahun 1991, antara lain: penghapusan Pasal ke-6 dari Konstitusi yang menjamin monopoli partai Komunis pada tahun 1990; pengadaan referendum mengenai penyatuan atau pemisahan Uni Soviet pada Mei 1991 yang berujung pada mundurnya Mikhail Gorbachev dari jabatannya dan dibubarkannya Uni Soviet; dan Pemilihan Umum Presiden pertama di Rusia pada tahun 1991 yang dimenangkan oleh Boris Yeltsin (Uhlin, 2006). Terbebasnya Rusia dari rezim komunisme berhasil melenyapkan segala bentuk tekanan terhadap perkembangan organisasi sosial sehingga masyarakat sipil Rusia berhasil bangkit kembali.
Masyarakat Sipil Rusia Pasca-Komunisme
Masyarakat Sipil di Rusia memang memainkan peran penting dalam menjatuhkan rezim komunisme, namun sesudah demokrasi didirikan, aktivitas politik berubah menjadi pertarungan antar-beberapa elit eksekutif dan legislatif. Dari pertarungan tersebut, lahirlah sosok Boris Yeltsin, presiden pertama di Rusia, yang masuk ke arena politik sebagai aktor dengan kekuasaan dan legitimasi yang sangat besar. Akan tetapi, dengan kekuasaannya tersebut, Yeltsin lebih mengedepankan reformasi ekonomi dibandingkan politik, demi menghadapi krisis finansial yang melanda Rusia pasca-komunisme. Dengan demikian, reformasi politik di Rusia hanya bersifat parsial sehingga struktur politik yang ada tidak cukup kondusif untuk mendukung aktivitas masyarakat sipil (Uhlin, 2006). Sarah Henderson (2011) menjelaskan bahwa kondisi masyarakat sipil Rusia di bawah Yeltsin dapat digambarkan sebagai sebuah pembiaran besar-besaran dari negara.Yeltsin memang tidak pernah melarang organisasi sosial melakukan aktivitasnya, namun ia juga tidak pernah membantu atau mempromosikan aktivitas mereka. Yeltsin sama sekali tidak membuat kebijakan-kebijakan untuk mendukung keberadaan masyarakat sipil, seperti yang layaknya dilakukan di Barat. Tidak ada potongan pajak, tidak ada pendataan, dan tidak ada pengawasan bagi organisasi sosial di Rusia. Yang paling parah, tidak ada satu pun mekanisme yang dapat memberikan akses bagi organisasi sosial terhadap lembaga-lembaga institusional di Rusia. Hal ini praktis membatasi kemampuan mereka dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah (Henderson, 2011).
Lemahnya kebijakan domestik terhadap masyarakat sipil berdampak buruk pada perkembangan masyarakat sipil di Rusia, mengingat situasi krisis finansial yang terjadi ketika itu membuat organisasi-organisasi yang ada di Rusia kesulitan mencari dana untuk bertahan hidup. Dari ratusan ribu organisasi sosial yang terdaftar di Rusia pada tahun 1990-an, hanya sedikit yang dapat melakukan aktivitasnya secara reguler. Kebanyakan hanya dapat melakukan aktivitas ketika memiliki dana yang memadai. Aktivitas mereka pun terbatas hanya pada menyediakan jasa nonprofit kepada warga Rusia, terutama warga-warga yang dianggap rentan, seperti kaum difabel, orang-orang dengan keterbelakangan mental, dan lansia. Hanya sedikit organisasi yang mampu melakukan advokasi untuk mempengaruhi agenda publik, opini publik, atau kebijakan di parlemen. Terminologi advokasi sendiri tidak ada di Rusia sehingga hanya organisasi-organisasi yang berkiblat atau didanai oleh Barat-lah yang mampu melakukan aktivitas tersebut (Henderson, 2011).
Hanya sedikit penduduk Rusia yang berminat untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh organisasi sosial, terlebih ketika mereka berpikir bahwa bekerja di organisasi sosial hanya akan membuang-buang waktu dan biaya tanpa mendapat keuntungan. Persepsi ini timbul karena masyarakat Rusia sendiri belum memahami betul terminologi nonprofit yang masih asing bagi warga Rusia. Kebanyakan warga Rusia tidak dapat memahami perbedaan organisasi nonprofit dengan organisasi yang tidak mencari profit. Ditambah lagi, hanya sedikit universitas di Rusia yang mengajarkan program studi manajemen nonprofit, sehingga organisasi-organisasi sosial di Rusia mengalami kesulitan untuk merekrut mahasiswa-mahasiswa berbakat untuk mengelola organisasinya. Dengan kata lain, organisasi-organisasi sosial di Rusia tidak hanya mengalami kesulitan dalam memperoleh sumber dana, namun juga sumber daya manusia (Henderson, 2011).
Donor asing merupakan sumber utama pendanaan aktivitas masyarakat sipil di Rusia pada era Yeltsin. USAID adalah donor yang paling utama. Setelahnya ada donor dari Britania Raya, Uni Eropa, Kanada, negara-negara Skandinavia, PBB, World Bank,George Soros’s Open Society Institute, Ford Foundation, MacArthur Foundation, dan C.S. Mott Foundation. Permasalahannya, donor-donor asing ini juga memperumit kondisi masyarakat sipil di Rusia. Daripada mendengarkan dan membantu aktivitas sebuah organisasi sosial, para donor lebih tertarik untuk menitipkan agenda politiknya agar dilaksanakan oleh organisasi. Ketika sebuah organisasi pembela HAM meminta bantuan USAID untuk menolong orang-orang difabel dan tua renta, USAID justru mendorong agar organisasi tersebut mau menginvestigasi dan menguak kejahatan HAM di era Soviet. Pada akhirnya inisiatif masyarakat sipil di Rusia dikuasai sepenuhnya oleh para donor asing ini (Henderson, 2011). Hal ini kemudian akan berubah, namun menjadi lebih buruk, ketika Vladimir Putin berkuasa di Rusia.
Jika Yeltsin melakukan pembiaran total pada aktivitas masyarakat sipil di Rusia, Putin justru memberikan perhatian yang sangat besar. Tidak seperti Yeltsin, Putin banyak membicarakan mengenai organisasi nonpemerintah dan masyarakat sipil, sampai taraf tertentu, dalam pidatonya. Akan tetapi, terdapat perbedaan signifikan dalam pemahaman Putin mengenai masyarakat sipil jika dibandingkan dengan yang dipahami di Barat. Bagi Putin, masyarakat sipil ada bukan untuk membela kebebasan atau kepentingan-kepentingan publik melainkan untuk menjadi salah satu instrumen negara dalam mewujudkan tujuan nasional. Masyarakat sipil, menurut Putin, harus memiliki jiwa patriot (Henderson, 2011). Dalam pidatonya dengan organisasi pemuda bernama Nashi, Putin menyatakan:
“We need a civil society, but it must be permeated by patriotism, concern for one’s country, and should do things not for money but from the heart, eager to put right those problems that we indeed have and do this. I repeat, not for money but as the heart dictates.”
Patriotisme yang dimaksud oleh Putin adalah semangat untuk memberikan sumbangsih pada kepentingan negara. Hal ini penting, karena menurut Putin, masyarakat sipil dapat menjadi instrumen utama untuk membentuk persatuan Rusia, mengatasi perbedaan di antara kelompok sosial, dan berpotensi besar sebagai mitra negara dalam mencapai kepentingannya. Oleh sebab itu, Putin sangat tidak menghargai organisasi sosial yang melakukan protes dan perlawanan terhadap negara. Terutama, Putin paling membenci organisasi-organisasi sosial yang hanya ada untuk memperoleh suntikan dana asing. Hal tersebut disampaikan dalam beberapa pidatonya mengenai kecurigaannya terhadap intervensi yang dilakukan Barat melalui suntikan dana terhadap organisasi-organisasi di wilayah Rusia. Hal ini, menurutnya, hanya akan mengurangi kemampuan masyarakat sipil dalam melayani kepentingan masyarakat. Melalui isu-isu semacam inilah Putin mengangkat tema kebencian terhadap intervensi asing dalam benak warga Rusia. secara proaktif, Putin berupaya membentuk ulang sektor masyarakat sipil untuk dapat membantu kepentingan negara (Henderson, 2011).
Peristiwa 9/11 pada tahun 2001 menjadi titik awal bagi Putin untuk melancarkan aksinya dalam membentuk ulang masyarakat sipil di Rusia. Bagi seluruh negara di dunia, baik yang demokratis maupun otoriter, peristiwa 9/11 menunjukkan betapa sekumpulan individu yang bersatu di bawah payung ideologi dapat menjadi ancaman yang sangat menakutkan terhadap kedaulatan negara. Putin memandang sentimen tersebut sebagai momen yang tepat untuk semakin memperketat regulasi terhadap organisasi nonpemerintah di Rusia. Langkah pertama yang dilakukannya adalah dengan mengorganisir sebuah pertemuan antara pemerintah Rusia dengan 5,000 aktivis masyarakat sipil untuk membahas isu-isu sosial. Pertemuan tersebut menghasilkan rancangan undang-undang mengenai pembentukan Public Chamber, sebuah instrumen untuk memberikan kesempatan bagi publik untuk memberikan masukan terhadap pemerintah. Masukan tersebut dapat berupa rekomendasi kebijakan, undang-undang, investigasi kecacatan hukum, bahkan sampai menanyakan informasi-informasi dan secara umum melakukan pengawasan terhadap institusi pemerintah. Rancangan Undang-Undang ini kemudian berhasil lolos di parlemen dan diterapkan pada 1 Juli 2005 (Henderson, 2011).
Setelah pertemuan yang berhasil meningkatkan kepercayaan publik pada pemerintah tersebut, Putin kemudian memperkenalkan serangkaian kebijakan-kebijakan yang berdampak besar pada keberlangsungan organisasi nonpemerintah di Rusia. Pada tahun 2006, Duma (Parlemen Rusia) mengeluarkan undang-undang yang memperketat syarat operasional organisasi nonpemerintah. Undang-undang tersebut memperkenalkan persyaratan-persyatan baru bagi pembentukan organisasi publik, organisasi nonprofit, dan organisasi nonpemerintah asing. Aturan baru ini membuat negara dapat menetapkan organisasi mana saja yang dapat diterima dan tidak diterima oleh negara. Sebagai contoh, organisasi asing dapat ditolak pembentukannya jika ditemukan “visi dan misinya berpotensi membahayakan kedaulatan, independensi, integritas teritori, persatuan nasional, warisan kebudayaan, karakter, dan kepentingan nasional dari Federasi Rusia (Henderson, 2011).”
Lebih lanjut lagi, donor asing dapat dilarang memberikan pendanaan untuk tujuan “melindungi basis sistem konstitusional, moralitas, kesehatan, hak dan kepentingan orang lain, dan mempertahankan situasi keamanan negara.” Terakhir, undang-undang tersebut juga meningkatkan jumlah dokumen yang harus dikumpulkan oleh organisasi sosial kepada negara, serta mengizinkan pemerintah mengirim perwakilannya dalam pertemuan organisasi atau acara lainnya. Secara singkat, undang-undang tersebut meningkatkan landasan bagi negara untuk menolak atau membubarkan organisasi dan meningkatkan pengawasan negara baik terhadap organisasi domestik maupun asing. Kemudian untuk menandingi pendanaan asing yang masih terus mengalir, Putin juga menyediakan dukungan finansialnya sendiri kepada organisasi-organisasi di Rusia. Pada tahun 2006, pemerintahan federal memerintahkan Public Chamber untuk mendistribusikan 500 juta ruble (sekitar $15 juta) kepada organisasi nonpemerintah. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi di tahun 2010, Duma membatasi pendanaan hanya pada organisasi-organisasi tertentu yang berorientasi pada kegiatan sosial, seperti kegiatan amal, lingkungan, dan pelestarian sejarah budaya (Henderson, 2011).
Banyak organisasi nonpemerintah yang dibubarkan sebagai akibat kebijakan ini. Banyak juga yang bertahan, namun hanya di atas kertas, dan tidak mampu beroperasi. Banyak calon organisasi yang gagal mendaftarkan dirinya dan banyak juga yang masih dibingungkan oleh banyaknya persyaratan yang ambigu dan tidak masuk akal dari pemerintah. Jumlah pasti dari organisasi yang dibubarkan tidak dapat ditentukan karena mereka benar-benar “dihilangkan” dari segala bentuk catatan pemerintah. Survey yang dilakukan di dua puluh wilayah Rusia pada Desember 2007 menemukan bahwa dari seluruh organisasi sosial yang ada di Rusia, hanya 32% yang telah menyerahkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan sebagai persyaratan berdirinya organisasi. Melalui kebijakan-kebijakan tersebut, Putin berhasil membatasi pluralisme dalam organisasi sosial dan secara efektif membentuk masyarakat sipil sesuai kepentingannya (Henderson, 2011).
Daftar Pustaka
Anders Uhlin. 2006. Post-Soviet Civil Society: Democratization in Russia and the Baltic States. Routledge.
Charles Buxton dan Evgenia Konovalova. “Russian Civil Society: History, Today, and Future Prospects.” INTRAC (19 Maret 2013), diakses dari http://www.intrac.org/resources.php?action=resource&id=765.
Grzegorz Ekiert dan Roberto Foa. 2011. “Civil Society Weakness in Post-Communist Europe: A Preliminary Assessment.” Carlo Alberto Notebooks No. 198.
Mark Adonis. “Vladimir Putin’s Poll Numbers Still Aren’t Declining.” Forbes (26 Juli 2013), diakses dari http://www.forbes.com/sites/markadomanis/2013/07/26/vladimir-putins-poll-numbers-still-arent-declining/.
“Russia, Protest Timeline.” Map Report (8 Maret 2015), diakses dari http://www.mapreport.com/citysubtopics/russia-p-r.html.
Sarah Henderso. 2011. “Civil Society in Russia: State Society Relations in the Post-Yeltsin Era,” NCEEER Working Paper.
Comments
Post a Comment