Pengaruh Ideologi Konfusianisme terhadap Hubungan Diplomatik Vietnam – China Kontemporer
Dalam kunjungan Presiden China, Li Keqiang, ke Vietnam beberapa hari yang lalu, dikeluarkan pernyataan yang didukung oleh Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Tan Dung, bahwa kedua negara bersepakat akan meningkatkan hubungan kerjasama dalam segala bidang. Selain itu, kedua kepala negara juga menyatakan bahwa sengketa perbatasan laut yang ada saat ini harus diselesaikan dengan cara damai dan bahwa peningkatan kerjasama ini akan mengarah pada terciptanya stabilitas regional. Sengketa perbatasan laut tersebut mengacu pada konflik Laut China Selatan yang sempat menjadi panas semenjak adanya kontak fisik antara kapal China dengan kapal Vietnam. Vietnam sampai saat ini menolak untuk menyebut wilayah perairan tersebut sebagai Laut China Selatan, namun bersikukuh menyebutnya sebagai Laut Timur.
Pernyataan terkait peningkatan kerjasama dalam segala bidang termasuk bidang keamanan yang dikeluarkan oleh China dan Vietnam baru-baru ini menimbulkan sebuah kontradiksi. Di satu sisi Vietnam menunjukkan sebuah kebijakan diplomasi yang konfrontatif dengan menolak sama sekali klaim China atas Laut China Selatan beserta nama wilayah itu sendiri. Namun di sisi lain, Vietnam juga menerima kehadiran China, mengizinkan produk-produk China untuk masuk ke pasar Vietnam, dan membiarkan pengusaha China untuk berinvestasi di Vietnam. Kontradiksi dalam hubungan diplomatik antara Vietnam dan China ini menimbulkan sebuah pertanyaan: “Apakah faktor yang mempengaruhi kontradiksi dalam hubungan diplomatik Vietnam dengan China?”
Tulisan ini akan menjelaskan bahwa faktor ideologis memegang peranan penting dalam membentuk kontradiksi yang terjadi dalam hubungan diplomatik antara Vietnam dengan China. Untuk membuktikan argumen tersebut, pembahasan dalam tulisan ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, tulisan ini akan menjelaskan mengenai Konfusianisme sebagai akar ideologi Vietnam yang terbentuk berdasarkan pengalaman panjang aneksasi kekaisaran China atas Vietnam dan pengalaman Vietnam menerapkan sistem ekonomi sosialis-leninis paska-kemerdekaannya. Bagian kedua akan menjelaskan relevansi ideologi tersebut dalam kontradiksi yang terlihat pada hubungan China dengan Vietnam hari ini.
Konfusianisme sebagai Akar Ideologi Vietnam
Pada masa 200 SM, Kekaisaran China merupakan entitas politik terbesar di dunia yang selalu berusaha menganeksasi kerajaan-kerajaan lainnya untuk menambah wilayah kekuasaan. Wilayah Vietnam yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Au Lac berhasil menarik perhatian Kekaisaran China karena kemampuannya dalam memproduksi beras dengan jumlah besar. Kekaisaran China pun menganeksasinya dan mengubah namanya menjadi Nanyue. Peristiwa yang terjadi pada masa 111 SM di bawah kekuasaan Dinasti Han ini merupakan awal dari kolonialisasi Kekaisaran China di Vietnam.
Di bawah kekuasaan Kekaisaran China, terjadi berbagai proses asimilasi dalam hal ideologi, keorganisasian, pendidikan, dan ras. Birokrasi ala Konfusianisme pun digunakan dan sekolah-sekolah didirikan agar orang-orang dapat belajar untuk menulis tulisan China dan membaca karya sastra China. Pernikahan yang terjadi antara orang-orang China dan Vietnam mengakibatkan percampuran ras di antara mereka. Proses asimilasi ini terjadi selama seribu tahun lamanya tanpa ada perlawanan dari orang-orang Vietnam sehingga sangat berpengaruh pada kesadaran mereka akan identitasnya.
Asimilasi kebudayaan yang berlangsung selama seribu tahun lamanya mengakibatkan kemiripan di antara orang-orang Vietnam, mulai dari penampilan fisik, bahasa yang digunakan, kebudayaan, sampai kepercayaan. Berdasarkan kemiripan inilah, orang-orang Vietnam dapat mengidentifikasikan bangsanya dan membedakannya dari bangsa lain. Konfusianisme pun menjadi ideologi bangsa Vietnam yang benar-benar mengakar kuat pada bangsa tersebut selama ribuan tahun sampai kolonialisme datang.
Ideologi Konfusianisme Vietnam mengalami kemunduran semenjak Perancis datang untuk mengkolonialisasi negara tersebut. Kemerdekaan Vietnam pada tahun 1945 pun sama sekali tidak membantu mengembalikan kejayaan ideologi Konfusianisme Vietnam karena Ho Chi Minh memutuskan untuk menerapkan sistem ekonomi komunis-leninis yang praktis mengubah seluruh kebudayaan luhur Vietnam menjadi kebudayaan Komunis. Kedua peristiwa ini membuat ideologi Konfusianisme Vietnam terkubur selama beberapa saat, namun tidak sepenuhnya mati.
Pada tahun 1980-an, Vietnam dilanda permasalahan ekonomi yang amat besar. Walaupun harga barang tetap murah berkat adanya kendali harga yang diberlakukan pemerintah, inflasi tahunan Vietnam mencapai 700%. Akibatnya nilai ekpsor Vietnam menjadi hanya setengah dari nilai barang yang diimpor Vietnam. Berbagai lembaga pemerintahan harus mengalami pengurangan dana untuk tetap mempertahankan biaya militer Vietnam yang tinggi. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya investasi asing di Vietnam. Negara-negara yang seharusnya menjadi mitra Vietnam, seperti Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur, menolak untuk memberikan bantuan pada Vietnam dikarenakan kegagalan Vietnam meyakinkan mereka terkait keuntungan yang akan didapat dari berinvestasi di Vietnam.
Menyikapi permasalahan ekonomi yang amat parah ini, Kongres Partai Keenam di tahun 1986 meluncurkan kebijakan Doi Moi yang secara harafiah berarti renovasi. Renovasi yang dimaksud dalam Doi Moi adalah renovasi sistem ekonomi Vietnam dari yang sebelumnya mengacu pada ideologi komunis-leninis menjadi mengacu pada ideologi neoliberal dengan pasar bebasnya. Dengan kebijakan ini, sistem manajemen birokrasi terpusat yang berdasarkan pada subsidi negara pun dihapus, digantikan dengan sistem ekonomi yang bersifat multi-sektor, berorientasi pasar, dan membuka kesempatan bagi private sector untuk bersaing dengan negara dalam sektor-sektor yang tidak strategis. Dengan demikian, peran negara di dalam pasar semakin berkurang, harga barang tidak lagi ditentukan oleh pemerintah, dan ekonomi pasar dapat beroperasi di Vietnam. Langkah yang dibuat pemerintah Vietnam selanjutnya adalah memperbaharui hak kekayaan intelektual pada tahun 1988, sehingga private sector dapat menjalankan usahanya dengan mendapat jaminan perlindungan dari negara. Setelahnya, reformasi demi reformasi terus dijalankan oleh pemerintah Vietnam yang membuat perekonomian negara tersebut semakin jauh dari perekonomian komunis-leninis yang dibangun oleh Ho Chi Minh.
Pada perkembangan selanjutnya, ekonomi Vietnam bertumbuh dengan cepat dan stabil. Pada Abad ke-21 ini, Vietnam termasuk ke dalam negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Hal ini pun mengubah kehidupan warga Vietnam dari yang sebelumnya sulit untuk memperoleh kebutuhan dasar menjadi sanggup membeli kebutuhan sekunder. Kondisi ini menyebabkan bangkitnya ideologi Konfusianisme yang lama terkubur akibat kolonialisme Perancis dan penerapan sistem ekonomi komunis-leninis. Pham Duy Nghia menjelaskan bahwa semakin kaya suatu warga, semakin mereka menjadi reflektif terhadap akar sejarah mereka sendiri. Nilai-nilai Konfusianisme pun mulai bangkit di Vietnam dan segera melakukan perlawanan terhadap nilai-nilai komunis-leninis yang dianggap sudah outdated.
Dengan demikian, walaupun komunisme-leninisme masih menjadi ideologi resmi negara Vietnam, namun masyarakat Vietnam sudah tidak mempercayainya lagi akibat kegagalan komunisme-leninisme dalam menciptakan kesejahteraan dan tindakan mereka menghancurkan budaya-budaya luhur Vietnam. Kebangkitan Konfusianisme dan kejatuhan komunisme-leninisme di Vietnam sesungguhnya sudah pernah diprediksi oleh Paul Mus pada tahun 1952 melalui tulisannya “Sociologie d’une Guerre” yang menjelaskan bahwa komunisme dan Konfusianisme sebetulnya hanya memiliki sedikit kesamaan dan banyak memiliki kontradiksi. Paul Mus dalam tulisan tersebut memprediksikan bahwa Konfusianisme akan kembali bangkit lagi seiring dengan jatuhnya komunisme. Oleh sebab itu, Konfusianisme memang selalu menjadi akar ideologi bangsa Vietnam.
Relevansi Ideologi Konfusianisme terhadap Kontradiksi Hubungan Diplomatik Vietnam-China
Diplomasi adalah instrumen dari politik luar negeri suatu negara. Oleh sebab itu, dengan siapa sebuah negara akan berdiplomasi, tujuan apa yang ingin diraih dari diplomasi tersebut, dan bagaimana cara sebuah negara berdiplomasi akan bergantung dari rumusan politik luar negeri negara tersebut. Ideologi memiliki peranan penting dalam perumusan politik luar negeri. Sebab walaupun politik luar negeri dirilis oleh negara, aktor yang merumuskannya adalah manusia yang bertindak berdasarkan ideologinya. Dalam hal ini, Ideologi adalah seperangkat nilai yang mempengaruhi penilaian suatu entitas mengenai bagaimana dunia ini seharusnya bekerja. Ideologi akan menentukan mana yang benar dan mana yang salah atau mana yang kawan dan mana yang lawan.
Dengan mengetahui fakta bahwa Konfusianisme telah kembali menjadi ideologi yang dianut oleh Vietnam, maka kita dapat menjelaskan kontradiksi yang terjadi dalam hubungan diplomatik antara China dan Vietnam. Secara singkat tadi dijelaskan bahwa kontradiksi dalam hubungan diplomatik ini terjadi karena di satu sisi Vietnam bersikap konfrontatif terhadap China sementara di sisi lain Vietnam bersikap kooperatif. Vietnam hanya bersikap konfrontatif dalam menyikapi isu sengketa perbatasan di Laut China Selatan yang mereka menolak memanggilnya demikian dan lebih memilih memanggilnya Laut Timur. Sementara Vietnam bersikap kooperatif dalam menyikapi kerjasama dagang terhadap China.
Konfusianisme memegang peranan penting dalam membentuk politik luar negeri Vietnam. Semua pemangku jabatan di Partai Komunis Vietnam, kendati bersumpah menjadi komunis, tetap memahami nilai-nilai Konfusianisme yang sudah mengakar dalam diri mereka selama ribuan tahun. Nilai-nilai Konfusianisme ini menjadi penting dalam pertimbangan pemangku jabatan di Vietnam karena melihat kesuksesan negara-negara yang menerapkan ekonomi Konfusianis, seperti Korea Selatan, China, Taiwan, dan Singapura. Nilai Konfusianisme juga penting bagi Vietnam dalam konteks paskakomunisme dimana umumnya negara yang mengakhiri sistem komunismenya akan menerapkan sistem liberal Barat secara penuh di dalam negaranya. Untuk menghindari pengaruh buruk dari nilai-nilai Barat, seperti materialisme, individualisme, dan libertarian di dalam kebijakan-kebijakan Vietnam, maka nilai Konfusianisme menjadi penting sebab nilai-nilai Konfusianisme terbukti dapat menjadi antitesis bagi nilai-nilai Barat tadi dengan lebih mengedepankan moralitas, hirarki, dan kolektivitas.
Pada perkembangannya, politik luar negeri Vietnam menjadi berporos pada negara-negara yang juga menganut Konfusianisme sebagai ideologinya. Hal ini sangat lumrah terjadi dimana sebuah negara membuat poros hubungan diplomatik dengan negara yang sepemikiran dengannya, seperti Indonesia di masa Soekarno yang membuat poros hubungan diplomatik dengan China dan Sovyet yang sama-sama berideologi sosialis. Proses ini terjadi secara alamiah di antara kepala negara-negara yang memiliki kesamaan ideologi tersebut. Kesamaan ideologi mengakibatkan kesamaan pemikiran dan kesamaan tujuan, sehingga proses diplomasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan.
Dalam kasus Vietnam, mereka memang bersikap konfrontatif menyikapi sengketa perbatasan dengan China, namun hal ini adalah wajar mengingat masalah perbatasan adalah high political issue yang menyangkut keberlangsungan hidup suatu negara. Vietnam tentu akan bersikap konfrontatif terkait high political issue yang menyangkut keberlangsungannya, namun mereka tidak dapat melakukan hal yang sama terhadap low political issue seperti kerjasama dagang. Dalam low political issue, hubungan harus dijalin dengan cara damai, seperti dengan pertemuan, jamuan, atau kunjungan. Ketika terjadi hubungan secara damai, maka otomatis akan terjalin interaksi yang intim antara kedua kepala negara Vietnam dan China, seperti yang terjadi dalam kunjungan Li Keqiang ke Vietnam beberapa hari lalu. Ketika terjadi interaksi intim, maka kedua kepala negara tidak akan dapat menghindari interaksi yang berbasiskan pada ideologi. Ketika dua orang dengan isi kepala yang sama berinteraksi, maka akan tercipta kondisi yang nyaman, sehingga kesepakatan pun dapat dibuat dengan mudah.
Dengan adanya interaksi yang lebih intim antara kepala negara Vietnam dengan China, maka sikap konfrontatif Vietnam terhadap China pun dapat dibendung. Hal ini terbukti dari fakta bahwa Vietnam dan China juga bersepakat untuk meningkatkan kerjasama di bidang keamanan demi menjaga stabilitas regional. Kesepakatan bekerjasama dalam masalah yang dipersengketakan juga merupakan bentuk perwujudan ideologi Konfusianisme. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa Konfusianisme memiliki peran yang sangat penting bagi perumusan politik luar negeri Vietnam dan dalam menciptakan kontradiksi terkait hubungan diplomatik Vietnam dengan China
Kesimpulan
Tulisan ini telah menjelaskan dua hal. Pertama, Konfusianisme adalah akar dari ideologi negara Vietnam yang tetap menjadi acuan bagi pemangku kebijakan di negara tersebut walaupun kolonialisme Perancis dan penerapan sistem komunisme-leninisme sempat berusaha untuk mengubur nilai tersebut. Kedua, Konfusianisme memiliki peranan penting dalam membentuk politik luar negeri Vietnam. Hal ini menyebabkan hubungan diplomatik Vietnam lebih berporos pada negara-negara yang juga berideologi Konfusianisme.
Ketika mengetahui dua hal tadi, maka kita akan dapat memahami hubungan diplomatik Vietnam dengan China yang terlihat sebagai sebuah kontradiksi dimana di satu sisi Vietnam bersikap konfrontatif, sementara di sisi lain Vietnam bersikap kooperatif. Sikap konfrontatif Vietnam muncul karena permasalahan yang dibahas adalah isu sengketa perbatasan yang merupakan high political issue yang membuat kedua kepala negara sulit untuk bertemu dan melakukan interaksi secara intim. Sikap kooperatif Vietnam muncul karena membahas masalah kerjasama dagang yang merupakan low political issue yang memungkinkan kedua kepala negara dapat bertemu dan melakukan interaksi yang intim. Interaksi yang intim antara kepala negara pada low political issue juga dapat mempengaruhi isu high political issue. Dalam kasus Vietnam, mereka berhasil membuat kesepakatan untuk meningkatkan kerjasama keamanan dengan China yang tentunya akan mengurangi ketegangan dalam hubungan Vietnam dengan China sebelumnya. Jika perkembangan hal ini dapat terjaga, maka bukan mustahil Vietnam akan menghentikan sikap konfrontatifnya terhadap China dan China pun juga akan menghentikan sikap ekspansionisnya di Laut China Selatan.
Comments
Post a Comment