Konfrontasi (Soekarno) Indonesia dengan Malaysia
Di bawah bendera revolusi, tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Rakyat boleh kelaparan, namun mereka tidak boleh berhenti berjuang. Terus berjuang, hingga tiba hari dimana penjajahan atas manusia telah sepenuhnya dimusnahkan dari muka bumi. Begitulah kiranya retorika yang kerap digemakan Soekarno, sang presiden seumur hidup, penyambung lidah rakyat, dan pemimpin besar revolusi Indonesia. Inilah periode demokrasi terpimpin, periode dimana kesejahteraan rakyat ditukar dengan janji-janji kemegahan sebuah revolusi yang mungkin hanya dapat dipahami oleh Soekarno sendiri.
Periode demokrasi terpimpin dimulai pada tahun 1959 ketika Soekarno mengeluarkan dekrit untuk mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945, membubarkan Konstituante, dan mendirikan pemerintahan otoriter yang menjadikan ideologinya sebagai panglima terdepan. Tidak terhitung banyaknya tindakan opresif yang dilakukan Soekarno untuk mempertahankan kekuasaannya. Media yang terlalu kritis, diberangus. Tokoh-tokoh yang tidak sependapat dengannya, dipenjarakan. Partai-partai mereka, dibubarkan. Terbutakan oleh rasa cinta yang mendalam terhadap sang proklamator, rakyat Indonesia membiarkan kebebasan mereka direnggut untuk mewujudkan revolusi yang belum tentu mereka pahami.
Tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti di dalam negeri, Soekarno mendapatkan keleluasaan untuk membuat kebijakan luar negeri Indonesia yang sesuai dengan ideologinya: perlawanan terhadap neo-imperialisme. Target pertama dari perlawanan ini adalah Belanda, yang dianggap mengganggu stabilitas Indonesia, dengan masih mempertahankan Irian Barat sebagai koloninya. “Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda!” Teriak Soekarno dalam semboyan yang terkenal dengan sebutan Tri Komando Rakyat. Soekarno kemudian menghimpun pasukan dari seantero Nusantara, termasuk dari wilayah Malaya dan Singapura. Beruntung, peperangan tidak sampai terjadi, dan Irian Barat berhasil dikembalikan ke Indonesia secara damai melalui Perjanjian New York (Sutter, 1996).
Menjelang pengembalian Irian Barat secara resmi ke Indonesia pada tahun 1962, Tentara Nasional Indonesia (TNI) berhasil melumpuhkan pergerakan separatis yang diorganisir oleh Darul Islam dan menangkap pimpinan utamanya, S. M. Kartusuwirjo. Hal ini menciptakan situasi yang belum pernah terjadi semenjak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dimana keamanan sipil terwujud di seluruh penjuru negeri (Feith, 1964). Dengan berakhirnya perjuangan merebut Irian Barat beberapa bulan sesudahnya, Soekarno pun kehabisan retorika patriotik yang dapat ia gunakan untuk menyatukan masyarakat dan mengalihkan mereka dari permasalahan ekonomi domestik yang semakin meradang. Ia pun harus mencari isu baru untuk diangkat dalam retorika revolusinya. Beruntung, Soekarno tidak perlu mencari jauh-jauh (Sutter, 1996).
“GANYANG Malaysia!” menjadi semboyan baru yang dikemukakan Soekarno sebagai bagian dari kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Federasi Malaysia. Inilah permulaan dari kontroversi yang menyeret Indonesia ke panggung terdepan dari Perang Dingin. Konflik yang semula hanya berlangsung antara Indonesia dan Malaysia pada akhirnya ikut melibatkan pemain-pemain utama dari Blok Barat dan Timur (Sutter, 1996). Dengan mewakili semangat revolusi dan keadilan sosial, Indonesia akan ‘mengganyang’ Malaysia yang merupakan wujud dari persistensi neo-imperialisme untuk menghancurkan persatuan Indonesia, begitulah kiranya bunyi retorika terbaru dari Soekarno. Rakyat yang tidak tahu apa-apa kembali terbius oleh kepiawaian Soekarno berpidato dan terpaksa terlibat dalam perang yang tidak memberikan keuntungan sedikitpun bagi mereka.
Sikap permusuhan terbuka yang ditunjukkan Indonesia terhadap Malaysia terbilang mengejutkan. Sebab pada tahun 1961, Indonesia telah menandatangani Perjanjian Persahabatan dengan Malaya. Bahkan ketika proposal pendirian Federasi Malaysia yang mellingkupi Malaya, Singapura, Sarawak, Borneo Utara, dan Brunei berhasil diwujudkan pada tahun 1963, Indonesia sama sekali tidak menunjukkan sikap permusuhan. Menteri Luar Negeri Subandrio bahkan sempat mengungkapkan harapannya untuk kemajuan Federasi Malaysia (Sutter, 1996). Lantas apa yang menyebabkan perubahan sikap dari pemerintah Indonesia terhadap Malaysia? Bagaimana kebijakan konfrontasi ini mempengaruhi posisi Indonesia dalam politik internasional? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang berusaha dijawab dalam tulisan ini.
Dampak Internasional
Para Pemimpin Gerakan Nonblok |
Berdasarkan pandangan tersebut, Soekarno memprakarsai Gerakan Nonblok yang merepresentasikan negara-negara yang tidak ingin terlibat dalam persaingan dua raksasa dunia saat itu: Amerika Serikat dan Uni Soviet (Feith, 1964). Gerakan ini dapat dikatakan netral sehingga tidak mengundang perhatian berlebihan dari kedua raksasa tersebut.
Namun pada tahun 1961, Soekarno mengembangkan diskursus bahwa perjuangan di atas dunia diwarnai oleh pertarungan new emerging forces, yang mewakili kebebasan dan keadilan, melawan old established force, yang mewakili imperialisme dan kapitalisme. Pernyataan ini merupakan deklarasi bahwa musuh utama Indonesia adalah imperialisme Barat sementara negara-negara Komunis beserta Asia-Afrika-Amerika Latin merupakan sekutu Indonesia dalam melawan musuh tersebut (Feith, 1964). Ketika ide ini diterima oleh Gerakan Nonblok pada tahun 1963, terjadi pergeseran keseimbangan signifikan dalam percaturan Perang Dingin dimana puluhan negara-negara Nonblok bersekutu dengan Blok Timur untuk melawan Blok Barat. Indonesia tidak lagi dipandang sebagai negara netral dalam Perang Dingin melainkan ancaman nyata bagi Blok Barat.
Kebijakan konfrontasi dengan Malaysia harus dipahami dalam bingkai pergeseran situasi politik Perang Dingin di atas. Dalam hal ini, ‘Ganyang Malaysia’ merupakan wujud nyata dari perlawanan Soekarno, sebagai pemimpin new emerging forces (NEFO), terhadap old established force (OLDEFO). Langkah pertama dari perlawanan ini diwujudkan dengan mendukung pemberontakan Brunei terhadap Federasi Malaysia. Soekarno mengidentifikasi Brunei sebagai bagian dari NEFO sehingga ia mulai mengkampanyekan “Perjuangan Kemerdekaan warga Brunei untuk mendirikan Negara Kesatuan Borneo Utara.” Melalui diplomasi Subandrio, Soekarno pun berhasil membuat China mendukung perang kemerdekaan Brunei. Hal ini berujung pada kunjungan Liu Shao-Chi, ketua Partai Komunis China, ke Indonesia yang kemudian mendeklarasikan bahwa Indonesia dan China merupakan ‘comrades in arms.’ Ia dan Soekarno kemudian mendeklarasikan dukungan mereka terhadap perjuangan kemerdekaan melawan Malaysia dan neo-kolonialisme.
Soekarno dan Liu Shao-Chi |
Dengan adanya dukungan dari China, Soekarno kemudian menghimpun gerakan massa untuk melakukan demonstrasi terhadap Malaysia dan Inggris yang mendukungnya. Hal ini berujung pada pembakaran Kedutaan Besar Inggris dan penghentian perdagangan dengan Malaysia. Serangan langsung Indonesia kepada Malaysia pun dilancarkan, dimulai dengan serangan mendadak pada 12 April 1963 di wilayah perbatasan Sarawak yang terus berlanjut selama tiga tahun sesudahnya. Serangan-serangan ini berhasil dilumpuhkan berkat bantuan Inggris dan Australia yang memperkuat pertahanan di perbatasan Malaysia, namun sejumlah korban jiwa telah berjatuhan. Amerika Serikat yang geram kemudian mencabut bantuan terhadap Indonesia yang sudah disetujui pada tahun 1963. Soekarno tidak bergeming. “GO TO HELL with your aid!” teriak Soekarno dengan lantang. Isu stabilisasi ekonomi pun menghilang dengan sendirinya, digantikan oleh ‘Ganyang Malaysia,’ NEFO, dan ‘Amerika kita seterika, Inggris kita linggis.’
Kendati tidak berhasil menunjukkan hasil yang berarti dalam ‘mengganyang Malaysia,’ pemerintahan Soekarno terus menjalin hubungan yang erat dengan Peking. Hal ini menjadi mungkin berkat dukungan PKI yang melakukan konsolidasi langsung dengan Peking dan sejumlah negara di Dunia Komunis. China sendiri memiliki kepentingan untuk mendirikan negara yang mendukung pemerintahan komunis di wilayah Malaya. Pada saat itu, China telah memiliki aset rahasia di Sarawak dalam bentuk organisasi pemuda bernama Sarawak Advanced Youth Association yang di baliknya merupakan Organisasi Komunis Bawah Tanah. Organisasi ini telah mengorganisir warga-warga keturunan China di Sarawak untuk menyebarkan pengaruh komunis secara diam-diam di Malaya. Tawaran Soekarno untuk mendukung kebijakan konfrontasinya menjadi sebuah kesempatan emas yang tak dapat dilewatkan oleh China untuk mewujudkan kepentingannya.
Ketika upaya pembebasan Brunei dan Malaysia mengalami kegagalan, China melalui medianya menyatakan komitmennya untuk tetap mendukung upaya Indonesia dalam melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Sejumlah pembicaraan transaksional juga telah berlangsung antara Indonesia dan China untuk membuktikan komitmen tersebut. Pada titik ini, kepentingan Soekarno, PKI, dan China telah bersilangan dalam empat poin: (a) penjatuhan citra Inggris Raya dan Amerika Serikat melalui kampanye agitasi dengan slogan-slogan, seperti ‘neo-kolonialis’ dan ‘old established forces’ agar mereka menarik mundur pasukannya dari Asia Tenggara; (b) memecah belah Malaysia dan mengganti pemerintahannya dengan rezim ‘anti-imperialis’; (c)) melenyapkan kekuatan-kekuatan ‘anti-komunis’ dan ‘anti-Soekarnois’ di Indonesia; dan (d) membentuk poros Peking-Hanoi-Jakarta di Asia Tenggara.
Melalui kebijakan konfrontasi dengan Malaysia, Soekarno dapat dikatakan berhasil menjalin hubungan strategis dengan salah satu pemimpin Blok Timur dan memantapkan posisinya sebagai pemimpin perlawanan NEFO terhadap OLDEFO. Inilah kepentingan Soekarno yang berusaha ia wujudkan di balik semboyan ‘Ganyang Malaysia!’ yang nyaring ia bunyikan. Pertanyaannya, apakah hal tersebut juga merupakan bagian dari kepentingan nasional Indonesia ataukah hanya kepentingan Soekarno seorang?
Comments
Post a Comment