Mengapa Paus Francis Tidak Begitu Bijak: Hubungan Kapitalisme-Agama dan Implikasinya



Pada tanggal 17 Mei 2013, sebuah berita yang cukup mengejutkan datang dari tanah suci umat Katolik, Vatikan. Paus Francis yang baru tiga bulan diangkat sebagai pemimpin umat Katolik sedunia, menggantikan Paus Benedict XVI yang mengundurkan diri, mengeluarkan pernyataan yang mengharamkan pemujaan terhadap uang (cult of money). Apa yang dimaksud oleh Paus Francis sebagai cult of money tersebut ternyata adalah sistem ekonomi global yang mendominasi dunia saat ini. Menurut Paus, sistem ekonomi global hari telah berkembang menjadi sebuah tirani yang menyebabkan orang kaya semakin kaya sementara orang miskin semakin miskin. Manusia tereduksi menjadi sekedar konsumer – lebih buruk lagi, menjadi sebuah komoditas. Etika dan nilai-nilai Ketuhanan pun terlupakan karena manusia lebih mengutamakan pemujaan terhadap uang. Walaupun Paus Francis tidak menyebutkan secara jelas sistem ekonomi mana yang ia maksud, namun media internasional sepakat bahwa sistem ekonomi yang dimaksud oleh Paus Francis adalah sistem kapitalisme. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pemimpin umat katolik sedunia ini baru saja melakukan serangan terhadap sistem kapitalisme.

Tulisan ini bukanlah bermaksud untuk mengkonfirmasi kebenaran pidato Paus Francis. Bukan juga bermaksud untuk mengkritisi pidato tersebut dengan mengatakan bahwa Paus Francis belum menyerang esensi utama dari sistem kapitalisme. Tulisan ini justru ingin menunjukkan bahwa kritik-kritik yang disampaikan oleh Paus Francis terhadap sistem kapitalisme sudah tepat dan pantas untuk diapresiasi. Namun begitu, satu hal yang ingin penulis sampaikan di sini adalah bahwa hal tersebut dilakukan masih di dalam koridor sistem kapitalisme. Dalam artian bahwa benar Paus telah menyerang sistem kapitalisme, namun serangan tersebut, jika diletakkan dalam sketsa sistem kapitalisme global kontemporer, pada akhirnya akan menguntungkan sistem kapitalisme itu sendiri. Dengan demikian, serangan Paus Francis terhadap sistem kapitalisme pun menjadi sebuah keputusan yang tidak bijak.


Tulisan ini terbagi menjadi tiga bagian yang seluruhnya ditujukan untuk membuktikan argumen bahwa serangan Paus Francis terhadap sistem kapitalisme pada akhirnya akan menguntungkan sistem kapitalisme dan Vatikan itu sendiri. Pada bagian pertama, penulis akan menjelaskan gambaran umum Vatikan untuk dapat mengetahui seberapa sigifikan dampak yang dapat diakibatkan dari pernyataan seorang Paus terhadap dunia. Hal ini penting untuk dapat mengetahui hubungan agama dengan sistem kapitalisme yang kini telah berada pada tataran global.

Pada bagian kedua, penulis akan melakukan analisis diskursus terhadap teks pidato Paus Francis. Analisis akan difokuskan untuk menemukan nilai apa yang ingin diinklusikan dan diekslusikan oleh Paus Francis terkait praktek ekonomi pasar hari ini. Kemudian, analisis akan dilanjutkan untuk menemukan alasan mengapa nilai tersebut diekslusikan berikut caranya. Hasil analisis tersebut akan menghantarkan kita pada kenyataan bahwa terdapat hubungan yang saling menguntungkan di antara agama dan sistem kapitalisme. Di sini perlu ditekankan bahwa pidato Paus Francis hanya akan berfungsi sebagai apa yang disebut Hegel sebagai “perantara yang hilang” (vanishing mediator); sebuah perantara yang bertugas, dan hanya bertugas, untuk menghantarkan kita pada suatu telos (tujuan akhir), setelah itu ia tidak diperlukan (Polimpung, Sitopu, dan Mardyani, 2013). Telos yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hubungan antara kapitalisme dan agama yang akan dijelaskan secara ekstensif di bagian selanjutnya.

Pada bagian ketiga, penulis akan mencoba untuk meletakkan serangan Paus Francis dalam konteks sistem kapitalisme global kontemporer. Untuk dapat memahami hubungan agama dalam sistem kapitalisme, sebelumnya akan diperlukan pemahaman terhadap kapitalisme itu sendiri, bagaimana kapitalisme berkembang, dan permasalahan-permasalahan yang menyertai kapitalisme di setiap perkembangannya. Penulis akan menunjukkan bagaimana serangan Paus Francis merupakan jawaban bagi permasalahan krusial yang dialami oleh sistem kapitalisme global kontemporer yang malah akan memperkuat sistem kapitalisme itu sendiri..

Gambaran Umum Vatikan

Vatikan adalah sebuah negara sekaligus sebuah organisasi religius. Sebagai negara, Vatikan hanya memerintah sebuah wilayah kecil di tengah-tengah kota Roma, ibukota Itali. Namun sebagai sebuah organisasi religius, Vatikan memerintah sebuah kesatuan massa penganut Katolik yang berjumlah 1.2 milyar orang melalui gereja-gereja Katolik yang berada hampir di seluruh negara di dunia. Sebanyak 40% penganut Katolik berada di Amerika Latin, 23% berada di Eropa, dan 15% berada di Afrika. Walaupun umumnya para penganut katolik berada di posisi minoritas dalam sebuah masyarakat, namun mereka memiliki kepatuhan yang luar biasa terhadap perintah dari gereja. Dengan kata lain, Vatikan melalui perantara agama Katolik mampu memiliki pengaruh terhadap suasana politik di seluruh dunia (Manhattan, 1949).

Menurut Avro Manhattan (1949), Vatikan merupakan negara yang sering melakukan intervensi terhadap isu sosial-politik yang terjadi di tingkat internasional. Mereka tidak hanya meminta penganut agama Katolik untuk mengikuti nasehat religius Paus, namun juga meminta mereka untuk mengikuti nasehat Paus terkait permasalahan sosial dan politik. Vatikan selalu memiliki teori tersendiri untuk menjelaskan mengapa dunia berdiri seperti sekarang ini; mengapa masyarakat terus menerus diguncang oleh krisis sosial dan politik. Berdasarkan teori ini, Vatikan mengidentifikasikan posisinya dalam isu sosial-politik di tingkat internasional. Umumnya mereka beranggapan bahwa segala hal yang bertentangan dengan keyakinan agama mereka (mis. atheisme, imoralitas, konsumerisme) merupakan penyebab utama dari krisis sosial-politik. Beberapa ‘serangan langsung’ yang pernah dilakukan oleh Vatikan terhadap isu sosial-politik di tingkat internasional terjadi pada masa kepemimpinan Paus Leo XIII, Paus Benedict XV, dan Paus Pius XI. Isu-isu sosial politik yang diserang mereka adalah sekularisme, sosialisme, dan komunisme.

Paus, sebagai pimpinan tertinggi Vatikan, memiliki otoritas penuh untuk merumuskan teori Vatikan. Oleh sebab itu, latar belakang Paus akan berperan cukup signifikan dalam menentukan posisi Vatikan dalam isu sosial-politik di tingkat internasional. Paus Francis, yang berlatar belakang penduduk Amerika Latin, dianggap memiliki kemampuan untuk memahami sruktur penyebab kemiskinan yang dominan di Amerika Latin dan memiliki keinginan untuk mengatasinya (Kaleem, 2013). Walaupun banyak yang meragukan kesungguhannya dalam mengatasi permasalahan kemiskinan, namun latar belakang ini membantu untuk menjelaskan mengapa Paus Francis sampai mengeluarkan pidato yang bertujuan untuk menyerang sistem kapitalisme.

Memahami Pidato Paus Francis
“[...] we must also acknowledge that the majority of the men and women of our time continue to live daily in situations of insecurity, with dire consequences. Certain pathologies are increasing, with their psychological consequences; fear and desperation grip the hearts of many people, even in the so-called rich countries; the joy of life is diminishing; indecency and violence are on the rise; poverty is becoming more and more evident. People have to struggle to live and, frequently, to live in an undignified way.”
Paus Francis memulai pidatonya dengan membahas gejala dari sistem kapitalisme yang terjadi saat ini. Dia menganggap bahwa insekuritas, atau hilangnya rasa aman bagi seorang individu, merupakan gejala utama dari sistem kapitalisme karena menyebabkan berbagai konsekuensi psikologis yang berbahaya, seperti rasa takut, ketidakbahagiaan, dan berujung pada peningkatan angka kemiskinan. Di sini, Paus Francis berusaha menyampaikan bahwa orang-orang yang mengalami insekuritas adalah korban sesungguhnya dari keganasan sistem kapitalisme global kontemporer. Merekalah yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari siapapun. Dengan mengasumsikan latar belakang Paus Francis yang berasal dari Amerika Latin, Pernyataan ini akan menimbulkan anggapan bahwa Vatikan akan memberikan usaha terbaik mereka untuk membebaskan orang-orang tersebut dari insekuritas.

Sekilas pemikiran Paus Francis terlihat benar, sebab keberadaan orang-orang dengan insekuritas merupakan produk tak terhindarkan dari akumulasi kapital dalam sistem kapitalisme. Namun akan muncul pertanyaan, “Lantas apakah yang harus dilakukan untuk orang-orang tersebut?” Paus Francis menjawab pertanyaan tersebut di bagian akhir pidatonya dengan mengatakan, “The Pope loves everyone, rich and poor alike, but the Pope has the duty, in Christ’s name, to remind the rich to help the poor, to respect them, to promote them.” Jawaban tersebut dengan sendirinya menegasikan anggapan bahwa Vatikan akan membebaskan orang-orang dari insekuritas. Sebab jawaban tersebut menunjukkan bahwa Vatikan tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap orang-orang miskin yang merupakan dampak dari insekuritas. Vatikan hanya memiliki kewajiban untuk mengingatkan orang-orang kaya yang sudah terbebas dari insekuritas untuk membantu sesama mereka yang masih terbelenggu oleh insekuritas.

Jika kita melihat sejarah Vatikan, ternyata pemikiran bahwa Vatikan tidak memiliki tanggung jawab apa-apa terhadap orang-orang miskin memang sangat konsisten dipelihara oleh setiap Paus yang memimpin Vatikan. Paus Benedict XV yang memimpin Vatikan dari tahun 1914-1922 bahkan dengan vulgar berani mengatakan bahwa mereka yang miskin tidak boleh melawan orang-orang kaya dan menunjukkan rasa benci pada mereka. Sebab ketika orang miskin berani melakukan itu, mereka menjadi tidak dapat diberikan sumbangan (uncharitable), lebih lagi mereka bertindak irasional. Orang miskin pada akhirnya akan menikmati kemakmuran yang dirasakan orang-orang kaya dan akan bergantung pada pertolongan mereka.

Pernyataan Paus Benedict XV tadi dikeluarkan untuk menyerang sistem pemerintahan sosialisme dan komunisme yang mulai bangkit pada momen tersebut. Sistem sosialisme dan komunisme jelas merupakan sistem yang sangat kontras dengan sistem kapitalisme yang diserang oleh Paus Francis pada momen kali ini. Namun anehnya, solusi yang ditawarkan mereka terhadap orang miskin tetap sama, walaupun dikemas dengan bahasa yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa isu sosial-politik apapun yang menjadi perhatian dari Vatikan, tendensi mereka untuk mempertahankan keberadaan orang-orang miskin akan tetap ada.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Vatikan berusaha untuk menginklusikan nilai untuk memperhatikan orang-orang yang mengalami insekuritas, namun mengekslusikan nilai untuk membebaskan mereka dari insekuritas. Analisa terhadap sejarah Vatikan mengindikasikan bahwa Vatikan memiliki tendensi untuk mempertahankan keberadaan orang-orang dengan insekuritas. Dapat dikatakan bahwa Vatikan berusaha untuk mempertahankan relasi kelas sosial yang timpang dalam masyarakat. Penulis berargumen bahwa nilai yang diekslusikan Paus Francis tersebut merupakan nilai yang dimiliki oleh setiap agama di dunia dalam rangka membentuk hubungan dengan sistem kapitalisme. Penulis akan membuktikan argumen tersebut pada bagian berikutnya dengan menempatkan agama dalam sketsa sistem kapitalisme global kontemporer.

Meletakkan Agama dalam Sistem Kapitalisme Global Kontemporer

Kapitalisme dapat dipahami sebagai sebuah sistem ekonomi dan sebagai pandangan dunia (weltanschauung). Sebagai sebuah sistem ekonomi, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang ditandai dengan adanya hak kepemilikan atas properti, pertukaran barang dan jasa di antara individu, dan penggunaan mekanisme pasar untuk mengendalikan produksi dan distribusi dari barang dan jasa tersebut (Muller, 2013). Sebagai sebuah pandangan dunia, kapitalisme adalah pandangan dunia yang berpusat pada kapital. Kapital adalah ‘apapun’ yang dapat digunakan untuk melakukan produksi. Dengan kata lain, kapital adalah sebuah faktor x yang harus dimiliki seorang individu untuk melakukan produksi. Karena produksi adalah esensi utama dari ekonomi, maka pandangan dunia yang berpusat pada kapital akan mengharuskan adanya akumulasi kapital agar produksi dapat terus ditingkatkan (Gilman-Opalsky, 2011). Ketika pandangan dunia ini diimplementasikan dalam sistem ekonomi kapitalisme, maka tujuan dari sistem tersebut tidak lain adalah untuk mengakumulasi kapital.

Jerry Z. Muller (2013) menjelaskan bahwa beberapa elemen kapitalisme telah tersebar di dalam sejarah manusia selama berabad-abad. Namun, baru pada abad ke-17 dan abad ke-18, di beberapa bagian Eropa dan Amerika Utara, seluruh elemen tersebut muncul bersamaan. Sebelum masa tersebut, kebanyakan rumah tangga hanya mengonsumsi apa yang mereka produksi dan mereproduksi ulang apa yang mereka konsumsi tersebut. Masyarakat sebelum abad ke-17 hidup dengan diatur oleh institusi tradisional yang mengekang pilihan bahkan takdir individu ke dalam seperangkat struktur komunal atau religius. Masyarakat dengan demikian tidak mempunyai pilihan untuk mengembangkan dirinya sendiri. Kapitalisme datang dengan menjanjikan kebebasan individu untuk menentukan sendiri pilihannya – menentukan bagaimana ia mengembangkan dirinya sendiri. Muncullah krisis institusi tradisional yang direpresentasikan oleh krisis gereja Katolik. Dalam kondisi seperti itu, kekuasaan pun berpindah ke tangan institusi baru, yakni negara. Dapat dilihat bahwa kapitalisme bangkit bersamaan dengan hilangnya kepercayaan terhadap institusi tradisional, seperti agama. Dengan demikian, kita telah mengidentifikasi adanya hubungan antara kapitalisme dengan agama dalam sejarah.

Namun negara ternyata tidak dapat memenuhi janji yang ditawarkan oleh kapitalisme, karena adanya sistem monarki absolut yang sama mengekangnya dengan institusi tradisional. Hizkia Yosie Polimpung (2012) menjelaskan bahwa negara di abad ke-18 telah mengalami apa yang disebut dengan krisis kedaulatan. Semua bermula dari terpenggalnya kepala Louis XVI sekeluarga dari pisau Guillotine yang terjadi di tengah revolusi Perancis dan tuntutan demokrasi rakyat Perancis saat itu. Dalam kondisi semacam itu, negara pun berpikir bagaimana caranya memerintah dan mempertahankan kekuasaan status quo tanpa harus menggunakan cara yang represif seperti Louis? Bagaimana mengatur sekumpulan rakyat yang menginginkan kebebasan dalam menentukan hidup dan pilihannya tanpa harus menggunakan cara-cara monarki absolut?

Kapitalisme pun datang kepada negara dan memberikan sebuah tawaran, apabila negara mau membantu mendirikan dan menjaga pasar, maka ia akan mampu memberikan kesejahteraan yang dapat dijanjikan pada rakyat agar mereka mau menyerahkan sedikit kebebasannya untuk diatur. Agar lebih meyakinkan, kapitalisme pun menjelaskan sebuah aksioma pada negara, yaitu bahwa setiap orang akan bertindak rasional dalam ekonomi. Ketika seseorang berupaya untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya dengan pengorbanan seminimal mungkin, ia juga akan bertemu dengan orang lain yang serupa. Selama pertemuan ini tetap berjalan rasional, maka akan tercipta suatu titik ekuilibrium dimana terjadi keuntungan bersama. Akumulasi dari keuntungan bersama ini pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bangsa atau apa yang disebut sebagai the wealth of nation. Syaratnya hanya satu, yaitu negara harus melakukan satu hal terhadap pasar: tidak melakukan apa-apa; biarkan saja; laissez-faire! (Polimpung, 2012). Inilah yang disebut dengan logika neoliberalisme, sebuah logika yang menyatakan bahwa negara akan mampu memperoleh kedaulatannya dengan cara menciptakan sebuah ruang dimana rakyat dapat bebas melakukan pertukaran barang dan jasa dan melindunginya dari intervensi apapun. Ruang tersebut tidak lain adalah pasar.

Hanya saja, satu permasalahan yang tidak disadari oleh rakyat dan negara di abad ke-17 dan abad ke-18 ketika mereka menerima tawaran kapitalisme adalah, kapitalisme hanya menjanjikan kesamaan hak atas kebebasan dan kesamaan hak atas akses terhadap pasar, namun tidak menjanjikan kesamaan hak untuk memiliki kapital. Dengan demikian, orang-orang yang mengalami perkembangan berkat kapitalisme hanyalah mereka yang telah memiliki kapital (borjuis). Melalui kapital yang mereka miliki, para borjuis dapat terus menerus mengakumulasi kapitalnya sembari meninggalkan mereka yang tidak memiliki kapital (proletar). Terciptalah apa yang disebut dengan ketimpangan (inequality), terciptalah suatu kelas sosial yang merasakan insekuritas karena tidak memiliki faktor x yang dibutuhkan untuk memproduksi, yakni kapital. Karena tidak dapat lagi memproduksi secara mandiri, para proletar pun meminjam kapital dari para borjuis dengan cara bekerja kepada mereka. Namun karena para proletar tidak memiliki kapital, sehingga tidak memiliki posisi tawar yang sama dengan para borjusi, dan mereka sangat membutuhkannya, maka mereka tidak dapat menolak berapa pun nilai kapital yang akan didapatkan mereka, Para borjuis, dengan logika akumulasi kapital, tidak akan repot-repot memberikan kapital yang cukup agar para proletar dapat berproduksi sendiri secara mandiri, melainkan cukup memberikan kapital yang akan segera habis sehingga para proletar akan terus kembali kepada borjuis. Relasi sosial yang bersifat eksploitatif ini memungkinkan kapital terus menerus terakumulasi. Tanpa disadari, para proletar yang berada dalam kondisi putus asa akan kepemilikan kapital justru menjadi landasan konstitutif yang memungkinkan akumulasi kapital dapat terus berlangsung dan membantu sistem kapitalisme untuk tetap bertahan hidup. Muller (2013) menjelaskan bahwa ketimpangan dan insekuritas telah menjadi fitur utama kapitalisme yang melenyapkan janji manis pengembangan setiap individu yang ditawarkan kapitalisme di awal kemunculannya.

Namun, para proletar ini tentunya tidak selamanya dapat dibodohi. Pada suatu titik, mereka pun menyadari bahwa keberadaan mereka sangatlah esensial bagi keberlangsungan sistem kapitalisme. Maka muncullah serikat buruh, mogok kerja, dsb., mengakibatkan krisis bagi sistem kapitalisme. Sayangnya, kapitalisme bukanlah sebuah sistem yang lemah. Implementasinya yang terjadi selama berabad-abad mengakibatkan kapitalisme telah memiliki seperangkat logika internalnya sendiri berikut mekanisme pertahanan diri jika suatu ketika ia dirundung krisis. Hizkia Yosie, Debora, dan Mardyanti (2013) menjelaskan bahwa sistem kapitalisme senantiasa mencari cara untuk menjaga kesinambungan proses akumulasi kapital yang merupakan syarat utama baginya untuk dapat bertahan hidup. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa kapitalisme selalu berhasil keluar dari setiap krisis yang menimpanya dengan menciptakan sistem baru yang dapat mengatasi permasalahan yang dialaminya sebelum krisis. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme senantiasa bermetamorfosis untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dapat menghalanginya dalam melakukan akumulasi kapital.

William I. Robinson (2007) menjelaskan bahwa sistem kapitalisme kontemporer telah mengalami perubahan fundamental semenjak Lenin, Hilferding, dan Bukharin. Kapitalisme kini telah memasuki panggung global, dibuktikan dengan munculnya kapital yang bersifat transnasional dan integrasi setiap negara menuju sistem produksi dan finansial global. Dibuktikan juga dengan munculnya kelompok kapitalis transnasional, yang termanifestasi dalam bentuk perusahaan multinasional. Sirkuit akumulasi kapital milik kelompok-kelompok ini tidak lagi dibatasi oleh teritori negara. Kondisi ini memungkinkan para borjuis akan selalu memiliki stok proletar untuk dieksploitasi. Ketika misalnya para proletar di negara Indonesia menolak bekerja kepada Danone, maka Danone dapat dengan mudah memindahkan usaha mereka ke negara lain, dimana proletarnya masih menurut kepada Danone. Dengan demikian, mogok kerjanya para proletar di Indonesia sama sekali tidak akan mempengaruhi akumulasi kapital milik Danone, sehingga para proletar di Indonesia tidak akan memiliki pilihan selain untuk terus bekerja kepada Danone. Kondisi semacam ini dapat diaplikasikan kepada seluruh perusahaan multinasional yang ada di seluruh dunia.

Pun begitu, sistem kapitalisme global kontemporer ini juga menyadari bahwa dia mengakibatkan banyak permasalahan sosial baru yang tak terprediksi akibat semakin lebarnya jurang ketimpangan. Akumulasi kapital yang dilakukan dengan cara mengeksploitasi proletar secara terus menerus membuat para proletar kehilangan segalanya. Para proletar yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi memiliki tendensi untuk menjadi bersikap destruktif yang dapat membahayakan keberlangsungan akumulasi kapital. Walaupun ketimpangan dan insekuritas sama sekali bukan sebuah masalah bagi sistem kapitalisme, namun terancamnya akumulasi kapital adalah masalah yang sangat besar dan harus segera diatasi. Dalam logika sistem kapitalisme, kehadiran para proletar yang bersikap destruktif ini merupakan permasalahan residual, sebuah permasalahan yang tercipta secara tidak sengaja dan tidak diinginkan oleh sistem kapitalisme itu sendiri. Namun walaupun disebut residual, permasalahan ini bukanlah permasalahan kecil, melainkan sebuah permasalahan yang sangat konstitutif bagi sistem kapitalisme itu sendiri (Beyer, 1995).

Permasalahannya, sistem kapitalisme global kontemporer tidak dapat mengandalkan negara untuk mengatasi persoalan residualnya, sebab negara telah diminta oleh kapitalisme untuk tidak melakukan apa-apa. Kapitalisme bisa meminta negara untuk memberikan solusi, seperti memberikan subsidi atau pendidikan gratis, namun solusi tersebut bersifat temporer dan memakan terlalu banyak biaya – tidak semua negara sanggup membiayainya. Namun ada satu institusi yang karakteristik fungsionalnya sangat cocok untuk mengatasi permasalahan residual kapitalisme. Sebuah institusi yang bahkan tidak memerlukan banyak biaya untuk beroperasi, namun memiliki kemampuan untuk menenangkan para proletar dari bersikap destruktif. Institusi tersebut tidak lain adalah agama (Beyer, 1995).

Untuk dapat menjelaskan kemampuan agama dalam menangani permasalahan residual sistem kapitalisme global kontemporer, kita akan memerlukan pemahaman terhadap salah satu konsep yang melandasi agama, yaitu kesalehan (piety) dan karakteristik anti-sistemik yang dimilikinya. Philip Goodchild (2002) menjelaskan bahwa piety merupakan sebuah metode yang digunakan oleh agama untuk menjauhkan pengikutnya dari memikirkan kebutuhan material. Elemen-elemen piety dalam agama umumnya digambarkan melalui jargon-jargon seperti “menanam pohon tanpa memetik buahnya” atau “sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya.” Jargon tersebut mungkin terdengar tidak rasional, “Bagaimana mungkin seorang homo-economicus bisa berusaha tanpa memikirkan keuntungan yang akan ia dapat dari usaha tersebut? Bagaimana mungkin seorang homo-economicus melupakan kepentingan pribadinya dan lebih mementingkan kepentingan orang lain?” Agama melalui piety menjauhkan manusia dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menjanjikan suatu hadiah yang jauh lebih besar lagi di alam selanjutnya – Umat Islam, Kristen, dan Yahudi dijanjikan akan masuk surga, Umat Buddha dijanjikan akan masuk nirwana, dsb. Syarat untuk mendapatkan hadiah yang besar tersebut hanya satu: jadikan jargon-jargon tadi sebagai kebenaran absolut; jangan pertanyakan sedikit pun! Dengan tidak mempertanyakan, itu berarti seseorang telah menjadi pengikut yang saleh, pasti akan masuk surga. Kepentingan materi menjadi tidak penting lagi, karena mereka percaya bahwa mereka telah dijanjikan sesuatu yang lebih besar lagi. Dengan demikian, para proletar yang tadinya tidak memiliki apa-apa tersebut akan merasa bahwa mereka telah memiliki sesuatu yang besar.

Selain itu, agama memiliki kecenderungan untuk bersikap anti-sistemik. Peter Beyer (1995) menjelaskan bahwa meskipun beberapa agama memiliki jumlah pengikut yang sangat besar, namun pengaruh mereka di era globalisasi menjadi tergeser sebatas di ranah privat (private sphere). Dengan kata lain, agama, melalui logika internalnya sendiri, merasa bahwa mereka telah terekslusi dari sistem kapitalisme global kontemporer. Itulah sebabnya mereka memiliki kecenderungan untuk bersikap anti-sistemik. Karakteristik negara yang demikian menjadikannya sangat cocok untuk menampung permasalahan residual sistem kapitalisme, sebab mereka dapat meng-contain para proletar yang bersifat destruktif tersebut ke dalam sebuah ruang dimana mereka tidak akan diberikan kesempatan untuk mendekati sistem lagi.

Kapitalisme menyadari bahwa piety, dalam bahasa Philip Goodchild (2002), akan menjadi sebuah jembatan transenden yang mengubah relasi ‘sebab’ dan ‘akibat’ dalam sistem kapitalisme. Jika seorang proletar menurut-menurut saja pada kemauan borjuis, maka tidak akan menyebabkan mereka menjadi miskin, melainkan menjadi kaya akan rahmat Tuhan, karena mereka telah berguna bagi sesamanya. Kemudian, karakteristik anti-sistemik yang dimiliki oleh agama juga dapat meng-contain mereka agar tidak dapat mendekati sistem. Kemampuan agama dalam menciptakan piety dan meng-contain pengikutnya ini dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk menampung permasalahan residualnya (Beyer, 1995). Agama menjadi semacam ‘pil penenang’ yang akan mencegah proletar menjadi destruktif dan mengganggu proses akumulasi kapital.

Walau begitu, hubungan agama dan kapitalisme dalam kondisi ini tidak selalu bersifat eksploitatif – eksploitatif dalam artian hanya kapitalisme saja yang akan mendapat untung. Agama juga mendapatkan keuntungan melalui kondisi ini, sebab jumlah pengikut mereka akan bertambah dengan menampung permasalahan residual kapitalisme. Dengan demikian, ketika kita melihat agama menyatakan diri siap untuk menolong orang-orang yang menjadi miskin akibat krisis, struktur, atau apapun itu, maka harus kita tempatkan dalam logika berpikir permasalahan residual kapitalisme. Bahwa pertolongan yang diberikan oleh agama terhadap orang-orang miskin tersebut pada akhirnya juga akan menolong kapitalisme dan memberikan keuntungan terhadap agama melalui bertambahnya pengikut agama tersebut. Namun, hal ini tidak berarti bahwa agama lantas menjadi hanya sebuah lembaga yang ingin memuaskan self-interest-nya saja. Sebab hubungan antara agama dan sistem kapitalisme yang dijelaskan di sini dapat terjadi dalam kondisi agama ‘sadar’ ataupun ‘tidak sadar’. Artinya, tidak peduli apakah agama tersebut dipimpin oleh orang seperti Paus Benedict XV yang secara terang-terangan mengatakan orang miskin sebaiknya tetap miskin ataupun dipimpin oleh orang seperti Paus Francis yang (mungkin) memiliki niat untuk menolong orang miskin, segala perbuatan yang mereka lakukan terhadap orang miskin akan tetap membantu sistem kapitalisme untuk menampung permasalahan residualnya dan melindungi akumulasi kapital.

Kesimpulan

Sistem kapitalisme terus berkembang menyesuaikan dengan permasalahan yang dihadapinya di setiap zaman. Permasalahan yang dihadapi oleh sistem kapitalisme global kontemporer adalah bertambah banyaknya jumlah proletar yang hidupnya semakin sengsara karena tidak memiliki kapital. Modus operandi kapitalisme yang telah berada di tataran global menyebabkan para proletar tidak memiliki banyak pilihan untuk menentang borjuis, sehingga mereka menjadi semakin lemah. Pada titik tertentu, proletar yang sudah tidak memiliki apa-apa dapat menunjukkan sikap yang destruktif dan membahayakan akumulasi kapital. Permasalahan ini merupakan permasalahan residual, sebuah permasalahan yang tidak diprediksi, tidak diinginkan, dan tidak dapat diselesaikan oleh sistem kapitalisme itu sendiri. Oleh sebab itu, kapitalisme harus mencari aktor lain yang dapat menyelesaikannya. Sayangnya, logika neoliberalisme membuat kapitalisme tidak dapat mengandalkan bantuan dari negara untuk mengatasi permasalahan residual ini. Agama pun menjadi aktor yang dipilih karena mereka memiliki kemampuan untuk meng-contain permasalahan residual sistem kapitalisme global kontemporer dengan cara mengubah proletar menjadi pengikut agama yang saleh; yang rela berkorban demi kepentingan orang lain. Kendatipun sebuah agama memang berniat tulus untuk menolong orang miskin, namun niat tersebut tidak akan mengubah kenyataan bahwa pertolongan mereka pada akhirnya akan menolong sistem kapitalisme juga.

Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa sistem kapitalisme telah bermetamorfosis menjadi sebuah sistem yang sangat kuat – saking kuatnya, sebuah serangan yang ditujukan untuk menggoyahkan sistem tersebut pun hanya akan berbalik memperkuat sistem. Dengan memahami hal ini, maka konsekuensinya adalah: mereka yang benar-benar ingin mengentaskan permasalahan kapitalisme tidak boleh bersikap setengah-setengah. Maksudnya, usaha untuk mengentaskan permasalahan kapitalisme tidak boleh lagi hanya didasarkan pada common sense (mis. Karena kapitalisme menyebabkan orang menjadi miskin, maka kita harus berfokus pada orang miskin). Usaha yang setengah-setengah semacam itu hanya akan berisiko memperkuat sistem kapitalisme saja.

Menyikapi hal ini, maka usaha yang tepat untuk mengentaskan permasalahan dalam kapitalisme harus didasarkan pada hasil riset yang benar-benar holistik terhadap sistem kapitalisme itu sendiri. Selain itu, analisis dalam riset pun juga harus menemukan kebaruan dan keunikan yang hanya ada pada kapitalisme di masa kontemporer. Sebab ketika kita tidak mengetahui kebaruan dan keunikan tersebut, terdapat tendensi bahwa kita akan menggunakan analisis lama untuk menjelaskan kapitalisme hari ini. Hal tersebut tentunya tidak akan memberi dampak yang signifikan bagi sistem kapitalisme yang telah bermetamorfosis menjadi sangat kuat ini. Pada akhirnya, penulis ingin menekankan pentingnya kebijaksanaan bagi mereka yang ingin mengentaskan permasalahan dalam kapitalisme. Sebelum melakukan apa yang mereka percayai sebagai solusi yang tepat untuk melawan kapitalisme, ada baiknya untuk dikaji ulang lagi, seberapa signifikan dampak yang dapat ditimbulkan solusi tersebut terhadap sistem kapitalisme. Sebab tanpa kebijaksanaan, solusi yang diciptakan berisiko akan memperkuat sistem kapitalisme itu sendiri.



Comments

Popular posts from this blog

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Memahami Konstruktivisme

Richard Ned Lebow: Mengkonsepsi Ulang Ide Konstruksi Identitas 'Self' dan 'Other'

Memahami Politik Identitas

Pengaruh Ideologi Konfusianisme terhadap Hubungan Diplomatik Vietnam – China Kontemporer