Perkembangan Hak Asasi Manusia di Tingkat Global dan Indonesia
Hak Asasi Manusia (HAM) merujuk pada seperangkat hak yang telah dimiliki oleh setiap manusia semenjak mereka lahir. Seseorang dikatakan memiliki HAM semata-mata adalah karena dia merupakan manusia. Baik orang tersebut berkulit putih, hitam, kuning, atau apapun itu, ia memiliki HAM jika ia adalah seorang manusia. Oleh sebab itu, HAM selalu bersifat universal atau dapat digunakan oleh siapapun, itulah klaim yang diberikan para intelektual Barat ketika mereka menciptakan Deklarasi Universal HAM.
Pada dasarnya, HAM merupakan pemikiran yang berasal dari intelektual Barat dan berkembang di sana. Tidak akan ada negara nonbarat yang memahami nilai-nilai HAM jika Deklarasi Universal HAM tidak dibuat dan Amerika Serikat beserta sekutunya tidak mempromosikannya dengan gencar. Maka studi mengenai bagaimana nilai-nilai HAM dapat menyebar ke seluruh negara di dunia beserta tantangannya secara khusus di Indonesia akan menjadi sangat menarik.
Tulisan ini akan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama akan menjelaskan mengenai Sejarah dan Perkembangan nilai-nilai HAM di tataran global. Bagian kedua akan menjelaskan mengapa nilai-nilai HAM dapat diterima oleh hampir seluruh negara di dunia. Bagian ketiga akan menjelaskan mengenai HAM di Indonesia beserta tantangan-tantangannya.
A. Sejarah dan Perkembangan
Nilai-Nilai HAM
Pemikiran mengenai nilai-nilai Hak Asasi Manusia pada dasarnya sudah berkembang semenjak abad sebelum masehi oleh kalangan filsuf Yunani yang diinisiasi oleh Socrates (470-399 SM). Para filsuf tersebut meletakkan dasar bagi perlindungan dan dijaminnya HAM. Salah satu konsep besar dari filsuf Yunani yang masih dianut sampai sekarang adalah konsep demokrasi, dimana setiap rakyat memiliki hak untuk memberikan kontrol sosial terhadap penguasa zalim yang tidak mengakui nilai-nilai kemanusiaan. Di Abad pencerahan, nilai-nilai HAM yang telah diinisiasi oleh Socrates dan kawan-kawannya pun berkembang lebih pesar Di antara para filsuf zaman pencerahan, terdapat dua filsuf yang cukup terkenal dalam menyampaikan pemikiran mereka mengenai nilai-nilai HAM. Mereka adalah John Locke dan Jean Jaques Rousseau.
Filsuf pertama, John Locke, menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan bersama-sama, hidup lebih maju seperti yang disebut dengan status civilis, locke berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.Pemikiran filosof John Locke yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu memberontak melawan penguasa Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke mengenai hak – hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikenal dengan Declaration Of Indenpendence Of The United States.
Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak – hak asasi manusia karena mengandung pernyataan “Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati kebhagiaan.
Filsuf kedua, Jean Jacques Rousseau, mempunyai pengaruh yang amat besar dalam pembangunan pemikiran politik, sastera, pendidikan, kebebasan individu dan hak asasi manusia di Barat. Dalam bukunya, The Social Contract, Rousseau menegaskan "Man is born free but everywhere is in chains."Untuk itu, bagi Rousseau berbagai ketidakadilan dan penindasan yang berlaku adalah akibat daripada amalan politik dan pengaruh pemikiran yang terlalu menekan.
Konsep paling utama dalam pemikiran Rousseau adalah kebebasan. Beliau mendedahkan pelbagai mekanisme yang digunakan pemerintah demi memaksa rakyat awam mengorbankan kebebasan mereka. Dasar pemikiran Rousseau adalah pemikiran bahawa setiap individu pada dasarnya adalah baik. Tetapi apabila berada dalam masyarakat, ia menjadi tidak baik.
Pada dasarnya setiap individu hanya perlu melihat ke dalam dirinya sendiri bagi mewujudkan nilai-nilai dan kebahagianya. Walau bagaimanapun setelah individu tersebut berada di dalam sebuah masyarakat, ia terpaksa tunduk kepada pendapat dan kuasa pihak-pihak lain. Rousseau menegaskan bahawa hak-hak individu yang berlandaskan autonomi individu dan kebebasan tidak datang bergolek begitu sahaja. Sebaliknya, hak-hak dan kebebasan ini adalah satu kontrak sosial yang mesti diperjuangkan.
Dapat dilihat bahwa pada zaman pencerahan, pemikiran mengenai HAM telah menjadi sangat berkembang. Namun, hak-hak yang diangkat pada waktu itu hanyalah hak-hak politik saja. Hal ini tidak aneh mengingat konteks pada saat itu adalah ketidakbebasan masyarakat yang diakibatkan kesewenang-wenangan pemimpin dalam memangkas hak politik penduduknya.
Di Abad ke-20, pemikiran mengenai HAM yang hanya mengedepankan hak-hak politik saja dirasa tidak cukup untuk menjadikan HAM sebagai sebuah nilai yang universal. HAM tidak boleh hanya memperkuat hak politik, tapi juga memperkuat hak sosial, budaya, dan ekonomi. Oleh sebab itu, Presiden Flanklin D. Roosevelt mengeluarkan amanat tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni: :
ü Kebebasan
untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
ü Kebebasan
memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).
ü Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
ü Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from
want).
Setelah perang dunia kedua berakhir, dirasakan bahwa terdapat urgensi untuk membuat nilai-nilai HAM menjadi lebih universal dan dapat diadopsi oleh semua negara di dunia. disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut.
Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.
Hal ini merupakan tonggak sejarah dalam dunia. Untuk pertama kalinya, terdapat satu nilai yang dapat diadopsi oleh hampir seluruh negara di dunia, dengan mengesampingkan apakah dia orang kulit putih atau kulit hitam. Semua berhak mendapatkan HAM yang merupakan hak azasi setiap manusia semenjak mereka lahir. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
B. Mempertanyakan
Universalitas HAM
HAM pada dasarnya adalah sebuah pemikiran yang lahir dan berkembang di Barat. Berdasarkan hal tersebut, tentu timbul pertanyaan, bagaimana mungkin satu nilai ini dapat diterima dengan luas oleh seluruh negara di dunia sebagai sebuah nilai yang universal. Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa HAM dapat diakui sebagai nilai yang universal. Pertama, HAM merupakan seperangkat nilai-nilai azasi yang disadari atau tidak telah melekat pada diri setiap manusia semenjak mereka lahir. Oleh sebab itu, setiap manusia sudah memiliki HAM tanpa perlu adanya pengaturan dari negara. Pembentukan deklarasi HAM hanya mengaskan kembali mengenai suatu hal yang sudah jelas dimiliki.
Kedua, ketika deklarasi Universal HAM diluncurkan oleh PBB, hampir seluruh negara di dunia langsung menyatakan setuju kepadanya. Dalam keadaan seperti itu, negara yang menolak mengakui keberadaan Nilai Universal HAM akan terisolasi dari hubungan internasional dengan negara lain. Oleh sebab itu, menolak keberadaan Deklarasi Universal HAM hanya akan memberikan konsekuensi yang buruk bagi negara tersebut.
Ketiga, Deklarasi Universal HAM dianggap dapat menjadi solusi yang baik agar perang yang mengerikan seperti Perang Dunia tidak terulang lagi. Dengan seluruh negara memiliki satu kesamaan nilai, diharapkan tidak akan terjadi pertentangan di antara negara lagi. Negara dapat saling bahu membahu dalam rangka meningkatkan HAM di setiap negaranya.
Penegakkan atas HAM di Indonesia pada dasarnya merupakan amanat Pancasila yang tertera dengan jelas dalam sila ke-2 nya, yakni “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Hal ini kemudian semakin diperkuat dengan adanya UUD 1945 Pasal 28 yang menyediakan landasan hukum mengenai apakah itu HAM dan HAM macam apa yang harus dilindungi di Indonesia. Dari segi teknis, Indonesia telah memiliki Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian digantikan oleh UU No. 39 Tahun 1999. Kesemua landasan hukum tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan negara yang memegan teguh prinsip Hak Asasi Manusia. Namun, praktek tidak selalu sesuai dengan prinsip karena ternyata masih terdapat banyak kecacatan dalam praktek Hak Asasi Manusia di Indonesia.
HAM pada Masa Orde Lama
HAM pada periode ini menapatkan momen “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Namun, kebebasan berpolitik yang sangat besar tersebut harus dibayar mahal dengan hak ekonomi masyarakatnya. Hal ini terjadi lantaran isu politik yang terlalu mengudara membuat isu-isu ekonomi terlupakan. Pembangunan tidak dikerjakan karena anggota DPR terlalu sibuk berdebat mengenai posisi mereka.
HAM
pada Masa Orde Baru
Orde Baru membawa banyak perubahan positif pada penegakan HAM. Perubahan-perubahan tersebut antara lain menyangkut aspek politik, ekonomi, dan pendidikan. a. Politik
Salah satu kebijakan politik yang mendukung persamaan HAM terhadap masyarakat Indonesia di dunia internasional adalah didaftarkannya Indonesia menjadi anggota PBB lagi pada tanggal 19 September 1966. Dengan mendaftarkan diri sebagai anggota PBB, hak asasi manusia Indonesia diakui persamaannya dengan warga negara di dunia. Ini menjadi langkah yang baik untuk membawa masyarakat Indonesia pada keadilan dan kemakmuran.
b. Ekonomi
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Dalam hal ekonomi, masyarakat mendapatkan hak-hak mereka untuk mendapatkan hidup yang layak. Program transmigrasi, repelita, dan swasembada pangan mendorong masyarakat untuk memperoleh kemakmuran dan hak hidup secara layak.
c. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, masa Orde Baru menampilkan kinerja yang positif. Pemerintah Orde Baru bisa dianggap sukses memerangi buta huruf dengan beberapa program unggulan, yaitu gerakan wajib belajar dan gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA). Dengan demikian, masyarakat Indonesia mendapatkan hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan.
Pelanggaran HAM
yang terjadi pada Orde Baru
Harus diakui pada masa Orde Baru dari segi pembangunan fisik memang ada dan keamanan terkendali, tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak ada, kalangan intelektual dibelenggu, pers di daerah di bungkam, KKN dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana . Secara garis besar ada lima keburukan Orde Baru, yaitu: kekuasaan pemerintah yang absolut, rendahnya transparansi pengelolaan negara, lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat, hukum yang diskriminatif, dan dan lemahnya perlindungan HAM. a. Kekuasaan pemerintah yang absolute
Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan Indonesia selama 32 tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan sekitar enam kali pemilihan umum (Pemilu). Pada waktu itu, kekuasaan Suharto didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi oleh Partai Demokasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas dalam pemerintahan Suharto di mana pemerintahan dijalankan secara absolut. Presiden Suharto mengkondisikan kehidupan politik yang sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan nepotisme.
b. Rendahnya transparansi pengelolaan
Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah satu keburukan pemerintahan Orde Baru. Transparansi merupakan bentuk kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-undang tidak mengikat jika tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan dianggap tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga peneliti yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang. Berita-berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan keburukan-keburukan pemerintahan, kritik terhadap pemerintah, dan berita-berita yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.
Keuangan negara juga menjadi rahasia internal pemerintahan. Hutang negara menjadi terbuka jelas pun saat krisis dunia melanda. Indonesia tidak mampu membayar hutang luar negeri yang bertumpuk-tumpuk. Lebih dari itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menurun tajam memaksa perusahaan-perusahaan memecat sebagian karyawannya untuk mengurangi biaya produksi. Bahkan, banyak perusahaan tumbang dan gulung tikar karena negara tidak mampu membayar hutang luar negeri. Bila dirunut lebih dalam, semua itu berakar dari rendahnya transparasi pemerintah terhadap masyarakat.
Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan Orde Baru. Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi semacam boneka yang dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal ini, aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah. Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa tertinggal, dan seterusnya, menjadi semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa agar rakyat miskin tidak berteriak menuntut hak-hak mereka.
c. Hukum yang diskriminatif
Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang sama di depan hukum menjadi hal yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah.
Perlindungan HAM dalam Orde Baru memang dirasa masih lemah. Berita mengenai penembakan misterius terhadap musuh-musuh negara —-termasuk teroris, menjadi catatan hitam Orde Baru. Diskriminasi terhadap hak-hak asasi kaum minoritas dan Chinese pun menjadi pelanggaran HAM yang tidak bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran yang besar untuk menjaga stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini memungkinkan negara untuk menjaga terlaksananya pelaksanaan perlindungan HAM bagi masyarakat.[11]
HAM
pada Masa Reformasi
Orde reformasi membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa perubahan positif yang dibawa oleh reformasi pada periode jabatan presiden B.J. Habibie adalah: a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
·
UU
No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
·
UU
No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
·
UU
No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang politik ini membawa pengaruh pada tata politik yang adil. Hak warga negara untuk mendapatkan kedudukan di bidang politik dan pemerintahan menjadi terbuka. DPR dan MPR mulai berfungsi dengan baik sebagai aspirasi rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka. b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perbankan menjadi sektor yang penting untuk menjaga stabilitas ekonomi. Masalah utang negara dan inflasi menyebabkan masyarakat tidak berdaya untuk memperoleh kehidupan yang layak. Bank Indonesia menjadi pusat keuangan negara untuk mengatur aliran uang demi stabilitas ekonomi rakyat.
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Dengan pers, masyarakat dapat menyerukan aspirasi mereka. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi secara jelas dan terbuka pun mulai dibuka.
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
Beberapa
pelanggaran HAM yang terjadi pada Masa Reformasi
Sekalipun terdapat berbagai pembenahan, di masa reformasi masih terjadi banyak pelanggaran HAM. Dalam beberapa hal, HAM sudah cukup ditegakkan. Tetapi dalam beberapa hal lain, pelanggaran HAM justru semakin marak setelah masa reformasi berlangsung. Berikut ini adalah beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa reformasi.Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi sosial dan budaya, kinerja pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di lembaga eksekutif – termasuk aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak telah berdampak pada meluasnya pelanggaran HAM, khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi, sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang pro-modal kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua, diabaikannya/ tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial berpihak pada kelompok miskin
b. Meningkatnya Pengangguran dan Masalah Perburuhan
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UUNo 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan UU No. 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu kemudian menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya tersebut ditekan.Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massa dilegalkan.
Akibat PHK tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbukamencapai 9,75%. Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500 milyar rupiah. Salah satu di antaranya adalah kasus
PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK. Dengan demikian perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh dari realitas.
c. Terabaikannya hak-hak dasar rakyat
Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini . Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan.
Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan,dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah. Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan.
Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.
HAM merupakan hak yang sudah melekat pada setiap manusia semenjak mereka lahir. Tanpa Deklarasi Universal HAM pun, orang-orang tetap harus mengakui bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mencari kebahagiaan. Indonesia telah mengambil langkah tepat dengan menjadikan HAM sebagai bagian dari ideologinya, namun dari sejarah kita dapat melihat bagaimana Indonesia belum mampu mengimplementasikan nilai-nilai HAM dengan baik. Pelanggaran-pelanggaran HAM masih terjadi sampai sekarang dan belum ada penyelesaiannya. Hal itu merupakan tantangan dan sebagai warganegara Indonesia kita tentu harus berpegang teguh pada Pancasila yang mengamanatkan kita untuk menjunjung tinggi nilai HAM. Dan sebagai manusia, tentu sudah tidak perlu menjadi pertanyaan lagi jika kita memang harus menjunjung tinggi nilai-nilai HAM
Ditulis oleh: Achmad Ficky, Fadli Adzani, dan Gema Ramadhan Bastari
Comments
Post a Comment