Book Review: The World Without Us


Manusia telah hidup di planet biru ini ribuan tahun lamanya. Selama itulah mereka telah berevolusi, melalui survival the fittest, hingga menjadi spesies paling unggul di muka bumi. Sayangnya, untuk mencapai hal itu, manusia telah banyak mengorbankan berbagai keanekaragaman hayati planet bumi. Seringkali hal-hal yang telah mereka korbankan tidak dapat kembali lagi, atau menjadi punah. Terkadang ada juga yang menyisakan goresan luka pada permukaan bumi yang sulit disembuhkan. Sungguh, manusia telah melakukan banyak tekanan pada planet biru ini. Seandainya suatu saat nanti manusia tiba-tiba menghilang atau punah, apakah planet kecil ini dapat mengembalikan keadaannya seperti semula lagi, seperti sebelum manusia muncul dan berjalan dengan kedua kakinya? Kira-kira itulah yang berusaha digambarkan oleh Alan Weisman dalam bukunya ’The World Without Us’.

Membayangkan dunia tanpa manusia, berarti sama dengan membayangkan dunia saat manusia belum muncul. Karena itulah, dalam buku setebal 407 halaman ini, Weisman akan mengajak kita ke alam romantisme masa prasejarah dimana semuanya begitu indah. Alam yang hijau, keharmonisan yang terjalin antarsesama makhluk hidup, sampai akhirya manusia datang dan semuanya pun tak pernah sama lagi.

Dari situ, Weisman pun mengajak kita menuju tempat-tempat dimana manusia telah menorehkan luka yang sangat dalam pada permukaan bumi. Mulai dari pemangkasan puncak gunung di West Virginia, pemisahan dua benua melalui Terusan Panama, sampai dengan penodaan pada atmosfer Chernobyl. Semua hal yang dilakukan untuk memastikan manusia tetap menjadi spesies yang paling unggul di muka bumi.

Pada akhirnya, manusia boleh berbangga hati karena mereka telah berhasil menjadi spesies yang tak terkalahkan dengan menaklukkan alam dan mengeksploitasinya. Satu yang mereka tidak tahu adalah, alam yang telah mereka taklukkan dan eksploitasi sedemikian rupa belum mati dan tidak akan pernah mati. Mereka masih menunggu. Menunggu saat manusia menjadi lengah dan mereka dapat mengambil alih kembali planet yang sebelumnya adalah milik mereka ini.

Di sinilah Weisman mulai berkhayal seandainya manusia tiba-tiba menghilang dari Bumi. Bukan menghilang karena disebabkan oleh suatu bencana alam serius atau peperangan, melainkan menghilang karena disebabkan sesuatu yang tak dapat dijelaskan, seperti Alien datang dan menculik kita semua untuk dijadikan obyek kebun binatang luar angkasanya, atau seorang penyihir gila telah berhasil menemukan cara untuk memandulkan seluruh ras manusia. Intinya, hilangkan seluruh manusia dari muka bumi dan biarkan semua yang tersisa tetap ada dan berjalan seperti seharusnya. Apa yang akan terjadi?

Pada hari setelah manusia menghilang, alam akan segera mengambil alih dan langsung melakukan bersih-bersih rumah sampai semua yang ditinggalkan manusia lenyap sama sekali. Bagian ini merupakan bagian paling menarik dari buku ini, karena di sini Weisman akan menjelaskan dengan detail tahapan-tahapan yang akan dilakukan alam untuk membersihkan warisan yang ditinggalkan manusia setelah kepergiannya. Dia akan menjelaskan tentang sesuatu yang mungkin tak pernah kita bayangkan dapat terjadi, seperti jamur-jamur yang menggerogoti tiang-tiang rumah, tanaman-tanaman liar Cina yang merusak kawat-kawat baja dari Manhattan Bridge, sampai pembalasan dendam air yang selama ini dipaksa mengalir di bawah saluran kota. Semuanya dijelaskan dengan kata-kata yang menawan hingga membuat kita dapat merasakan seolah-olah hal tersebut terjadi persis di depan kita. Menunjukkan betapa hebatnya kekuatan alam yang selama ini selalu ditekan oleh manusia.

Namun, tidak semua warisan manusia dapat dilenyapkan oleh alam. Dari sekian banyak hal yang pernah dibuat oleh manusia, masih terdapat beberapa hal yang tak akan pernah bisa dimusnahkan. Sayangnya, kebanyakan dari mereka adalah sesuatu yang berbahaya, seperti polimer, radioaktif, kubangan minyak, lubang batu-bara, zat formalin, yang menunjukkan bahwa manusia adalah seniman yang sangat ahli dalam menciptakan semua hal yang dapat merusak. Ketika manusia pergi, makhluk hidup yang tersisa di planet bumi masih harus berhadapan dengan semua hal berbahaya itu tanpa memiliki kecerdasan yang cukup untuk mengatasinya.

Buku ini ditutup dengan sebuah ucapan terimakasih yang sangat dalam dari Weisman kepada sang Ibu Pertiwi. Sebab pada dasarnya, tujuan Weisman menulis buku ini adalah agar manusia sadar bahwa perbuatan yang mereka lakukan terhadap alam selama ini adalah salah. Ia mencoba mengingatkan kita bahwa selama ini Ibu Pertiwi telah membesarkan kita semua dengan penuh kasih sayang. Tapi apa yang dilakukan manusia pada Ibu Pertiwi adalah seperti membalas air susu dengan air tuba. Sampai saat ini, Ibu Pertiwi masih begitu sabar dalam menghadapi segala perlakuan tak menyenangkan yang diperbuat oleh anak-anaknya. Satu yang bisa membuatnya bertahan, tentu adalah kehadiran orang-orang seperti Weisman yang masih dapat mencintainya dengan tulus. Namun ketika orang-orang seperti itu telah habis, apa yang akan terjadi? Kemarahan yang sangat besar dari Ibu Pertiwi akan kita rasakan dan tentunya tidak ada seorang pun yang menginginkan hal itu terjadi.

Tulisan ini telah dipublikasikan dalam blog "A Little Shining Star" pada bulan Januari 2012

Comments

Popular posts from this blog

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Memahami Konstruktivisme

Richard Ned Lebow: Mengkonsepsi Ulang Ide Konstruksi Identitas 'Self' dan 'Other'

Memahami Politik Identitas

Pengaruh Ideologi Konfusianisme terhadap Hubungan Diplomatik Vietnam – China Kontemporer