Political Interest dalam Organisasi Internasional


Menurut Bennet, organisasi internasional (OI) harus menjadi sarana kerjasama antarnegara demi kebaikan bersama. Kalau menurut Teuku May Rudy, OI adalah tempat berkumpul negara-negara yang bertujuan untuk merumuskan agenda bersama dan memprakarsai perundingan yang dapat menghasilkan perjanjian internasional. Sementara menurut Archer, selain hal-hal tadi, OI juga memiliki fungsi untuk melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan. Selain itu, OI juga berfungsi untuk melakukan sosialisasi, rekrutmen, dan penyebar nilai. Dengan kata lain, OI juga dapat berfungsi selayaknya sebuah negara, namun dengan jangkauan yang lebih luas.

Melalui penjelasan dari para ahli-ahli OI tersebut, dapt diambil kesimpulan bahwa yang paling penting dari OI adalah adanya pertemuan yang membuahkan kerjasama internasional. Sebuah OI harus dapat menghasilkan produk berupa perjanjian internasional dan memiliki fungsi untuk menyebarkan nilai-nilai. Dengan mengetahui itu, maka bekal pertama untuk menganalisis sebuah OI telah kita dapatkan. Namun, itu saja belum cukup. Walaupun sebuah OI diciptakan untuk menjaga perdamaian dunia, dia tetap saja tidak dapat lepas dari intrik-intrik politik yang dibawa oleh kaum realis. Dengan begitu, maka merupakan hal yang aneh jika kita tidak mencoba menganalisis sebuah OI melalui kepentingan-kepentingan politik yang dimiliki negara tertentu.

Sebuah OI pada dasarnya dapat menadi instrumen bagi sebuah negara untuk mewujudkan national interest-nya. Maka, dalam sebuah forum OI, walaupun menggunakan embel-embel kerjasama, setiap negara akan berusaha untuk memasukkan kepentingan negaranya ke dalam forum tersebut. Akibatnya, resolusi-resolusi yang dibuat oleh sebuah OI, biasanya akan terkontaminasi oleh kepentingan politik suatu negara. Berikut akan dipaparkan dua kasus untuk menjelaskannya, yaitu kasus Timor Timur dan kasus Aceh.

Kasus Timor-Timur
Tahun 1999, Timor-timur secara resmi memisahkan diri dari NKRI. Waktu itu mereka mendapat dukungan dari Australia, kemudian PBB, yang disebabkan oleh indikasi adanya pelanggaran HAM di sana yang dilakukan oleh Indonesia. Walaupun disebut bantuan bagi Timor-Timur, namun sesungguhnya itu adalah sebuah intervensi bagi kedaulatan NKRI. Sebab tanpa adanya permintaan dari Indonesia, pasukan PBB tiba-tiba masuk ke wilayah Timor-Timur dan membantu untuk menyelesaikan masalah di sana. Hal ini dikarenakan sebuah OI memang memiliki wewenang untuk menerobos kedaulatan suatu negara jika itu adalah untuk menegakkan human security.

Permasalahannya adalah, apakah sebelum tahun 1999 di Timor-Timur belum terjadi pelanggaran HAM? Jawabannya adalah sudah ada, namun mengapa Australia dan PBB baru bertindak pada tahun 1999? Penyebab utamanya adalah kejatuhan rezim Soeharto yang kemudian melemahkan pertahanan negara kita. Selain itu, situasi politik global yang sudah berubah, dimana perang dingin telah berakhir, sehingga isu human security pun menjadi gencar dikibarkan. Bersamaan dengan itu, terjadi pergantian PM Australia yang juga ikut concern terhadap isu Human Securit yang dikibarkan PBB. Ketiga situasi itulah yang menghasilkan sebuah resolusi PBB untuk membebaskan Timor-Timur. Dengan kata lain, untuk menghasilkan sebuah resolusi yang dapat menegakkan human security pun, PBB harus menunggu terjadinya perubahan politik Global, Indonesia, dan Australia.

Kasus Aceh
Pada tahun 2000 awal, muncullah gerakan separatis yang bernama GAM di Aceh. Isu yang diangkat oleh mereka adalah sama seperti Timor-Timur, yaitu adanya pelanggaran HAM besar-besaran yang tidak dapat ditangani oleh pemerintah Indonesia. Namun entah mengapa, para petinggi GAM kesulitan untuk mendapatkan dukungan internasional, padahal bukti-bukti yang mereka paparkan sudah cukup kuat. Apakah yang membuat Aceh diperlakukan sedemikian berbeda dengan Timor-Timur yang langsung mendapatkan respon internasional begitu kasus pelanggaran HAM-nya terkuak? Rupanya ada dua alasan.

Pertama, berbeda dengan Timor-Timur, yang merupakan negara caplokan Indonesia, Aceh telah memproklamasikan kemerdekaannya bersamaan dengan NKRI dan menyatakan diri masuk ke dalamnya. Perlu diketahui bahwa ketika Timor-Timur bergabung dengan Indonesia pada tahun 1976, referendumnya masih dipertanyakan. Perbedaan inilah yang membuat PBB tidak berani mengintervensi kedaulatan Indonesia begitu saja.

Alasan kedua adalah, negara yang berusaha dibangun oleh GAM adalah sebuah negara Islam. Dan dengan isu war on terror yang sedang merebak saat itu, tentu bukanlah pilihan yang bijak untuk memerdekakan sebuah negara Islam. Dengan kata lain, ada kepentingan politik AS yang bermain di sini.

Barulah ketika Aceh dihantam oleh Tsunami, intervensi pihak asing pun datang. Karena saat itu terjadi bencana alam yang sangat hebat, maka setiap negara pun melupakan kepentingan politiknya dan benar-benar menegakkan isu human security seperti yang dipaparkan di pertemuan pertama. Walaupun begitu, bantuan untuk mendamaikan pemerintah Indonesia dengan GAM tidak datang dari IGO atau negara manapun, melainkan dari sebuah INGO. Adalah Marty Ahtisaari dari International Crisis Management yang telah melakukannya tanpa didasari oleh kepentingan politik apapun.

Nah, kedua kasus di Timor-Timur dan Aceh itu menunjukkan betapa sebuah political interest dapat mempengaruhi kinerja OI.

Comments

Popular posts from this blog

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Memahami Konstruktivisme

Richard Ned Lebow: Mengkonsepsi Ulang Ide Konstruksi Identitas 'Self' dan 'Other'

Memahami Politik Identitas

Pengaruh Ideologi Konfusianisme terhadap Hubungan Diplomatik Vietnam – China Kontemporer