Movie Review: Argo



Pertama kali aku mendengar soal film Argo adalah ketika aku membaca headline Kompas yang memberitakan mengenai pemenang Academy Awards atau yang biasa kita kenal dengan Oscar. Seperti yang kita ketahui, film Argo yang disutradarai dan dibintangi oleh Ben Affleck memenangkan penghargaan Best Pictures. Didorong oleh rasa penasaran, aku pun mencari film ini dan menontonnya.
Kesan pertama setelah menontonnya adalah, “Well, it’s an excellent political thriller, based on true story, what can you expect?” Kesan ini aku dapat karena ya, aku tidak mengerti mengapa Oscar begitu menyukai film-film bertema politik yang berdasarkan pada kisah nyata dibandingkan film-film fantasi. Lihat saja deretan best picture, begitu didominasi oleh film-film nonfiksi yang berasal dari kisah nyata (Lincoln, Silver Linings Playbook, Life of Pi). Aku jadi heran mengapa mereka tidak bisa menghargai film-film imajinatif. I mean, I’m tired of watching the movie based on true story, I want something which I never seen or even imagine to be watched in movie. But, Oscar simply negate that, how awful.

Anyway, Argo berkisah seputar upaya yang dilakukan seorang agen CIA tanpa nama yang diperankan oleh Ben Affleck dalam menyelamatkan enam orang Amerika Serikat yang terperangkap di tengah revolusi Iran. Iran sebagaimana yang diketahui adalah salah satu adversary Amerika Serikat di dunia modern, selain Kuba, Venezuela, dan Korea Utara. Menjadi menarik karena film ini menampilkan latar belakang yang menjadi penyebab Iran memilih untuk bermusuhan dengan Amerika Serikat, yaitu kenyataan bahwa AS telah membiayai pemerintahan Syekh Pakhlevi yang konon memerintah layaknya King Louis XVI dan telah melakukan pembantaian terhadap sejumlah warga Iran yang menentangnya. Ditambah lagi, AS ternyata memberikan perlindungan kepada Syekh Pakhlevi setelah pemerintahannya digulingkan. Dua fakta inilah yang mendorong kebencian rakyat Iran terhadap Amerika Serikat sampai sekarang. Namun, kalau dipikir lagi, pemerintahan Indonesia di masa Orde Baru juga dibiayai oleh Amerika Serikat dan Soeharto pun kita tahu tidak kalah kejamnya dengan Syekh Pakhlevi, namun hal itu tidak membuat Indonesia lantas membenci AS.

Kembali ke cerita Argo, dikisahkan bahwa di tengah revolusi Iran yang sangat panas tersebut, terjadi pengambilalihan Kedutaan Besar Amerika Serikat yang ada di Iran. Para intelijen di AS tidak berhasil mencium adanya upaya revolusi, sehingga rakyat AS yang berada di Kedubes ketika hal itu terjadi tidak sempat bersiap-siap menghadapi pengambilalihan tersebut. Hasilnya, seluruh warga AS yang berada di Kedubes menjadi sandera rakyat Iran. Mereka menuntut agar 50 orang yang disandera di dalam Kedubes AS ditukar dengan pemimpin mereka Syekh Pakhlevi yang telah dilindungi oleh AS. Tentu bisa dibayangkan bagaimana Kedubes yang sejatinya merupakan wilayah kedaulatan negara tiba-tiba diinjak-injak oleh negara lain tanpa izin. Bagi Amerika Serikat, hal ini tentunya merupakan pelanggaran kedaulatan yang besar dan pantas untuk mendapatkan serangan balik. Namun, AS ternyata memilih untuk tetap tenang dan lebih memilih untuk menggunakan jalan diplomasi untuk mengembalikan ke-50 sandera tersebut. Terlihat bahwa film ini berusaha menggambarkan AS sebagai negara yang berjiwa besar, sementara Iran sebagai negara yang beringas dan barbar.

Namun, selain ke-50 orang yang dijadikan sandera, ternyata ada enam orang yang sempat kabur dari kedubes sebelum rakyat Iran mengambilalih Kedubes. Ketika kabur, mereka melihat dunia yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan. Sebuah dunia dimana setiap orang berusaha memburu manusia berkulit putih dan berlomba-lomba untuk mengeksekusinya. Ya, menurut sejarah, Iran di masa Revolusi memang merupakan sebuah tempat yang paling berbahaya bagi penduduk Amerika Serikat. Kemarahan rakyat Iran tidak hanya ditujukan pada negara Amerika Serikat tapi juga kepada rakyatnya sekaligus. Melihat hal itu, keenam orang yang kabur dari kedubes tersebut memutuskan untuk bersembunyi di Kedutaan Besar Kanada. Tempat yang menurut mereka paling aman, setelah Kedubes Inggris dan Australia menolak mereka. Namun, keamanan mereka tidak bertahan lama, karena ternyata tentara revolusioner Iran memutuskan untuk memburu keenam orang tersebut dengan cara apapun, termasuk dengan mengetuk setiap pintu rumah di Iran satu persatu. Inilah premis dari thriller yang disajikan dalam Argo. Sekelompok orang biasa yang hidup biasa-biasa saja tiba-tiba dilemparkan ke sebuah dunia dimana setiap manusia yang ada di sana berusaha untuk membunuhnya. Rasanya seperti menjadi seekor kerbau yang dilemparkan ke dalam kolam penuh piranha.

Selanjutnya tentu bisa ditebak, AS berusaha untuk menyelamatkan keenam orang yang terjebak di Iran tersebut. Berbeda dengan 50 orang yang disandera di Kedubes, keenam orang ini tidak dapat diselamatkan melalui proses negosiasi, sehingga AS harus mengirim satu agen rahasia untuk melakukan penyelamatan langsung. Namun, jangan kira bahwa akan terjadi penyelamatan ala James Bond dengan sejumlah peralatan canggih dan adegan-adegan action. Penyelamatan yang dilakukan dalam film ini harus dilakukan dengan cara diam-diam dan sebisa mungkin. Sebab sekali saja memancing perhatian tentara revolusioner, maka semua akan tamat. Oleh sebab itu, diputuskan bahwa penyelamatan akan dilakukan dengan cara menyamarkan keenam warga AS tersebut sebagai warga Kanada. Paspor sudah disiapkan, tiket sudah dibeli, yang menjadi masalah adalah membuat alasan mengapa enam orang Kanada tersebut bisa berada di tengah-tengah revolusi Iran. Alasannya harus dibuat serasional mungkin, sebab sedikit saja memancing rasa curiga, maka tamat sudah penyamaran mereka. Premis-premis semacam inilah yang membuat Argo menjadi semakin menegangkan.

Beberapa alasan dipilih, di antaranya adalah menjadi guru Bahasa Inggris, namun sayangnya sudah tidak ada guru bahasa inggris di Iran. Alasan lain pun dicoba, namun tidak satu pun yang terasa wajar, rasanya semua dapat memancing rasa curiga. Setelah lama berunding, akhirnya Ben Affleck memutuskan bahwa mereka akan menyamar menjadi kru pembuatan film sci-fi dari Kanada yang sedang melakukan pengambilan gambar di Iran. Sekilas hal itu terlihat sebagai sebuah ide gila karena menjadi kru film berarti sama saja dengan menarik perhatian orang banyak dan bisa berisiko membongkar penyamaran mereka. Tapi setelah dipikir lagi, tidak ada alasan yang lebih masuk akal selain hal tersebut, maka akhirnya ide itulah yang diambil. Setelah disetujui, Ben Affleck pun mengunjungi Hollywood untuk meminta bantuan seorang produser mensponsori pembuatan film gadungan ini. Diputuskanlah bahwa mereka akan menggunakan ‘Argo’ sebagai judul film mereka. Segala hal pun disiapkan mulai dari aktor, poster, sampai publikasi media untuk meyakinkan bahwa film bernama Argo benar-benar akan dirilis. Setelah semuanya beres, Ben Affleck pun berangkat ke Iran untuk melakukan penjemputan.

Di Iran, Ben Affleck pun tidak kalah terkejutnya dengan keenam warga AS yang bersembunyi di kedubes Kanada tersebut. Ancaman demi ancaman terus dihadapi karena sebagai orang berkulit putih, kehadirannya akan selalu menerbitkan rasa curiga di antara rakyat-rakyat Iran. Kita yang menonton dibuat tegang hanya dengan menyaksikan adegan dimana Ben Affleck berjalan di antara orang Iran. Kita menjadi tegang karena sedikit saja rasa curiga, nyawa orang ini tidak akan selamat. Ketegangan pun bereskalasi pada adegan ketika Ben Affleck dan enam orang yang akan diselamatkannya tersebut berpura-pura melakukan pengambilan gambar di tengah pasar, tempat dimana ribuan orang Iran berbaur, tanpa ada orang kulit putih sama sekali. Jelas yang terjadi adalah lirikan rasa curiga dari seluruh orang di pasar kepada mereka. Kemudian tiba-tiba seorang penjual merebut kamera yang digunakan untuk pengambilan gambar dan berteriak bahwa Syekh Pakhlevi telah membunuh anaknya dengan senjata yang berasal dari Amerika. Kontan perhatian seluruh orang di pasar pun langsung terpusat pada tujuh orang berkulit putih itu. Di sinilah kita benar-benar dibuat tegang karena kita pun mulai membayangkan adegan dimana seluruh rakyat Iran di pasar menghakimi ketujuh orang berkulit putih ini dan menyeretnya ke tiang gantung. Beruntung Ben Affleck berhasil menarik mereka semua dari situasi tersebut.

Adegan terakhir adalah yang paling menegangkan. Semua dimulai dari telpon yang diterima oleh Ben Affleck satu malam sebelum kepulangan mereka ke Amerika Serikat. Atasan Ben Affleck mengatakan bahwa rencana kepulangan harus dibatalkan karena dianggap terlalu berisiko, sehingga mereka semua harus tetap menunggu di Iran. Permasalahannya, Ben Affleck tahu bahwa jika mereka tetap di Iran, mereka hanya perlu menunggu waktu sampai mereka dibawa ke tiang gantung oleh tentara revolusioner. Namun, Ben tidak bisa melawan perintah atasan, sampai akhirnya dia melihat bahwa orang-orang yang akan diselamatkannya tersebut begitu bergantung padanya. Bahwa orang-orang tersebut begitu merindukan rumah dan rencana ini adalah satu-satunya kesempatan mereka untuk pulang. Melihat hal itu, Ben pun menelpon atasannya dan menyatakan bahwa mereka semua harus bertanggung jawab atas keselamatan keenam orang ini dan dia akan menjalankan rencana ini apapun yang terjadi. Mendengar hal tersebut, atasan Ben pun segera menekan atasannya lagi agar meloloskan tiket kepulangan ketujuh orang tersebut, untuk meneruskan rencana. Di saat ia melakukan itu, Ben dan enam orang yang akan diselamatkan itu sudah sampai di bandara dan menanti tiket yang belum terkirim-kirim juga. Pandangan curiga pun mulai bertebaran dan di sinilah bibit-bibit ketegangan mulai disebar lagi. Beruntung, tiket akhirnya dapat diterima, sehingga mereka bisa lolos dari maut untuk sementara.

Sementara itu, di suatu sudut kota Teheran, tepatnya di markas besar tentara revolusioner, Jenderal tentara telah mendapat informasi bahwa ada enam orang warga AS yang bersembunyi di Kedubes Kanada. Mengetahui info ini, para tentara langsung bergerak menuju Kedubes Kanada. Sesampainya di sana, mereka begitu terkejut karena Kedubes Kanada telah ditinggalkan, tanpa ragu mereka pun langsung melaju ke bandara. Di sinilah bagian paling menegangkan dari film Argo. Kita dibuat berpikir apakah orang-orang ini bisa segera naik pesawat sebelum tentara revolusioner sampai di sana atau tidak. Dan selagi berpikir seperti ini, tanpa sadar kita akan menggigit jari kita karena terlalu tegang. Inilah fitur paling utama dari Argo, film ini sanggup mewujudkan rasa tegang tanpa ada tumpahan darah atau adegan-adegan aksi. Sebuah formula yang sangat jarang ditemui dalam film-film Hollywood. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Argo bisa memenangkan Oscar.

Kalau ada kritikan, mungkin terkait bagaimana mereka menggambarkan Iran. Entah kenapa aku merasa bahwa penggambaran mereka akan rakyat Iran terlalu berlebihan seolah-olah rakyat Iran adalah kaum barbar yang hanya tahu membunuh untuk mendapatkan kepuasan. Terlepas benar atau tidaknya, film ini bisa mengarahkan penonton untuk membenci Iran. Dan melihat bahwa saat ini situasi politik internasional menunjukkan bahwa AS sedang berusaha untuk memojokkan Iran melalui sanksi ekonomi, film ini dapat dikatakan sebagai wujud propaganda AS untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya. Tapi sekali lagi, terlepas benar atau tidaknya, Argo adalah sebuah film yang sangat baik dan layak untuk ditonton.

Comments

Popular posts from this blog

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Memahami Konstruktivisme

Richard Ned Lebow: Mengkonsepsi Ulang Ide Konstruksi Identitas 'Self' dan 'Other'

Memahami Politik Identitas

Pengaruh Ideologi Konfusianisme terhadap Hubungan Diplomatik Vietnam – China Kontemporer