Laporan Pertemuan Serikat Petani Indonesia
Begitu aku masuk, presentasi sudah dimulai, namun masih giliran presentasi dari seorang perwakilan petani yang berasal dari Korea Selatan, bernama Madam Joon. Sungguh awkward rasanya melihat pembicaraan Madam Joon yang harus ditranslate dua kali. Pertama, bahasa Korea yang disampaikan Madam Joon diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh seorang penerjemah yang juga berasal dari Korsel. Kedua, bahasa Inggris yang diterjemahkan penerjemah Korea tersebut diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia oleh seorang penerjemah yang berasal dari Indonesia. Sungguh sebuah lag yang amat lama, sehingga membuatku sulit untuk mencerna maksud dari kata-kata Madam Joon. Satu hal yang dapat kutangkap adalah, Madam Joon berusaha menceritakan apa yang dialami oleh para Petani di Korea Selatan dan penderitaan yang mereka rasakan akibat kebijakan World Trade Organization (WTO).
Setelah Madam Joon selesai melakukan curhatnya, mic diberikan kepada seorang pembicara yang berasal dari Indonesia Global Justice (IGJ). Aku tidak ingat siapa namanya dan aku juga tidak ingat apa yang dibicarakannya. Yang kuingat hanyalah dia mengeluarkan berbagai retorika yang sederhana, namun mampu menggugah semangat para petani yang menyaksikan pidatonya. Salah seorang petani karena terpancing dengan retorikanya dengan semangat mengatakan “BUNUH WTO!!!” Tak dapat dipungkiri aku kaget mendengarnya, sehingga perhatianku pun teralihkan. Ketika itulah aku baru menyadari bahwa semua peserta pertemuan hari itu berusia paruh baya, seumuran atau bahkan lebih tua dari orangtuaku. Aku menjadi orang yang paling muda di sana, tapi aku tidak begitu mempermasalahkannya.
Setelah puas beretorika, mic pun diberikan dari IGJ ke akademisi-akademisi JeRK, yaitu mas Dodi dan mas Yosi. Mas Dodi membuka presentasinya dengan mengatakan, “Kehidupan manusia kini tidak dapat terlepas dari sebuah sistem bernama Kapitalisme yang keberadaannya ditopang oleh berbagai aktor, salah satunya adalah WTO. Keberadaan petani sangat dibutuhkan bagi sistem ini untuk dapat menjaga keberlangsungan sistem tersebut. Untuk dapat memahami peran petani di dalam sistem kapitalisme, kita harus memahami terlebih dahulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan sistem kapitalisme
“Pertama, kapitalisme tidak terlepas dari sistem dimana kita menjalankan kegiatan yg disebut produksi. Produksi adalah kegiatan untuk merubah barang dari alam menjadi barang dalam bentuk lain yg kegunaannya berbeda. Untuk mengubahnya kita harus bekerja. Kapitalisme adalah salah satu dari sistem yang dapat melangsungkan kegiatan tersebut dan yang paling dominan hari ini.
“Dulu sebelum ada kapitalisme, kita semua bekerja untuk menghasilkan barang sesuai kebutuhan kita sendiri. Ketika kita masuk ke dalam sistem kapitalisme, semuanya berubah. Kita menjadi bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri, tapi untuk mendapat uang. Maka produksi hari ini adalah untuk mendapatkan uang, bukan kebutuhan. Dengan kata lain, kapitalisme adalah suatu produksi dimana ada sekumpulan orang yg bekerja dan ada yg tidak bekerja tapi mendapat uang.
“Inilah yg disebut perampasan kerja. Proses produksi kapitalisme itu berputar. Fase satu adalah uang, kalau kita mau produksi maka harus mulai dari uang. Dari uang kita beli tenaga kerja untuk dimasukkan ke sistem produksi plus saya beli juga alat produksi. Masuk ke sistem dimana tenaga dan alat bekerja untuk menghasilkan barang baru, komoditas. Contoh: produksi sepatu punya modal 1juta, beli kulit sapi, beli buruh, anggap saja produksinya 300ribu, tapi dijual 500rb, 200rb itu didapat dari buruh dan alat yang mengerjakannya. Maka kalau kita punya uang tapi tidak punya buruh dan alat, kita tidak menghasilkan nilai. Problemnya adalah yang bekerja nantinya dibayar hanya 50rb, yang tidak bekerja mendapat 150rb. Itulah sebabnya sistem kapitalisme itu bersifat eksploitatif, pasti. Maka selama sistem itu ada perampasan nilai kerja akan terus terjadi.
“Proses produksi ini tidak hanya berhenti pada barang, tapi juga pada hubungan relasi sosial. Sebab keuntungan tadi tidak akan terjadi kalau kondisi sosialnya tidak mendukung. Contoh: kulit sepatu, dulu kalau bicara kulit sebelum masyarakat butuh sepatu maka kulit sapi cuma jadi alas duduki, tapi ketika skrg masyarakat butuh sepatu maka kulit tadi bernilai. Maka masyarakat itu harus diubah dulu untuk membutuhkan macam-macam, agar kapitalisme dapat berjalan. Jadi, sistem ini memang bermasalah karena dia mensyaratkan adanya eksploitasi, jadi sistem ini tidak akan jalan kalu tidak mengambil hasil kerja orang lain.
“Dulu untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya adalah dengan menguasai seluruh tahap produksi, jadi untuk bahan baku sampai distribusi, semua itu dikuasai oleh satu kekuatan. Maka dulu muncul berbagai perusahaan besar yg anaknya ada dimana-mana. Tapi sekarang cara produksi itu berubah, bahwa ada perubahan untuk mendapat untung sebesar-besarnya. Kalau dulu dikuasai satu perusahaan, sekarang dipecah-pecah. Yang menyediakan bahan baku sendiri, produksi sendiri, distribusi pun berbeda, inilah yang disebut dengan produksi berantai, tidak terpusat, maka sekarang banyak orang yang bisa menjual barang tanpa punya produk. Misal saya punya desain sepatu dan merk, saya suruh orang di Cibaru untuk membuat, saya sudah berprduksi. Inilah yg kemudian disebut outsourcing. Aktivitas produksi di suatu perusahaan tidak dilakukan oleh perusahaan itu sendiri. Hal ini dilakukan karena lebih menguntungkan dibandingkan dikerjakan sendiri.
“Pola outsourcing. Produksi dari pra sampai pasca produksi dipecah ke banyak perusahaan, ini juga terjadi di dunia pangan. Dalam aktivitas ini banyak strateginya, pertama harus mencari ada tidak berbagai perusahaan di belahan dunia lain utamanya negara berkembang yang bisa mengerjakan satu bagian dari pekerjaannya. Misal pulpen tintanya dari china tapi plastiknya dari indonesia dan dibuat di sana, kemudian dijual di asia tenggara, dengan begini saya tidak perlu mengeluarkan cost untuk membuat plastik atau menyewa tenaga kerja. Cari mana yang paling murah adalah yang utama dan memastikan negara-negara punya kemampuan untuk memiliki teknologinya, memiliki kondisi hukum yang memungkinkan untuk kerjasama, menjamin bisnis.
“Perekonomian dunia hari ini bergerak seamcam itu. Lebih spesifik lagi kalau dalam dunia pertanian. Produksi bidang pangan dan pertanian, rantainya itu amat panjang, dari mulai bibit sampai meja makan. Dari setiap fase itu ada perusahaana yang hanya fokus untuk bibit saja, ada petani yang mengelola, ada pedagang, ada perusahaan yang mengubah bahan pertanian menjadi bahan lain, kemudian masuk ke meja makannya konsumen, semua itu dipecah-pecah ke seluruh dunia. Yang penting adalah harus diamati tingkat keuntungan itu berbeda-beda di setiap kegiatan. Prusahaan bibit akan mendapat untung dari penelitian, kalau petani dari pengolahan, pedagang berbeda, dst. Ini contoh ada satu perusahaan pangan di dunia, namanya Nutella, membuat bahan pangan berbasis kacang. Perusahaan pusatnya di italia, yang malaysia, china, nigeria memasok bahan pangannya. Pabriknya tersebar di berbagai negara, pasarnya pun tersebar di berbagai negara. Masalah dari produksi berjejaring berantai ini adalah:
1. Ketidakpastian dalam bekerja, ini menjadi tuntutan buruh, karena mereka harus kontrak terus, jadi ketika perushaan demandnya turun, maka perusahaan melakukan phk, agar tidak rugi, itulah sebabnya perusahaan tidak mau mengikat karyawannya
2. Petani memproduksi kedelai, kedelai yang diproduksi diekspor, brarti ada nilai kerja, yg menikmati nilai untung itu adalah banyak orang di luar sana, jadi eksploitasi ini kalau dulu hanya satu perusahaan, sekarang oleh banyak perusahaan.
“Perdagangan dunia hari ini adalah perdagangan yang meliputi rantai eksploitasi ini, itulah gunanya WTO untuk menopang. Perlu diketahuhi bahwa rantai ini tidak bisa dijalankan jika negara proteksionis, menerapkan pajak, dsb. WTO membebaskan itu semua. Misalnya kita bangga mendapat investasi dari dunia luar. Investasi di Purbalingga misalnya, itu amat tinggi, tapi masalahnya, produksi mereka menjadi pesanan dari AS dan Korea, mereka bikin bulu mata dan wig untuk diekspor ke negara-negara lain, jadi mereka hanya mengerjakan pesanan, yang pasti perusahaan yang punya merk yang untungnya paling besar karena mereka punya pasar desain, dsb, sementara buruh purbalingga mendapatkan untung paling sedikit. WTO yang memfasilitasi ini. Maka banyak kebijakan WTO itu adalah untuk memfasilitasi perdagangan tadi supaya berjalan lancar. Paket Bali itu adalah ditujukan supaya pola untuk menciptakan keuntungan sebesar-besarnya itu dapat berjalan lancar. Maka kita dapat lihat di trade facilitation itu amat memudahkan perdagangan. Jadi WTO itu adalah bagaimana menjamin sistem eksploitatif ini.
“Yang menarik dalam dunia pertanian, bukan hanya untuk menjamin pasar kita terbuka bagi perusahaan-perusahaan negara maju, tapi mereka melihat potensi apa yang bisa dihisap dari negara-negara ini. Indonesia bisa apa? Kebisaan itu diteliti negara maju untuk mengeksploitasi kita agar terlibat dalam jaring berantai ini. Ekspor indonesia di dunia ada tiga: Pertama adalah kelapa sawit, ini menjadi input dari berbagai produksi di dunia; Kedua adalah tekstil dan produk tekstil, dan ini bukan kita yang desain, tapi pesanan dari dunia luar; Ketiga adalah otomotif yang kita jelas hanya merakit untuk dijual di negara asia tenggara.
“Maka kalau kita mau melawan wto, usaha SPI dan banyak aktivis utk menghambat perjanjian di WTO itu amat baik. Tapi kemana kita mengarahkan perlawanan kita? Apakah kita akan menggantikan negara maju untuk menjadi pengeksploitasi? Selama kita berada di sistem kapitalisme, eksploitasi itu akan tetap terjadi. Maka pelan-pelan kita arahkan gerakan ini untuk menghancurkan sistem, agar perjuangan kita menjadi lebih bermanfaat.”
Setelah selesai memberikan kuliahnya, mic pun dioper dari mas Dodi ke mas Yosi. Kedua dosen ini memiliki pemikiran yang mirip, jadi aku cukup penasaran apa yang akan dikatakan mas Yosi mengingat hampir semua pengetahuan mereka mengenai sistem Kapitalisme sudah disampaikan dengan cukup baik oleh mas Yosi. Cukup mengejutkan, mas Yosi menyatakan bahwa ia ingin membahas spesifik mengenai investasi dan finansialisasi. Aku tahu bahwa mas Yosi cukup menguasai kedua topik itu, tapi aku tidak habis pikir bahwa dia akan membawanya dalam pertemuan dengan petani-petani yang belum tentu pernah belajar ekonomi SMA. Tapi tentunya dia tetap memberikan kuliahnya.
Mas Yosi memulai kuliahnya dengan membuat sebuah pengakuan, “Saya sadar bahwa Anda (para petani) mungkin merasa agak tidak nyambung antara apa hubungan dari hal-hal yang dengan saham-saham di sana. Apa hubungannya Goldman Sachs dengan kegiatan pacul memacul di sini? Sesungguhnya itu amat berhubungan. Petani hari ini menanggung beban berat yang lebih berat dari sebelumnya karena harus menangggung ekonomi dunia.
“Kalau dibilang WTO membunuh petani, saya tidak sependapat, sebab petani itu dibutuhkan oleh WTO untuk melumasi roda-roda mereka dalam mendapat profit. Jadi Anda tidak akan dibiarkan mati tapi tidak akan dibiarkan hidup bahagia.” Ketika mas Yosi mengungkapkan pendapatnya ini, seisi ruang tertawa. Ya, mas Yosi memang ahli untuk urusan satirical joke semacam ini.
Mas Yosi melanjutkan, “Inilah konsekuensi dari sistem ini (Kapitalisme).
Kita akan mulai dari cerita krisis finansial global 2008. Kalau dari penjelasan tadi (mas Dodi), maka dapat disimpulkan bahwa Kapitalisme adalah sistem untuk mendapatkan profit, bukan cukup. Dulu orang berdagang untuk cukup, sekarang untuk profit. Masalah profit inilah yang dimanfaatkan terus oleh para pialang saham.
“Krisis finansial global yang terjadi hari ini terjadi karena nafsu manusia untuk mendapatkan untung berkembang menjadi begitu rakusnya pasar saham dalam menciptakan pasar virtual yang menggelembungkan ekonomi dunia. Beberapa data, tahun 2007-2008 itu yang namanya perdagangan kontrak, namanya forward atau futures, terindikasi amat banyak. Forward itu misalnya kita butuh uang untuk menanam padi, kita meminjam tapi kalau ke bank sudah umum. Dibentuklah pinjaman baru dalam bentuk forward, untuk mengembalikan uangnya maka tidak disesuaikan dengan harga saat jatuh tempo, tapi dengan harga hari ini. Maka tidak perlu khawatir rugi, karena hanya akan membayar sesuai nilai hari itu. Kontrak ini dipegan oleh yang mengumpulkan dan kemudian dijual. Jadi bekerja, dikasih uang, kemudian kontrak kerjasamanya dijual lagi.
“Jadi apa yang petani lakukan di lapangan itu memberi efek pada apa yang terjadi di bursa saham, tapi tahun 2007-2008 ini semua hancur. Karena naik harga kontrak itu 60% padahal ketika dicek di lapangan tidak ada kenaikan apa-apa. Maka virtual naik tapi riil tidak naik, ambruklah sistem virtual itu. Kenaikan dari 2003-2008, indeks komoditas dari hanya 13 milyar menjadi 600 milyar, pada saat ini hancur, mereka perlu untuk meremajakan proses-proses ini, maka dilakukanlah land grabbing. Land grabbing, perampasan tanah, pengalihgunaan tanah dari kebutuhan pada umumnya untuk menjadi profit, untuk ekspansi kapital. Pada saat food crisis, tanah di dunia ini hanya 30% yang digunakan untuk pangan, sisanya untuk tambang, dan memberi makan hewan ternak. Jdi ini problematik. Ketika wto bilang food crisis, itu hanyalah justifikasi supaya agrikultur ini dipakai untuk kemajuan kapitalisme.
“Apa yang harus kita lakukan? Ini semua tidak akan terjadi jika kita tidak diminta untuk memenuhi kebutuhan mereka. Maka akankah ada alternatif bagi penciptaan agrikultur yang cukup untuk kita sendiri, tidak perlu ada pasar, dsb? Terkait peran pemerintah, tidak ada ceritanya pemerintah berpihak pada kita. Mungkin perlu dipkirkan cara lain, bagaimana kalau kita berpikir bahwa negara tidak pernah memihak pada kita, maka kita perlu membuat skenario dimana negara tidak dilibatkan dalam kepentingan kita. Sebab sistem ini memang mengarahkan kita untuk menandatangi perjanjian dengan wto atau imf. Cardoso, Presiden Brazil yang merupakan salah satu pioneer dalam teori dependensi pun terpaksa harus menandatangani utang dengan IMF, sebab jika tidak negaranya akan hancur. Jadi ini bukan masalah orangnya, tapi memang masalah sistemnya.” Begitulah mas Yosi menyelesaikan kuliahnya dan dimulailah sesi tanya jawab.
Pertanyaan (atau tanggapan?) pertama datang dari pak Rujianto, utusan SPI dari Jambi. Beliau berkata,”Ingat lagu kolam susu? Ingat dikatakan di sana betapa gemah ripahnya Indonesia, sehingga sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan bangsa saja sudah lebih, maka sebenarnya bangsa ini bisa mengurus bangsanya sendiri tanpa perlu bergantung pada bangsa lain.
Tanggapan (atau pertanyaan?) kedua datang dari ibu Marsinem dari Aceh. Beliau berkata, “Kita para petani harus menanam sesuai kebutuhan. Kita tidak perlu memikirkan ekspor. Tapi sekarang wto sudah ada di Indonesia, kalau dibiarkan lebih lanjut, petani akan mati jika pemerintah tidak berpihak pada petani, sementara pemerintah tidak pernah memihak.Jika tidak perlu melibatkan negara, jadi di dalam hasil kajian apa alternatifnya? apakah harus kudeta? Atau apa?”
Tanggapan selanjutnya datang dari Kustian dari NTT. Dengan amat jujur, pak Kustian berkata, “ Penjelasan adek-adek ini amat sulit dicerna oleh petani. Tolong buatlah hal-hal yang sudah diteliti dapat dijelaskan atau dididik ke orang-orang bawah. Petani hanya dapat memikirkan soal gerak lawan, tapi kalau kami tidak mengerti, semuanya jadi percuma, maka apa yang harus dilakukan? Sistem apa yang bisa dibuat untuk memutus rantai ini? Saya mau yang riil. Daya serap kami sangat minim. Orang-orang kota itu maunya membeli tomat di Carrefour yang lebih mahal, padahal yang di pasar tradisional lebih murah. Pasar bebas itu sebenarnya apa?
Saya ingin menambahkan bahwa lawan ini amat rumit untuk dilawan, ini jadi problema baru. Bagi kami petani, sesungguhnya ini amat sederhana: semua orang membutuhkan pangan dan kami memberikan pangan, itulah sebatas yang dapat kami pikirkan. Jadi kalianlah kaum cendekiawan yang dapat memikirkan ini semua. Kami hanya tahu membuat pangan, kami ingin memberikan pangan bagi mereka, tapi kami dieksploitasi. Sekarang ada kaum intelektual yang sadar dan pro kami, kami ingin tahu bagaimana kalian melawan mereka? Lalu bagaimana Anda bisa memback-up kami? Bagaimana kekuatan pangan ini bisa dipergunakan?”
Tanggapan selanjutnya datang dari Salakum dari Bandar Lampung yang cukup engage dengan kuliah mas Dodi dan mas Yosi, “Kita sekarang masih dalam lingkup sistem, kita harus membuat sistem baru yang tidak melibatkan pemerintah, apakah sudah ada konsep untuk sistem baru tersebut? Bagi petani, yang dapat terpikirkan adalah sistem dimana petani hanya perlu membeli pangan dari orang lain, tapi cukup dengan menjual saja.”
Tanggapan selanjutnya lagi datang dari Ukhti dari Jateng yang langsung tegas menyatakan, “Negara kita kebijakannya berpihak pada Neolib, saya meminta bagaimana membuat suatu konsep untuk melawan wto, apa yang kita lakukan? Apa yang akan kita lakukan?”
Terlihat jelas bahwa para petani yang mengikuti pertemuan SPI ini amat kesulitan untuk mengikuti kuliah mas Dodi dan mas Yosi yang sebenarnya hanya bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai sistem Kapitalisme secara objektif. Mereka langsung melakukan jumping ke solusi dengan mengajukan pertanyaan seperti, “Apa yang harus kita lakukan?” Tentu menarik untuk menunggu apa jawaban mas Dodi dan mas Yosi terhadap tanggapan dan pertanyaan para petani.
Ada dua poin yang diberikam dari mas Dodi:
1. Kondisi apa yang memungkinkan sehingga sektor pangan kita mengalami masalah?
2. Alternatif apa yang akan ditawarkan ketika kita melihat sistem hari ini bermasalah?
“Pertama mengenai SDA wilayah geografis kita dikatakan cukup, mengapa kemudian jadi tidak cukup? Karena memang kita berproduksi tidak untuk cukup, maksudnya, pola produksi pangan kita bukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita, tapi kita mengolah tanah kita untuk membeli kebutuhan lainnya. Maka untuk alternatif tidak usah jauh-jauh, kampung saya di Sumsel, kakek nenek saya petani, mereka meninggal, tanpa harus belanja kebutuhan pangan sudah terpenuhi. Lingkungan ketika saya telusuri lagi, jauh hari ketika Indonesia dijajah, sistemnya tidak untuk pertukaran agar mendapat keuntungan, tapi untuk berbagi, misalnya keluarga A mengurus pertanian, ada yang mengurus perairan, gotong royong, tapi untuk memenuhi kebutuhan kampung itu sendiri.
“Apa yang diperjuangkan oleh La Via Campesina, tentang food sovereignty. Food sovereignty itu adalah kedaulatan petani untuk menentukan apa yang mereka akan tanam, apa yang mereka akan makan, itu berarti kita tidak bergantung pada jejaring ekonomi global. Yang menarik, hari ini bisa kita lihat bahwa wto itu tidak hanya memfasilitasi, tapi mereka mencoba untuk merancang pola produksi ini untuk apa, mereka akan mendesain wilayah ini menjadi basis produksi apa, dijaringkan dengan wilayah lainnya, terlihat bahwa hal ini dirancang, kalau ini dibiarkan maka kebebasan petani untuk menanam dan apa yang harus ditanam menjadi tidak ada. Maka alternatif itu akan ada ketika kita sudah mulai bekeja dengan tidak merampas hasil kerja orang lain.”
Setelah mas Dodi selesai menjawab tanggapan dari para Petani, mas Yosi kedapatan bagian. Dia berkata dengan jujur, “Saya tidak ingin memberi janji akan alternatif, sebab apa yang bapak tanyakan (alternatif) itu juga sedang saya tanyakan saat ini. Tapi visioner itu kan melihat dalam gelap. Yang saya tahu adalah kalau ingin mencari alternatif bahwa ekonomi yang nantinya akan dibuat itu harus tidak mensyaratkan perampasan nilai kerja. Mungkin sekarang ada fair trade, namun konsep fair trade dalam kapitalisme itu sebetulnya tidak fair. Harus disadari bahwa Pertukaran itu tidak harus selalu menguntungkan, yang penting hanyalah untuk cukup. Sekedar gambaran alternatif, saat ini di Cuba ada urban agriculture, itu menarik sebab beberapa orang melakukan itu di bogor. Di halaman depan ditanami tomat, kentang, cabai, yang cukup mereka butuhkan, sehingga mereka tidak harus ke pasar, kalau ada yang kurang tinggal mereka tukar dengan tetangga. Alternatif yang kita buat harus yang seminimal mungkin memenuhi demikian.”
Dengan jawaban yang diberikan kedua dosen itu, sesi tanya jawab pun berakhir, begitu pula dengan sesi pertemuan siang ini. Para pembicara yang hadir, Madam Joon, mas Dodi, dan mas Yosi mendapatkan hadiah berupa sekarung beras organik dari SPI (pembicara dari IGJ sudah pulang di tengah diskusi). Mereka pun dijamu dengan makan siang yang dibuat khusus oleh para Petani Indonesia. Aku pun ikut memakannya dan aku tahu bahwa tidak ada yang lebih enak daripada nasi yang berasal dari beras para petani.
Aku sadar bahwa ilmu yang kupelajari ini memiliki potensi-potensi yang mengerikan. Dengan pemahamanku terhadap sistem Kapitalisme, aku tentu bisa memanfaatkannya untuk menjadi salah satu pemain penting dalam sistem ini. Tapi di sisi lain, pengetahuanku ini juga bisa digunakan untuk merombak sistem ini, atau bahkan menghancurkannya. Aku sebetulnya sudah membuat pilihanku sejak lama, tapi aku tidak perlu membaginya di sini.
Satu hal yang jelas, perjuangan para Petani ini masih akan jauh dari kata berhasil. Pemahaman mereka terhadap Kapitalisme masih amat minim dan yang terbaik yang dapat mereka lakukan hanyalah menunda pertemuan penting WTO dengan cara menduduki tempat pertemuan mereka atau mungkin membuat keributan. Mungkin saja mereka bisa mengusir WTO dari Bali bulan Desember nanti, tapi mereka tetap belum mampu untuk mengusir Kapitalisme dari Indonesia.
Akademisi menjadi pemegang peran penting dalam hal mengarahkan para Petani untuk menemukan bentuk gerakan yang paling tepat untuk mengatasi dampak buruk Kapitalisme sampai ke akar-akarnya. Penelitian yang dilakukan JeRK, sejatinya adalah berdasarkan dari prinsip tersebut. Tapi terlihat jelas bahwa mereka pun masih belum mampu menemukan alternatif yang dicari-cari oleh semua orang. Namun setidaknya, pemahaman mereka terhadap Kapitalisme akan mampu menolong para Petani untuk menemukan bentuk gerakan mana yang tidak seharusnya dilakukan untuk mengatasi Kapitalisme. Aku hanya berharap bahwa para Petani itu mau mendengarkan para akademisi agar usaha mereka nantinya tidak menjadi sia-sia dengan berakhir memperkuat Kapitalisme itu sendiri.
Comments
Post a Comment