Teori Pembentukan Negara ala Islam


Apa sesungguhnya yang menjadi dasar bagi bersatunya manusia dalam membentuk suatu entitas baru yang lebih besar dan lebih kuat, seperti negara, imperium, atau kawasan?

Benedict Anderson mengatakan bahwa kesamaan imajinasi di antara orang-orang yang tinggal di suatu wilayah adalah alasan utama bagi bersatunya manusia-manusia tersebut. Jadi bukan semata kesamaan bentuk fisik atau tempat tinggal, namun adanya kesamaan pikiran atau imajinasi. Kesamaan imajinasi terbentuk karena adanya kesamaan sejarah dan kebudayaan yang dibentuk secara berkelangsungan selama berabad-abad. Oleh sebab itu, perbedaan imajinasi akan membuat kesatuan menjadi sulit dibangun. Negara-negara Asia Tenggara memiliki sejarah dan kebudayaan yang berbeda, sehingga imajinasi mereka pun berbeda, maka mereka tidak mau menyatu.

Bahkan di Eropa sendiri yang pernah bersatu di bawah imperium, banyak orang-orang yang berasal dari ras yang sama namun terpecah dalam berbagai negara. Bangsa Jerman ada yg tinggal di Denmark, sebagian ada di Swiss. Begitu pula dengan orang Belanda, sebagian ada yang tinggal di Belgia. perbedaan imajinasi di antara ras Aria yang tinggal di Jerman dan Swiss membuat kesamaan agama, kesamaan ras, dll menjadi tidak penting.

Satu hal yang menarik dari pemikiran Anderson adalah bahwa karena kesamaan imajinasi dibentuk karena adanya kesamaan sejarah dan karena sejarah dapat digunakan oleh penguasa sebagai sebuah instrumen untuk menguasai, maka imajinasi itu dapat diciptakan. Contohnya terdapat di Indonesia. Orang-orang Papua sesungguhnya tidak memiliki kesamaan imajinasi dengan orang-orang di Jawa, Sumatera, ataupun Kalimantan, namun pemerintah Indonesia dapat menuliskan dan mengedukasi orang-orang Papua untuk memiliki kesamaan imajinasi dengan orang-orang tersebut, untuk menjadi bagian dari Indonesia. Contoh konkretnya ada pada nama Irian Jaya yang diberikan Bung Karno kepada Papua setelah mereka merdeka, yang merupakan singkatan dari Ikut Republik Indonesia Melawan Netherland.

Pemikir Islam berkata lain. Ibn Rushd mengatakan bahwa negara tercipta karena adanya kesalingtergantungan di antara penduduknya. Seorang pedagang membutuhkan pembeli, seorang pembeli membutuhkan pedagang, mereka berdua membutuhkan pasar, pasar membutuhkan negara untuk menjamin keberadaannya, negara membutuhkan pasar untuk memenuhi kontrak sosialnya dalam mensejahterakan rakyat, dan seterusnya. Interdependensi inilah yang membentuk sebuah negara.

Ketika negara tersebut terbentuk, diperlukan seorang pemimpin untuk menjalankan hukum yg mengatur mereka semua. Bagi ibn Rushd, hukumnya tentu adl hukum Syari'a, Seorang pemimpin harus berani untuk bersikap keras dalam hal penerapan hukum. Sama seperti Weber, Rushd percaya bahwa negara berhak melakukan hal yg dianggap melanggar HAM, seperti mendeklarasikan peperangan, menghukum mati, dsb, Selama negara yg melanggar HAM, maka itu adalah baik bagi Ibnu Rushd. Menurut anthony black, latar belakang ibn Rushd yg seorang hakim agama adalah sebabnya dia memiliki pemikiran yang keras terkait hukum.
Tingginya popularitas Ibn Rush dalam pemikiran intelektualitas Islam di masa itu adalah salah satu alasan mengapa hukum Syari'a itu amat keras.

Pemikiran Ibn Rushd amat simpel karena di zaman itu memang tidak banyak yang bisa dipelajari, Ibn Khaldun yang hidup beberapa abad setelah Ibn Rushd, tepatnya pada masa ketika Daulah Islamiyah sudah terpecah-pecah, memiliki kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi. Dia memiliki teori yg berbeda dari Rushd, namun agak mirip dgn Anderson. Teori Khaldun disebut dengan Teori Assabiyah. Teori ini dihasilkan dari riset bertahun-tahun yg dilakukan secara kualitatif, dengan cara menjadi bagian dari komunitas yg ia pelajari dan melakukan wawancara terhadap setiap golongan masyarakat dimana dia menjadi anggotanya.

Teori Assabiyah ini disampaikan dalam Muqaddimah, buku Khaldun yg paling influential. Dalam teori tersebut disebutkan bahwa ada persamaan antara masyarakat Muslim yg hidup di dunia ketika itu. Dalam setiap kelompok dimana Ibnu Khaldun melakukan riset tersebut, terdapat semacam group feeling yang memicu sikap untuk membedakan kelompok tersebut dengan kelompok lainnya. Group feeling ini dapat tercipta oleh berbagai hal, namun umumnya tercipta karena kesamaan tempat tinggal. Group feeling inilah yang disebut Ibnu Khaldun dengan sebutan Assabiyah.

Kesamaan Assabiyah adalah faktor utama bagi pembentukan negara, sebab kesamaan Assabiyah menjamin adanya persatuan yang dibutuhkan untuk membangun negara. Oleh sebab itu, membangun negara Islam yang besar harus selalu didasarkan pada pembentukan Assabiyah Islam. Sayangnya, Daulah Islamiyah di masa Ibnu Khaldun tinggal lebih mementingkan pembentukan Assabiyah kesukuan, contohnya adalah Khalifah hanya boleh berasal dari suku Quraisy. Pembentukan Assabiyah semacam ini menyebabkan mereka yang berasal dari suku bukan Quraisy tidak akan merasa menjadi bagian dari Daulah Islamiyah, sehingga Daulah Islamiyah pun terpecah-pecah.

Dengan menggunakan teori Assabiyah, maka interdependensi yang menjadi landasan bagi terbentuknya negara seperti yang dikatakan Ibn Rushd menjadi kurang relevan. Sebab walaupun mungkin di antara Suku Quraisy dan Bangsa Persia terdapat interdependensi dalam hal berdagang, namun karena perbedaan di antara Assabiyah mereka, maka kedua entitas tersebut tidak dapat menyatu dalam sebuah negara. Wajarlah jika kemudian bangsa Persia memutuskan untuk membangun negara sendiri yang independen dari pengaruh Baghdad.

Teori Assabiyah ini jelas sangat mirip dengan teori Anderson, namun terdapat sedikit perbedaan. Anderson mengedepankan kesamaan sejarah dalam pembentukan imajinasi, namun Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kesamaan Assabiyah tidak boleh dibentuk berdasarkan kesamaan sejarah. Justru perbedaan sejarah itu harus dilupakan dan difokuskan kepada kesamaan agama, yakni Islam.

Kalau ada kesamaan di antara pemikiran Ibnu Khaldun dan Ibn Rushd adalah negara harus bersifat top down, tidak perlu check and balance dari bawah ke atas. Hal ini disebabkan negara Islam dibuat berdasarkan hukum Syari'a, bukan hukum Syari’a yang dibuat oleh kepentingan penduduk negara Islam. Hukum Syari’a dibuat oleh Tuhan yg kebenarannya tidak dapat dibantah lagi. Ditambah lagi, hukum Syari’a sudah ada sejak zamannya Ibrahim, sehingga hukum ini menjadi amat kuat. Dengan adanya hukum yang kuat tersebut, maka negara Islam tidak membutuhkan aspirasi dari masyarakat untuk berkontribusi pada pembuatan hukum tersebut, Khalifah dengan demikian hanya menjadi deputi yang harus mempertahankan hukum Syari’a dan tidak membutuhkan koreksi lagi dari rakyatnya. Oleh sebab itu, seorang khalifah harus memiliki self control yang kuat.

Bagi Ibnu Khaldun, negara ada berbagai bentuk:
  1. Negara yg dibentuk tanpa dasar keadilan, tanpa dasar kesejahteraan, tapi negara terbentuk krn assabiyah, tapi ketika berjalan berdasarkan sistem yg otoriter, Ibnu Khaldun bilang bahwa negara itu tidak akan bertahan lama krn penduduk pasti berontak
  2. Negara yg dibentuk atas dasar keadilan dan kesejahteraan, tapi tidak berdasarkan spiritual, negara itu akan jadi makmur tapi kosong secara spiritual sehingga negara hanya dan hanya akan mengejar materi
  3. Negara yg berbentuk duniawi, tapi kontrol dilepas ke masing2 bangsawan lokal, tidak ada kontrol tunggal, bisa makmur tapi akan anarkis
  4. Negara ideal adalah yg mengejar keadilan, kesejahteraan, ada penguasa tunggal, ada nilai spiritual dimana semua kekosongan itu terisi

Comments

Popular posts from this blog

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Memahami Konstruktivisme

Richard Ned Lebow: Mengkonsepsi Ulang Ide Konstruksi Identitas 'Self' dan 'Other'

Memahami Politik Identitas

Pengaruh Ideologi Konfusianisme terhadap Hubungan Diplomatik Vietnam – China Kontemporer