Pekerja Rumah Tangga, Advokasi Transnasional dan Kondisi Pengecualian
(Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di Jurnal Politik Indonesia Unnes Terakreditasi DIKTI No. 48a/E/KPT/2017 pada tanggal 30 Oktober 2017)
Di tingkat internasional, advokasi hak buruh telah menghasilkan sebuah rezim perburuhan internasional yang direpresentasikan oleh International Labor Organization (ILO). Berbagai konvensi yang dihasilkan melalui konferensi ILO kemudian menjadi instrumen hukum internasional yang mendasari hukum perburuhan di hampir seluruh negara di dunia.
Walau masih terdapat berbagai masalah, tidak dapat diragukan lagi bahwa buruh hari ini telah menikmati standar hidup yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum abad ke-19. Akan tetapi, sulit untuk mengatakan hal yang sama kepada buruh di sektor domestik yang mengerjakan tugas-tugas keseharian rumah tangga atau lebih dikenal sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Walau masih terdapat berbagai masalah, tidak dapat diragukan lagi bahwa buruh hari ini telah menikmati standar hidup yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum abad ke-19. Akan tetapi, sulit untuk mengatakan hal yang sama kepada buruh di sektor domestik yang mengerjakan tugas-tugas keseharian rumah tangga atau lebih dikenal sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Pekerjaan PRT dianggap terlalu remeh (second class) dibandingkan pekerjaan buruh yang dianggap formal (buruh industri, perkantoran). Negara menolak untuk mengakui PRT sebagai ‘pekerja’ dan hanya menyebut mereka sebatas ‘pekerja informal’ atau bahkan ‘pembantu’.
Sebagai akibatnya, PRT tidak dapat menikmati berbagai jaminan hukum yang dihasilkan oleh advokasi hak buruh. Sementara pekerja yang dianggap formal berhak mendapatkan upah minimum, upah lembur, hari kerja sepanjang lima hari dan empat puluh jam per minggu, hari libur, cuti, dsb., PRT tidak menikmati satu pun hak-hak tersebut (Human Rights Watch, 2009).
Kondisi PRT yang tidak diakui dan dilindungi oleh hukum menyebabkan mereka rentan terhadap berbagai masalah perburuhan klasik, seperti upah yang rendah dan jam kerja berlebihan. Laporan dari Human Rights Watch terhadap situasi pekerja domestik di Indonesia menyebutkan bahwa PRT dapat bekerja hingga 14-18 jam setiap hari tanpa mendapat hari libur maupun cuti dan hanya diupah sekitar Rp 1,300,000.
Kondisi PRT yang tidak diakui dan dilindungi oleh hukum menyebabkan mereka rentan terhadap berbagai masalah perburuhan klasik, seperti upah yang rendah dan jam kerja berlebihan. Laporan dari Human Rights Watch terhadap situasi pekerja domestik di Indonesia menyebutkan bahwa PRT dapat bekerja hingga 14-18 jam setiap hari tanpa mendapat hari libur maupun cuti dan hanya diupah sekitar Rp 1,300,000.
Hal ini semakin diperparah dengan lingkungan kerja yang sangat terisolir (hanya di dalam rumah) yang menyebabkan mereka semakin rentan untuk dieksploitasi. Dalam berbagai kasus, eksploitasi tidak berhenti sampai eksploitasi kerja saja, namun juga eksploitasi seksual (Human Rights Watch, 2009).
International Labor Organization pada tahun 2011 telah mengadopsi Konvensi No. 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (C189) untuk menegaskan status PRT sebagai ‘pekerja sejati’ yang memiliki hak-hak yang harus dihormati.
International Labor Organization pada tahun 2011 telah mengadopsi Konvensi No. 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (C189) untuk menegaskan status PRT sebagai ‘pekerja sejati’ yang memiliki hak-hak yang harus dihormati.
Di satu sisi, C189 dianggap sebagai capaian monumental dalam advokasi untuk memperjuangkan hak PRT karena untuk pertama kalinya terdapat pengakuan secara holistik terhadap PRT di dalam dokumen legal (Albin, 2011). Namun di sisi lain, C189 juga dikritisi karena dianggap terlalu terlambat sementara sudah banyak korban yang berjatuhan (Eileen & Fish, 2014).
Terlepas dari perdebatan mengenai signifikansi C189, satu fakta yang harus diakui adalah belum banyak negara yang meratifikasi konvensi ini.[1]
Sebagai contoh, Filipina merupakan satu-satunya negara Asia yang sudah meratifikasi C189 per April 2017, meskipun Asia merupakan wilayah dengan PRT terbanyak menurut estimasi ILO (International Labor Organization, 2013). Hal ini menunjukkan kurangnya proliferasi terhadap nilai-nilai yang berusaha dipromosikan oleh C189.
Indonesia merupakan salah satu negara yang belum meratifikasi C189. Sebagai negara yang mana PRT merupakan 76% dari keseluruhan tenaga kerja nasional, ketidakpatuhan Indonesia terhadap C189 mengundang pertanyaan (International Labor Organization, 2006).
Indonesia merupakan salah satu negara yang belum meratifikasi C189. Sebagai negara yang mana PRT merupakan 76% dari keseluruhan tenaga kerja nasional, ketidakpatuhan Indonesia terhadap C189 mengundang pertanyaan (International Labor Organization, 2006).
Selain persoalan ekonomi, PRT juga menjadi masalah sosial dengan munculnya berbagai pemberitaan mengenai penganiayaan PRT Indonesia di luar maupun di dalam negeri. Sejumlah organisasi non pemerintah (ornop), baik di Indonesia (JALA PRT, KAPPRT) maupun di tingkat internasional (Amnesty International, Human Rights Watch) telah menekan pemerintah Indonesia untuk menciptakan kerangka hukum yang mampu melindungi PRT.
Akan tetapi, pemerintah tetap tidak bergeming kecuali memberi janji untuk membahas rancangan undang-undang yang tidak kunjung ditepati (Amnesty International, 2016).
Tulisan ini akan berusaha menjawab pertanyaan:
Tulisan ini akan berusaha menjawab pertanyaan:
“Mengapa Indonesia belum menciptakan kerangka hukum untuk melindungi PRT, meskipun PRT merupakan mayoritas tenaga kerjanya dan meskipun sudah ada tekanan, baik dari internal maupun eksternal, untuk melakukannya?”
Agamben mengambil contoh kasus undang-undang USA Patriot Act untuk menjelaskan maksudnya. Dalam undang-undang tersebut, negara, melalui hukum, diperbolehkan untuk menahan alien yang dicurigai melakukan aktivitas yang membahayakan keamanan nasional Amerika Serikat.
Keck & Sikkink melihat bahwa terdapat kecenderungan dari jejaring advokasi transnasional untuk menyebutkan klaim mengenai hak di dalam kampanyenya. Sebab pemerintah merupakan penjamin utama atas hak namun juga pelanggar utamanya.
Efektifitas dari pola bumerang (boomerang effect) dalam strategi jejaring advokasi transnasional ditentukan dari dua hal, yaitu karakteristik isu dan karakteristik aktor.
Kutipan dari hasil wawancara Human Rights Watch (HRW) dengan seorang pekerja rumah tangga (PRT) di atas menggambarkan kondisi umum yang dialami oleh PRT di Indonesia.
Direkrut saat masih di bawah umur, dipaksa mengerjakan berbagai jenis tugas rumah tangga hingga 14 jam setiap hari, dikurung di dalam rumah, dan didera dengan berbagai eksploitasi verbal.
HRW menyatakan bahwa PRT di Indonesia yang mayoritas merupakan perempuan dan masih anak-anak ini hidup dan bekerja di bawah ‘bayang-bayang masyarakat’ – tersembunyi di balik pintu-pintu yang terkunci, terisolasi dari keluarga dan teman-temannya, dan tidak mendapat pengawasan ataupun jaminan hukum dari pemerintah.
Pada kenyataannya, HRW menemukan bahwa banyak pejabat pemerintah Indonesia yang tidak mau mengakui bahwa PRT merupakan pekerja (Human Rights Watch, 2009).
Berkembangnya fenomena eksploitasi PRT berjalan seiringan dengan fenomena urbanisasi, dimana masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan Indonesia mencoba mencari penghidupan yang lebih baik di kota. HRW menemukan berbagai praktek yang menyerempet tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus PRT, seperti perekrutan melalui modus penipuan berupa janji palsu akan upah yang lebih tinggi di ibukota.
PRT menjadi rentan terhadap modus semacam ini karena mereka tidak memiliki kontrak kerja yang menerangkan perincian mengenai tugas-tugas yang akan mereka kerjakan, jam kerja yang ditentukan, atau bahkan sekedar perincian upah. Mayoritas PRT menggantungkan nasibnya kepada rasa percaya terhadap perekrut yang, dalam berbagai kasus, merupakan orang terdekat mereka (tetangga, sanak famili, atau bahkan orangtua) (Human Rights Watch, 2009).
Sekalipun PRT tidak menggunakan jasa middle-man untuk mencari kerja, mereka tetap akan rentan terhadap eksploitasi karena tidak memiliki tempat untuk mengadu seandainya terkena masalah. HRW banyak menemukan berbagai kasus dimana pengguna jasa PRT menahan pembayaran dan upah jika seorang PRT memutuskan untuk meninggalkan rumah karena alasan-alasan kultural (pulang ke desa, menikah).
Dengan melakukan ini, PRT dipaksa untuk tetap tinggal di dalam rumah dan kehilangan kemampuan untuk meninggalkan situasi yang eksploitatif. Dalam kasus terburuk, HRW menemukan bahwa situasi eksploitatif ini dapat melibatkan pelecehan secara fisik, psikologis, dan seksual oleh majikan mereka, di atas eksploitasi atas tenaga kerja mereka (Human Rights Watch, 2004).
Kalaupun kasus-kasus di atas tidak terjadi dan PRT cukup ‘beruntung’ menemukan majikan yang ‘baik’, mereka tetap tidak akan dapat diupah setara dengan pekerja pada umumnya.
Sebagai contoh, Jakarta, salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peraturan daerah untuk mengatur PRT, menetapkan upah minimum PRT sebesar Rp 1.2 juta, sementara upah minimum untuk buruh pada tahun 2016 mencapai Rp 3.35 juta (Gajimu.com).
Relasi antara pekerja rumah tangga dan majikan di Indonesia tidak bersifat hubungan industrial, melainkan paternalistik. Dalam hal ini, seorang majikan dianggap berjasa dalam memberikan sumber pendapatan bagi orang-orang, yang dalam kondisi sebaliknya akan menganggur, memberikan tempat tinggal dan makanan, serta melindungi dari ‘kerasnya’ hidup di ibukota.
Dengan kata lain, PRT di Indonesia diperlakukan sebagai anggota keluarga dalam rumah tangga dan regulasi atas mereka diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga, sebagaimana pemerintah tidak dapat mengatur bagaimana orangtua membesarkan anaknya sendiri.
Dalam budaya Jawa, praktek ini dilegitimasi oleh kebudayaan yang dikenal dengan sebutan ngenger, yaitu kebiasaan adat di pulau Jawa dimana seorang anak yang tinggal di rumah seorang saudara jauh atau bukan saudara, tapi dianggap bagian keluarga, pergi meninggalkan keluarganya (yang miskin) untuk tinggal di rumah saudaranya (yang kaya).
Dalam kondisi seperti ini, keluarga yang kaya diharuskan, secara moral, untuk membiayai sekolah dan kebutuhan sehari-hari sang anak, dan sebagai imbalan, sekaligus ungkapan terimakasih, sang anak yang bersangkutan akan melakukan berbagai bentuk kerja rumah tangga (Human Rights Watch, 2009). Inilah yang menyebabkan relasi PRT dan pengguna jasa menjadi bersifat paternalistik.
Pemerintah, dalam menghadapi fenomena PRT, tidak selalu tinggal diam dan telah menerapkan berbagai kebijakan, seperti pendirian unit-unit pelayanan yang berdedikasi bagi perempuan dan anak di tingkat propinsi (P2TP2A) dan pengesahan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Akan tetapi, HRW menilai bahwa respon pemerintah Indonesia masih tidak cukup substantif, koheren, dan tidak mencerminkan urgensi. Pada kenyataannya, pemerintah Indonesia masih dinilai gagal dalam melindungi PRT dari pelecehan dan eksploitasi. Kegagalan ini, menurut HRW, berakar dari penyangkalan pemerintah terhadap status PRT sebagai pekerja (Human Rights Watch, 2009).
Pemerintah Indonesia, dalam pernyataan pejabatnya di atas, menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya mengerti mengapa PRT tidak dapat diperlakukan sebagaimana buruh pada umumnya.
PRT adalah buruh informal yang bekerja di luar logika buruh formal dengan tidak memiliki hak atas standar upah dan dipaksa untuk tinggal di rumah majikan. Majikan, dalam hal ini, tidak dapat dilihat sebagai badan usaha atau perseorangan yang berkewajiban membayar PRT.
Sebaliknya, PRT juga tidak dapat dilihat sebagai orang yang bekerja untuk majikan karena tidak memberikan nilai produksi berupa keuntungan sebagaimana buruh pabrik memberikan keuntungan kepada pemilik pabrik. PRT tidak dapat dianggap sebagai pekerja karena mereka hanya ‘membantu’ kehidupan rumah tangga sang majikan (Human Rights Watch, 2004).
Akan tetapi, kesalahan dari logika berpikir pemerintah di atas adalah menganggap bahwa PRT menjadi informal karena mereka melakukan hal-hal yang informal, bukan karena pemerintah belum memformalisasi status mereka.
Dengan menerapkan logika semacam ini, pemerintah telah menanggalkan kewajiban mereka untuk memberikan kerangka hukum yang layak bagi perlindungan PRT. Sebagai gantinya, PRT hanya dilindungi melalui berbagai hukum pidana seperti UU Pemberantasan TPPO dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Hukum semacam ini tidak secara spesifik mengatasi kondisi PRT sebagai pekerja, namun sebatas korban perdagangan manusia atau kekerasan, yang, dalam kondisi terisolir, akan sulit untuk merebak ke permukaan (Human Rights Watch, 2009).
Pada kenyataannya, berbagai argumen untuk menegaskan status PRT sebagai pekerja dapat dibuat dengan mudah dan sudah diwacanakan berulang-ulang oleh aktivis pembela hak PRT.
Pertama, PRT melakukan kegiatan memeras tenaga yang setara dengan sejumlah pekerjaan profesional, seperti memasak (chef), mencuci dan menyeterika (laundry), menjaga dan mengurus anak (babysitter), membersihkan rumah (house cleaning), mencuci mobil (bengkel), dan masih banyak lagi.
Kedua, dengan PRT mengerjakan tugas keseharian rumah tangga, majikan dapat fokus untuk mengerjakan apapun kegiatan mereka yang memiliki nilai ekonomi – secara praktis dapat disimpulkan bahwa PRT memungkinkan roda ekonomi untuk berjalan.
Dengan demikian, status PRT sebagai pekerja menjadi layak dipertimbangkan dan formalisasi atas PRT pun menjadi dimungkinkan. Hal ini bahkan sudah dilakukan ILO dengan mengadopsi Konvensi No. 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (C189).
Penyangkalan pemerintah atas status PRT sebagai pekerja tidak hanya disebabkan oleh sifat dasar dari kegiatan PRT, namun juga kecemasan akan hal-hal insignifikan lainnya.
Pertama, mengharuskan majikan membuat kontrak kerja dengan PRT akan membuat majikan takut untuk mempekerjakan PRT dan menambah jumlah pengangguran.
Kedua, memberikan hari libur bagi PRT akan berbahaya karena PRT sebagai pendatang di ibukota “tidak tahu cara pergi ke mana-mana.” Beberapa majikan disebutkan khawatir jika PRT keluar rumah mereka akan menjadi hamil dan tidak mau dimintai pertanggungjawaban untuk situasi semacam itu.
Ketiga, sebagaimana disebutkan di atas, PRT dianggap sebagai bagian dari budaya ngenger sehingga sudah kewajiban mereka untuk melayani majikan sebagai ungkapan terimakasih.
Berbagai kecemasan ini menjadi insignifikan karena hanya mementingkan kemudahan dan keistimewaan majikan untuk mempekerjakan PRT dibandingkan kesejahteraan PRT sebagai manusia yang berhak atas hak untuk bekerja (Human Rights Watch, 2009).
Keberpihakan pemerintah terhadap hak majikan atas kemudahan dalam mempekerjakan PRT menunjukkan adanya kondisi pengecualian yang diberlakukan pemerintah Indonesia terhadap status PRT.
Secara umum, Pasal 1 Ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Kemudian Pasal 1 Ayat 4 menyebutkan bahwa:
Dengan menggunakan kedua definisi itu saja, akan mudah bagi kita untuk menyimpulkan bahwa PRT adalah pekerja karena mereka bekerja dengan menerima upah sementara majikan adalah pemberi kerja karena mereka mempekerjakan PRT dengan membayar upah.
Akan tetapi, penyangkalan pemerintah terhadap status PRT sebagai pekerja dan majikan sebagai pemberi kerja menunjukkan adanya kontradiksi antara aturan hukum dengan fakta di lapangan yang bersifat politik.
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini, mengungkapkan bahwa fakta politik yang dimaksud adalah keberpihakan pemerintah terhadap nilai-nilai perbudakan (Kusumawati, 2015).
Dalam kondisi pengecualian semacam itu, pemerintah dapat dengan mudah mengabaikan norma hukum yang berlaku (UU Ketenagakerjaan) dan menolak mengakui status PRT sebagai pekerja. Sebagai akibatnya, terjadi pengabaian terhadap kondisi eksploitatif yang dialami PRT dan rancangan undang-undang PRT yang tidak kunjung dibahas oleh parlemen.
Advokasi untuk memperjuangkan hak PRT di dalam kerangka hukum nasional Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004.
Aktor-aktor yang terlibat dalam perjuangan tersebut adalah organisasi non pemerintah (ornop) yang menekankan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), seperti JALA PRT dan Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran (KAPPRTBM) (Kusumawati, 2015).
Advokasi ketika itu dilakukan dengan strategi kampanye dan sosialisasi yang berusaha membingkai ulang identitas PRT bukan lagi sebagai pembantu, bukan sebagai asisten, melainkan murni sebagai pekerja.
Target utama dari advokasi mereka adalah mempersuasi pemerintah, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk menerbitkan undang-undang yang secara khusus mengatur ketentuan mengenai PRT sebagai pekerja (Amnesty International, 2016).
Setelah tahun 2011, atau setelah ILO mengadopsi Konvensi No. 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah tangga (C189), advokasi juga ditujukan untuk mempersuasi pemerintah agar meratifikasi konvensi tersebut (JALA-PRT, 2014).
Advokasi yang dilakukan ornop di Indonesia terhadap hak PRT memasuki dimensi transnasional ketika peneliti Human Rights Watch (HRW) melakukan penelitian etnografis mengenai kondisi PRT di Indonesia.
Berdasarkan penelitian tersebut, HRW pada tahun 2005 menerbitkan laporan dengan judul Selalu Siap Disuruh yang menerangkan secara rinci mengenai kondisi eksploitatif yang dialami PRT di Indonesia.
HRW kemudian menerbitkan laporan lanjutan pada tahun 2009 dengan judul Pekerja di dalam Bayang-Bayang yang menerangkan lebih spesifik mengenai kondisi eksploitatif yang menimpa PRT anak di Indonesia (Human Rights Watch, 2010).
HRW, dengan demikian, telah menjadi penghubung transnasional (transnational linkages) yang mengangkat isu PRT di Indonesia menjadi isu transnasional.
Sejalan dengan Human Rights Watch, sejumlah ornop dan individu di tingkat internasional mulai menyuarakan kritik mereka terhadap praktek hukum yang berlaku di Indonesia.
Amnesty International menyatakan bahwa pemerintah Indonesia harus segera membuat kerangka hukum untuk melindungi PRT (Amnesty International, 2016).
Hal senada juga diungkapkan oleh Andrea Hunwick dalam artikel jurnal berjudul “Legal Discrimination: How Indonesian Law Fails to Protect Domestic Workers. (Hunwick, 2007)”
ILO pun pada akhirnya ikut bergerak pada tahun 2006 dengan menerbitkan laporan berjudul The Regulation of Domestic Workers in Indonesia: Current Laws, International Standards and Best Practice (International Labor Organization, 2006). Dalam laporan tersebut, ILO menyatakan:
Pernyataan ILO di atas menunjukkan adanya tekanan dari komunitas internasional, khususnya rezim perburuhan internasional, agar Indonesia mau menciptakan kerangka hukum nasional untuk melindungi PRT.
Dengan demikian, advokasi hak PRT di Indonesia telah membentuk pola bumerang sebagaimana dijelaskan oleh Keck & Sikkink.
Berdasarkan teori jejaring advokasi transnasional, dapat dilihat bahwa advokasi hak PRT di Indonesia telah berhasil meningkatkan perhatian masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional, terhadap kondisi eksploitatif yang dialami oleh PRT.
Hal ini disebabkan kemampuan mereka untuk membingkai isu PRT menjadi isu eksploitasi terhadap pekerja untuk menghapus stigma bahwa PRT adalah pembantu yang hanya perlu mengikuti perintah majikan.
Pembingkaian PRT sebagai pekerja berhasil memberikan rasa simpati dari masyarakat karena terdapat dikotomi antara benar dan salah yang jelas di sini. Dimana masyarakat tahu bahwa pekerja seharusnya memiliki hak yang harus dipenuhi, mereka menjadi mampu bersimpati karena melihat adanya pekerja yang tidak diakui haknya dan diperlakukan secara eksploitatif.
Akan tetapi, peningkatan perhatian terhadap isu ini tidak berhasil ditranslasikan menjadi perubahan kebijakan karena karakteristik dari pemerintah Indonesia sebagai negara berdaulat.
Penutup dan Rekomendasi
Makalah ini berakhir dengan pernyataan pesimis mengenai sifat dasar dari kedaulatan yang cenderung irasional dan dengan mudah dapat menghapus norma hukum karena alasan yang sulit dipahami. Konsekuensi dari simpulan ini adalah bahwa PRT, bukan hanya menjadi korban dari perlakuan sewenang-wenang majikan, namun juga perlakuan sewenang-wenang dari negara.
Hal ini tidak dapat dihindari karena negara masih merupakan satu-satunya otoritas yang mampu melegitimasi hak, semata-mata karena memiliki monopoli terhadap instrumen kekerasan. Di hadapan kekuatan sebesar itu, jejaring advokasi transnasional tidak mampu berbuat apa-apa.
Jalan yang masih mungkin bagi jejaring advokasi untuk meneruskan perjuangan terhadap hak PRT di Indonesia adalah memanfaatkan ketimpangan kekuatan di antara negara berdaulat.
Hal ini telah dijelaskan oleh Teori Dependensi yang mengklaim bahwa terdapat distribusi kekuasaan yang tidak merata bagi masing-masing negara di dunia. Sistem internasional yang diklaim para Realis sebagai anarkis, sesungguhnya bersifat hirarkis dimana negara terbagi antara negara inti (core) dan negara satelit (periphery).
Teori tersebut kemudian menjelaskan bahwa negara satelit akan senantiasa tunduk pada kehendak negara inti karena mereka berada pada posisi yang lebih lemah dalam relasi-kuasanya dengan negara inti. Situasi inilah yang memunculkan dikotomi antara negara berkembang dan negara maju (Hryniewicz, 2014).
Dalam hal ini, jejaring advokasi harus mampu mempersuasi negara inti yang lebih kuat dari Indonesia agar mau menekan dengan cara memberikan insentif materiil ataupun memberi sanksi. Kelemahan utama dari advokasi transnasional untuk pemenuhan hak PRT di Indonesia adalah pola bumerang mereka yang hanya mampu mencapai institusi nonpemerintah internasional dan komunitas epistemik.
Aktor-aktor non-negara tersebut memang telah berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran mengenai permasalahan PRT, namun tidak memiliki kekuasaan sebesar aktor negara untuk mengubah perilaku Indonesia. Sebagaimana telah dibuktikan dalam kasus Protokol Pemberantasan Perdagangan Manusia, aktor negara memiliki kapasitas untuk memberikan insentif materiil yang sangat besar hingga mampu mengubah sikap Indonesia mengenai perdagangan manusia.
Dengan demikian, strategi advokasi transnasional untuk pemenuhan hak PRT harus difokuskan pada upaya mempengaruhi aktor negara. Dalam hal ini, jejaring advokasi transnasional harus mempersuasi negara-negara yang lebih kuat dalam relasinya dengan Indonesia serta meng-klaim dirinya memiliki kepedulian besar terhadap isu HAM, seperti Amerika Serikat.
Keberadaan dukungan Amerika Serikat dalam advokasi transnasional dapat dipastikan akan mempengaruhi kondisi pengecualian yang ditetapkan pemerintah Indonesia terhadap hak PRT karena posisi Indonesia yang lebih lemah dibandingkan dengan AS. Hanya dengan mengubah kondisi pengecualian itulah hak PRT di Indonesia dapat diakui oleh pemerintah.
Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka bukan tidak mungkin bahwa PRT di Indonesia akan terus terjebak di dalam kondisi pengecualian, dimana mereka bukan menjadi pekerja, bukan menjadi manusia, melainkan objek kekuasaan dari Yang berdaulat.
Pembahasan dalam makalah ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan menjelaskan kerangka teori yang digunakan, yaitu teori kondisi pengecualian (state of exception) dan jejaring advokasi transnasional.
Bagian kedua akan membahas kondisi pekerja domestik di Indonesia yang meliputi kondisi kerja, kerangka perlindungan hukum yang tersedia, dan argumen penulis bahwa terdapat kondisi pengecualian yang diterapkan pemerintah bagi kasus PRT.
Bagian ketiga akan menganalisis pola gerakan advokasi transnasional untuk membela hak PRT ada dan menjelaskan penyebab kegagalannya dalam mengubah kebijakan pemerintah Indonesia.
Analisis akan dilakukan melalui metode analisis diskursus terhadap teks kampanye advokasi hak PRT dan pernyataan-pernyataan dari pejabat publik di Indonesia.
Makalah ini berangkat dari perspektif bahwa hak bukanlah sesuatu yang melekat pada manusia semenjak ia lahir, melainkan sebuah produk dari kontestasi politik di masa tertentu (Piper, 2015). Permasalahan yang menimpa pekerja domestik mengindikasikan bahwa hak asasi manusia (HAM) bukanlah sesuatu yang bersifat universal melainkan dapat dikecualikan dalam kondisi tertentu.
Kerangka Pemikiran
Paradoks ini tercipta dari operasionalisasi hak yang diletakkan dalam konteks sosial yang bias terhadap kelas, jender, agama, dan ras tertentu. Sebagian kelompok masyarakat menikmati akses premium terhadap hak, sementara sebagian yang lain hanya mendapatkan separuhnya (Honig, 2014).
Fenomena ini disebut dengan kondisi pengecualian (state of exception). Istilah kondisi pengecualian berkembang dari tulisan Carl Schmitt yang menyatakan bahwa Yang berdaulat adalah “he who decides on the state of exception.”
Agamben kemudian melakukan teorisasi terhadap konsep ini dan menemukan bahwa kondisi pengecualian telah menjadi fitur permanen dalam kedaulatan modern. (Agamben, 2005)
Dalam buku State of Exception, Agamben berargumen bahwa konstitusi negara berdaulat tidak dilihat dari kemampuannya menciptakan aturan hukum melainkan untuk menangguhkan hukum atau menciptakan kondisi pengecualian.
Dalam buku State of Exception, Agamben berargumen bahwa konstitusi negara berdaulat tidak dilihat dari kemampuannya menciptakan aturan hukum melainkan untuk menangguhkan hukum atau menciptakan kondisi pengecualian.
Kondisi pengecualian dapat dipahami sebagai spasialisasi ruang dimana terdapat kontradiksi antara aturan hukum dan fakta politik – kontradiksi antara legislatif dengan eksekutif (Agamben, 2005).
Di dalam kondisi pengecualian, suatu norma hukum dapat berlaku (in force) namun tidak diberlakukan (enforced). Pada saat yang sama, tindakan yang tidak memiliki dasar hukum dapat memiliki kekuatan hukum (Honig, 2014).
Kondisi ini banyak ditemukan dalam situasi darurat, seperti perang saudara, dimana aturan hukum yang disepakati tidak berlaku dan otoritas memiliki kemampuan untuk mendefinisikan hukum sesuai dengan kepentingan politik.
Dalam kondisi ini, Agamben menyatakan bahwa kondisi pengecualian tidak lagi menjadi pengecualian melainkan menjadi aturan hukum tersendiri. Kondisi inilah yang ia lihat terjadi dalam praktek kedaulatan di era modern (Agamben, 2005).
Agamben mengambil contoh kasus undang-undang USA Patriot Act untuk menjelaskan maksudnya. Dalam undang-undang tersebut, negara, melalui hukum, diperbolehkan untuk menahan alien yang dicurigai melakukan aktivitas yang membahayakan keamanan nasional Amerika Serikat.
Satu kebaruan yang dilihat Agamben dari aturan ini adalah adanya tindakan untuk secara radikal menghapus status hukum yang dimiliki individu dan menciptakan entitas tak bernama serta tak dapat diklasifikasikan.
Sebagai contoh, kelompok Taliban yang ditangkap di Afghanistan tidak menikmati status tahanan perang sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi Jenewa, tidak juga memiliki status sebagai terdakwa berdasarkan hukum Amerika.
Mereka, menurut Agamben, bukanlah tahanan ataupun terdakwa, melainkan objek kedaulatan murni yang terlepas dari hukum ataupun pengawasan yudisial (Agamben, 2005).
Teori Agamben mengenai kondisi pengecualian menunjukkan bahwa negara sebagai Yang berdaulat tidak selalu dapat diandalkan untuk memenuhi hak setiap penduduknya. Melalui logika kondisi pengecualian, negara dapat mengeksklusikan kelompok masyarakat tertentu dari menikmati hak yang sama dengan yang dinikmati kelompok masyarakat lainnya.
Di dalam kondisi pengecualian itulah, makalah ini berargumen, penelantaran dan pengabaian terhadap hak pekerja domestik dapat terjadi. Pada titik inilah kita dapat mengeksplorasi peran jejaring advokasi transnasional untuk mengisi celah yang disebabkan oleh kondisi pengecualian.
Adalah Keck & Sikkink yang pertama kali melakukan teorisasi terhadap konsep jejaring advokasi transnasional. Keck & Sikkink melihat bahwa proliferasi aktor dalam politik dunia di era globalisasi telah menciptakan interaksi-interaksi baru yang semakin terstruktur dalam bentuk jejaring.
Adalah Keck & Sikkink yang pertama kali melakukan teorisasi terhadap konsep jejaring advokasi transnasional. Keck & Sikkink melihat bahwa proliferasi aktor dalam politik dunia di era globalisasi telah menciptakan interaksi-interaksi baru yang semakin terstruktur dalam bentuk jejaring.
Keberadaan jejaring advokasi telah menjadi signifikan dalam beberapa dekade terakhir karena mereka mampu melipatgandakan kanal untuk mengakses sistem internasional, khususnya bagi aktor-aktor domestik yang pergerakannya sangat dibatasi di dalam negaranya.
Dengan melakukan itu, Keck & Sikkink berargumen bahwa jejaring advokasi transnasional telah membantu mentransformasi praktek kedaulatan nasional (Keck & Sikkink, 1998).
Keck & Sikkink mendefinisikan jejaring advokasi transnasional sebagai struktur komunikatif sekaligus ruang politik. Berdasarkan definisi ini, jejaring advokasi dapat menjadi agen sekaligus struktur, bergantung pada konteks yang berlaku.
Keck & Sikkink mendefinisikan jejaring advokasi transnasional sebagai struktur komunikatif sekaligus ruang politik. Berdasarkan definisi ini, jejaring advokasi dapat menjadi agen sekaligus struktur, bergantung pada konteks yang berlaku.
Walau terdapat berbagai jenis jejaring advokasi transnasional, seperti jejaring peneliti atau aktivis, masing-masing memiliki kemiripan dalam empat aspek:
- sentralitas terhadap suatu nilai yang diyakini;
- penekanan pada kemampuan individu untuk membuat perubahan;
- mampu melakukan manipulasi informasi secara kreatif; dan
- menggunakan strategi nonkonvensional untuk mengirimkan pesannya.
Karakteristik ketiga dan keempat adalah bagian esensial dari strategi jejaring advokasi karena mereka bukanlah aktor yang kuat secara tradisional.
Tanpa memiliki monopoli atas instrumen kekerasan, jejaring advokasi harus menggunakan kekuatan informasi dan strategi nonkonvensional untuk memanipulasi konteks yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan di suatu negara. Tindakan ini disebut dengan istilah persuasi atau sosialisasi (Keck & Sikkink, 1998).
Keck & Sikkink melihat bahwa terdapat kecenderungan dari jejaring advokasi transnasional untuk menyebutkan klaim mengenai hak di dalam kampanyenya. Sebab pemerintah merupakan penjamin utama atas hak namun juga pelanggar utamanya.
Ketika pemerintah melanggar atau menolak mengakui sebuah hak, individu dan kelompok di tingkat domestik umumnya tidak memiliki jalur untuk beradvokasi di arena politik maupun yudisial domestik. Dalam kondisi ini, mereka akan mencari koneksi ke tingkat internasional untuk mengekspresikan kepentingannya.
Jejaring advokasi di tingkat internasional kemudian akan menekan negara yang melanggar hak, baik melalui pemerintah di tempat mereka berasal maupun melalui organisasi internasional. Hal ini menyebabkan pola strategi jejaring advokasi transnasional cenderung membentuk pola seperti bumerang (Keck & Sikkink, 1998).
Diagram Pola "Boomerang Effect" dalam Advokasi Transnasional |
Efektifitas dari pola bumerang (boomerang effect) dalam strategi jejaring advokasi transnasional ditentukan dari dua hal, yaitu karakteristik isu dan karakteristik aktor.
Dalam hal isu, jejaring advokasi transnasional harus mampu menempatkan sebuah isu di dalam kerangka problematisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan sederhana, seperti membingkai suatu isu sebagai sesuatu yang salah secara moral, mengangkat keberadaan korban yang tercipta akibat suatu isu, atau mempermalukan pelaku yang bertanggung jawab atas suatu isu.
Satu hal yang pasti, jejaring advokasi harus mampu membingkai suatu isu dengan cara apapun yang dapat membangkitkan perasaan simpatik dari masyarakat transnasional (Keck & Sikkink, 1998).
Akan tetapi, isu yang kuat saja tidak akan cukup jika tidak ada aktor yang mampu mengirimkan pesan tersebut kepada target aktor yang rentan terhadap persuasi. Menurut Keck & Sikkink, jejaring advokasi akan paling efektif jika melibatkan banyak aktor yang memiliki koneksi kuat dan informasi yang dapat diandalkan.
Akan tetapi, isu yang kuat saja tidak akan cukup jika tidak ada aktor yang mampu mengirimkan pesan tersebut kepada target aktor yang rentan terhadap persuasi. Menurut Keck & Sikkink, jejaring advokasi akan paling efektif jika melibatkan banyak aktor yang memiliki koneksi kuat dan informasi yang dapat diandalkan.
Kemudian target aktor juga harus rentan terhadap insentif material maupun sanksi dari aktor luar atau sensitif terhadap tekanan yang diakibatkan oleh adanya celah di antara komitmen yang dinyatakan dengan praktek yang terjadi (Keck & Sikkink, 1998).
Celah di antara komitmen dan praktek merupakan ruang dimana teori Agamben mengenai kondisi pengecualian dapat digunakan sebagai eksplanasi. Jika kondisi pengecualian merupakan ruang dimana kontradiksi antara norma hukum dan praktek eksekutif dapat terjadi, maka insensitifitas terhadap tekanan yang diberikan jejaring advokasi menjadi dapat dijelaskan.
Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia dan Pengabaian Pemerintah
“Saya mulai bekerja saat saya masih berusia
11 tahun… saya bekerja sebagai babysitter untuk majikan saya yang pertama.
Majikan laki-laki agak terlalu sering membentak saya… Majikan saya tidak
memperbolehkan saya meninggalkan rumah… Saya membuatkan bubur untuk bayi
majikan saya, memberinya susu, menggendongnya saat dia menangis, mengganti
popoknya, menidurkannya, dan bermain bersama bayinya. Saat bayinya tidur saya
menyeterika… Saya bangun jam 5 pagi setiap hari, dan bekerja sampai jam 7 malam (Human Rights Watch,
2009).”
-Ayu, 13 tahun, Bandung
Direkrut saat masih di bawah umur, dipaksa mengerjakan berbagai jenis tugas rumah tangga hingga 14 jam setiap hari, dikurung di dalam rumah, dan didera dengan berbagai eksploitasi verbal.
HRW menyatakan bahwa PRT di Indonesia yang mayoritas merupakan perempuan dan masih anak-anak ini hidup dan bekerja di bawah ‘bayang-bayang masyarakat’ – tersembunyi di balik pintu-pintu yang terkunci, terisolasi dari keluarga dan teman-temannya, dan tidak mendapat pengawasan ataupun jaminan hukum dari pemerintah.
Pada kenyataannya, HRW menemukan bahwa banyak pejabat pemerintah Indonesia yang tidak mau mengakui bahwa PRT merupakan pekerja (Human Rights Watch, 2009).
Berkembangnya fenomena eksploitasi PRT berjalan seiringan dengan fenomena urbanisasi, dimana masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan Indonesia mencoba mencari penghidupan yang lebih baik di kota. HRW menemukan berbagai praktek yang menyerempet tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus PRT, seperti perekrutan melalui modus penipuan berupa janji palsu akan upah yang lebih tinggi di ibukota.
PRT menjadi rentan terhadap modus semacam ini karena mereka tidak memiliki kontrak kerja yang menerangkan perincian mengenai tugas-tugas yang akan mereka kerjakan, jam kerja yang ditentukan, atau bahkan sekedar perincian upah. Mayoritas PRT menggantungkan nasibnya kepada rasa percaya terhadap perekrut yang, dalam berbagai kasus, merupakan orang terdekat mereka (tetangga, sanak famili, atau bahkan orangtua) (Human Rights Watch, 2009).
Sekalipun PRT tidak menggunakan jasa middle-man untuk mencari kerja, mereka tetap akan rentan terhadap eksploitasi karena tidak memiliki tempat untuk mengadu seandainya terkena masalah. HRW banyak menemukan berbagai kasus dimana pengguna jasa PRT menahan pembayaran dan upah jika seorang PRT memutuskan untuk meninggalkan rumah karena alasan-alasan kultural (pulang ke desa, menikah).
Dengan melakukan ini, PRT dipaksa untuk tetap tinggal di dalam rumah dan kehilangan kemampuan untuk meninggalkan situasi yang eksploitatif. Dalam kasus terburuk, HRW menemukan bahwa situasi eksploitatif ini dapat melibatkan pelecehan secara fisik, psikologis, dan seksual oleh majikan mereka, di atas eksploitasi atas tenaga kerja mereka (Human Rights Watch, 2004).
Kalaupun kasus-kasus di atas tidak terjadi dan PRT cukup ‘beruntung’ menemukan majikan yang ‘baik’, mereka tetap tidak akan dapat diupah setara dengan pekerja pada umumnya.
Sebagai contoh, Jakarta, salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peraturan daerah untuk mengatur PRT, menetapkan upah minimum PRT sebesar Rp 1.2 juta, sementara upah minimum untuk buruh pada tahun 2016 mencapai Rp 3.35 juta (Gajimu.com).
Relasi antara pekerja rumah tangga dan majikan di Indonesia tidak bersifat hubungan industrial, melainkan paternalistik. Dalam hal ini, seorang majikan dianggap berjasa dalam memberikan sumber pendapatan bagi orang-orang, yang dalam kondisi sebaliknya akan menganggur, memberikan tempat tinggal dan makanan, serta melindungi dari ‘kerasnya’ hidup di ibukota.
Dengan kata lain, PRT di Indonesia diperlakukan sebagai anggota keluarga dalam rumah tangga dan regulasi atas mereka diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga, sebagaimana pemerintah tidak dapat mengatur bagaimana orangtua membesarkan anaknya sendiri.
Dalam budaya Jawa, praktek ini dilegitimasi oleh kebudayaan yang dikenal dengan sebutan ngenger, yaitu kebiasaan adat di pulau Jawa dimana seorang anak yang tinggal di rumah seorang saudara jauh atau bukan saudara, tapi dianggap bagian keluarga, pergi meninggalkan keluarganya (yang miskin) untuk tinggal di rumah saudaranya (yang kaya).
Dalam kondisi seperti ini, keluarga yang kaya diharuskan, secara moral, untuk membiayai sekolah dan kebutuhan sehari-hari sang anak, dan sebagai imbalan, sekaligus ungkapan terimakasih, sang anak yang bersangkutan akan melakukan berbagai bentuk kerja rumah tangga (Human Rights Watch, 2009). Inilah yang menyebabkan relasi PRT dan pengguna jasa menjadi bersifat paternalistik.
Pemerintah, dalam menghadapi fenomena PRT, tidak selalu tinggal diam dan telah menerapkan berbagai kebijakan, seperti pendirian unit-unit pelayanan yang berdedikasi bagi perempuan dan anak di tingkat propinsi (P2TP2A) dan pengesahan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Akan tetapi, HRW menilai bahwa respon pemerintah Indonesia masih tidak cukup substantif, koheren, dan tidak mencerminkan urgensi. Pada kenyataannya, pemerintah Indonesia masih dinilai gagal dalam melindungi PRT dari pelecehan dan eksploitasi. Kegagalan ini, menurut HRW, berakar dari penyangkalan pemerintah terhadap status PRT sebagai pekerja (Human Rights Watch, 2009).
“Kami belum memasukkan pekerja rumah tangga
ke dalam (definisi) pekerja… Mereka berbeda dalam hal hubungan mereka dengan
pekerjaan mereka. Mereka tinggal di dalam rumah (majikan) mereka. Mereka makan
apa yang dimakan oleh majikan mereka. Dan mereka pergi kemanapun majikan mereka
pergi… Kalau Anda adalah pekerja, Anda memiliki gaji dengan jumlah tertentu,
hak-hak tertentu, dan Anda tidak tinggal menetap dengan keluarga (majikan). Ini
agak rumit. Berdasarkan sejarah, pekerja seperti ini tidak dibayar sama sekali (Human Rights
Watch, 2009).
” – Dwi Untoro, Pejabat Dinas
Ketenagakerjaan, DKI Jakarta
PRT adalah buruh informal yang bekerja di luar logika buruh formal dengan tidak memiliki hak atas standar upah dan dipaksa untuk tinggal di rumah majikan. Majikan, dalam hal ini, tidak dapat dilihat sebagai badan usaha atau perseorangan yang berkewajiban membayar PRT.
Sebaliknya, PRT juga tidak dapat dilihat sebagai orang yang bekerja untuk majikan karena tidak memberikan nilai produksi berupa keuntungan sebagaimana buruh pabrik memberikan keuntungan kepada pemilik pabrik. PRT tidak dapat dianggap sebagai pekerja karena mereka hanya ‘membantu’ kehidupan rumah tangga sang majikan (Human Rights Watch, 2004).
Akan tetapi, kesalahan dari logika berpikir pemerintah di atas adalah menganggap bahwa PRT menjadi informal karena mereka melakukan hal-hal yang informal, bukan karena pemerintah belum memformalisasi status mereka.
Dengan menerapkan logika semacam ini, pemerintah telah menanggalkan kewajiban mereka untuk memberikan kerangka hukum yang layak bagi perlindungan PRT. Sebagai gantinya, PRT hanya dilindungi melalui berbagai hukum pidana seperti UU Pemberantasan TPPO dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Hukum semacam ini tidak secara spesifik mengatasi kondisi PRT sebagai pekerja, namun sebatas korban perdagangan manusia atau kekerasan, yang, dalam kondisi terisolir, akan sulit untuk merebak ke permukaan (Human Rights Watch, 2009).
Pada kenyataannya, berbagai argumen untuk menegaskan status PRT sebagai pekerja dapat dibuat dengan mudah dan sudah diwacanakan berulang-ulang oleh aktivis pembela hak PRT.
Pertama, PRT melakukan kegiatan memeras tenaga yang setara dengan sejumlah pekerjaan profesional, seperti memasak (chef), mencuci dan menyeterika (laundry), menjaga dan mengurus anak (babysitter), membersihkan rumah (house cleaning), mencuci mobil (bengkel), dan masih banyak lagi.
Kedua, dengan PRT mengerjakan tugas keseharian rumah tangga, majikan dapat fokus untuk mengerjakan apapun kegiatan mereka yang memiliki nilai ekonomi – secara praktis dapat disimpulkan bahwa PRT memungkinkan roda ekonomi untuk berjalan.
Dengan demikian, status PRT sebagai pekerja menjadi layak dipertimbangkan dan formalisasi atas PRT pun menjadi dimungkinkan. Hal ini bahkan sudah dilakukan ILO dengan mengadopsi Konvensi No. 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (C189).
Penyangkalan pemerintah atas status PRT sebagai pekerja tidak hanya disebabkan oleh sifat dasar dari kegiatan PRT, namun juga kecemasan akan hal-hal insignifikan lainnya.
Pertama, mengharuskan majikan membuat kontrak kerja dengan PRT akan membuat majikan takut untuk mempekerjakan PRT dan menambah jumlah pengangguran.
Kedua, memberikan hari libur bagi PRT akan berbahaya karena PRT sebagai pendatang di ibukota “tidak tahu cara pergi ke mana-mana.” Beberapa majikan disebutkan khawatir jika PRT keluar rumah mereka akan menjadi hamil dan tidak mau dimintai pertanggungjawaban untuk situasi semacam itu.
Ketiga, sebagaimana disebutkan di atas, PRT dianggap sebagai bagian dari budaya ngenger sehingga sudah kewajiban mereka untuk melayani majikan sebagai ungkapan terimakasih.
Berbagai kecemasan ini menjadi insignifikan karena hanya mementingkan kemudahan dan keistimewaan majikan untuk mempekerjakan PRT dibandingkan kesejahteraan PRT sebagai manusia yang berhak atas hak untuk bekerja (Human Rights Watch, 2009).
Keberpihakan pemerintah terhadap hak majikan atas kemudahan dalam mempekerjakan PRT menunjukkan adanya kondisi pengecualian yang diberlakukan pemerintah Indonesia terhadap status PRT.
Secara umum, Pasal 1 Ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Kemudian Pasal 1 Ayat 4 menyebutkan bahwa:
“Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Akan tetapi, penyangkalan pemerintah terhadap status PRT sebagai pekerja dan majikan sebagai pemberi kerja menunjukkan adanya kontradiksi antara aturan hukum dengan fakta di lapangan yang bersifat politik.
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini, mengungkapkan bahwa fakta politik yang dimaksud adalah keberpihakan pemerintah terhadap nilai-nilai perbudakan (Kusumawati, 2015).
Dalam kondisi pengecualian semacam itu, pemerintah dapat dengan mudah mengabaikan norma hukum yang berlaku (UU Ketenagakerjaan) dan menolak mengakui status PRT sebagai pekerja. Sebagai akibatnya, terjadi pengabaian terhadap kondisi eksploitatif yang dialami PRT dan rancangan undang-undang PRT yang tidak kunjung dibahas oleh parlemen.
Advokasi Transnasional untuk Pemenuhan Hak Pekerja Rumah Tangga di Indonesia
Advokasi untuk memperjuangkan hak PRT di dalam kerangka hukum nasional Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004.
Aktor-aktor yang terlibat dalam perjuangan tersebut adalah organisasi non pemerintah (ornop) yang menekankan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), seperti JALA PRT dan Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran (KAPPRTBM) (Kusumawati, 2015).
Advokasi ketika itu dilakukan dengan strategi kampanye dan sosialisasi yang berusaha membingkai ulang identitas PRT bukan lagi sebagai pembantu, bukan sebagai asisten, melainkan murni sebagai pekerja.
Target utama dari advokasi mereka adalah mempersuasi pemerintah, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk menerbitkan undang-undang yang secara khusus mengatur ketentuan mengenai PRT sebagai pekerja (Amnesty International, 2016).
Setelah tahun 2011, atau setelah ILO mengadopsi Konvensi No. 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah tangga (C189), advokasi juga ditujukan untuk mempersuasi pemerintah agar meratifikasi konvensi tersebut (JALA-PRT, 2014).
Advokasi yang dilakukan ornop di Indonesia terhadap hak PRT memasuki dimensi transnasional ketika peneliti Human Rights Watch (HRW) melakukan penelitian etnografis mengenai kondisi PRT di Indonesia.
Berdasarkan penelitian tersebut, HRW pada tahun 2005 menerbitkan laporan dengan judul Selalu Siap Disuruh yang menerangkan secara rinci mengenai kondisi eksploitatif yang dialami PRT di Indonesia.
HRW kemudian menerbitkan laporan lanjutan pada tahun 2009 dengan judul Pekerja di dalam Bayang-Bayang yang menerangkan lebih spesifik mengenai kondisi eksploitatif yang menimpa PRT anak di Indonesia (Human Rights Watch, 2010).
HRW, dengan demikian, telah menjadi penghubung transnasional (transnational linkages) yang mengangkat isu PRT di Indonesia menjadi isu transnasional.
Sejalan dengan Human Rights Watch, sejumlah ornop dan individu di tingkat internasional mulai menyuarakan kritik mereka terhadap praktek hukum yang berlaku di Indonesia.
Amnesty International menyatakan bahwa pemerintah Indonesia harus segera membuat kerangka hukum untuk melindungi PRT (Amnesty International, 2016).
Hal senada juga diungkapkan oleh Andrea Hunwick dalam artikel jurnal berjudul “Legal Discrimination: How Indonesian Law Fails to Protect Domestic Workers. (Hunwick, 2007)”
ILO pun pada akhirnya ikut bergerak pada tahun 2006 dengan menerbitkan laporan berjudul The Regulation of Domestic Workers in Indonesia: Current Laws, International Standards and Best Practice (International Labor Organization, 2006). Dalam laporan tersebut, ILO menyatakan:
“There is no doubt that there is a gap
between current Indonesian law on one hand, and international standards and
best practice on the other. This means that domestic work in Indonesia, which
has the potential to provide decent employment opportunities to millions of
Indonesians, is often an unprotected form and exploitative form of employment…
It is clear that Indonesia requires a specific National Law (Undang-Undang) on
the protection of domestic workers… this would allow domestic workers to be
recognized as workers (ILO, 2006).”
Dengan demikian, advokasi hak PRT di Indonesia telah membentuk pola bumerang sebagaimana dijelaskan oleh Keck & Sikkink.
Dimulai dari ornop lokal di Indonesia, dihubungkan ke dimensi transnasional melalui peneliti HRW, dipublikasikan ke komunitas internasional melalui laporan HRW, diteruskan oleh berbagai ornop internasional, dan akhirnya diangkat oleh organisasi antarpemerintah internasional yang langsung menekan pemerintah Indonesia.
Menghadapi berbagai tekanan yang dihasilkan sebagai efek dari pola bumerang, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan akan membahas rancangan undang-undang (RUU) untuk melindungi PRT. Pernyataan ini disampaikan oleh DPR pada tahun 2009 dengan janji bahwa RUU PRT akan dimasukkan ke dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 (Human Rights Watch, 2010).
Akan tetapi, janji tersebut tidak kunjung ditepati, RUU PRT tidak pernah dimasukkan ke dalam agenda Prolegnas setiap tahunnya. Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi IX DPR RI dengan JALA PRT dan KAPPRTBM menghasilkan dua pernyataan singkat dari Komisi IX:
Menghadapi berbagai tekanan yang dihasilkan sebagai efek dari pola bumerang, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan akan membahas rancangan undang-undang (RUU) untuk melindungi PRT. Pernyataan ini disampaikan oleh DPR pada tahun 2009 dengan janji bahwa RUU PRT akan dimasukkan ke dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 (Human Rights Watch, 2010).
Akan tetapi, janji tersebut tidak kunjung ditepati, RUU PRT tidak pernah dimasukkan ke dalam agenda Prolegnas setiap tahunnya. Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi IX DPR RI dengan JALA PRT dan KAPPRTBM menghasilkan dua pernyataan singkat dari Komisi IX:
- bahwa DPR RI memberikan apresiasi terhadap masukan JALA PRT dan KAPPRTBM;
- bahwa Komisi IX tetap berkomitmen dan meminta fraksi-fraksi untuk menyetujui RUU tentang PRT masuk ke dalam prolegnas prioritas tahun 2015.
Kondisi Pengecualian Menghambat dan Menggagalkan Advokasi Transnasional
Ini merupakan foto atas sebuah karya seni yang meng-address isu migrasi dengan judul "State of Exception" |
Berdasarkan teori jejaring advokasi transnasional, dapat dilihat bahwa advokasi hak PRT di Indonesia telah berhasil meningkatkan perhatian masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional, terhadap kondisi eksploitatif yang dialami oleh PRT.
Hal ini disebabkan kemampuan mereka untuk membingkai isu PRT menjadi isu eksploitasi terhadap pekerja untuk menghapus stigma bahwa PRT adalah pembantu yang hanya perlu mengikuti perintah majikan.
Pembingkaian PRT sebagai pekerja berhasil memberikan rasa simpati dari masyarakat karena terdapat dikotomi antara benar dan salah yang jelas di sini. Dimana masyarakat tahu bahwa pekerja seharusnya memiliki hak yang harus dipenuhi, mereka menjadi mampu bersimpati karena melihat adanya pekerja yang tidak diakui haknya dan diperlakukan secara eksploitatif.
Akan tetapi, peningkatan perhatian terhadap isu ini tidak berhasil ditranslasikan menjadi perubahan kebijakan karena karakteristik dari pemerintah Indonesia sebagai negara berdaulat.
Sebagaimana dijelaskan oleh Keck & Sikkink, kunci dari keberhasilan jejaring advokasi untuk mengubah perilaku aktor adalah kerentanan aktor tersebut terhadap:
Berdasarkan teori tersebut, Indonesia masih belum mendapatkan insentif materiil maupun ancaman sanksi dari negara lain karena tidak memiliki kerangka perlindungan PRT atau belum meratifikasi C189.
- insentif materiil;
- sanksi dari aktor lain; dan
- mampu bersikap sensitif terhadap tekanan.
Berdasarkan teori tersebut, Indonesia masih belum mendapatkan insentif materiil maupun ancaman sanksi dari negara lain karena tidak memiliki kerangka perlindungan PRT atau belum meratifikasi C189.
Hal ini berbeda dengan isu lain, seperti perdagangan manusia, dimana pemerintah Indonesia mendapatkan dana bantuan dari Department of Immigration and Border Protection (DIBP) Australia dan Department of State Amerika Serikat – oleh karenanya memiliki insentif untuk meratifikasi Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons (Protokol Pemberantasan Perdagangan Manusia).
Absennya insentif materiil maupun ancaman sanksi menyebabkan pemerintah Indonesia menjadi tidak begitu rentan terhadap persuasi yang dilakukan oleh jejaring advokasi terkait penerapan kerangka hukum untuk melindungi PRT.
Absennya insentif materiil maupun ancaman sanksi menyebabkan pemerintah Indonesia menjadi tidak begitu rentan terhadap persuasi yang dilakukan oleh jejaring advokasi terkait penerapan kerangka hukum untuk melindungi PRT.
Akan tetapi, walaupun tidak ada insentif materiil maupun ancaman sanksi, pemerintah seharusnya tetap dapat sensitif terhadap berbagai pemberitaan yang menerangkan mengenai kekerasan terhadap PRT dan mendengarkan tuntutan dari jejaring advokasi.
Sayangnya hal ini tidak terjadi karena pemerintah Indonesia menempatkan isu PRT di dalam kondisi pengecualian.
Sayangnya hal ini tidak terjadi karena pemerintah Indonesia menempatkan isu PRT di dalam kondisi pengecualian.
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, UU Ketenagakerjaan sebetulnya sudah cukup untuk menjadi kerangka perlindungan terhadap PRT. Akan tetapi, penyangkalan pemerintah terhadap status PRT sebagai pekerja menyebabkan UU tersebut tidak dapat digunakan untuk melindungi mereka.
Kontradiksi antara norma hukum dan fakta politik ini hanya dapat dijelaskan sebagai bentuk kondisi pengecualian. Dalam hal ini, pemerintah, secara irasional, menggunakan kedaulatannya untuk menentukan bahwa PRT bukanlah bagian dari pekerja formal.
Di bawah kondisi pengecualian, insensitifitas terhadap tekanan jejaring advokasi menjadi mungkin untuk terjadi. Dengan demikian, pola bumerang yang dilakukan oleh Jejaring Advokasi Transnasional terbukti belum efektif untuk menggoyahkan kondisi pengecualian di Indonesia.
Kontradiksi antara norma hukum dan fakta politik ini hanya dapat dijelaskan sebagai bentuk kondisi pengecualian. Dalam hal ini, pemerintah, secara irasional, menggunakan kedaulatannya untuk menentukan bahwa PRT bukanlah bagian dari pekerja formal.
Di bawah kondisi pengecualian, insensitifitas terhadap tekanan jejaring advokasi menjadi mungkin untuk terjadi. Dengan demikian, pola bumerang yang dilakukan oleh Jejaring Advokasi Transnasional terbukti belum efektif untuk menggoyahkan kondisi pengecualian di Indonesia.
Penutup dan Rekomendasi
Makalah ini berakhir dengan pernyataan pesimis mengenai sifat dasar dari kedaulatan yang cenderung irasional dan dengan mudah dapat menghapus norma hukum karena alasan yang sulit dipahami. Konsekuensi dari simpulan ini adalah bahwa PRT, bukan hanya menjadi korban dari perlakuan sewenang-wenang majikan, namun juga perlakuan sewenang-wenang dari negara.
Hal ini tidak dapat dihindari karena negara masih merupakan satu-satunya otoritas yang mampu melegitimasi hak, semata-mata karena memiliki monopoli terhadap instrumen kekerasan. Di hadapan kekuatan sebesar itu, jejaring advokasi transnasional tidak mampu berbuat apa-apa.
Jalan yang masih mungkin bagi jejaring advokasi untuk meneruskan perjuangan terhadap hak PRT di Indonesia adalah memanfaatkan ketimpangan kekuatan di antara negara berdaulat.
Hal ini telah dijelaskan oleh Teori Dependensi yang mengklaim bahwa terdapat distribusi kekuasaan yang tidak merata bagi masing-masing negara di dunia. Sistem internasional yang diklaim para Realis sebagai anarkis, sesungguhnya bersifat hirarkis dimana negara terbagi antara negara inti (core) dan negara satelit (periphery).
Teori tersebut kemudian menjelaskan bahwa negara satelit akan senantiasa tunduk pada kehendak negara inti karena mereka berada pada posisi yang lebih lemah dalam relasi-kuasanya dengan negara inti. Situasi inilah yang memunculkan dikotomi antara negara berkembang dan negara maju (Hryniewicz, 2014).
Dalam hal ini, jejaring advokasi harus mampu mempersuasi negara inti yang lebih kuat dari Indonesia agar mau menekan dengan cara memberikan insentif materiil ataupun memberi sanksi. Kelemahan utama dari advokasi transnasional untuk pemenuhan hak PRT di Indonesia adalah pola bumerang mereka yang hanya mampu mencapai institusi nonpemerintah internasional dan komunitas epistemik.
Aktor-aktor non-negara tersebut memang telah berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran mengenai permasalahan PRT, namun tidak memiliki kekuasaan sebesar aktor negara untuk mengubah perilaku Indonesia. Sebagaimana telah dibuktikan dalam kasus Protokol Pemberantasan Perdagangan Manusia, aktor negara memiliki kapasitas untuk memberikan insentif materiil yang sangat besar hingga mampu mengubah sikap Indonesia mengenai perdagangan manusia.
Dengan demikian, strategi advokasi transnasional untuk pemenuhan hak PRT harus difokuskan pada upaya mempengaruhi aktor negara. Dalam hal ini, jejaring advokasi transnasional harus mempersuasi negara-negara yang lebih kuat dalam relasinya dengan Indonesia serta meng-klaim dirinya memiliki kepedulian besar terhadap isu HAM, seperti Amerika Serikat.
Keberadaan dukungan Amerika Serikat dalam advokasi transnasional dapat dipastikan akan mempengaruhi kondisi pengecualian yang ditetapkan pemerintah Indonesia terhadap hak PRT karena posisi Indonesia yang lebih lemah dibandingkan dengan AS. Hanya dengan mengubah kondisi pengecualian itulah hak PRT di Indonesia dapat diakui oleh pemerintah.
Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka bukan tidak mungkin bahwa PRT di Indonesia akan terus terjebak di dalam kondisi pengecualian, dimana mereka bukan menjadi pekerja, bukan menjadi manusia, melainkan objek kekuasaan dari Yang berdaulat.
Daftar Pustaka
Agamben, Giorgio. State of Exception. London:
University of Chicago Press, 2005.
Albin, Einat. "The ILO Convention on Domestic Workers:
From the Shadows to the Light." UCL Labour Rights INstitue On-Line
Working Papers, 2011.
Domestic workers across the world. Geneva: International Labour Office, 2013.
Eileen, Boris, dan Jennifer N. Fish. ""Slaves No
More": making global labor standards for domestic workers." Feminist
Studies 40 (2), 2014: 411-443.
Gaji dan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga. n.d.
http://www.gajimu.com/main/tips-karir/Tentang-wanita/pekerja-rumah-tangga.
Honig, Patrick. "States, Borders and the State of
Exception: Framing the Unauthorised Migrant in Europe." Etnofoor VOl.
26 No. 1, Borders, 2014: 125-145.
Hryniewicz, Janusz T. "Core-Periphery - an Old
Theory in New Times," European
Political Science: 13, 2014: 235-250.
Hunwick, Andrea. "Legal Discrimination: How Indonesian
Law Fails to Protect Domestic Workers." Public Interest Law Reporter,
2007.
Indonesia: Jamin Hak-Hak Pekerja Rumah Tangga Pada Tahun
2010. February 12, 2010.
https://www.hrw.org/id/news/2010/02/12/238852.
JALA-PRT. KILO 189 - Konvensi Kerja Layak Bagi PRT.
February 11, 2014. http://www.jalaprt.org/kilo-189/.
Keck, Margaret, dan Kathryn Sikkink. Activists Beyond
Borders: Advocacy Networks in International Politics. Cornell University
Press, 1998.
Kusumawati, Utami Diah. RUU PRT tak Masuk Prolegnas, DPR
Dinilai Pro Perbudakan. February 11, 2015.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150209140815-20-30691/ruu-prt-tak-masuk-prolegnas-dpr-dinilai-pro-perbudakan/.
Pekerja di dalam Bayang-Bayang. Human Rights Watch, 2009.
"Pernyataan Publik Amnesty International." Amnesty
International. June 15, 2016.
https://www.amnesty.org/download/Documents/ASA2142662016INDONESIAN.pdf.
Piper, Nicola. "Democratising Migration from the Bottom
Up: The Rise of the Global Migrant Rights Movement." Globalizations,
12:5, 2015: 788-802.
Selalu Siap Disuruh. New York: Human Rights Watch, 2004.
The Regulation of Domestic Workers in Indonesia. London: International Labour Office, 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. 2003.
http://www.kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf.
[1]
Website resmi ILO per 19 April 2017 menyatakan bahwa Konvensi No. 189 tentang
Pekerjaan yang Layak untuk Pekerja Domestik baru diratifikasi oleh 23 negara.
Lebih lanjut lihat “Ratifications of C189,” International Labor Organization,http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=1000:11300:0::NO:11300:P11300_INSTRUMENT_ID:2551460.
Comments
Post a Comment