Food Crisis


Ribuan tahun yang lalu, orang-orang akan menyadari bahwa Bumi ini begitu luas. Begitu banyaknya tempat-tempat yang tak dapat dikunjungi hingga akhirnya orang-orang banyak membuat mitos tentang tempat-tempat tersebut. Makanan pada saat itu pun dapat diperkirakan sangat banyak mengingat jumlah penduduk yang masih sedikit. Namun sekarang, planet Bumi sudah bukan lagi tempat yang luas lagi. Tempat-tempat yang dahulu tidak dapat dikunjungi tersebut kini sudah dapat dijelajahi dan diamati melalui satelit yang tersebar sangat banyak di luar angkasa sana. Dan jumlah penduduk yang terus bertambah secara eksponensial itu, kini semakin tidak bisa dibendung lagi sehingga umat manusia membengkak menjadi tujuh miliar dan diperkirakan akan menjadi 9 miliar dalam dua puluh tahun lagi. Jumlah yang sangat banyak ini menghasilkan sebuah isu yang perlu dibahas dengan serius, yaitu perebutan makanan – yang merupakan kebutuhan paling mendasar dari manusia. Nah kali ini, kita akan membahas dua perspektif paling ekstrem dalam menyikapi isu pangan di masa kini.


Perspektif pertama datang dari kaum Neomalthusians. Mereka dapat dikatakan sebagai golongan pesimistis yang menganggap bahwa pertambahan jumlah penduduk bumi yang tidak dapat dikendalikan akan mengakibatkan sebuah krisis pangan dimana tidak semua orang mendapatkan apa yang disebut dengan food security. Argumen mereka sederhana, jumlah manusia selalu meningkat dengan eksponensial (1 > 2 > 4 > 8) sementara kesediaan pangan meningkat dengan normal (1 > 2 > 3 > 4). Oleh sebab itu, mereka menawarkan sebuah solusi untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.

Berbeda dengan Neomalthusians, golongan kedua, Cornucopians, justru bersikap optimistis dengan berasumsi bahwa meskipun jumlah manusia nantinya akan melebihi jumlah kesediaan pangan, namun dari manusia-manusia yang sangat bayak tersebut pasti akan melahirkan sebuah teknologi baru yang dapat mengatasi krisis pangan tersebut. Hal ini dibuktikan di negara-negara maju dimana mereka dapat meciptakan industri pangan yang melipatgandakan kesediaan pangan. Jadi, berebeda dengan Neomalthusians yang menyarankan pengendalian jumlah penduduk, Cornucopians menyarankan untuk melipatgandakan kesediaan pangan.

Permasalahannya, kedua perspektif ini datang dari dua dunia dengan kondisi yang sangat berbeda. Pertama, perspektif Neomalthusians datang dari negara-negara berkembang yang baik SDA maupun SDM-nya tidak cukup berkualitas untuk menghasilkan industri pangan yang sangat baik. Sementara perpektif kedua datang dari negara-negara maju yang secara pendidikan dan kehidupan sudah sangat layak dan mampu menciptakan industri pangan yang mapan. Ditambah lagi, masalah di negara berkembang adalah orangnya selalu ingin menambah anak, sementara di negara maju orang-orangnya justru tidak ingin memiliki anak. Wajar saja jika mereka menerapkan dua solusi yang berbeda. Dengan kata lain, jika harus ditanya perpektif mana yang lebih baik, maka jawabannya adalah tergantung dari tempatnya.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara