Demokrasi di Tengah Globalisasi: Masih Relevan?


Demokrasi adalah kemanusiaan. Suka atau tidak, demokrasi merupakan satu-satunya sistem yang dapat menjamin hak Anda sebagai manusia seutuhnya. Anda mungkin dapat berargumen bahwa sistem otoriter dan komunisme dapat menjamin stabilitas dan kesejahteraan. Sampai taraf tertentu, argumen ini mungkin benar, namun tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam sistem tersebut Anda harus menggantungkan nasib Anda kepada seseorang atau kelompok yang tidak Anda kenal dan harus Anda akui sebagai pemimpin Anda.

Dalam kondisi seperti itu, hak Anda sebagai manusia akan menjadi tidak berarti. Ada atau tidak adanya Anda tidak akan mempengaruhi kekuasaan absolut yang dimiliki pemimpin Anda. Jika pemimpin Anda baik, maka Anda beruntung. Namun jika pemimpin Anda jahat, Anda tidak dapat berontak, atau Anda akan dianggap sebagai ancaman dan dapat dilenyapkan dengan mudah.

Demokrasi menawarkan kesempatan bagi Anda untuk menentukan siapa yang Anda anggap layak untuk menjadi pemimpin Anda. Pemimpin yang Anda pilih tidak akan memiliki kekuasaan absolut karena demokrasi memungkinkan pemisahan kekuasaan menjadi tiga institusi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini akan memungkinkan terjadinya check and balance sehingga tidak ada kekuasaan absolut. 

Lebih dari itu, demokrasi menempatkan Anda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Keberadaan Anda menjadi sangat penting di dalam demokrasi karena hanya Andalah yang berhak untuk menentukan nasib dan keberlangsungan negara Anda. Demokrasi adalah sebagaimana dikatakan Abe Lincoln, “the government of the people, for the people, by the people.” Demokrasi mungkin bukan sistem yang sempurna, namun penghargaan tertinggi kepada Anda dan penjaminan terhadap hak Anda sebagai manusia menjadikan demokrasi sebagai sistem terbaik di antara sistem-sistem yang buruk.

Hari ini, demokrasi telah menjadi nilai global. Pasca-runtuhnya Uni Soviet dan komunisme, tidak ada lagi nilai yang mau atau sanggup menandingi demokrasi. Negara non-demokrasi masih ada, namun tidak ada yang mau mengakui bahwa sistem yang mereka gunakan lebih baik daripada demokrasi. Sejumlah institusi internasional pun ikut mempromosikan demokrasi sebagai nilai global melalui mekanisme insentif dan hukuman. 

Insentif diberikan oleh institusi keuangan seperti World Bank dan IMF. Mereka menjanjikan bantuan pinjaman lunak dengan syarat negara penerima bersedia menjunjung nilai demokrasi dan menerapkannya. Hukuman diberikan oleh institusi politik seperti Dewan Keamanan PBB yang mampu mengeluarkan resolusi berupa intervensi kedaulatan atau embargo. Dari segi sosial, Anda sebagai individu pun tidak dapat seenaknya mengkritik demokrasi apalagi menyatakan diri anti-demokrasi, tanpa mendapat cap negatif, seperti diktator, fasis, atau komunis.

Akan tetapi, terdapat perkembangan yang mengejutkan dalam beberapa tahun terakhir. Di sejumlah negara Eropa, kelompok-kelompok ekstrem kanan dan ultrakonservatif yang mendukung nilai-nilai anti-demokrasi mulai mendapat dukungan luas dari masyarakat. Di Amerika Serikat, Donald Trump yang menyatakan tidak mau mengakui hak imigran dan mendukung kebencian terhadap minoritas berhasil terpilih menjadi presiden. Di Turki, masyarakat melakukan referendum nasional dan memutuskan bahwa demokrasi bukan lagi sistem yang tepat untuk negara mereka. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat mengelu-elukan ulama Islam dan mendukung penerapan sistem sharia untuk menggantikan demokrasi. 

Seluruh perkembangan ini membuat kita bertanya, “Apakah demokrasi masih menjadi nilai global?” Lebih lanjut lagi, jika benar bahwa demokrasi adalah satu-satunya sistem yang menjunjung tinggi hak asasi manusia – lantas seharusnya didukung mereka yang mengaku manusia – lalu “Mengapa sekarang banyak pihak yang justru menolak demokrasi?

Untuk dapat memahami pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu memahami pemikiran konstruktivisme. Konstruktivisme memandang bahwa realita di dunia merupakan kesepakatan yang dihasilkan oleh pertarungan ide-ide yang berpengaruh. Realita dimana demokrasi menjadi nilai global tercipta karena ide mengenai demokrasi berhasil mengalahkan ide-ide lainnya dan hampir seluruh masyarakat percaya bahwa ide tersebut adalah ide yang terbaik. 

Sebaliknya, realita dimana demokrasi tidak menjadi nilai global mengindikasikan bahwa terdapat ide-ide lain yang mampu menandingi ide demokrasi dan bahwa terdapat sejumlah besar masyarakat yang percaya terhadap ide tersebut. Dengan demikian, ide adalah sesuatu yang dinamis dan selalu berubah sepanjang waktu. Munculnya pandangan yang menolak nilai demokrasi menunjukkan bahwa ide tentang demokrasi pun tidak kebal terhadap perubahan.

Diana Panke dan Ulrich Petersohn memiliki sebuah teori yang mampu menjelaskan dengan baik bagaimana sebuah ide yang telah diakui sebagai kebenaran dapat mengalami kemerosotan dan kemudian menghilang. Menurut mereka, sebuah ide dapat mengalami kemerosotan jika terdapat aktor yang menantang ide tersebut dan tidak ada yang menghukum aktor tersebut. 

Tanpa mekanisme hukuman, penolakan terhadap ide akan menyebar dan mempengaruhi aktor-aktor lain. Jika penyebaran tersebut terus berlanjut, maka ide yang ditantang akan mengalami kemerosotan dan menghilang. Situasi ini dapat terjadi dengan adanya dua variabel: Pertama, lingkungan yang tidak stabil; Kedua, ketidakmampuan aktor lain untuk menerapkan hukuman.

Mari kita lihat bagaimana jika teori tersebut diterapkan untuk menjelaskan kemerosotan demokrasi sebagai nilai global. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat dunia yang semakin tidak nyaman untuk ditinggali. Amerika Serikat dan Eropa yang kita anggap sebagai rumah bagi demokrasi dan pusat kekayaan dunia dihantam krisis global maha-dahsyat yang berdampak pada perlambatan ekonomi global secara keseluruhan. Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan dibebankan pajak yang sangat tinggi untuk mengatasi krisis ekonomi. 

Akan tetapi, orang-orang super kaya di negara tersebut hampir tidak tersentuh oleh situasi ini dan tetap dapat melanjutkan business as usual. Hal ini menimbulkan situasi ketimpangan dimana orang miskin semakin miskin sementara orang kaya semakin kaya. Dalam kondisi seperti ini, orang-orang melihat bahwa sistem demokrasi telah gagal memberikan mereka kesejahteraan. Bagi kebanyakan orang, kesejahteraan ekonomi merupakan aspek esensial yang menentukan keberlangsungan hidup mereka. Jika aspek tersebut tidak terpenuhi, maka mereka tidak lagi peduli pada nilai mana yang lebih baik secara moral, mereka hanya peduli pada siapa yang dapat mengisi perut mereka.

Situasi ketimpangan tersebut juga dapat dilihat di Indonesia. Oxfam Indonesia dan Forum on Indonesia Development (INFID) pada tahun 2017 mencatat bahwa peringkat ketimpangan ekonomi Indonesia berada pada posisi enam terburuk di dunia. Mereka melihat bahwa dalam dua dekade terakhir, atau pasca reformasi, ketimpangan antara kelompok terkaya dan kelompok lain di Indonesia mengalami peningkatan yang lebih cepat dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara. Tidak hanya itu, mereka juga mencatat bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia adalah sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. 

Keterkaitan antara era demokrasi di Indonesia dan peningkatan ketimpangan menyebabkan munculnya sentimen romantisme terhadap orde baru. Pendukung sentimen ini menyatakan bahwa “benar Soeharto otoriter, tapi setidaknya kita masih bisa makan, harga-harga masih murah, rupiah kuat” dan sebagainya. Kedekatan keluarga cendana dengan ormas-ormas Islam yang semakin berkoar menuntut penerapan hukum Sharia menyebabkan masyarakat menaruh dukungan terhadap mereka. Pada akhirnya, kondisi tidak stabil sebagaimana dijelaskan oleh Panke dan Petersohn menjadi penyebab utama bagi munculnya dukungan terhadap ide yang menantang demokrasi.

Namun beruntung, penolakan terhadap demokrasi masih belum menyebar luas karena masih ada aktor yang sanggup memberikan hukuman terhadap penolakan tersebut. Di tingkat nasional, polisi masih mampu membatasi perilaku aktor-aktor yang menolak ide demokrasi. Sebagai contoh, demonstrasi besar-besaran dengan tajuk 212 yang terjadi di Indonesia berlangsung dengan tertib tanpa menimbulkan kerusuhan. 

Walaupun terdapat suara-suara yang mengutuk keberagaman dan hak minoritas di dalam demonstrasi tersebut, massa tetap menghormati aturan dasar dalam demokrasi untuk bertindak secara patut dan tidak mengganggu hak orang lain. Hal ini menunjukkan masih adanya ketakutan akan hukuman yang dapat mereka terima jika bertindak anarkis. Hal yang sama juga terjadi di Eropa, Amerika Serikat, dan Turki. 

Kelompok-kelompok yang membawa nilai anti-demokrasi tetap bersedia mengikuti prosedur yang disepakati di dalam negara demokrasi untuk mengekspresikan pendapat mereka. Kemudian di tingkat internasional, World Bank dan IMF juga memiliki kemampuan untuk memberikan hukuman dengan menghentikan bantuan pinjaman. Keberadaan ancaman ini akan mendorong negara penerima bantuan untuk memastikan nilai-nilai demokrasi tetap dijunjung di negaranya. Dengan demikian, penolakan terhadap ide demokrasi pun masih bisa dibendung.

Kesimpulan yang dapat diraih dari pembahasan ini adalah demokrasi masih menjadi nilai global berkat keberadaan institusi internasional yang mampu menerapkan mekanisme insentif dan hukuman dalam mempromosikan demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih mempercayai demokrasi dan juga kemampuan institusi internasional untuk mempertahankan demokrasi. 

Akan tetapi, kedigdayaan demokrasi sebagai nilai global mulai goyah karena semakin banyaknya aktor-aktor yang secara terbuka menantang nilai tersebut. Menyikapi hal ini, pembela demokrasi harus menyadari bahwa terdapat sejumlah aspek yang tidak dapat ditangani sepenuhnya dan hal tersebut memberikan kekuatan bagi dukungan terhadap nilai-nilai anti-demokrasi. Kita berbicara soal ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat di negara-negara demokrasi. Sejauh ini, demokrasi masih belum memberikan kontribusi signifikan untuk mengatasi persoalan ini. 

Di Amerika Serikat, demokrasi justru memberikan kesempatan bagi orang-orang terkayanya untuk menyuap senator agar menciptakan undang-undang yang menguntungkan bisnis mereka. Pada akhirnya, kami berargumen bahwa demokrasi harus mampu menyesuaikan diri dengan tantangan yang ada. Demokrasi harus mampu menunjukkan bahwa manusia dapat sejahtera di bawah sistem ini. Tanpa mampu melakukan hal tersebut, maka penolakan terhadap demokrasi akan semakin meluas. 

Kita tidak pernah tahu sampai kapan institusi internasional mampu mempertahankan nilai ini di tingkat global. Tentu saja kita tidak mau hidup di era dimana pemimpin berkuasa secara absolut dan menggenggam nasib kita di atas telapak tangan mereka. Demi kemanusiaan, demokrasi harus berkembang!

Comments

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia