Daniel Dhakidae: Benih-Benih Nasionalisme Indonesia (1908-1928)

(Ini merupakan transkrip kuliah tamu Bpk. Daniel Dhakidae di kelas Masalah-Masalah Identitas dalam Globalisasi, Universitas Indonesia, pada 15 November 2017)



Waktu saya kembali dari Cornell saya menjadi kepala litbang Kompas yang bertanggung jawab untuk semua penelitian. Sesudah itu sekarang menjadi pemimpin redaksi jurnal Prisma ya kalian tahulah jurnal itu apa. Ada yang tahu prisma itu apa? LP3ES, tapi jurnalnya pernah melihat?

Saya diundang Ibu Ani Soetjipto untuk memberi pengantar tentang nasionalisme. Khusus mengenai pandangan dari Prof. Benedict Anderson. Ia adalah chairman dari tim Ph.D saya untuk disertasi saya, jadi saya mengenal pribadi beliau. Buku Imagined Communities diterbitkan di Indonesia, saya menulis kata pengantarnya untuk buku ini. Ada sekitar 50an halaman di sana. Jadi kalau mau tahu lebih dalam tentang Anderson, dari pengantar saya bisa dilihat, siapa tahu berguna kalau nasionalisme itu menjadi sesuatu yang perhatian untuk tesis atau disertasi nanti. Itu kira-kira pengantarnya.

Nah, sebelum masuk ke nasionalisme dan sejarah intinya. Apa kira-kira pandangan beberapa orang mengenai nasionalisme itu? Ben Anderson di sini karena mengenal Indonesia, Asia Tenggara, saya pikir terutama dari Indonesia, studinya yang terlalu banyak dan mendalam tentang Indonesia, karena titik tolaknya dari sini ini. Dengan Ben Anderson kita juga bicara mengenai nasionalisme. Saya harap Anda-Anda sudah lebih dahulu mengerti. 

Ernest Renan
Saya sebut saja nama-nama yang penting dalam diskusi soal nasionalisme di Indonesia: Ernest Renan, dia orang Perancis dari Abad akhir ke-18 menuju ke-19. Apa yang ia katakan tentang nasionalisme? Nasionalisme adalah keinginan untuk bersama. The desire to be together

Yang namanya Renan ini adalah kesukaannya Soekarno. Ada yang tahu Soekarno itu siapa? Selain presiden dia sesungguhnya juga referensi ketika kita ngomongin nasionalisme? Bagi Soekarno, nasionalisme sama seperti Renan, sebuah desire. Dia bahkan ucapkan dalam bahasa Perancis: “Le desir d’etre ensemble.”

Soekarno ini tokoh nasionalis yang sangat pragmatis, dalam pengertian dia tidak peduli yang dikatakan Renan dalam seluruh bahasanya, yang diambil hanya yang berguna untuk nasionalisme Indonesia, mana yang bisa dipakai untuk mengobarkan semangat melawan penjajahan. makanya dia tidak peduli dengan apa yang selebihnya dikatakan Renan.

Itu kita-kita dalam dunia academia tidak terlalu juga perlu pragmatisme yang non-akademik, itu mungkin untuk bekerja. Tapi kalau di akademik apa sesungguhnya? Renan ini tidak sedatar yang dikatakan Bung Karno semata-mata sebuah desire. Tapi Renan sangat kritis terhadap nasionalisme itu, ia bilang nasionalisme itu selalu tumbuh sebagai keinginan itu, tapi selalu berdasarkan historical error.

Jadi dia bilang selalu berdasarkan kekeliruan historis dan apa yang ia maksud? Maksudnya Renan adalah bahwa selalu dilupakan proses ini. Selalu dilupakan proses menuju nasionalisme yang menurutnya sangat violent. Kekerasan. Yang memungkinkan penyatuan Perancis dan Perancis Utara adalah kekerasan, itu harus direbut dari Jerman. Kan Jerman Selatan berbatasan dengan Perancis Utara, kekerasan itu kata Renan adalah bagian dari proses menuju nasionalisme.

Otto Bauer
Kemudian ada juga seseorang bernama Otto Bauer, seorang intelektual, aktivis, dan ahli perburuhan. Dia orang Austria, bukan Jerman. Apa yang ia katakan tentang nasonalisme, kira-kira mirip dengna Renan, kalau Renan bicara soal Le desir, Otto Bauer bicara tentang der wille zur Einheit (keinginan untuk bersatu). Baru kemudian yang ketiga yaitu Ben Anderson. Kalau Renan bilang Le Desir, Ben Anderson mengatakan imagined communities.

Ketiganya ini tidak terlalu jauh berbeda sesungguhnya. Tetapi Ben Anderson memberikan juga caveat, yaitu satu yang disebut sebagai komunitas terbayang itu bukan imajiner. Karena kalau imajiner itu kan keluar dari akal sehat. Ben mengatakan yang dimaksud terbayang itu bukan imajiner karena ada sesuatu yang serius dalam imajinasi, yaitu kerelaan, kesetiaan, untuk mengorbankan diri untuk yang disebut dengan komunitas terbayang itu.

Saya ambil satu contoh, waktu Tsunami Aceh, hampir seluruh bangsa ini meraskaan bahwa yang mati itu kampungnya, keluarganya, kenalannya. Itu kira-kira yang dimaksud imagine. Dia tidak hidup sehari-hari, tidak ada satu orang pun yang mendengar kuliah ibu Ani ini demi nasionalisme Indonesia tiap hari, kan tidak perlu. Tapi pada saat yang ekstrim itulah nasionalisme itu keluar dan terbit keinginan untuk mengorbankan diri.

Itulah yang dimaksud dengan imagined, bukan imajiner tapi merasa terhubung dengan masyarakat lain di luar lingkarannya bahkan hingga ke luar negeri. Ini sesuatu yang sangat serius dan diketahui dari kesiapan untuk mengorbankan diri. Dan ini menjadi sesuatu yang haqiqi di dalam nasionalisme itu.

Kita sudah bicara tokoh dan teori mereka masing-masing. Jadi pada dasarnya ada keterkaitan satu sama lain. jadi apa sesungguhnya paham nasionalisme itu selain desire dan imagined? Nasionalisme itu kan pada dasarnya adalah sesuatu yang dianut oleh kaum yang dari paham Marxist. Di sini kita ngomong Marxisme tidak dilarang kan?

Kalau Marxist menyatakan pikiran borjuis, kaum intelektual, kaum yang sudah sangat terdidik, itu mikirnya hidup. Semakin jauh ke bawah semakin tidak ada pikiran tentang nasionalisme, karena terlalu mewah untuk rakyat bawah berpikir tentang nasion. Yang ia pikir adalah orang-orang terdekatnya, besok makan apa, itu yang mereka pikirkan. jadi terlalu mewah untuk memikirkan sesuatu yang setinggi itu. Jadi dari kaum Marxist, ini bukan tipe pemikiran dari rakyat.

Dalam contoh yang sangat serius, misalnya pada tahun ‘26 ada kongres pemuda yang pertama di Jakarta, Batavia. Semua orang kita lebih banyak tahu Kongres kedua tahun ’28. Tetapi Kongres pemuda tahun ’26 adalah yang terhebat dibandingkan ’28 dari segi intelektual dan akademik. Karena itulah kongres dengan pembahasan yang paling serius dibandingkan ‘28. (kongres) ‘28 itu kan pesta pora, tapi ’26 sangat serius membahas tentang apa itu nasionalisme.

Moh. Yamin
Tapi kembali apa yang saya katakan tadi, pemuda-pemuda ini benar-benar pemuda dalam relasinya dengan orde baru. Orba kan ada KNPI yang memimpin orang umurnya 69-70, tapi oleh Orba itu dibilang pemuda. Tapi yang ‘26 itu benar-benar pemuda. Moh. Yamin itu umur 21, umur Anda-anda ini. Memimpin konvensi tahun ‘26 dan semuanya sangat bersemangat.  

Tapi lihat sebelahnya, tahun ‘26 itu adalah pemberontakan pertama orang Indonesia secara terkoordinir yang modern dan berdasarkan ideologi tertentu oleh Partai Komunis Indonesia. Itu pemberontakan pertama, dengan semua aksi teror dari memblokir jalur kereta, memotong komunikasi belanda.

Ini saya ingin mengatakan mengapa orang-orang kiri itu mengatakan bahwa nasionalisme itu konsep borjuis? Karena dalam sejarah paling dramatik dari persitwa tadi, Moh. Yamin itu berseminar persis jaman sekarang juga di gedung bioskop, sekitar Jakpus. Di luarnya aktivis-aktivis komunis PKI memblokir jalan raya, kereta api. 

Ini ada dua jenis peristiwa, satu di luar satu di dalam. Satu main di gedung ini, mereka tidak mengklaim bahwa itu gerakan nasionalisme tapi melawan tindasan kolonial. Itu kira-kira untuk membayangkan kenapa nasionalisme disebut gerakan kaum borjuis, kaum akademik, dan macam-macam.

Paham yang hidup pada Renan, Bauer, itu sekitar abad XVIII dan XIX. Renan meninggal tahun 1926, jadi kira kira dia menulis itu di ujung abad. Bahwa abad XIX itu ada orang yang terkenal, Julien Benda, orang Perancis yang menulis tentang pengkhianatan intelektual. Menurutnya nasionalisme itu anti-intelektual. 

Dalam pengertian tidak membela the truth di dalam kehidupan secara umum, tapi yang dibela adalah particular interest dari bangsa tertentu. Benda bilang itu anti-intelektual, anti-kebenaran, anti-keadilan, kenapa harus membela kepentingan nasional? Itu kira-kira argumennya. Makanya konsep yang namanya nasionalisme itu begini konteksnya.

Tan Malaka
Kemudian kita bicara Tan Malaka. Dia adalah komunis terhebat dari Hindia Belanda, dari bangsa ini. Kenapa? Karena satu-satunya orang yang pernah duduk berdampingan dengan Stalin, Lenin, di dalam Internationale di Moskow. Dia berusaha meyakinkan komite sentral di Moskow bahwa masukan kaum nasionalis dari negara-negara berkembang itu ke dalam sisi center komite partai komunis internasional di Moskow. 

Ia menyatakan seluruh pejuang Islam di Indonesia adalah nasionalis, semua pejuang di negara berkembang itu nasionalis, dan nasionalis di tempat kami bukan gerakan yang particular tapi gerakan anti-kolonialisme anti-imperialisme. Ia kemudian memasukkan PNI ke dalam gerakan internasional yang diakui Moskow. Apakah Anda menerima atau tidak, tapi Tan Malaka yang memungkinkan ini semua. 

Ngomongin soal komunis, kampus jangan sampai menyerah, jangan sampai menghapus studi-studi Marxist, shame on you!. Sekarang kita kembali Ke Tan Malaka, ini orang paling konsisten dalam gerakan nasionalisme dalam arti benar-benar menyerahkan seluruh hidupnya, bisa dibilang Jesus Christ. Menghabiskan seluruh hidupnya untuk nasionalisme Indonesia.

Dan kalau dia dalam perjuangan ditangkap, dia lari sampai orang yang paling kosmopolitan itu, macam kalian anak millennial ini - kalah! dia tinggal bertahun-tahun di Hongkong, Shanghai, Singapore, Belanda, berkelana keliling dunia ini. Dimana-mana untuk mempertahankan yang namanya Indonesia itu. Jadi itulah Tan Malaka. Datang Orba inilah orang paling hina di seluruh dunia. Tidak ada kesadaran sejarah. Tidak mengerti apa-apa, semua yang dilakukan PKI itu dianggap laknat. Padahal itu pemberontakan pertama yang dikerjakan secara kolektif atas nama partai melawan penjajahan.

Kalau dengan pidato pilkada, wah jangan sering-sering dengar. Itu hancur semua pemikiran intelektual. Karena disamakan aja ‘26 itu dengan ‘65, mana bisa kalau pelajar politik dengan pengetahuannya mengatakan itu, stupid! mencelakai! Dalam artinya di situlah posisi Tan Malaka. Walaupun dia bilang jangan berontak tahun ‘26 ini, kita belum siap. Tapi PKI yang lebih radikal bilang ya sekarang maunya. Akhirnya dibabat Belanda, dibuang ke Buol.

Itulah Tan Malaka. Sekarang gimana melihat ini semua? Dari dunia academia, jangan menyerah dengna nonsense pilkada itu. Kepedulian kita secara historis dan riset lainnya adalah untuk sesuatu yang berbasis fakta dan logika. Karena tahun depan sudah tahunnya pidato-pidato itu, makanya direm lah nonsense itu semua dan membuyarkan semua integritas intelektual Anda. Itu poinnya.

Tambah lagi sedikit tentang Indonesia. kapan Indonesia itu mulai. Dikatakan ada atau tidak. Satu, menyebar. Saya berani berkata tidak ada nasionalisme melawan pidato menyatukan nusantara, tidak. Secara akademis, kenapa tidak? karena tidak ada desire to be one. Tidak ada. Tidak ada der will to be one. Tidak ada imagined communities. Tapi perlahan dijelaskan ini menyatukan. Itu bisa saja menyatukan tapi yang disatukan adalah berdasarkan imperial desire dari Majapahit. Menyatukan orang dengan violence. Tapi violence majapahit ini kan bukan dengan ABRI, ia memungut upeti, tidak membayar artinya membangkang, artinya dibantai.


Jadi rakyat itu tidak ada. Dari Aceh mengatakan ingin bersatu dengan Majapahit harus bayar. kenapa tidak ada transportasi dan komunikasi yang berarti, itu kan tidak ada. Ben Anderson mengatakan salah satu yang membangkitkan komunitas terbayang itu adalah komunikasi dengan pers, surat kabar cetak. Tanpa surat kabar tidak dimungkinkan adanya sense mengenai komunitas terbayang. tapi itu juga tidak ada orang berpikir bahwa ada orang yang harus saya bela dari ribuan kilometer dari kampong saya.

maka saya berani berkata bahwa nasionalisme itu dalam istilahnya, tetapi ketika pada tahun 1908, Budi Utomo mengangkat isu ini, mulai ada seed nasionalisme di sana. kenapa dibilang benih? Karena pertama, hanya terbatas untuk Jawa. Kedua, hanya terbatas untuk kaum Prijaji. Ketiga, urusannya lebih ke pendidikan, bagaimana mengangkat enlightenment dunia Jawanis. Saya menyatakan bahwa itu mulai muncul semacam etno-nasionalisme, etnik Jawa, kenapa Jawa? Karena Madura pun nggak boleh masuk di dalam Budi Utomo. Dari Banyuwangi sampai Banten.

Dalam sejarah selalu disebutkan bahwa Budi Utomo itu dokter-dokter. Nah, dokter yang Budi Utomo di Menteng itu, itu adalah sekolah kejuruan. Bukan universitas, bukan fakultas. Karena guru sejarah kita, selalu bilang ini dokter-dokter. Dalam artian dokter sebagai mereka yang terpelajar di sekolah kejuruan. Mereka diperkenalkan penyakit-penyakit tropis, teknik operasi kecil, tidak boleh operasi besar, itulah Dr. Soetomo.
 
Para Prijaji dari Budi Utomo

Tetapi orang-orang ini sekolah kejuruan, otaknya jauh lebih besar daripada kejuruan. Perhatiannya sama sekali terbuka untuk dunia di luar kedokteran. Inilah yang membikin semacam etno-nasionalisme di Indonesia. Kemudian yang kedua, baru pada tahun ‘20an, dengan didirikannya Jong Ambon, Sumatra, dst. Mulai sedikit terbuka dalam pengertian banyak yang etno-nasionalisme, ada Sumatra, ada Ambon, Minahasa, dst.

Baru pada tahun ‘26 itu mulai ada pikiran bahwa semuanya harus disatukan. Baru Tahun ‘26. Terus itu nama Indonesia sudah dipakai di Belanda oleh Hatta dan para mahasiswa. Artinya ada keinginan kesatuan identitas. Tahun ‘26 itu persatuan yang dirumuskan dengan serius dalam satu musyawarah sampai akhirnya Yamin bilang bahasa Melayu harus diangkat sbg. Bahasa Indonesia. Itu Yamin sebagai siswa SMA di Bandung. HBS Bandung. Tetapi semua itu disampaikan dalam Bahasa Belanda. Kalau sekiranya sekarang pasti ditertawakan. Tapi itulah zamannya dan memang persatuan itu dibikin.


Dan pada seminar itu, belum ada tokoh perempuan yang bicara soal peran perempuan dalam nasionalisme. Jadi tahun ‘26 itu tahun yang hebat. Tahun ‘28 itu common lah, semua yang didiskusikan menjadi panen, lebih menjadi pesta dalam arti melahirkan magic satu nusa satu bangsa satu bahasa. Itu pun disana hanya disebut sebagai keputusan. Kemudian baru ada yang ahli propaganda yang merumuskannya menjadi catchy. Tapi kalau ingin mempelajari nasionalisme kita, kembali ke ‘26 itu yang paling inspiring dari segi akademik, dan dengan melihat ‘28 itu sebatas hanya pesta. Puncaknya tentu dengan 17 Agustus 1945, itu perjalanan panjang.

Jadi nasionalisme kita ini keluar sejak kandung ibu? Kolonialisme Belanda itu yang pertama menyatukan nusantara ini. karena itu nasionalisme kita lahir sebagai reaksi terhadap itu, terhadap kekerasan, penindasan, penghisapan oleh kolonial. Karena itu Bung Karno orang yang paling konsisten dalam artian setiap jengkal tanah yang dipegang oleh pemerintah Hindia Belanda di Nusantara ini adalah Indonesia.

Karena itu di dalam persoalan yang merepotkan semua orang, apakah Papua itu Indonesia? Soekarno bilang iya, dengan argumen bahwa itulah tempat dimana pemerintah Hindia Belanda berkuasa. Hatta mengatakan ga usahlah, repot. Perbedaan ras terlalu jauh, bagaimana menyatukan? Tapi Soekarno memang keras kepala, bukan sekedar ngomong, tapi dengan merebut kembali Irian Barat itu pada tahun ‘60.

Dunia akademi mengatakan harus dibedakan nationhood dan nationalism. Nationhood melihat sisi ras, darah, tapi nationalism adalah unsur desire, power, politik, artinya kalau nationhood itu beras, nationalism itu nasinya. Soekarno keras kepala mengatakan bahwa ada nationhood yang harus diangkat sebagai bagian dari nasionalisme Indonesia.

Dimana bunyinya nasionalisme sekarang ini? Apa sudah tidak ada gunanya lagi dibicarakan? Kita nggak usah lihat di Indonesia, kita lihat di Eropa, peristiwa-peristiwa tahun terakhir, krisis pengungsi dari Timur-Tengah, Afrika, masuk ke Hungari, Swedia, Norwegia, apa yang terjadi? Yang terjadi di Jerman melahirkan P3, European nationalism, masuk ke Belanda tumbuh Freiheij Partij, Yang anti-Islam radikal, tidak ada satu pun yang benar dalam Islam.

Ini kan nasionalis kemaren sore ini. Bukan fosil dari abad XVIII. Ada di Jerman, Belanda, Austria, Hungaria, mereka bilang NO kepada pengungsi karena ini adalah tanah Kristen, tidak untuk Muslim. Dan yang ngomong bukan sekdar aktivis, tapi perdana menteri. Austria, oke boleh datang tapi cuma 600 orang, jangan lebih dari itu. Artinya peristiwa ini dengna semua gerakan globalisme merangsang kembali long forgotten nationalism, itu muncul di negara industri, bukan di Lombok atau dimana.
 
Marine Le-Pen, Pemimpin Partai Nasionalis Perancis

Itu kan sesuatu yang dalam tahap itu tidak lagi menjadi nasionalisme, melainkan patriotisme, selangkah lebih keras dari nasionalisme, tapi semuanya terjadi dan benar-benar menjadi persoalan hari ini. Itulah yang terjadi di Eropa. Dengan begitu kita sampai pada paradoks besar. Di satu sisi globalisasi menciptakan kosmopolitanisme, tapi juga menciptakan nasionalisme versi Hungaria.

Artinya nasionalisme sudah masuk ke sesuatu yang sangat serius dan eksistensial. Ini menjadi suatu diskusi yang menarik. Yaitu kayak apa ini. Dan di Indonesia lebih menjadi persoalan karena urusannya Islam dan Islam ini bukan Islam as we know, tapi Islam yang NIIS, ISIS. Kayak gimana ISIS ini bisa masuk dan menjadi persoalan kemudian merangsang nasionalisme kita.

Tapi kan ada komplikasi kalau melawan ISIS kita melawan Islam, saya bilang bukan, itu melawan agresi dari tempat tertentu yang mengatasnamakan Irak dan Suriah untuk masuk ke sini. Dia mendapat dimensi yang sama sekali berbeda. Ini bukan studi masa lalu, tapi masa kini, dan mengambil paham yang ada untuk menjadi basis dari seluruh thinking, tapi juga action, itulah kira-kira di ujung saya ngomong tentang nasionalisme pada hari ini.

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Politik Luar Negeri

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi