Memahami Konstruktivisme


Hubungan Internasional (HI) merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir pada akhir Perang Dunia ke-2 untuk mempelajari interaksi antara negara dengan tujuan menjaga perdamaian. Seiring berjalannya waktu, isu-isu HI berkembang menjadi semakin kompleks dan tidak melulu soal perang atau interaksi antarnegara. Kegagalan pemikiran Realisme dan Liberalisme dalam menjelaskan isu-isu tersebut memicu lahirnya pemikiran-pemikiran baru yang bertujuan untuk merombak kembali ontologi dari pemikiran Realisme dan Liberalisme yang masih menjadi pemikiran utama. Konstruktivisme merupakan salah satu dari pemikiran yang lahir untuk menjawab tantangan itu.

Ontologi konstruktivisme dibangun atas tiga pilar: (1) Aktor internasional bukan hanya negara, tapi juga organisasi, perusahaan, individu; (2) Struktur yang ada di dunia memiliki pengaruh paling dominan dalam membentuk perilaku aktor-aktor internasional; (3) Nilai, norma, dan kebiasaan yang dilakukan pada tingkat individu akan memiliki kekuatan untuk membentuk dan mempertahankan struktur yang ada. Berdasarkan ketiga hal tersebut, konstruktivisme kemudian berkembang melalui tiga varian utama, yaitu: Konstruktivisme Sistemik, Level Unit, dan Holistik.

Konstruktivisme sistemik adalah varian konstruktivis yang masih memiliki irisan dengan ontologi Realisme-Liberalisme, karena memfokuskan analisanya terhadap interaksi antarnegara. Alexander Wendt, sebagai salah satu tokoh dalam varian sistemik, menyatakan bahwa negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional dan anarkis merupakan keadaan paling penting dalam politik internasional. Namun, berbeda dengan Realisme-Liberalisme, Wendt menekankan bahwa anarki bukanlah sebuah keadaan yang absolut (given), melainkan sebuah keadaan yang diciptakan oleh negara melalui interaksinya dengan negara lain. Dengan menggunakan asumsi dasar varian sistemik, maka dapat dikatakan bahwa pola-pola interaksi antarnegara yang baru menjadi sangat memungkinkan. Sebab, jika anarki adalah sesuatu yang dibentuk oleh negara, maka anarki pun dapat dihancurkan oleh negara, dan diganti dengan pola interaksi baru.

Alexander Wendt, salah satu akademisi HI yang cukup kontroversial

Sebagai contoh, Wendt pada tahun 2003 pernah mempublikasikan sebuah artikel kontroversial yang berjudul Why a World State is Inevitable. Artikel ini menjadi kontroversial karena Wendt berusaha menjelaskan mengenai kemungkinan pembentukan pemerintahan dunia yang dianggap mustahil dalam pemikiran Realisme-Liberalisme. Dalam artikel tersebut, Wendt berargumen bahwa sistem pemerintahan dunia tidak akan terhindarkan, sebab biaya untuk melaksanakan pemerintahan secara berdaulat semakin meningkat seiring meningkatnya ancaman penghancur negara, senjata pemusnah massal, jaringan terorisme, dan seterusnya. Untuk negara-negara yang lemah, ancaman-ancaman semacam itu tidak akan dihadapi sendiri, sehingga mereka membutuhkan perlindungan dari hukum internasional. Karena perasaan ingin dilindungi oleh hukum adalah dasar bagi penciptaan negara, maka pemerintahan dunia menjadi tidak terhindarkan.

Berkebalikan dengan varian pertamanya, konstruktivisme level unit lebih memfokuskan analisanya dalam tingkat domestik, terutama terhadap nilai dan norma sosial di tingkat individu. Asumsinya, nilai dan norma sosial di tingkat individu memiliki kekuatan untuk membentuk identitas dan kepentingan nasional sebuah negara. Jadi, dapat dikatakan bahwa perilaku negara di tingkat internasional dipengaruhi oleh nilai dan norma sosial yang berkembang di tingkat individu. Hal ini dengan sendirinya bertentangan dengan asumsi Realisme-Liberalisme yang menyatakan bahwa tindakan negara dipengaruhi oleh norma internasional yang berlaku di tingkat internasional. Dengan menggunakan asumsi ini, maka fenomena dimana negara menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan norma internasional menjadi dapat dijelaskan.

Sebagai contoh, ketika Iran melakukan penyanderaan terhadap 48 warga Amerika Serikat di Kedutaan Besarnya pada saat Revolusi Iran tahun 1981, seluruh dunia terkejut. Hal ini terjadi karena kekebalan diplomatik yang telah diakui sebagai norma internasional dilanggar tanpa ragu-ragu oleh Iran. Jika negara benar-benar bertindak berdasarkan norma internasional, maka negara tidak akan melakukan tindakan semacam ini, karena akan mendapatkan pengucilan dari komunitas internasional. Namun, kenyataan bahwa Iran melakukan hal tersebut tanpa ragu menunjukkan bahwa Iran tidak terpengaruh oleh logika yang umum dipahami tersebut. Dengan menggunakan asumsi konstruktivisme varian level-unit, kita dapat melihat bahwa nilai-nilai Islam yang berkembang di tingkat individu Iran menjadi dasar bagi kebijakan tersebut. Pada perkembangannya, nilai-nilai Islam tersebut menjadi identitas negara Iran dan hingga kini kita mengenal Iran sebagai negara Islam yang akan bersikap keras terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berkembang di tingkat individunya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perilaku yang ditunjukkan Iran dibentuk dari nilai-nilai yang berkembang di tingkat individunya. 

Tak ada logika di sini bung!

Varian terakhir, yaitu konstruktivisme holistik, memposisikan dirinya di antara kedua varian sebelumnya (sistemik dan level-unit) dan berusaha menjembataninya. Jika varian sistemik dan level unit menciptakan dikotomi antara faktor domestik dan internasional, varian holistik mengatakan bahwa kedua faktor tersebut memiliki kontribusi yang setimpal dalam pembentukan perilaku negara. Dalam hal ini, faktor domestik mempengaruhi identitas korporasi (corporate identity) sebuah negara, sementara faktor internasional mempengaruhi (social identity)-nya. Dalam hal ini, identitas korporasi menjelaskan bagaimana sebuah negara memandang dirinya sendiri, sementara identitas sosial menjelaskan bagaimana sebuah negara memandang dirinya dalam sistem internasional. Kedua identitas tersebut saling berinteraksi satu sama lain untuk membentuk perilaku negara. Dengan menggunakan asumsi ini, identitas korporasi sebuah negara akan mempengaruhi identitas sosialnya, begitu pula sebaliknya.

Sebagai contoh, dalam kasus kebijakan luar negeri Iran, kita dapat melihat bahwa nilai-nilai Islam yang berkembang di tingkat domestik memiliki pengaruh terhadap pembentukan identitas korporasi Iran. Identitas ini memberikan konsepsi akan siapa yang dapat dijadikan ‘teman’ dan ‘musuh’ oleh Iran. Dalam hal ini, teman Iran adalah sesama muslim dan musuhnya adalah orang-orang yang memerangi muslim. Konsepsi teman dan musuh ini akan mempengaruhi identitas sosial Iran di tingkat internasional, karena Iran dengan sendirinya akan terus mendapatkan tekanan dari negara-negara yang dijadikannya musuh. Misalnya, akibat politik konfrontasi yang kerap dilakukan Ahmadinejad terhadap Amerika Serikat dan keteguhannya untuk tetap mengembangkan teknologi nuklir, membuat Iran mendapatkan tekanan berupa sanksi ekonomi dari Amerika dan sekutu-sekutunya. Tekanan dari tingkat internasional ini akan mempengaruhi identitas korporasi Iran di tingkat domestik. Contohnya adalah, rakyat Iran menjadi semakin teguh untuk membenci Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya karena mereka melakukan perlawanan. Dengan kata lain, tekanan internasional yang ada semakin memperkuat identitas korporasi Iran dan semakin memperteguh tindakan-tindakan yang dilakukannya di tingkat internasional. Siklus antara identitas korporasi dan sosial inilah yang membentuk perilaku Iran.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan ketiga varian konstruktivisme terletak pada fokus ontologinya. Dalam hal ini, varian sistemik berfokus pada interaksi antarnegara di tingkat internasional dan varian level-unit berfokus pada nilai dan norma sosial individu di tingkat domestik. Sementara itu, varian holistik memfokuskan pada interaksi antara faktor-faktor yang dijelaskan dalam kedua varian sebelumnya.


Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara