Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis: Kembalinya Gerakan Buruh untuk Menentang Kapitalisme



1 Mei lalu dunia baru saja merayakan hari buruh internasional. Di hari yang juga dikenal sebagai Mayday tersebut, kita dapat menyaksikan pergolakan buruh-buruh di seluruh dunia yang menuntut adanya perbaikan terhadap standar hidup mereka. Dapat dilihat bahwa buruh-buruh mulai memiliki rasa tidak percaya terhadap struktur sosial yang ada saat ini, yakni struktur sosial Kapitalis. Menurut mereka, struktur sosial Kapitalis telah mengeksploitasi mereka habis-habisan dan menutup kesempatan bagi para buruh untuk berkembang. Ya, buruh-buruh di masa kini memang benar-benar beringas untuk mengkritik struktur sosial, terutama yang berbentuk Kapitalis. Namun perlu diketahui, bahwa keberingasan untuk mengkritik struktur sosial yang dimiliki oleh para buruh saat ini dapat terjadi berkat jasa para ilmuwan Marxist di tahun 1930-an yang tergabung dalam Institute Fur Sozialforschuung (IFS) atau lebih dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt.


Mazhab Frankfurt berawal dari sebuah sekolah yang bernama IFS. Sejak didirikan pada tahun 1923 oleh Felix Weil di Universitas Frankfurt, IFS telah didedikasikan untuk menjadi sekolah yang dapat memberikan kontribusi akademis kepada Marxisme. Tujuannya adalah untuk mempelajari Marxisme sebagai sebuah disiplin ilmu dan bukan sebagai dogma politik. Menurut Carl Grunberg, direktur pertama IFS, Marxisme sejati tidaklah dogmatis. Pada dasarnya, Marxisme adalah sebuah metodologi yang digunakan untuk menganalisis fenomena sosial. Sayangnya, orang-orang di masa itu telah salah kaprah dengan memandang Marxisme sebagai sebuah gerakan yang dapat mengancam keamanan negara. Demi mengubah pandangan yang salah itulah, IFS didirikan sebagai sekolah untuk mempelajari Marxisme secara ilmiah pertama di dunia.

Namun, Selain Marxisme, IFS juga menempatkan pemikiran Idealismenya Immanuel Kant dan Dialektikanya Hegel sebagai dasar pemikirannya. Hasilnya, dari sejumlah penelitian yang dilakukan, ditemukanlah beberapa hal menarik yang dapat mengkritisi Marxisme itu sendiri. Salah satu yang paling menarik adalah pernyataan bahwa ramalan Karl Marx mengenai keruntuhan Kapitalisme tidak akan pernah terwujud. Penyebabnya adalah kemampuan Kapitalisme untuk menciptakan mekanisme efektif yang dapat mengatasi kritik-kritik dari Marx sendiri, antara lain pemenuhan hak-hak pekerja yang lebih proporsional. Bentuk penindasan yang pernah diutarakan oleh Marx pun berhasil diperbaiki sedemikian rupa sehingga terlihat halus. Hal ini pun mempengaruhi cara berpikir kaum pekerja sehingga mereka merasa tidak tertindas sama sekali. Akibatnya, revolusi buruh pun tidak akan dapat terjadi dan keruntuhan Kapitalisme pun rasanya masih berupa mimpi. Melalui penemuan-penemuan semacam inilah ajaran Marx diperbaharui bahkan ditinggalkan oleh sebagian penelitinya.

Teori Kritis
Seiring dengan perkembangannya, IFS justru menghasilkan berbagai pemikiran yang mengkritisi hampir seluruh permasalahan sosial di dunia. Hal ini bermula ketika Max Horkheimer, yang diangkat sebagai direktur IFS menggantikan Carl Grunberg, menerbitkan tulisannya mengenai Teori Kritis. Apa yang dimaksud dengan Teori Kritis ini digambarkan oleh Horkheimer sebgai sebuah kegiatan teorisasi baru yang bersifat interdisipliner dan dapat memperbaharui filsafat dialektika dari Marx dan Hegel. Hasil dari kegiatan yang dimaksud oleh Horkheimer ini adalah sebuah teori yang memiliki empat karakteristik: Interdisipliner, Reflektif, Dialektis, dan Kritis. Penjelasan dari keempat karakterisitik Teori Kritis tersebut adalah sbb:

Teori Kritis bersifat interdisipliner menunjukkan bahwa kegiatan teorisasi kritis tidak boleh menciptakan dikotomi apapun pada ilmu pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan harus saling membantu, bahu membahu, demi mewujudkan suatu hal baru yang tak dapat diwujudkan hanya dengan berfokus pada satu jenis ilmu pengetahuan saja. Tujuannya adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang benar-benar dialami oleh masyarakat, bukan permasalahan yang diasumsikan oleh ilmuwan. Itulah sebabnya dijelaskan pula bahwa Teori Kritis harus bersifat reflektif yang artinya mampu mencerminkan masyarakat seutuhnya dan menjawab apa kebutuhan mereka yang sesungguhnya.

Selanjutnya, kegiatan teorisasi kritis juga harus dilakukan dengan metode dialektika antara Teori Tradisional dengan Teori Kritis. Dialektika ini menjadi hal yang sangat penting dalam teorisasi kritis sebab hanya melalui dialektikalah peneliti dapat menemukan sintesa dari kontradiksi antara pengetahuan-pengetahuan interdisipliner yang ada. Terakhir, Teori Kritis, sesuai dengan namanya, tentu harus bersifat kritis. Sebab Teori Kritis sejak mulanya tidak diciptakan untuk sekadar menciptakan hal yang baru. Yang terpenting dari Teori Kritis adalah bagaimana seorang ilmuwan dapat membongkar kebobrokan dalam masyarakat yang sudah ada, meluruskannya, kemudian menunjukkan hal yang benar-benar baru pada masyarakat.

Bermula dari pemikiran Horkheimer itulah, dasar-dasar fundamental dari Teori Kritis dikukuhkan. Ditetapkan pula bahwa tujuan dari Teori Kritis adalah untuk mengemansipasi umat manusia dari mitos dan dogma Positivisme. Tujuan ini ditetapkan karena Horkheimer melihat bahwa manusia sesungguhnya memiliki potensi yang menakjubkan namun tidak dapat dikeluarkan karena pikirannya terhalangi oleh kerangka berpikir kaum Positivisme yang menganggap bahwa kebenaran hanyalah apa yang dapat dilihat, diukur, dan dirasa. Kerangka berpikir semacam itulah yang membuat pikiran manusia tidak bebas dan itulah yang berusaha untuk dikritisi oleh Horkheimer dan kawan-kawannya di IFS melalui teori kritisnya. Inilah yang menandai awal mula berdirinya Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis.

Penerapan Teori Kritis
Untuk melakukan kegiatan teorisasi kritis, maka peneliti harus memulai dengan mendemitologisasi diri sendiri terlebih dahulu. Apa yang dimaksud dengan demitologisasi di sini adalah melenyapkan pandangan-pandangan umum yang telah menjadi semacam dogma di dunia. Misalnya pandangan bahwa Kapitalisme adalah sistem ekonomi terbaik sepanjang masa karena terbukti selalu dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman serta telah berhasil membawa kemakmuran bagi negara yang melaksanakan prinsip-prinsipnya dengan baik. Menyikapi pandangan ini, peneliti kritis harus skeptis terhadap predikat ’terbaik’ yang disematkan pada Kapitalisme tersebut. Selanjutnya, peneliti harus mengkritisi Kapitalisme dan menunjukkan keburukan-keburukannya, seperti menyebabkan ketimpangan sosial dan polusi yang tak habis-habis dari limbah industrinya. Semua hal di atas adalah hal-hal yang tentunya tidak diinginkan oleh manusia, namun berhasil disembunyikan melalui propaganda yang menyatakan bahwa Kapitalisme adalah sistem ekonomi terbaik. Sebagai seorang peneliti yang telah mengetahui keburukan dari Kapitalisme, maka adalah kewajiban baginya untuk memperbaikinya dan menemukan sistem ekonomi yang jauh lebih baik dari Kapitalisme. Dengan melakukan semua hal di atas, maka peneliti telah berhasil mendemitologisasi dirinya sekaligus membuka kemungkinan terhadap sistem ekonomi selain Kapitalisme yang tidak menyebabkan keburukan-keburukan yang dihasilkannya.

Selanjutnya, peneliti harus melakukan dialektika antara Kapitalisme yang merupakan teori tradisional dengan teori-teori kritis seperti Marxisme, Feminisme, atau Postmodernisme. Melalui dialektika tersebutlah, peneliti dapat menghasilkan sintesis, yakni sebuah teori yang benar-benar baru. Kemudian dalam menyikapi teori kritis baru ini, ada suatu perlakuan berbeda yang harus diberikan peneliti kritis dengan peneliti pada umumnya. Normalnya, peneliti yang melakukan kegiatan teorisasi tradisional akan memandang teori dan praktek sebagai dua dimensi yang sangat berbeda. Dengan kata lain, peneliti tradisional hanya akan terfokus pada bagaimana menciptakan teori yang sulit untuk dipatahkan dan melupakan bagaimana cara mempraktekkan teori tersebut. Ini adalah hal yang harus dihindari oleh peneliti kritis. Sebab dialektika yang menjadi dasar dari teorisasi kritis mengharuskan peneliti untuk memikirkan teori dan praktek dalam tataran yang sama. Dengan kata lain, selain harus memikirkan bagaimana menciptakan teori yang lebih baik dari teori tradisional, seorang peneliti kritis juga harus memikirkan bagaimana caranya agar teori tersebut dapat diaplikasikan langsung pada kehidupan manusia melalui praktek.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, seorang peneliti kritis, selain diwajibkan untuk memikirkan sebuah teori yang hebat, juga diwajibkan untuk mempraktekkan sendiri teori ciptaannya. Dalam hal ini, praktek yang dimaksud bukanlah ditujukan sekadar untuk membuktikan kebenaran teorinya. Karena teori kritis sejak awal diciptakan untuk mengemansipasi umat manusia, maka praktek Teori Kritis pun juga demikian. Itulah sebabnya, praktek Teori Kritis biasanya dilakukan melalui aksi-aksi yang bersifat revolusioner dimana sang peneliti pun ikut terlibat di dalamnya. Semisal dalam kasus Kapitalisme, maka peneliti harus ikut bergabung dengan Serikat Buruh yang ada kemudian menyebarkan Teori Kritisnya dan mengajak para buruh untuk ikut serta dalam aksi mengkritisi Kapitalisme. Tujuannya satu, yakni perubahan ke arah yang lebih baik. Pun begitu, berbeda dengan Marxisme, Teori Kritis yang ditetapkan oleh Mazhab Frankfurt tidak menghendaki adanya aksi destruktif, brutal, atau anarkis. Bagi Mazhab Frankfurt, sebuah revolusi haruslah dilakukan dengan damai dan mengedepankan kekuatan moral manusia.

Sebagai penutup, marilah kita kembali lagi ke tanggal 1 Mei, dimana para buruh di seluruh dunia kembali melakukan aksi untuk mengingatkan dunia akan bahaya Kapitalisme. Pada dasarnya, pemikiran agar para buruh melakukan pemberontakan pada Kapitalisme ini memang sudah ada jauh sebelum Mazhab Frankfurt berdiri. Namun, dari penjelasan sebelumnya, kita dapat mengetahui bahwa pergerakan buruh sempat mengalami kevakuman yang diakibatkan semakin cerdiknya Kapitalisme dalam menciptakan mekanisme efektif untuk meyakinkan para buruh bahwa tidak ada yang salah dengan Kapitalisme dan Kapitalisme masih merupakan sistem ekonomi yang terbaik di seluruh dunia. Adalah Mazhab Frankfurt yang menemukan hal itu, jadi tidak aneh jika dikatakan bahwa Mazhab Frankfurt dengan Teori Kritisnyalah yang paling berjasa dalam mengingatkan para buruh kembali akan bahaya Kapitalisme. Satu lagi jasa Mazhab Frankfurt pada dunia dan buruh adalah anjuran mereka agar buruh tidak melakukan aksi revolusioner dengan cara-cara yang bersifat destruktif. Berkat anjuran tersebutlah, gerakan para buruh selalu mengundang simpati yang besar dari masyarakat internasional.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara