Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara


Regionalisme adalah sebuah trend yang bermula semenjak Perang Dunia ke-2 berakhir, tepatnya adalah tahun 1960-an. Dalam konteks Asia Tenggara, kecenderungan regionalisme di kawasan ini sebenarnya sudah ada semenjak masa kerajaan. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa dulu pernah ada kerjasama antara Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya, dan beberapa kerajaan kecil di sekitarnya untuk menyerang kerajaan Ayodya. Peristiwa tersebut merupakan salah satu bentuk regionalisme yang diklasifikasikan sebagai regionalisme kuno. Dalam konteks masa kini, kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah yang dapat dikatakan paling strategis di seluruh dunia secara geopolitik. Hal ini terbukti dari bagaimana organisasi regional bernama ASEAN masih tetap dapat eksis di sana kendati memiliki banyak masalah terkait sistemnya. Oleh sebab itu, kajian terhadap kawasan Asia Tenggara dan bagaimana regionalisme dapat terjadi di sana akan sangat penting untuk dilakukan. Itulah sebabnya pada tulisan kali ini saya akan membahas khusus mengenai sejarah dan praktik regionalisme di Asia Tenggara.

Pada dasarnya, terdapat tiga faktor yang memungkinkan terjadinya regionalisme di Asia Tenggara. Pertama, adanya kesamaan pengalaman di masa lalu, yaitu sama-sama pernah dijajah. Perasaan senasib ini dengan sendirinya membentuk ikatan di antara negara-negara tersebut dan dengan sendirinya pula membentuk sebuah gagasan dalam diri mereka bersama, yaitu untuk mencegah kolonialisasi terulang kembali.

Kedua, adanya kesamaan ideologi. Dalam konteks masa kini, ideologi di antara negara-negara Asia Tenggara mungkin sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan. Namun di masa awal pendiriannya, dapat dilihat bahwa lima negara yang mendirikan ASEAN memiliki haluan liberalis-kapitalis. Kesamaan ideologi ini kemudian mendorong mereka terhadap gagasan bersama untuk membendung adanya pengaruh ideologi lain dalam kawasan mereka, yakni ideologi komunis.

Ketiga, adanya kesamaan etnis dari setiap negara tersebut. Kesamaan etnis ini berperan lebih efektif di tingkat masyarakat dikarenakan merekalah yang langsung menyadari bahwa antara penduduk masing-masing negara memiliki kesamaan dalam hal rupa, kebudayaan, sampai bahasanya. Kesamaan ini menggiring mereka pada gagasan bersama bahwa mereka semua berasal dari rumpun moyang yang sama, sehingga sudah seharusnya kalau mereka bersatu dan tidak terpisah-pisah.

Dari ketiga gagasan tersebut, dapat dilihat bahwa kesamaan gagasan merupakan faktor utama yang membuat regionalisme dapat terjadi. Kesamaan gagasan ini dapat terbentuk dari berbagai macam hal, namun dalam kasus ASEAN kesamaan tersebut terbentuk dari tiga hal: kesamaan sejarah, kesamaan ideologi, dan kesamaan etnis. Namun begitu, regionalisme yang terbentuk dari hanya kesamaan gagasan pada akhirnya menjadi tidak populer di tahun 1980-an.

Pada tahun 1980-an, terjadi fenomena berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap organisasi regional yang terbentuk hanya atas dasar kesamaan gagasan. Hal ini terjadi karena organisasi regional semacam itu memiliki kecenderungan untuk mengambil sikap yang kontras dengan organisasi regional lainnya. Pada akhirnya, organisasi regional tersebut hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan di kawasan itu saja. Orang-orang di tahun 1980-an sudah mulai bosan dengan keadaan konflik. Mereka berpikir bahwa mengembangkan sektor pertahanan tidak akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, sehingga mereka pun menjadi lebih tertarik terhadap pengembangan ekonomi. Asumsi ini menjadi semakin populer dengan semakin banyaknya literatur dan opini yang bertebaran di masyarakat dan diperkuat dengan adanya doktrin Washington Consensus yang dipelopori oleh Ronald Reagan dan Margaret Tatcher. Hal inilah yang membuat regionalisme lama runtuh (ditandai dengan hancurnya Pakta Warsawa, melemahnya NATO, dan berubahnya OAU menjadi AU) dan beralih ke regionalisme baru yang dibentuk khusus untuk meningkatkan perekonomian kawasan.

Fenomena regionalisme baru semakin merebak semenjak berakhirnya Perang Dingin. Semakin banyak organisasi regional kemudian dibentuk dengan tujuan khusus untuk mengembangkan ekonomi. ASEAN pun mengikuti trend ini. Walaupun awalnya dibentuk dengan asas kesamaan gagasan dan meningkatkan keamanan, ASEAN yang berhasil bertahan melewati transisi regionalisme lama ke regionalisme baru mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hal ini ditandai dengan ASEAN menerima Vietnam, Kamboja, dan Laos sebagai anggotanya meskipun mereka komunis, dengan syarat mereka mau membuka pasar mereka. Hal ini terbukti efektif dalam meningkatkan kerjasama ekonomi di ASEAN dan hal ini terus berlanjut sampai sekarang dengan adanya pembuatan blueprint pembentukan ASEAN Community.

Namun, terdapat beberapa masalah dalam pemebntukan regonalisme baru di ASEAN. Pada dasarnya, untuk membentuk regionalisme baru yang dapat mengembangkan ekonomi kawasan dibutuhkan dua hal agar organisasi regional dapat berjalan dengan lancar. Pertama, regionalisme baru membutuhkan adanya penguatan muatan lokal agar regionalisme tersebut memiliki sebuah identitas yang dapat menjaga kesatuannya. Kedua, regionalisme baru membutuhkan adanya kebijakan proteksionis untuk menguatkan negara-negara di dalam kawasan dalam hal ekonomi, sebelum akhirnya mulai membuka diri dengan regionalisme lainnya.

ASEAN dalam pemenuhan kedua poin tersebut dirasa masih kurang. Dalam poin pertama, masih terdapat perseteruan internal antara negara-negara yang sebetulnya memiliki kesamaan rumpun, seperti Indonesia-Malaysia dan Kamboja-Thailand. Dalam poin kedua, dapat dilihat bahwa ASEAN dengan mudahnya membuka diri pada China melalui ACFTA tanpa menimbang bahwa terdapat negara ASEAN yang tidak memiliki keuntungan relatif terhadap China. Hal ini membuktikan bahwa ASEAN sebagai organisasi regional baru masih belum memenuhi tugasnya dengan baik.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)