Act of Killing: Menyingkap Kejahatan Negara

Tulisan ini merupakan resume dari bedah film "Act of Killing" yang dilaksanakan oleh Divisi Kajian Himpunan Mahasiswa HI Paramadina pada 28 Maret 2013



Selama rezim Orde Baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) disimbolisasikan sebagai sosok penjahat yang berusaha merusak ideologi kebangsaan Indonesia, Pancasila. Sepanjang rezim itu pula, tidak pernah masyarakat di tanah air memiliki kesempatan untuk memahami Komunisme. Masyarakat tempo itu memahami komunisme seperti yang dipropagandakan rezim otoriter bahwa komunisme tidak lain adalah atheisme atau ide mengenai peniadaan Tuhan. Dengan kata lain, menjadi anggota PKI bukan saja berarti mengkhianati bangsa, namun juga mengkhianati nilai-nilai Ketuhanan yang dianggap absolut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Atas dasar itulah, pembantaian terhadap anggota PKI di tahun 1965 kemudian mendapatkan justifikasinya.

Film “Act of Killing” adalah film yang benar-benar mampu melukiskan peristiwa pembantaian PKI di tahun 1965. Dalam Film yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer tersebut, peristiwa pembantaian anggota PKI digambarkan melalui kacamata algojo-algojo yang menjadi pelaku pembantaian itu sendiri. Berdasarkan informasi dari para algojo tersebut, film ini berhasil menelanjangi salah satu sisi gelap dari sejarah Indonesia yang selalu ditutup-tutupi dari dunia internasional selama 32 tahun lebih Orde Baru berdiri.

Namun, film “Act of Killing” tidak berhenti sebatas menyajikan potongan sejarah saja. Film “Act of Killing” juga berhasil menggambarkan dengan sempurna kondisi psikis dari seseorang yang melakukan pembunuhan tanpa ada rasa bersalah. Dengan kata lain, film ini berhasil menunjukkan sosok seorang psikopat dalam wujud yang sebenar-benarnya. Hal ini ditunjukkan dalam adegan-adegan yang dimana sang algojo mempraktekkan ulang pembunuhan dan penyiksaan yang mereka lakukan pada anggota PKI di masa lalu. Menjadi menarik kemudian karena dorongan yang menghasilkan sosok psikopat tersebut tidak lain adalah hal-hal yang selama ini dianggap baik, seperti semangat membela negara dan semangat beragama.

Berdasarkan fitur-fitur yang dimiliki oleh film “Act of Killing,” HIMAHI Paramadina telah mengadakan diskusi untuk membedah film itu secara keseluruhan. Untuk melakukannya, HIMAHI mengundang dua pembicara, yaitu Amin Mudzakkir (Peneliti LIPI) dan Hizkiya Yosie (Peneliti Pacivis UI). Amin Mudzakkir membahas film tersebut dari segi konteks sejarah yang melatarbelakangi peristiwa pembantaian PKI tahun 1965, sementara Hizkiya Yosie membahas film tersebut dari sisi psikoanalitika para pelaku-pelaku pembantaian itu sendiri dan kaitannya dengan kajian ilmu HI.
Amin Mudzakkir: Konteks Historis Peristiwa 30 September 1965

Amin Mudzakkir membuka diskusi ini dengan menyatakan bahwa pemahaman kita terkait peristiwa tahun 1965 tersebut masih sangat sepihak, dalam artian kita masih dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dibangun melalui film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru. Film “Act of Killing” pada dasarnya menceritakan sebuah perspektif tandingan terhadap perspektif yang ditawarkan oleh pemerintah. Melalui film ini, diharapkan perspektif masyarakat Indonesia terhadap keluarga-keluarga anggota PKI yang kini hidup menderita sebagai konsekuensi dari kebijakan Orde Baru dapat berubah. Bahwa kita dapat lebih merasakan penderitaan begitu besar yang telah mereka alami. Amin mengambil contoh para ‘eksil’ atau penduduk Indonesia yang pergi untuk belajar di Eropa Timur pada tahun 1965 dan tidak dapat kembali lagi ke Indonesia karena dituduh terlibat PKI.

Untuk dapat memahami konteks dari peristiwa 1965, Amin membawa kita pada rangkaian peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1965. Pada waktu itu, terdapat banyak sekali ketegangan antara golongan komunis dan muslim. Amin menjelaskan bahwa ketegangan ini ada kaitannya dengan persaingan politik di level partai yang terjadi antara PKI dengan Partai Masyumi. Persaingan tersebut dibawa sampai ke ranah grassroot, sehingga sering terjadi gesekan antara orang komunis dan orang muslim. Dalam salah satu contoh yang dibawakan oleh peserta diskusi, yakni Luthfi, ia menjelaskan bahwa bahkan seseorang dapat memutuskan hubungan keluarga hanya karena yang satu menjadi anggota PKI dan yang lainnya menjadi anggota Partai Masyumi.

Dalam situasi seperti itulah, peristiwa 30 September 1965 muncul. PKI kemudian dijadikan tersangka utama dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, pihak militer yang didukung oleh Partai Masyumi naik menjadi pemerintah dan membentuk Orde Baru. Saat itulah, penguasa memutuskan untuk melemahkan pengaruh PKI dengan segala cara dan mereka memilih yang paling ekstrem, yaitu pembunuhan massal seluruh anggota PKI.

Namun anehnya, sedikit sekali orang yang mau membicarakan soal pembunuhan massal terhadap PKI yang marak diadakan di tahun 1965 tersebut. Bahkan kasus ini tidak pernah mencuat dalam forum internasional. Dalam hal ini, Amin berpendapat bahwa terdapat pengaruh dari konstelasi politik internasional di masa itu yang didominasi oleh perseteruan antara Blok Barat yang berideologikan demokrasi-liberal dengan Blok Timur yang berideologikan sosialisme-komunisme. Pemerintah Orde Baru pada waktu itu sangat condong dengan Blok Barat, sehingga mereka mendapatkan dukungan untuk melakukan pembunuhan massal terhadap warganya. Selain itu, mereka juga mendapatkan bantuan untuk menutupi kasus ini dari pantauan komunitas internasional.

Walau begitu, kita semua tentu tahu bahwa kasus ini merupakan pelanggaran HAM yang sangat berat. Gus Dur sepertinya menyadari hal tersebut, sehingga dia sempat melakukan usaha rekonsiliasi atau meminta maaf terhadap korban dari peristiwa pembunuhan massal di tahun 1965 tersebut. Film “Act of Killing” tentunya dapat menjadi angin segar bagi mereka yang menginginkan adanya perubahan dalam sejarah Indonesia.

Hizkiya Yosie: Pembunuhan sebagai sebuah Fantasi

Berbeda dengan pembicara sebelumnya yang membahas film ini melalui perspektif sejarahnya. Hizkiya Yosie mencoba melihat kejadian dalam film ini menggunakan metode psikoanalisis, yaitu bagaimana melihat suatu peristiwa sejarah bukan soal benar atau salah namun lebih ke arah substansinya, bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Ada satu konsep psikoanalisis yang akan digunakan untuk membedah film ini, yaitu fantasi. Fantasi di sini digambarkan sebagai segala sesuatu yang berada dalam pikiran individu yang dapat membuatnya merasa nyaman. Fantasi ada yang bersifat pribadi dan ada yang bersifat publik. Fantasi yang bersifat pribadi adalah fantasi yang dibangun hanya oleh seorang individu. Fantasi yang bersifat publik adalah fantasi yang dibangun bersama oleh sebuah masyarakat.

Secara das sollen, fantasi yang bersifat pribadi tidak boleh dimanifestasikan ke ruang publik karena akan menjadi sesuatu yang dianggap `tidak pantas‘ dan membuat orang lain gelisah. Pada tingkat ekstrem, pemanifestasian fantasi yang bersifat pribadi berpotensi untuk membuat kekacauan pada tatanan sosial. Analoginya adalah sama seperti seseorang yang membuka celananya di tengah jalan dan menunjukkan kemaluannya. Secara naluriah, ketika melihat orang seperti itu, kita tentu akan menjadi gelisah. Jika orang tersebut kemudian berjalan-jalan di ruang publik dan menunjukkan kemaluannya secara vulgar, maka dapat timbul kegemparan di ruang publik tersebut. Hal itulah yang terjadi ketika seorang individu memanifestasikan fantasinya ke ruang publik.

Dengan menggunakan konsep fantasi, sebuah film dapat dimengerti berdasarkan dua perspektif, yakni dari perspektif film-maker dan film-watcher. Dari perspektif seorang film-maker, sebuah film dapat dimengerti sebagai sebuah cara untuk memanifestasikan fantasinya ke ruang publik. Sementara dari perspektif seorang film-watcher, sebuah film dapat menjadi guru yang mengajarkannya untuk berfantasi. Untuk membedah film ini, Yosie menggunakan perspekif yang pertama, yaitu perspektif film-maker.

Sekedar trivia, dalam film “Act of Killing,“ Joshua menyerahkan kameranya kepada para algojo dan menyuruh mereka untuk mengkonstruksikan adegan pembantaian yang mereka lakukan dengan cara apapun yang mereka inginkan. Dengan kata lain, peran sutradara dalam film “Act of Killing“ telah diserahkan sepenuhnya kepada para algojo. Dalam film ini, para algojo tersebut dengan jelas membuka apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Bagaimana mereka membunuh para korbannya dengan cara bersenang-senang, sambil menari, bahkan menghirup kokain. Para algojo ini akhirnya mencari alasan untuk membenarkan tindakan mereka yang awalnya mereka fahami sebagai sesuatu yang salah. Yaitu dengan mengklaim bahwa mereka telah menemukan cara pembunuhan yang mereka anggap lebih `manusiawi‘. Sesuatu yang manusiawi tersebut tentunya hanya ada dalam fantasi mereka, dan mereka berusaha untuk memanifestasikannya dengan cara membuat film ini. Manifestasi dari fantasi para algojo ini tergambar jelas di adegan terakhir dimana digambarkan bahwa para algojo tersebut mendapatkan medali penghargaan dan ucapan terimakasih dari orang-orang yang mereka bunuh karena merasa telah disadarkan dari pengaruh sesat komunisme.

Namun pertanyaannya adalah, “apakah ini pantas?“ Apakah pantas ketika kita membuka dengan jelas, bahkan ‘menelanjangi‘ sejarah sebuah negara, untuk kemudian dipertontonkan hingga ke benua Amerika dan Eropa? Jika kita menilainya melalui analogi ‘membuka celana di depan publik‘, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hal itu tidak pantas. Bahwa hal-hal seperti membunuh dengan cara manusiawi merupakan sesuatu yang hanya ada dalam fantasi pribadi para algojo dan merupakan sesuatu yang menjijikkan bagi masyarakat pada umumnya. Apalagi dalam konteks sebuah negara, atau bahkan segala hal di dunia ini, kebohongan diperlukan untuk mengkonstruksikan tatanan sosial. Dan kita semua membutuhkan tatanan sosial agar kita dapat hidup dengan damai. Keberadaan film yang menelanjangi aib negara seperti “Act of Killing“ ini berpotensi untuk merusak tatanan sosial karena ia memaksakan sebuah fantasi yang bersifat pribadi untuk dikonsumsi oleh publik.

Dengan menyadari bahaya yang dapat timbul fantasi pribadi, maka kita harus menekankan sikap ethical. Kita harus menyadari bahwa memang pada dasarnya ada hal-hal yang tidak boleh untuk diinjeksikan dalam ruang publik. Bahwa ada hal-hal yang memang esensi dan kepentingannya tidak untuk menjadi konsumsi publik. Sebagai solusinya, Yosie menawarkan sebuah pendekatan yang ia sebut dengan `logika tabu` yang digambarkan sebagai berikut:

Saya tahu bahwa kamu tahu 

Kamu tahu bahwa saya tahu 

Dengan menggunakan logika tabu, kita diminta untuk diam. Dengan diam, maka kita akan mampu menahan semua fantasi yang bersifat pribadi agar hanya hidup di dalam pikiran kita saja. Dengan begitu, tidak ada kegemparan di ruang publik dan tatanan sosial dapat terjaga.

Kalaupun kita ingin memanifestasikan sebuah fantasi ke dalam ruang publik, maka itu haruslah sebuah fantasi yang bersifat publik yang dibangun oleh banyak orang sekaligus. Dengan begitu, fantasi yang kita manifestasikan juga sejalan dengan kepentingan publik, sehingga tidak akan menimbulkan kegemparan. Contoh dari pemanifestasian fantasi publik adalah Arab Spring. Pada dasarnya, Arab Spring merupakan manifestasi dari fantasi mayoritas warga Timur Tengah untuk bisa menggusur pemimpinnya dan menciptakan kebebasan di negerinya. Hasil dari manifestasi tersebut adalah sebuah revolusi yang manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Timur Tengah hingga saat ini. Itulah contoh fantasi yang boleh untuk dimanifestasikan.

Sebagai penutup, Yosie menawarkan solusi lain, yaitu: menolak lupa. Menolak lupa bahwa kejadian ini pernah terjadi dan merupakan bagian sejarah bangsa yang harusnya mulai direvisi dalam buku-buku pelajaran sejarah di Indonesia. Namun begitu, logika tabu tetap harus digunakan agar tatanan sosial yang sudah baik ini dapat tetap terjaga. Dengan kata lain, walaupun kita menolak untuk lupa bahwa Indonesia pernah melakukan pembantaian terhadap sejuta lebih warganya di tahun 1965, kita tetap tidak boleh membahasnya ke ruang publik karena hal itu akan menimbulkan kegelisahan di kalangan keluarga korban pembantaian itu sendiri. Namun begitu, Yosie percaya bahwa ketika setiap individu sudah mengetahui fakta ini dan tetap menyimpannya dalam pikiran mereka, perubahan dalam hal perlakuan keluarga korban pembantaian tahun 1965 akan terjadi secara alamiah.

Kesimpulan

Film “Act of Killing” dapat digunakan untuk menjelaskan relasi antara negara dan masyarakatnya. Berdasarkan penjelasan Amin Mudzakkir, kita mendapatkan pengetahuan mengenai perspektif baru dalam peristiwa 30 September 1965 yang selama ini hanya diketahui secara sepihak berdasarkan sejarah versi pemerintah saja. Kemudian melalui penjelaskan Hizkiya Yosie, kita mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana sebuah fantasi yang bersifat pribadi, seperti film ini, dapat merusak tatanan sosial jika dipaksakan untuk dikonsumsi oleh publik.

Melalui kedua pengetahuan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa negara memiliki kecenderungan untuk memberikan perspektif sejarah dalam versinya sendiri untuk mengkonstruksikan sebuah tatanan sosial yang dapat menjamin kelangsungan hidup rakyatnya. Dan bahwa fantasi seorang individu memiliki potensi untuk menggoyahkan tatanan sosial yang sudah dikonstruksikan oleh negara. 

Disusun oleh Gema R. Bastari dan Nahdlatur Rosyidah

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Politik Luar Negeri

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi