Terorisme Global Abad ke-21


Bagaikan mendapat tamparan keras, itulah kira-kira yang dirasakan oleh warga Amerika Serikat pada suatu hari di tanggal 11 September 2001. Tanpa mendapat peringatan apa-apa, menara kembar yang menjadi simbol kebanggaan Amerika Serikat luluh lantah karena ditabrak oleh dua pesawat yang dibajak oleh segerombolan teroris. Lebih dari 3,000 jiwa diperkirakan gugur di hari itu. Sementara Ground Zero dari peristiwa yang kelak dikenal sebagai Peristiwa 911 tersebut pun menjadi simbol sebuah luka dari raksasa abad ke-21 yang baru beberapa saat menikmati singgasana unipolarnya. Sebuah luka yang tentunya tak akan sembuh dalam waktu singkat. 

Segera sesudah peristiwa tersebut, Presiden Bush yang mewakili kemarahan seluruh warganya pun menyuarakan War on Terror, sebuah kampanye yang mengajak seluruh warga di dunia untuk ikut bersama AS memerangi terorisme dan memusnahkannya selama-lamanya. Berkat pidato dari Bush tersebut umat manusia pun tiba-tiba tersadar akan sebuah bahaya baru yang mengancam eksistensi mereka. Sebuah bahaya yang tidak berasal dari serangan negara lain, namun berasal dari kelompok kecil, beranggotakan sedikit, serta bersenjatakan hal-hal yang mungkin tidak layak untuk diperhitungkan dalam peperangan. Lucunya, kelompok kecil tersebut sanggup membuat lebih dari 300 juta penduduk AS ketakutan. Terasa tidak mungkin? Itulah terorisme global abad ke-21.

Apa itu terorisme? Jika dirunut dari sejarah perkembangan manusia, terorisme sebenarnya bukanlah hal yang asing lagi. Segala bentuk peristiwa yang menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan, atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik––yang dilakukan teroris di masa kini––yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal tersebut dinamai terorisme. Namun, apa yang membedakan terorisme di masa lalu dengan terorisme di abad ke-21 terletak pada latar belakang dan tujuannya.

Di masa lalu, terorisme dilakukan oleh aktor negara dengan tujuan mendapatkan kekuasaan politik atas negara lain. Senjata yang mereka gunakan sangatlah hebat dan canggih, namun untungnya mereka semua mematuhi etika serta hukum internasional yang mengharuskan tidak adanya serangan terhadap masyarakat sipil tak berdosa ataupun sasaran-sasaran nonmiliter. Sayangnya, semua etika dan hukum internasional tersebut seolah tak berlaku bagi terorisme di abad ke-21 yang muncul tiba-tiba dengan latar belakang yang mungkin sulit dimengerti oleh banyak orang. Di mata pelaku teror abad ke-21, siapa yang menjadi korban bukanlah masalah. Tujuan yang ingin mereka capai sangatlah absurd karena dibuat dari kerangka berpikir rasional yang mungkin hanya dapat dimengerti oleh para pelaku dan kelompoknya saja. Akibatnya, serangan yang dilakukan pelaku teror di abad ke-21 menjadi tidak mengenal prinsip diskriminatif target, tidak dapat diprediksi, dan bersenjatakan hal-hal aneh––misalnya bom paku. Semua pengetahuan yang sudah dikumpulkan oleh ilmuwan Hubungan Internasional semenjak Perang Dunia I pun terasa tak ada artinya jika harus dihadapkan pada ke-absurd-an terorisme abad ke-21. Dengan rendah hati, kemunculan terorisme global abad ke-21 ini membuat para ilmuwan harus mengakui bahwa babak baru dari penciptaan strategi keamanan negara telah dimulai.

Sayangnya, para ilmuwan pun mengalami kesulitan untuk menentukan strategi yang tepat dalam penanganan kasus terorisme. Penyebabnya adalah, terorisme di abad ke-21 merupakan respons atas kevakuman ideologis yang terjadi semenjak Perang Dingin berakhir. Logikanya, karena hanya ada satu ideologi yang mendominasi semenjak Perang Dingin berakhir, maka orang-orang yang tidak menyukainya pun memutuskan untuk membuat ideologi baru yang berusaha untuk menghancurkan ideologi Liberalis-Kapitalisnya AS. Faktor ideologis inilah yang membuat para ilmuwan tidak dapat seenaknya saja mengkategorikan perbuatan mereka sebagai kejahatan kemanusiaan. Sebab orang-orang yang seideologi dengan mereka akan menganggap perbuatan teroris sebagai sesuatu yang akan memperjuangkan hak-hak mereka. Maka jika tindakan terorisme ditangani dengan kekerasan, orang-orang yang seideologi tersebut akan marah dan melakukan serangan balasan yang jauh lebih keji lagi. Dapat disimpulkan dengan mudah bahwa tindakan kekerasan terhadap terorisme hanya akan melahirkan generasi terorisme baru yang jauh lebih canggih. Itu sama sekali tidak efektif.

Karena terorisme merupakan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi, maka cara yang paling efektif untuk memberantasnya adalah melakukan serangan terhadap ideologi tersebut. Layaknya strategi Containment AS di era Perang Dingin, harus dilakukan pencegahan terhadap lokasi-lokasi yang memungkinkan untuk ditanami ideologi terorisme. Sama seperti strategi Containment, pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan memberi bantuan finansial namun akan lebih baik jika pencegahan tersebut dilakukan dengan menanamkan ideologi yang lain. Akan lebih baik jika ideologi yang ditanamkan adalah yang mengajarkan untuk bertoleransi terhadap ideologi-ideologi lainnya, sehingga ideologi terorisme yang mengajarkan untuk menghancurkan ideologi lain pun tidak dapat merangsek masuk. Intinya, untuk dapat menghentikan terorisme, hentikan dulu jalur penambahan anggota mereka. Jangan biarkan ideologi terorisme dapat berkembang dimanapun. Jika itu sudah dilakukan, maka barulah dapat dilakukan pemberantasan terhadap sisa-sisa teroris yang masih bertahan. Dan karena ideologi terorisme sudah tidak lagi berkembang dimanapun, tidak akan ada tindakan balas dendam dari orang yang seideologi mereka. Generasi baru teroris pun tidak akan terlahir dan terorisme akan lenyap selama-lamanya. Itulah War on Terror yang sesungguhnya harus dilaksanakan.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara