Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994


Dalam kajian Hubungan Internasional pra-Pembelokan Linguistik[1], identitas selalu diabaikan sebagai salah satu variabel yang penting dalam melakukan analisis terhadap isu Hubungan Internasional. Namun, teori-teori reflektivis yang lahir pasca-Pembelokan Linguistik menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu hal yang lugu. Berbagai konflik yang terjadi di dunia ini, seperti Genosida Yahudi oleh Nazi, Pembantaian Komunis oleh pemerintah Indonesia, pembersihan etnis (ethnic cleansing) Tutsi oleh Hutu di Rwanda, menunjukkan bahwa persoalan identitas dapat memicu manusia atau suatu kelompok untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan seperti melakukan pembunuhan massal. Dalam semua kasus tersebut, politisasi atas identitas memegang peranan penting dalam memicu tindakan tak terbayangkan tersebut.

Film Hotel Rwanda adalah salah satu film yang berhasil menunjukkan peranan politisasi identitas dalam memicu tindakan tak terbayangkan, seperti pembunuhan massal. Dalam hal ini, identitas yang dipolitisasi adalah etnisitas. Film Hotel Rwanda mengisahkan tentang Paul Rusesabagina, seorang manager hotel bintang lima yang berada di Kigali, salah satu kota utama di Rwanda, ketika ethnic cleansing atas kelompok etnis Tutsi oleh kelompok etnis Hutu terjadi. Dari menit awal film, telah dikisahkan bagaimana usaha kelompok etnis Hutu untuk mempolitisasi identitas Hutu dan Tutsi. Melalui radio, penyiar menyerukan betapa pentingnya etnis Hutu untuk menghabisi semua warga Tutsi yang mereka samakan dengan kecoak (Tutsi Cokroach). Kata-kata Tutsi Cockroach berulang kali disebutkan dengan menyebutkan keburukan-keburukan yang telah dilakukan oleh Tutsi pada Hutu untuk benar-benar mengajak etnis Hutu berpartisipasi dalam usaha ethnic cleansing terhadap etnis Tutsi.

Makalah ini akan menunjukkan bagaimana politisasi identitas, khususnya politisasi etnisitas Hutu dan Tutsi di Rwanda dapat mengakibatkan terjadinya ethnic cleansing oleh Hutu terhadap Tutsi. Untuk melakukannya, makalah ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan memberikan tinjauan umum terhadap konsep etnisitas dan politisasi etnisitas. Bagian kedua akan memberikan gambaran umum mengenai konflik etnis yang terjadi antara Hutu dan Tutsi di Rwanda. Bagian ketiga akan melakukan analisis terhadap gambaran yang diberikan dalam bagian kedua melalui konsep-konsep yang dijelaskan dalam bagian pertama. Bagian keempat akan menyimpulkan hasil dari analisis tersebut.


Tinjauan Umum

Etnisitas adalah sebuah istilah yang semakin banyak digunakan sejak tahun 1960-an untuk menyebut jenis-jenis manusia dipandang dari segi budaya, tradisi, bahasa, pola-pola sosial serta keturunan, dan bukan generalisasi ras yang didiskreditkan dengan pengandaiannya tentang umat manusia yang terbagi ke dalam jenis-jenis biologis yang ditentukan secara genetik. Etnisitas merujuk kepada penyatuan banyak ciri yang menjadi sifat-dasar dari suatu kelompok etnis: gabungan dari loyalitas, memori, sejenis kesadaran, pengalaman, perilaku, selera, norma-norma, kepercayaan, dan nilai-nilai bersama.

Kelompok etnis seseorang adalah sebuah penanda yang begitu kuat, karena meskipun ia memilih untuk berada di dalamnya, kelompok etnis adalah sebuah identitas yang tidak dapat disangkal, ditolak, atau direnggut oleh pihak lain. Apabila ras muncul sebagai sebuah cara untuk mengidentifikasi orang berdasarkan kriteria genetik yang tetap, maka etnisitas biasanya digunakan sebagai sebuah ekspresi dari persepsi-diri yang positif, yang memberikan manfaat tertentu bagi anggotanya. Keanggotaan dari sebuah kelompok etnis didasarkan pada kriteria tertentu yang disepakati, meskipun sifat-dasar, kombinasi dan signifikansi dari kriteria tersebut dapat diperdebatkan atau dapat berubah kapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa konsep etnisitas dapat dikonstruksikan oleh aktor tertentu.

Memang, hanya sedikit istilah yang digunakan dengan begitu banyak cara atau dengan begitu banyak definisi – Isajaw membahas dua puluh tujuh definisi dari etnisitas di Amerika Serikat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kelompok etnis, meskipun tampaknya dapat didefinisikan secara sosial, tetapi ia berbeda dilihat dari dalam dan luar kelompok yang bersangkutan atas dasar kriteria budaya, sehingga ciri-ciri yang mendefinisikan satu ‘etnisitas’ tertentu biasanya bergantung kepada berbagai tujuan dari pengidentifikasian kelompok tersebut. Tidak setiap kelompok etnis akan memiliki seluruh ciri penentu yang mungkin ada, tetapi semua kelompok etnis akan menunjukkan berbagai kombinasi dengan tingkat yang beragam. Lebih jauh lagi, baik etnisitas maupun komponennya bersifat relatif dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, dan seperti fenomena sosial lainnya, keduanya bersifat dinamis dan cenderung berubah. Hal ini kembali menunjukkan bahwa konsep etnisitas dapat dikonstruksikan oleh aktor tertentu.

Istilah etnisitas cenderung digunakan untuk memberikan pemaknaan yang bersifat peyoratif. Dalam penggunaannya yang paling awal dalam bahasa Inggris, istilah ‘etnis’ merujuk ke bangsa-bangsa ‘kafir’ yang berbeda secara kultural. Beberapa penggunaan kontemporer dari istilah itu mengidentifikasi etnisitas dengan kelompok-kelompok nasional di Eropa, dimana dengan beberapa pengecualian, seperti kaum Basque, hubungan antara etnisitas dan kebangsaan tampak telah dibenarkan. Penggunaan pertama dari kelompok etnis dalam kaitannya dengan asal kebangsaan berkembang pada era migrasi besar-besaran dari bangsa-bangsa Eropa Timur dan Selatan ke AS di awal abad ke-20. Nama, yang dengan mana sebuah kelompok etnis memahami dirinya sendiri, kebanyakan masih berupa nama dari bangsa asal, terlepas dari apakah bangsa itu masih ada atau tidak (misalnya Armenia).

Meskipun demikian, istilah ‘etnisitas’ benar-benar hanya beredar luas ketika kelompok-kelompok ‘nasional’ ini menemukan diri mereka sendiri sebagai minoritas dalam sebuah pengelompokan nasional yang lebih besar, seperti yang terjadi sebagai buntut dari kolonisasi, baik itu melalui imigrasi ke daerah-daerah jajahan yang telah ditempati seperti AS, Kanada, Australia, Selandia Baru, atau dengan migrasi orang-orang daerah terjajah ke negara-negara penjajah di pusat. Satu konsekuensi lebih lanjut dari perpindahan ini adalah bahwa bangsa-bangsa Eropa yang lebih tua tidak lagi dapat mengklaim hanya terdiri dari satu kelompok etnis tertentu, tetapi bersifat heterogen dan, sesuai dengan perjalanan waktu, terdiri dari campuran kelompok-kelompok imigran yang terhibridasi.

Satu ciri dari penggunaan istilah tersebut adalah bahwa elemen marjinalisasi yang terlihat jelas dalam penggunaan awal istilah ‘etnis’ seringkali masih tampak terimplikasi dalam penggunaan kontemporernya. Apabila pada mulanya istilah itu merujuk ke bangsa-bangsa kafir, maka sekarang istilah tersebut bermakna kelompok-kelompok yang tidak mainstream, kelompok-kelompok yang secara tradisional tidak terhubung dengan mitologi nasional yang dominan. Jadi, di koloni-koloni hunian (settler colonies) dari Kerajaan Inggris, kelompok Anglo-Saxon yang dominan biasanya tidak dilihat sebagai sebuah kelompok etnis karena etnisitasnya sudah mengkonstruksi mitologi identitas nasional. Identifikasi yang seperti itu tidak hanya terbatas pada pengalaman kolonial, tetapi memang mengungkap sifat-dasar ‘imperialistik’ dari mitologi nasional, serta implikasi politik dari hubungan apa pun antara etnisitas dan bangsa.

Politisasi Etnisitas

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat mengatakan bahwa etnisitas merupakan konsep untuk membedakan kelompok manusia yang cenderung bermakna peyoratif dan dapat dikonstruksikan oleh aktor tertentu. Satu pertanyaan yang dapat timbul dari pernyataan tersebut adalah: bagaimana cara mengkonstruksikan etnisitas? Di sinilah politik berperan.

Secara umum, etnis mempunyai fungsi natural untuk membedakan satu orang dengan orang lainnya, terutama apabila orang tersebut berasal dari etnis yang berbeda. Perbedaan identitas antara suatu etnis dengan etnis lainnya merupakan sebuah bentuk keragaman. Keragaman etnis ini seharusnya bisa menjadi manfaat bagi satu etnis terhadap etnis lainnya untuk melengkapi kekurangan dan menyempurnakan kelebihan diantara etnis-etnis tersebut.

Namun ketika masuk ke ranah politik, keragaman etnis ini justru banyak dipandang sebagai salah satu perbedaan negatif yang dimana menyebabkan terjadinya kesenjangan dan persaingan. Banyaknya keragaman etnis-etnis yang ada di sebuah Negara menimbulkan adanya keinginan di sebuah kelompok etnis tertentu untuk berkuasa terhadap etnis lainnya. Keinginan ini muncul karena adanya kepentingan dari suatu kelompok Etnis tertentu untuk menjadi lebih superior dan lebih layak dari etnis lainnya. Dengan kekuasaan, tentunya tujuan kepentingan kelompok tersebut dapat tercapai. Hal inilah menyebabkan timbulnya politisasi etnis di suatu Negara yang menimbulkan adanya potensi konflik dan perang antar etnis.

Praktek politisasi etnis ini terjadi hampir di seluruh belahan penjuru dunia. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya politisasi etnis. Besarnya keinginan kelompok etnis mayoritas untuk berkuasa di kursi pemerintahan tanpa adanya intervensi dari kelompok lain untuk mencapai tujuan kelompoknya menjadi salah satu faktor utama. Hal ini biasanya membuat etnis lainnya merasa terdiskriminasi dan tidak sedikit yang berujung konflik atau perang. Di Sudan misalnya, banyaknya perbedaan antara mayoritas etnis bangsa Arab di dan minoritas non-Arab di Sudan membuat terjadinya politisasi etnis oleh bangsa Arab yang berujung pada perpecahan yang menyebabkan merdekanya Sudan Selatan pada tahun 2011. Politisasi etnis juga banyak terjadi di Negara kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan juga di Indonesia. Di Singapura terdapat dominasi etnis Cina terhadap etnis Melayu dan India, di Malaysia sebaliknya dimana adanya dominasi etnis Melayu terhadap etnis Cina dan India, sedangkan di Indonesia pun merasakan hal yang sama, dimana adanya kepentingan etnis terutama etnis Jawa untuk berkuasa dan belum bisa menerima etnis minoritas seperti etnis Cina untuk duduk di kursi pemerintahan.

Faktor Imigrasi juga menjadi salah satu faktor utama dalam terjadinya politisasi etnis. Australia misalnya, imigrasi yang dilakukan oleh etnis bangsa Inggris pada tahun 1850 membuat perlahan-lahan bangsa Inggris tersebut menyingkirkan bangsa Aborigin, yang merupakan penduduk asli pribumi Australia, dan mengambil alih tanah dan kursi kekuasaan milik mereka hingga saat ini. Semenjak saat itu, budaya Australia perlahan-lahan berubah menjadi budaya “kebarat-baratan” yang dibawa para imigran Inggris tersebut dan menjadikan bangsa Inggris sebagai masyarakat mayoritas dan masyarakat Aborigin sebagai minoritas. Hal ini membuat timbulnya dominasi bangsa Inggris di sistem pemerintahan Australia terhadap bangsa Aborigin yang saat ini hanya sebesar 3% dari seluruh jumlah penduduk Australia.

Konflik Etnis di Rwanda

Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi dan Tanzania. Negeri ini juga dikenal sebagai “negeri seribu bukit” karena memang kondisi geografisnya yang terdiri dari banyak bukit dan merupakan wilayah yang subur[12]. Masyarakat Rwanda didominasi oleh dua etnis besar yaitu Hutu dan Tutsi. Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.

Perbedaan utama antara keduanya adalah etnis Tutsi dianggap sebagai etnis yang lebih mapan dan lebih tinggi status sosialnya karena etnis Tutsi memiliki kerajaannya sendiri di tanah Rwanda. Mereka yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan pada dasarnya sudah dapat dikategorikan ke dalam bagian dari etnis Tutsi. Penduduk setempat yang tidak memiliki kedekatan dengan orang-orang kerajaan di pihak lain hanya dapat berprofesi sebagai petani dan pekerja kasar. Golongan profesi inilah yang didominasi oleh etnis Hutu.

Pada 1894 Rwanda menjadi jajahan Jerman. Namun Jerman tidak membubarkan kerajaan milik orang-orang Tutsi. Jerman membiarkan kerajaan mereka berdiri selama mereka mau tunduk terhadap orang-orang Jerman dan membiarkan Jerman menempatkan penasehatnya disana. Namun pasca-kekalahan Jerman pada Perang Dunia I, Rwanda menjadi daerah Jajahan Belgia sejak tahun 1918. Semenjak Belgia berkuasa inilah perbedaan antara etnis Hutu dan Tutsi Semakin menonjol. Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekerja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.

Pemerintah Belgia juga melakukan sensus dan menambahkan kolom etnis dalam kartu tanda penduduk setempat untuk membedakan orang Hutu dengan Tutsi. Dengan adanya kebijakan ini, orang-orang Hutu-pun menjadi semakin sulit untuk menempati posisi-posisi elit dalam birokrasi. Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar.

Menyusul terjadinya gelombang kemerdekaan di negara-negara Asia dan Afrika, Belgia berencana untuk memberikan kemerdekaan kepada Rwanda. Rencana Belgia tersebut lantas menimbulkan konflik antara komunitas Tutsi yang menginginkan Rwanda merdeka sebagai kerajaan yang didominasi oleh orang-orang Tutsi, dan komunitas Hutu yang menginginkan Rwanda merdeka sebagai republik. Hasilnya, Hutu menang dengan dukungan terselubung dari Belgia sehingga Rwanda merdeka sebagai Republik di Tahun 1962. Tentu saja keputusan ini sangat mengejutkan Tutsi yang telah begitu lama memiliki kekuasaan di Rwanda. Tentunya Hutu sangat gembira dengan keputusan Belgia, dan mereka mengambil alih kekuasaan di Rwanda. Konflik menjelang kemerdekaan tersebut juga menyebabkan ratusan ribu orang-orang Tutsi melarikan diri ke luar negeri, khususnya ke Uganda dan Burundi.

Awal dari Ethnic Cleansing

Masa dekolonisasi Belgia membawa Tutsi pelan-pelan terpinggirkan dari Rwanda, karena Rwanda telah didominasi oleh Hutu. Hal ini membuat Tutsi harus mengungsi ke negara–negara tetangga sekitar Rwanda seperti Uganda dan Burundi. Pada 1988, komunitas perantauan Tutsi mendirikan RPF (Rwanda Patriotic Front), yang dipimpin oleh Paul Kagame. Mereka adalah sebuah kelompok militer yang terlatih untuk merebut kekuasaan dari Hutu yang terus mendominasi Rwanda. Youri Musevini selaku pemimpin Uganda sendiri mendukung pendirian dan aktivitas RPF sebagai balas jasa karena semasa perang sipil uganda di tahun 1983-1986 dulu, orang-orang Tutsi di Uganda ikut menjadi bagian dari pasukan Musevini dan simpatisannya. Pada 1990 mereka menginvasi Rwanda dan meminta posisi dalam pemerintahan. Namun Rwanda masih menolaknya. Mereka menggunakan taktik gerilya dan serangan sporadis yang membuat pasukan Rwanda sulit menghancurkan RPF.

Juvenal Habyarimana yaitu Presiden Rwanda dari kalangan Hutu yang saat itu berkuasa ingin memberikan posisi bagi para Tutsi serta melakukan perjanjian perdamaian. Usaha ini dilakukan oleh Presiden dalam rangka pertanggungjawabannya terhadap keadaan Rwanda, dan juga tuntutan dari RPF yang membuat Presiden perlu mempertimbangkan nasib para Tutsi yang juga merupakan bagian dari Rwanda. Pada bulan Juli 1992 di Arusha, Tanzania dilakukan perundingan yang difasilitasi oleh Organisasi Uni Afrika. Kedua belah pihak yaitu RPF dan pasukan Rwanda sepakat untuk berhenti mengangkat senjata, mendirikan pemerintahan bersama, dan memberi izin untuk bagi pengamat netral untuk mengawasi jalannya proses perdamaian. Dengan demikian, perang sipil di Rwanda dinyatakan berakhir. Namun waktu membuktikan bahwa banjir darah yang sebenarnya baru akan dimulai.

Pada tanggal 6 April 1994, pesawat pribadi milik presiden Habyarinama (hadiah dari presiden prancis Francois Mitterand) ditembak jatuh dekat bandar udara Kigali, menewaskan Habyarinama dan presiden Burundi Cypien Ntarymira. Kedua presiden tersebut baru saja kembali dari pelaksanaan KTT para pemimpin regional yang berlangsung di Tanzania. Peristiwa ini membuat situasi memanas dan memicu kembali pecahnya konflik. Peristiwa ini mengawali terjadinya upaya pemusnahan etnis dan pembantaian secara sistematis dan terorganisir atas etnis Tutsi dan oposisi Hutu, serta kembali memicu perang sipil di Rwanda. Terbunuhnya Presiden menjadikan Rwanda seketika menjadi horor untuk para Tutsi yang dituduh telah merekayasa pembunuhan Presiden, namun sampai kasus ini selesai ternyata tidak bisa dibuktikan bahwa pembunuhan itu adalah perbuatan Tutsi. Peristiwa inilah yang menjadi latar dalam film Hotel Rwanda.

Para Hutu melakukan operasi dengan melakukan sweeping masal kartu identitas warga negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi. Dalam salah satu adegan di Hotel Rwanda, ditunjukkan bahwa pasukan militer Rwanda merazia KTP seluruh warga Rwanda dan langsung membunuh warga yang diketahui memiliki KTP dengan identitas Tutsi. Untuk membantu militer, warga sipil Hutu di Rwanda dipersenjatai dengan senjata tajam dan ikut membantu melakukan razia dari rumah ke rumah untuk mencari orang-orang Tutsi dan membunuh mereka. Awalnya dunia Internasional hanya berfikir bahwa pembantaian tersebut adalah kekerasan biasa yang lumrah terjadi dalam perang. Namun menyusul terjadinya pembantaian anak-anak etnis Tutsi, barulah dunia Internasional menyadari bahwa aktivitas genosida atau pemusnahan etnis sedang berlangsung. Keadaaan Rwanda pada saat itu memang benar-benar memprihatinkan. Jumlah korban diperkirakan sekitar 500 ribu sampai 1 juta orang.

Genosida di Rwanda baru berakhir setelah pasukan RPF berhasil menguasai negeri tersebut. Serangan-serangan ofensif yang dilancarkan oleh RPF atas pasukan pemerintah akhirnya membuahkan hasil. Dalam waktu 3 bulan, pasukan RPF berhasil menguasai wilayah wilayah penting sebelum akhirnya menyatakan gencatan senjata pada tanggal 18 Juli. Pasukan pemerintah dan misil Hutu Rwanda sudah tidak bisa diandalkan setelah banyak dari mereka yang lebih memilih untuk melarikan diri ke sebelah barat menuju perbatasan Rwanda-Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo). Dua minggu setelah menguasai kota Kigali, RPF mengumumkan pemerintahan baru yang diantaranya beranggotakan para pemimpin RPF dan menteri-menteri yang sebelumnya terpilih untuk melaksanakan pemerintahan transisi yang sebagaimana telah di sepakati dalam perjanjian Arusha.

Analisis

Berdasarkan penjelasan di bagian pertama, dapat dikatakan bahwa politisasi etnisitas adalah upaya untuk melakukan konstruksi positif terhadap etnis ‘sendiri’ dan melakukan konstruksi negatif terhadap etnis ‘lain’. Hal itu dilakukan untuk mengidentifikasikan etnis ‘lain’ tersebut, sehingga mereka akan tunduk pada etnis ‘sendiri’. Semenjak masa kerajaan, politisasi etnisitas telah terjadi di antara etnis Hutu dan Tutsi. Posisi Tutsi sebagai golongan bangsawan memberikan mereka kekuasaan untuk melakukan konstruksi positif terhadap etnis mereka sendiri dan membentuk konstruksi negatif terhadap etnis Hutu. Hal ini mengakibatkan selama bertahun-tahun etnis Tutsi selalu menjadi golongan superior sementara etnis Hutu selalu menjadi golongan inferior. Hal ini ditunjukkan oleh pekerjaan etnis Hutu yang tidak pernah lebih tinggi daripada petani atau pekerja kasar. Politisasi etnisitas telah melanggengkan posisi Tutsi sebagai penguasa Rwanda sementara menjustifikasi Hutu sebagai subjek yang tak berdaya.

Ketika bangsa Barat masuk dan mengkolonialisasi Rwanda, peran untuk melakukan politisasi etnisitas beralih ke penjajah. Dengan para penjajah lebih memilih etnis Tutsi untuk mengerjakan pekerjaan ‘kerah putih’, secara langsung mereka telah melanggengkan anggapan bahwa etnis Tutsi jauh lebih superior dibandingkan etnis Hutu yang hanya dipekerjakan pada pekerjaan ‘kerah biru’. Bangsa Barat mungkin memilih etnis Tutsi karena penampilan fisik mereka yang mirip (hidung ramping dan mancung serta postur yang tinggi), namun secara tidak sadar mereka memilih etnis Tutsi karena mereka percaya bahwa etnis Tutsi berdasarkan sejarahnya sebagai penguasa Rwanda jauh lebih superior dibandingkan etnis Hutu. Perhatikan bahwa bangsa Barat dalam hal ini telah terkena dampak dari politisasi etnisitas yang dilakukan Tutsi pada masa kerajaan dan mereka telah melanjutkan usaha tersebut ketika menjajah. Bahkan, bangsa Barat membuat inovasi dalam melakukan politisasi etnisitas dengan menciptakan sistem kartu identitas yang di dalamnya terdapat tulisan besar yang menunjukkan etnisitas warga tersebut. Dengan begitu, etnis Hutu dan Tutsi menjadi lebih mudah diidentifikasi sehingga lebih mudah untuk dipolitisasi.

Setelah kemerdekaan Rwanda dari Belgia, peran untuk melakukan politisasi etnisitas beralih lagi, namun kali ini ke etnis Hutu. Hal ini disebabkan Belgia memutuskan untuk memenangkan proposal Hutu yang menginginkan Rwanda menjadi sebuah republik sehingga siapa saja dapat menjadi pemimpin. Dengan mengatakan siapa saja, tentu mereka telah yakin bahwa bangsa Hutu-lah yang akan memegang kekuasaan secara mereka secara jumlah jauh lebih banyak dibandingkan etnis Tutsi. Dengan Tutsi memegang kekuasaan, mereka pun memiliki kemampuan untuk melakukan konstruksi positif terhadap identitasnya dan membentuk konstruksi negatif terhadap Tutsi. Awalnya hal ini dilakukan tidak secara terang-terangan karena Tutsi masih memiliki sisa kekuatan di Rwanda. Namun begitu banyak etnis Tutsi yang berimigrasi ke negara-negara tetangga, tindakan Hutu menjadi semakin keras, antara lain dengan menyebutkan slogan “Tutsi Cokroach” dan “Hutu Power” sambil melakukan long march di jalanan. Terbukti bahwa begitu pesawat yang ditumpangi oleh Presiden Juvenal Habyarimana ditembak jatuh, etnis Hutu tanpa ragu-ragu langsung menuduh etnis Tutsi sebagai pelakunya, membuktikan bahwa mereka mengkonstruksikan etnis Tutsi sebagai kelompok yang haus kekuasaan dan tidak terima pada dominasi Hutu yang lebih ‘benar’.

Permasalahannya, etnis Tutsi tidak tinggal diam diperlakukan dengan rendah oleh Hutu. Mereka membentuk Rwanda Patriotic Front (RPF) dengan dibantu oleh Uganda untuk merebut kembali Rwanda dari kekuasaan Hutu. Etnis Hutu yang tidak mampu membuat etnis Tutsi tunduk kepadanya mulai merasa terancam dengan keberadaan etnis Tutsi yang masih dianggap superior sebagai warisan panjang sejarah masa kerajaan dan kolonialisme dimana etnis Tutsi selalu dikonstruksikan sebagai etnis yang lebih superior. Rasa terancam tersebut menimbulkan keinginan untuk “menghapus” etnis Tutsi agar tidak ada lagi yang dapat mengambil posisi mereka sebagai penguasa. Keinginan inilah yang mengantarkan kita pada peristiwa ethnic cleansing di Rwanda tahun 1994 yang menewaskan lebih dari satu juta warga Tutsi, di antaranya adalah anak-anak. Anak-anak dipilih oleh Hutu sebagai targetnya untuk menghapus generasi mendatang milik etnis Tutsi.

Kesimpulan
Genosida adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia terberat di dunia ini. Untuk itu peristiwa ini diharapkan tidak akan terulang lagi dalam peradaban dunia ini. Identitas dan etnisitas memang merupakan salah satu isu sensitif yang kerap menjadi pemicu berbagai terjadinya konflik. Apalagi ditambah dengan banyaknya faktor sejarah maupun eksternal yang turut memanaskan kondisi antar etnis.

Peristiwa berdarah yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 merupakan salah satu peristiwa genosida terbesar di dunia. Masalah etnsitas merupakan faktor utama penyabab konflik tersebut. Konflik yang terjadi antara etnis Hutu dan Tutsi ini bukan disebabkan oleh faktor material, namun lebih kepada karena adanya politisasi etnisitas yang berperan penting dalam memicu dan memperkeruh konflik. Ketika masuk ke ranah politik, keragaman etnis ini justru banyak dipandang sebagai salah satu perbedaan negatif yang dimana menyebabkan terjadinya kesenjangan dan persaingan Tindakan politisasi etnisitas yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang yang memiliki kepentingan untuk berkuasa dapat menimbulkan peristiwa berdarah seperti genosida di Rwanda yang merupakan salah satu hasilnya.

Ditulis oleh: Gema Ramadhan Bastari, Dinar Syafira Haruka, Farah Aisha, dan Jino Dwi Putra
_________________________________________________________
[1] Pembelokan Linguistik adalah sebuah fenomena dalam perkembangan Ilmu Hubungan Internasional yang menyebabkan lahirnya pendekatan interpretif-hermeneutik sebagai metode baru dalam mempelajari ilmu Hubungan Internasional dan berbagai teori-teori reflektivis, seperti Postmodernisme, Konstruktivisme, dan Teori Kritis. Lebih lanjut lihat Bob Sugeng Hadiwinata, “Pembelokan Linguistik (The Linguistic Turn) dan Munculnya Teori-Teori Reflektivis dalam Studi Hubungan Internasional,” dipresentasikan dalam Simposium Ilmu Hubungan Internasional: Menjawab Tantangan Ilmu HI dalam Sketsa Kontemporer di Universitas Paramadina, (Jakarta:2013), hlm. 4-6.

Comments

Popular posts from this blog

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia