Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Jurnal Hubungan Internasional Universitas Airlangga Vol. 11 No. 1, Tahun 2018


Kata ‘pengungsi’ baru pertama kali didefinisikan dalam sebuah hukum internasional melalui 1951 United Nations Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi PBB tentang Pengungsi Tahun 1951). Melalui konvensi ini, setiap pengungsi mendapatkan status dan juga hak-hak yang dijamin oleh hukum internasional. Hal ini dilandasi oleh tiga prinsip fundamental: (1) non-diskriminasi; (2) non-penalisasi; dan (3) non-pemulangan paksa. Konvensi ini kemudian ditandatangani oleh 26 negara yang menghadiri pertemuan ini, salah satunya adalah Australia. 

Pada perkembangannya, Konvensi PBB Tahun 1951 berhasil mendapatkan penerimaan yang baik dari komunitas internasional dan telah diratifikasi oleh 145 negara per April 2015 (UNHCR, 2016). Asumsi awal yang dapat dihasilkan dari fakta ini adalah bahwa komunitas internasional telah mengakui hak pengungsi dan menerima amanah untuk menjunjung tinggi hak tersebut berdasarkan ketiga prinsip fundamental yang ditetapkan oleh Konvensi PBB Tahun 1951.

Akan tetapi, dinamika politik internasional yang terjadi di abad ke-21 menunjukkan bahwa negara-negara di dunia mulai memperlihatkan perilaku yang bersifat biadab (hostile) terhadap pengungsi. Perilaku semacam ini banyak ditemui di negara-negara Barat, seperti negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Australia, yang mengalami lonjakan penerimaan pengungsi pasca-meningkatnya konflik internal di negara-negara Timur Tengah dan Asia. 

Situasi ini menyebabkan fenomena yang dikenal dengan sebutan ‘krisis pengungsi’ dimana jutaan pengungsi ‘terkatung-katung’ di daerah perbatasan tanpa mendapat kepastian untuk memperoleh hak atas suaka politik (Fisher & Taub, 2015). Kondisi semacam ini sangat terlihat di Australia yang kini juga dikenal sebagai negara dengan kebijakan imigrasi terketat di dunia (Sears, 2015).

Sebagai pencetus dan penandatangan dari Konvensi PBB tahun 1951 Mengenai Status Pengungsi, Australia seharusnya memiliki kewajiban moral untuk melakukan perlindungan terhadap pengungsi, dari mana pun asalnya, sebagaimana telah diamanatkan oleh Konvensi 1951. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan imigrasi yang dikeluarkan Australia dalam beberapa dekade terakhir justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Dimulai dari tahun 1992, Australia mulai mengadopsi kebijakan yang memperketat proses masuknya imigran asing ke Australia, termasuk pengungsi (WSJ, 2010).

Pertama, pemerintahan Paul Keating pada 1992 memperkenalkan kebijakan Mandatory Detention yang mewajibkan seluruh imigran yang memasuki Australia tanpa visa yang sah untuk diproses terlebih dahulu di pusat detensi. Kedua, pemerintahan John Howard pada tahun 2001 memperkenalkan kebijakan Pacific Solution yang memungkinkan Australia untuk mengirimkan imigran-imigran yang memasuki Australia melalui jalur laut ke pusat detensi regional yang berlokasi di Nauru dan Papua Nugini (Philips & Spinks, 2013). Ketiga, pemerintahan Tony Abbott pada tahun 2013 memperkenalkan kebijakan Operation Sovereign Borders yang memberikan kewenangan bagi Angkatan Laut Australia untuk memulangkan kapal-kapal yang membawa imigran ireguler masuk ke teritori Australia (DIBP, 2016).

Baik Mandatory Detention, Pacific Solution, maupun Operation Sovereign Borders pada dasarnya bertujuan untuk mempersulit masuknya imigran asing yang tidak memiliki surat-surat resmi ke Australia, termasuk pengungsi. Kebijakan ini sangat merugikan pengungsi, karena pengungsi umumnya melarikan diri akibat keadaan darurat di negara asalnya, sehingga belum tentu mampu menyiapkan surat-surat resmi yang dibutuhkan untuk membuat visa. Akan tetapi, Australia tidak pernah mau berterus-terang mengenai berapa banyak di antara imigran ireguler yang mereka tahan dan pulangkan yang merupakan pengungsi (BBC, 2016). 

Komitmen Australia terhadap Konvensi PBB Tahun 1951 pun mulai dipertanyakan. Adrienne Millbank (2000), seorang peneliti dari Universitas Monash, menulis sebuah kajian yang dipublikasikan oleh Parlemen Australia mengenai problematika dari Konvensi 1951. Dalam kajian tersebut, Millbank menjelaskan bahwa “Konvensi 1951 sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan dengan konteks hari ini.”

Permasalahan di atas pada akhirnya memunculkan pertanyaan: “Mengapa Australia memperketat kebijakan imigrasinya yang merugikan pengungsi, padahal Australia merupakan negara pencetus dan penandatangan dari Konvensi PBB Tahun 1951 Mengenai Status Pengungsi?” Pertanyaan ini menjadi penting untuk diajukan agar kita dapat memahami bagaimana negara modern memandang persoalan keamanan manusia. 

Melalui teori kemerosotan norma (norm degeneration) yang dicetuskan oleh Panke dan Petersohn (2011), tulisan ini berargumen bahwa norma keamanan manusia, yang sebelumnya mendikte Australia ketika mereka menandatangani Konvensi PBB Tahun 1951, telah mengalami kemerosotan dan digantikan oleh norma keamanan negara. Pembahasan dalam tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian.

Kerangka Teoritis: Kemerosotan Norma Internasional

Paradigma konstruktivis memandang bahwa segala kepentingan dan perilaku negara di dunia merupakan hasil dari interaksi sosial dan norma yang mereka percayai (Wendt, 1992). Dalam hal ini, norma didefinisikan sebagai aturan tunggal yang mengendalikan perilaku aktor. Menurut Finnemore dan Sikkink (1998), Sebuah norma selalu bersifat kolektif, dalam artian suatu aturan hanya dapat menjadi norma jika ia berhasil menjadi sebuah standar kepatutan yang diakui dan disepakati oleh sebuah kelompok. 

Pada tingkat internasional, sebuah aturan akan menjadi norma ketika aturan tersebut disepakati oleh negara-negara di dalam komunitas internasional. Ketika telah disepakati, norma akan mengendalikan dan mendikte hal-hal yang patut dilakukan oleh sebuah negara. Finnemore dan Sikkink kemudian mengembangkan teori difusi norma yang menjelaskan bahwa norma internasional dapat terbentuk melalui tiga tahapan: (1) kemunculan norma; (2) norm cascade (sosialisasi norma); dan (3) internalisasi norma.

Fase kemunculan norma ditandai oleh kemunculan aktor yang mempromosikan norma tersebut (enterprenir norma) melalui institusi formal di tingkat internasional. Enterprenir norma kemudian akan mempersuasi komunitas internasional untuk menerima norma yang ia promosikan. Ketika penerimaan terhadap norma tersebut dianggap sudah cukup besar, maka ia akan mencapai sebuah titik puncak (tipping point). 

Selanjutnya, norma yang telah mencapai titik puncak akan mengalir ke bawah (cascading) melalui proses sosialisasi internasional. Pada akhirnya, norma yang telah mencapai titik ekstrim dari pengaliran akan terinternalisasi dan bertransformasi menjadi sesuatu yang diterima begitu saja (taken for granted). Norma yang telah mengalami internalisasi kemudian akan menjadi sebuah ‘kebenaran’ yang dinormalisasi oleh berbagai institusi di tingkat internasional. Inilah tahap-tahap yang dialami dalam proses difusi norma menurut Finnemore dan Sikkink (1998).

Dalam konteks tulisan ini, penulis menggunakan asumsi bahwa norma yang mendikte perilaku Australia ketika mencetuskan dan menandatangani Konvensi PBB Tahun 1951 adalah norma keamanan manusia. Norma ini berkembang dan dipromosikan melalui Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1945. Standar kepatutan yang diatur dalam norma ini adalah negara harus bertindak secara altruistik (mengabaikan kepentingan nasional) dalam upayanya untuk membela hak asasi manusia (HAM) (Ramcharan, 2004)

Sampai akhir tahun 1980-an, Australia telah melakukan tindakan semacam ini dengan menerima dan menampung 12,000-13,000 pencari suaka yang melarikan diri dari negara-negara yang mengalami konflik. Bahkan, pada tahun 1975, Australia menerima gelombang migrasi besar-besaran dari kelompok ‘Manusia Perahu’ yang melarikan diri dari Vietnam tanpa melalui jalur formal (Philips & Spinks, 2013). Tindakan ini sesungguhnya berpotensi membahayakan keamanan dalam negeri Australia karena mereka harus menerima ribuan orang asing yang belum mereka ketahui latar belakangnya. Kendati demikian, Australia tetap menerima mereka tanpa mempersulit karena, seperti diasumsikan oleh penulis, tindakan Australia telah didikte oleh norma keamanan manusia.

Akan tetapi, kebijakan-kebijakan imigrasi Australia setelah tahun 1992, ketika mereka pertama kali memperkenalkan kebijakan Mandatory Detention, menunjukkan bahwa tindakan Australia tidak lagi didikte oleh norma keamanan manusia. Melalui kebijakan ini, setiap imigran yang memasuki Australia harus melalui proses pemeriksaan yang panjang di Christmas Island tanpa mendapatkan kepastian untuk memperoleh visa masuk. Tidak jarang, seorang imigran harus menunggu bertahun-tahun di pusat detensi Christmas Island dengan fasilitas minim. 

Situasi ini menjadi semakin parah setelah Australia memperkenalkan kebijakan Pacific Solution yang mengharuskan imigran untuk menempuh proses pemeriksaan di wilayah Nauru dan Manus, Papua Nugini. Kondisi detensi di kedua wilayah tersebut sangat memprihatinkan dan Australia banyak mendapatkan protes dari penggiat HAM di seluruh dunia (BBC, 2016). Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan bahwa Australia lebih mementingkan integritas teritorinya dibandingkan hak orang-orang yang mereka tahan di pusat detensi terluarnya. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa norma yang mendikte tindakan Australia sudah bukan lagi norma keamanan manusia, melainkan norma keamanan negara.

Fenomena berubahnya sikap Australia terhadap pengungsi, sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa teori difusi norma tidaklah cukup untuk menjelaskan bagaimana norma mempengaruhi perilaku negara. Berdasarkan teori difusi norma, suatu norma yang telah mengalami internalisasi akan diterima sebagai kebenaran yang dilanggengkan oleh institusi internasional. Akan tetapi, kasus Australia menunjukkan bahwa norma keamanan manusia yang sebelumnya telah terinternalisasi di Australia pun dapat mengalami kemerosotan dan bahkan musnah. 

Untuk menutupi kelemahan teori difusi norma, tulisan ini akan menggunakan teori kemerosotan norma yang dikembangkan oleh Panke dan Petersohn (2011). Menurut mereka, teori ini perlu dikembangkan karena studi norma dalam ilmu Hubungan Internasional umumnya hanya mampu menjelaskan mengenai pembentukan, difusi, dan sosialisasi norma, namun belum mampu menjelaskan mengenai dinamika dan kondisi yang dapat menyebabkan sebuah norma internasional mengalami kemerosotan atau bahkan menghilang. Menurut Panke dan Petersohn, norma dapat menghilang melalui proses yang disebut dengan kemerosotan norma.

Kondisi pertama yang dibutuhkan untuk kemerosotan norma adalah adanya aktor yang melanggar atau menantang norma yang sudah terinternalisasi. Akan tetapi, ketidakpatuhan (non-compliance) terhadap norma saja tidak cukup bagi sebuah norma untuk mengalami kemerosotan, apalagi jika aktor-aktor lainnya memilih melakukan tindakan untuk menghukum aktor pelanggar norma. Jika hal ini terjadi, maka norma yang sudah terinternalisasi justru akan bertahan atau bahkan bertambah kuat. Menurut Panke dan Petersohn (2011), Kemerosotan norma hanya dapat dimulai jika tindakan pelanggaran tersebut diikuti oleh aktor-aktor lainnya.

Selanjutnya, proses kemerosotan norma dapat terakselerasi jika sistem internasional bersifat tidak stabil. Dalam kondisi tidak stabil, dimana standar yang diatur oleh norma mengalami kegoyahan, inovasi teknologi mengubah tradisi, dan norma-norma yang berkaitan dengannya telah banyak dilanggar, maka akan terjadi pergeseran paradigma yang mengarah pada percepatan kemerosotan sebuah norma. Aktor yang ingin menentang norma tidak perlu lagi menjustifikasi tindakannya yang melanggar norma tersebut. Mereka dapat memanipulasi konteks dan meyakinkan lawannya bahwa tindakan mereka adalah yang benar. Pada akhirnya, pelanggaran terhadap norma tidak lagi dinilai sebagai pelanggaran melainkan sebagai sebuah praktek baru yang terlegitimasi (Panke & Petersohn, 2011).

Menurut Panke dan Petersohn (2011), Terdapat dua hasil dari kemerosotan norma. Pertama, norma yang merosot akan digantikan oleh norma tandingannya yang sudah ada ketika itu. Hasilnya adalah perubahan norma. Kedua, jika norma yang merosot tidak memiliki tandingan, maka norma tersebut akan menghilang begitu saja. Hal inilah yang menjelaskan mengapa terdapat norma yang menghilang kendati sudah terinternalisasi. 

Melalui teori kemerosotan norma, tulisan ini akan menganalisis dinamika politik internasional di awal tahun 1990-an ketika Perang Dingin berakhir dan era globalisasi dimulai. Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang menjadi ciri khas  globalisasi banyak dituding sebagai faktor utama yang mendorong peningkatan arus migrasi di tahun 1990-an. Tulisan ini kemudian akan melihat bagaimana arus migrasi tersebut menjadi terfokus pada negara-negara dengan perekonomian mapan seperti Australia (Castles, International Migration at Crossroads, 2014).

Untuk sementara, dapat diasumsikan bahwa peningkatan arus migrasi ke Australia telah menyebabkan kerugian, baik dari segi ekonomi maupun sosial, bagi Australia. Hal inilah yang dapat diasumsikan sebagai pemicu dari tindakan Australia untuk melanggar norma keamanan manusia yang sebelumnya mereka pegang dengan kuat. Kemudian, tulisan ini akan menjelaskan terjadinya tren pengetatan kebijakan imigrasi di sejumlah negara-negara di dunia yang semakin memperkuat resolusi Australia untuk meninggalkan norma keamanan manusia. Pada akhirnya, tulisan ini akan melihat bagaimana tindakan pelanggaran terhadap norma keamanan manusia menjadi terinternalisasi di Australia dan dibenarkan melalui dalih “pemberantasan kejahatan penyelundupan manusia.”

Dinamika Politik Internasional pada Awal Era Globalisasi: Lonjakan Arus Migrasi ke Negara-Negara Maju

Berakhirnya Perang Dingin pasca runtuhnya Uni Soviet di tahun 1989 telah mengantarkan dunia ke era globalisasi. Pengembangan teknologi informasi dan transportasi yang sudah dimulai pada pertengahan abad ke-20 pun menjadi semakin dipercepat karena pengembangan teknologi militer mulai ditinggalkan akibat minimnya ancaman perang besar. Negara-negara pun mulai mengalihkan fokusnya dari isu keamanan menjadi isu ekonomi. Hal ini menyebabkan ekonomi dunia menjadi semakin terintegrasi dan mempermudah akses manusia untuk bermigrasi. 

Akan tetapi, fokus negara kepada isu ekonomi telah mengakibatkan peningkatan disparitas antara negara maju dan berkembang. Lembaga One America (2016) menyebutkan bahwa rasio pendapatan rata-rata dari negara terkaya di dunia dengan negara termiskin adalah 9:1. Pada era globalisasi, rasio tersebut telah melebar menjadi 100:1. Kesempatan bekerja bagi orang-orang yang tinggal di negara-negara miskin tersebut pun menjadi semakin menyempit sehingga memperbesar faktor pendorong bagi mereka untuk meninggalkan negara asalnya dan mencari peluang di negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara maju di era globalisasi mengalami peningkatan penerimaan arus migrasi menjadi sekitar 2.6 juta migran per tahunnya.

Peningkatan arus migrasi tidak selalu berdampak baik, terutama bagi negara-negara maju, karena migran-migran ini umumnya menimbulkan beragam persoalan menyangkut dimensi keamanan, baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Isu-isu seperti kerenggangan sosial, pergeseran budaya, xenophobia, diskriminasi, dan bahkan kejahatan transnasional seperti penyelundupan manusia dan perdagangan orang turut menyertai fenomena peningkatan arus migrasi di era globalisasi. Dalam hal ini, perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lainnya tidak selalu dilatarbelakangi faktor ekonomi seperti dijelaskan oleh lembaga One America di atas. 

Faktor politik juga dapat menjadi faktor pendorong ketika misalnya para migran berpindah dikarenakan perubahan konstelasi politik di negara asalnya yang mengakibatkan perang saudara atau konflik etnis. Situasi-situasi semacam ini kerap memaksa migran untuk melakukan perpindahan melalui jalur ireguler agar dapat melarikan diri dari negara asalnya secepat mungkin. Selain itu, faktor ekonomi juga dapat mendorong migran untuk menggunakan jalur ireguler jika mereka merasa tidak sanggup memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk migrasi jalur reguler. Hal inilah yang menyebabkan menjamurnya kejahatan-kejahatan transnasional, seperti penyelundupan manusia atau perdagangan orang (UNODC, 2016).

Australia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan utama migrasi di era globalisasi. Kondisi perekonomian yang mapan, didukung dengan fasilitas sosial yang memadai dan populasi yang kecil. menyebabkan banyak migran berpikir bahwa Australia merupakan tempat yang menjanjikan bagi mereka untuk tinggal. Kemajuan teknologi informasi di era globalisasi telah mempercepat penyebaran informasi semacam ini. Akibatnya, arus migrasi ke Australia mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa decade terakhir. Di antara para migran tersebut, terdapat cukup banyak pengungsi yang melarikan diri dari daerah Indochina dan Timur Tengah akibat konflik yang terjadi di negara asalnya. 

Sebagai negara pencetus dan penandatangan Konvensi PBB Tahun 1951, Australia memiliki kewajiban untuk menerima seluruh pengungsi tersebut tanpa mendiskriminasi apalagi melakukan pemulangan paksa. Permasalahannya, di antara pengungsi tersebut bercampur juga imigran-imigran gelap yang hanya memiliki kepentingan untuk menikmati keuntungan ekonomi di Australia (free rider). Mengidentifikasi pengungsi dan imigran gelap di antara kerumunan migran sangatlah sulit dilakukan, apalagi jika mereka semua mengaku sebagai pengungsi, namun memutuskan untuk memasuki Australia melalui jalur ireguler, seperti menggunakan perahu. Situasi inilah yang terjadi di Australia, dimana terdapat peningkatan kedatangan ‘Manusia Perahu’ ke Australia sejak tahun 1990-an (Philips & Spinks, 2013).

Peningkatan kedatangan pengungsi yang bercampur dengan imigran gelap ke Australia telah menimbulkan kegoyahan terhadap keyakinan Australia akan standar kepatutan yang diatur oleh norma keamanan manusia. Di bawah norma tersebut, Australia seharusnya memegang prinsip non-diskriminasi, non-penalisasi, dan non-pemulangan paksa yang diatur oleh Konvensi PBB Tahun 1951 dan menerima kedatangan seluruh migran yang mengaku sebagai pengungsi tersebut, walaupun mereka memasuki Australia melalui jalur ireguler. Australia sudah melakukan hal ini di tahun 1975 ketika mereka menerima gelombang ‘Manusia Perahu’ dari Vietnam. 

Akan tetapi, Australia juga menyadari bahwa jika hal ini dilakukan terus-menerus, integritas teritori mereka akan semakin terancam karena akan banyak pelaku-pelaku kejahatan transnasional atau free rider yang akan memanfaatkan lemahnya pengawasan imigrasi Australia. Menurut Millbank (2000), jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka Australia akan dibanjiri oleh imigran-imigran gelap dengan latar belakang tidak jelas dan berpotensi membahayakan keamanan dalam negeri Australia. Secara resmi, Australia menyatakan bahwa mereka memiliki kekhawatiran jika ternyata pengungsi yang mereka terima memiliki koneksi dengan jaringan terorisme atau kejahatan transnasional (Barlow, 2016). Situasi inilah yang dimaksud Panke dan Petersohn (2011) sebagai kegoyahan terhadap standar kepatutan yang diatur oleh norma internasional.

Kegoyahan Australia terhadap standar kepatutan yang diatur dalam Konvensi PBB Tahun 1951 kemudian dipertegas oleh pernyataan Adrienne Millbank (2000) yang menyatakan bahwa Konvensi PBB Tahun 1951 telah menghalangi Australia untuk mengadili imigran gelap. Menurut Millbank, definisi pengungsi yang disepakati dalam Konvensi PBB Tahun 1951 sudah usang karena nyatanya dapat dimanfaatkan imigran gelap untuk mengaku sebagai pengungsi. Selain itu, biaya untuk menerima dan menampung pengungsi-pengungsi tersebut pada akhirnya hanya akan dibebankan kepada Australia tanpa adanya mekanisme pembagian beban antara negara asal dengan negara penerima. 

Dengan demikian, Millbank menyimpulkan bahwa sistem penerimaan pengungsi yang diatur oleh Konvensi PBB Tahun 1951 tidak dapat beroperasi maksimal di tengah kondisi peningkatan arus migrasi secara besar-besaran seperti yang terjadi di era globalisasi. Argumen-argumen semacam inilah yang akhirnya menjustifikasi keputusan Australia untuk mengabaikan aturan-aturan dalam Konvensi PBB Tahun 1951 demi membuat kebijakan yang memperketat penerimaan migran dengan dalih memperkecil kemungkinan masuknya imigran-imigran gelap dengan latar belakang tidak jelas yang berpotensi membahayakan keamanan dalam negeri Australia. 

Pada titik ini, Australia telah memasuki fase pertama dari kemerosotan norma, yaitu pelanggaran terhadap nilai yang diatur oleh norma keamanan manusia.

Tren Pengetatan Kebijakan Imigrasi di Tingkat Global

In detention our son was bored, he didn’t play with the other kids,
he cried, he just said, ‘I want to get out’ (Sampson & Mitchell, 2013).

Pernyataan salah seorang pengungsi yang mendekam di salah satu pusat detensi Australia di atas dapat menggambarkan bagaimana buruknya kondisi dan fasilitas yang didapatkan oleh pengungsi selama berada dalam detensi. Australia adalah negara dengan kebijakan imigrasi paling ketat di dunia, namun mereka bukanlah satu-satunya negara di dunia yang menetapkan kebijakan semacam ini. Dalam satu dekade terakhir, tren kebijakan imigrasi di tingkat global menunjukkan bahwa negara-negara di dunia mulai memilih untuk memperketat kebijakan imigrasinya dan mengedepankan pusat detensi sebagai metode untuk memastikan integritas teritorinya. 

Peningkatan arus migrasi ireguler telah menimbulkan kekhawatiran terhadap bahaya keamanan dan kemerosotan kebudayaan di dalam negeri. Kekhawatiran ini menjadi semakin tereskalasi pasca serangan 11 September ke Amerika Serikat yang membuat negara-negara meyakini adanya kaitan antara jaringan terorisme global dengan arus migrasi di era globalisasi. Perlahan-lahan, isu migrasi pun mulai dianggap sebagai isu yang menyangkut keamanan nasional bagi sejumlah negara di dunia. Menurut Sampson dan Mitchell (2013), Pengetatan kebijakan imigrasi telah menjadi opsi pertama yang ditekankan negara di era globalisasi dan didukung oleh keberadaan pusat detensi sebagai garda utama yang memastikan kebijakan tersebut.

Berdasarkan definisinya, detensi terhadap migran merupakan bentuk penahanan atas dasar administratif, bukan kriminalisasi. Definisi ini dapat berbeda-beda di setiap negara, namun satu yang pasti adalah mereka menajdi semakin popular di era globalisasi. Hal ini dapat diidentifikasi dari peningkatan kapasitas jumlah orang yang dapat ditahan oleh pusat detensi di berbagai negara di dunia. 

Sebagai contoh, Amerika Serikat meningkatkan kapasitas pusat detensinya dari 6,785 di tahun 1994 menjadi 34,000 di tahun 2013. Sementara itu, Inggris meningkatkan kapasitasnya dari 250 di tahun 1993 menjadi 3,500 di tahun 2011. Disusul dengan Belanda dari hanya 45 di tahun 1980 menjadi 3,310 di tahun 2006. Sejumlah negara lain juga melakukan hal yang sama, seperti Malaysia yang memiliki kapasitas mencapai 11,400 orang, Spanyol dengan kapasitas 7,000 orang, Afrika Selatan dengan kapasitas 6,500 orang, Israel 8,000 orang, Yunani 2,500 orang, Itali 1,900 orang, dan Jerman dengan kapasitas 2,250 orang. Sampson dan Mitchell (2013) menyebutkan bahwa kebanyakan detensi-detensi tersebut dioperasikan dengan fasilitas minim tanpa memperhatikan kesejahteraan ataupun hak-hak para migran yang ditahan di dalamnya.

Australia menyadari bahwa mereka tidaklah sendirian dalam melanggar norma keamanan manusia yang diatur dalam Konvensi PBB Tahun 1951. Hal inilah yang membuat mereka semakin yakin terhadap keputusannya untuk memperketat kebijakan imigrasinya dan bahkan membuat kebijakan imigrasi yang paling ketat di dunia dengan kapasitas detensi mencapai 8,957 orang (Sampson & Mitchell, 2013). Dalam hal ini, Australia memiliki dua jenis detensi untuk menahan unlawful non-citizen (UNC) yang didefinisikan sebagai warga negara asing yang berada di Australia tanpa memiliki legitimasi hukum. Kedua detensi yang dimaksud adalah detensi darat (onshore detention) dan detensi lepas pantai (offshore detention). 

Detensi darat diperuntukkan bagi segala jenis UNC, di antaranya: illegal maritime arrivals (IMA), nelayan asing, warga asing yang masa berlaku visanya sudah habis dan kedatangan ilegal melalui jalur udara. Bagi orang-orang yang diklasifikasikan sebagai imigran ireguler ini, terdapat lima bentuk penahanan dalam detensi darat: (1) penahanan di pusat detensi (IDC); (2) detensi alternatif (APOD); (3) perumahan khusus migran; (4) akomodasi transit; dan (5) detensi komunitas (DIBP, 2014).

Detensi lepas pantai adalah detensi yang digunakan secara eksklusif untuk IMA. Seluruh imigran ireguler yang memasuki Australia melalui jalur laut dan teridentifikasi akan dikirim ke detensi lepas pantai tanpa terkecuali (Australia Human Rigts Commission, 2009). Namun berbeda dengan detensi darat yang bentuk penahanan-nya cukup beragam, detensi lepas pantai hanya memfasilitasi penahanan dalam bentuk pusat detensi. Pusat detensi ini terbagi di dua lokasi, yaitu (1) di Christmas Island dan (2) di Nauru dan Manus. 

Kedua pusat detensi di atas sama-sama menjadi bagian dari kebijakan imigrasi Australia, namun pemerintah Australia hanya bertanggung jawab pada pusat detensi di Christmas Island. Sementara itu, pusat detensi regional di Nauru dan Manus berada di bawah tanggung jawab negara Nauru dan Papua Nugini melalui sebuah kontrak kerjasama Pacific Solution (DIBP, 2014). Baik pusat detensi di Christmas Island, Nauru, maupun Manus sama-sama memiliki kondisi yang memprihatinkan. Para pengungsi juga tidak mendapatkan jaminan mengenai kapan mereka akan dikeluarkan dari pusat detensi tersebut (Australia Human Rights Commission, 2009).

Pemerintah Australia kemudian akan membantu para IMA yang ditahan di detensi lepas pantai untuk mengurus status imigrasinya. Umumnya, para IMA akan mengajukan klaim sebagai pencari suaka atau pengungsi untuk kemudian divalidasi kembali oleh keimigrasian Australia. Selain itu, pemerintah Australia juga akan melakukan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan para IMA tidak membawa penyakit menular. Jika sudah dinyatakan sehat dan klaim-nya tervalidasi, barulah mereka diizinkan untuk masuk ke Australia dengan dipindahkan ke detensi komunitas (community detention) atau mendapat bridging visa

Akan tetapi, hal ini hanya berlaku bagi IMA yang ditahan di Christmas Island. Berhubung IMA yang ditahan di Nauru atau Manus bukan berada di bawah tanggung jawab pemerintah Australia, solusi yang akan mereka dapat hanyalah ditempatkan di negara ketiga atau dipulangkan – dengan kata lain, mereka tidak akan pernah dapat menginjak tanah Australia (DIBP, 2014). Pemerintah Australia mengklaim bahwa seluruh orang yang ditahan di pusat detensi Manus maupun Nauru adalah imigran gelap, mereka menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang merupakan pengungsi. 

Akan tetapi, lembaga Australia Human Rights Commission (2009) meragukan klaim tersebut. Dalam sebuah kunjungan ke pusat detensi di Nauru dan Manus, mereka menemukan keberadaan orang-orang yang dapat diidentifikasi sebagai pengungsi. Jika temuan tersebut benar, yakni terdapat pengungsi di antara orang-orang yang ditahan di pusat detensi Manus atau Nauru, maka Hal ini dengan sendirinya merupakan bentuk pelanggaran terhadap Konvensi PBB Tahun 1951 yang melarang adanya pemulangan paksa bagi pengungsi.

Walaupun dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM) dengan kebijakan imigrasinya, Australia tetap bersikeras mempertahankan kebijakan-kebijakan tersebut (Kishore, 2016). Hal ini dapat dijelaskan karena Australia melihat bahwa perkembangan tren kebijakan imigrasi di dunia menunjukkan bahwa pengetatan kebijakan imigrasi adalah sesuatu yang ‘wajar’ dilakukan demi menjaga keamanan nasional. Ketika hampir seluruh negara sudah melakukan pelanggaran yang sama, maka telah terjadi kesepakatan tidak tertulis bahwa norma keamanan manusia yang diatur dalam Konvensi PBB Tahun 1951 telah usang. Dengan demikian, Australia tidak perlu meragukan lagi bahwa tindakan yang dilakukannya adalah tindakan yang benar. 

Inilah fase kedua dalam kemerosotan norma, yaitu munculnya kesepakatan bahwa pelanggaran nilai yang dilakukan sebuah negara terhadap norma internasional merupakan sesuatu yang dapat diterima.

Internalisasi Norma Keamanan Negara dalam Kebijakan Imigrasi Australia

Pusat detensi regional Australia di Nauru dan Manus pada akhirnya diumumkan untuk ditutup. Akan tetapi, pemerintah Australia menegaskan bahwa mereka tidak akan mengubah kebijakan mereka terhadap orang-orang yang telah ditahan di sana. Pada akhirnya, orang-orang yang telah ditahan selama bertahun-tahun di Nauru dan Manus tidak akan pernah ditempatkan di Australia (Cole, 2016). Selain itu, Australia juga memperkenalkan kebijakan baru, yaitu Operation Sovereign Borders yang memperbolehkan Angkatan Laut Australia untuk mencegat kapal pembawa migran di perbatasan dan memulangkan mereka. 

Turn Back the Boats menjadi slogan yang popular dan berhasil membuat Tony Abbott memenangkan pemilu di tahun 2013. Berdasarkan survey yang dibuat oleh Lowy Institute, 71 persen warga Australia mendukung kebijakan Abbott untuk memutarbalikkan kapal-kapal pembawa migran yang memasuki Australia (Hamilton, 2014).

Dengan menjadikan kejahatan penyelundupan manusia sebagai ‘kambing hitam,’ Australia berhasil memanipulasi konteks dan meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan pengetatan imigrasi adalah hal yang benar. Julia Gillard menyebutnya dengan prinsip No Advantage. Berdasarkan prinsip ini, tindakan Australia yang menahan ribuan imigran (terlepas dari statusnya) di tempat terpencil untuk waktu yang tidak menentu dapat diklaim sebagai sesuatu yang ‘benar’ karena akan menangkal (deter) keinginan para migran untuk menempuh perjalanan berbahaya menggunakan perahu ke Australia. 

Para migran akan menyadari bahwa tidak akan ada untungnya bagi mereka untuk masuk ke Australia melalui jalur ireguler karena hanya akan berakhir di Manus atau Nauru tanpa pernah ditempatkan di Australia. Dengan demikian, Gillard berargumen bahwa imigran tidak akan mencoba menggunakan jasa sindikat penyelundupan manusia sehingga kejahatan ini dengan sendirinya akan terberantas (ABC News, 2012). 

Begitulah kiranya logika dari prinsip No Advantage yang diperkenalkan Gillard. Tindakan Australia yang sebetulnya merupakan pelanggaran terhadap HAM menjadi terjustifikasi karena tindakan tersebut akan membantu memberantas kejahatan HAM lainnya, yaitu penyelundupan manusia.

Ilustrasi Logika No Advantage menurut Julia Gillard

Logika No Advantage yang dikemukakan oleh Gillard sesungguhnya memiliki banyak sesat pikir, salah satunya adalah asumsi bahwa imigran tidak akan menggunakan segala cara, termasuk jalur ireguler, untuk berpindah. Pada kenyataannya, ketika seorang imigran terusir dari negara asalnya karena adanya situasi yang membahayakan nyawanya, maka mereka, dengan didorong oleh naluri untuk bertahan hidup, akan segera pergi untuk mencari tempat aman, berapapun harga yang harus ia bayar. Dengan demikian, faktor pendorong bagi para pengungsi jauh lebih besar daripada faktor penarik yang dimiliki Australia, sehingga prinsip No Advantage tidak akan menghalangi keinginan mereka untuk berpindah. 

Terbukti juga bahwa jumlah kejahatan penyelundupan manusia yang berhasil diidentifikasi di Australia pun sama sekali tidak berkurang bahkan setelah Gillard turun dari jabatannya.[1] Dapat dikatakan bahwa kegagalan Gillard menumpas kejahatan penyelundupan manusia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kejatuhannya (Philips & Spinks, 2013). Namun terlepas dari itu semua, kenyataan yang ingin dilihat dari tulisan ini adalah bagaimana tindakan Australia yang sebetulnya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM telah sedemikian terinternalisasi dan dianggap sebagai hal yang benar. Hak pengungsi tidak lagi menjadi sesuatu yang dijunjung tinggi Australia. Sebagai gantinya, sentimen-sentimen xenophobic yang telah lama terpendam mulai muncul ke permukaan.

Sebagai negara yang memperkenalkan kebijakan White Australia Policy pada awal berdirinya, Max Walden (2016) menjelaskan bahwa Australia memiliki tradisi panjang dalam memusuhi orang asing dengan kulit berwarna. Perubahan sikap yang ditunjukkan pemerintah Australia terhadap pengungsi telah mengafirmasi kembali tradisi ini. Anggapan bahwa orang asing merupakan ancaman bagi keamanan dan kesejahteraan Australia kembali menjadi hal yang lumrah. Meskipun kebijakan ini telah direformasi secara total pada tahun 1961, tidak dapat dipungkiri bahwa sentiment superioritas kaum kulit putih masih tertanam dalam benak sejumlah warga Australia. 

Berdasarkan teori kemerosotan norma, sentimen xenophobic dan kecenderungan untuk memprioritaskan keamanan negara ini telah tertanam cukup lama dalam benak publik Australia dan menjadi pesaing bagi norma keamanan manusia. Dengan demikian, ketika norma keamanan manusia mengalami kemerosotan, tidak butuh waktu lama bagi norma keamanan negara untuk mengambil alih. Akibatnya, Australia pun menjadi negara dengan kebijakan imigrasi terketat di dunia.

Penutup

Tulisan ini menyimpulkan bahwa perubahan dalam dinamika politik internasional dapat mengakibatkan perubahan terhadap norma internasional yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan terhadap perilaku negara. Setelah melakukan reformasi terhadap White Australia Policy, Australia telah meningkatkan komitmennya terhadap pemenuhan hak-hak pengungsi yang diatur oleh Konvensi PBB Tahun 1951. Akan tetapi, krisis pengungsi yang terjadi di era globalisasi telah menimbulkan kerugian terhadap Australia dari segi integritas teritorinya. Wilayah mereka terus-menerus dimasuki kapal-kapal ireguler yang membawa ribuan pengungsi dengan latar belakang yang tidak jelas.

Hal ini memaksa Australia merespon dengan cara melakukan pengetatan kebijakan imigrasinya. Perubahan sikap yang ditunjukkan negara-negara Barat menjadi memusuhi pengungsi membuat Australia meyakini bahwa mereka tidak sendirian dalam melanggar norma keamanan manusia yang dipromosikan Konvensi PBB Tahun 1951. Pada akhirnya, dengan menjadikan kejahatan penyelundupan manusia sebagai kambing hitam, pemerintah Australia berhasil memanipulasi fakta dan meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan ini merupakan sesuatu yang benar. Sentimen xenophobic yang telah lama dimiliki masyarakat Australia pada akhirnya mendorong kemerosotan norma keamanan manusia dan menggantikannya dengan norma keamanan negara.

Daftar Pustaka

An Age of Migration: Globalization and the Root Causes of Migration. (2016). Retrieved December 14, 2016, from One America: https://www.weareoneamerica.org/root-causes-migration-fact-sheet#_ftn2
Australia. (2016, November 10). Retrieved December 21, 2016, from CIA World Factbook: https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/as.html
Australia asylum: Why is it controversial? (2016, August 3). Retrieved December 14, 2016, from BBC: http://www.bbc.com/news/world-asia-28189608
Australia Tightens Immigration Rules. (2010, February 8). Retrieved December 14, 2016, from Wall Street Journal: http://www.wsj.com/articles/SB10001424052748703630404575052873751673544
Barlow, K. (2016, November 22). Dutton Linked Lebanese-Muslim Migrants to Terrorism, and Turnbull Sat on the France. Retrieved December 14, 2016, from Huffington Post: http://www.huffingtonpost.com.au/2016/11/21/pm-doubles-down-on-dutton-support-but-wont-join-his-australian/
Cole, B. (2016, August 17). Australia Will Close Detention Center on Manus Island but Still Won't Accept Asylum Seekers. Retrieved December 14, 2016, from The New York Times: http://www.nytimes.com/2016/08/18/world/australia/manus-detention-center-papua-new-guinea.html?_r=0
Department of Immigration and Border Protection: Annual Report 2013-14. (2014). Canberra: DIBP.
Finnemore, M., & Sikkink, K. (1998). International Norm Dynamics and Political Change. International Organization Vol. 52 No. 4 , 887-917.
Fisher, M., & Taub, A. (2015, September 9). The refugee crisis: 9 questions you were too embarassed to ask. Retrieved December 21, 2016, from Vox: http://www.vox.com/2015/9/9/9290985/refugee-crisis-europe-syrian
Gillard defends asylum no-advantage test. (2012, October 19). Retrieved December 14, 2016, from News ABC: http://www.abc.net.au/news/2012-10-19/gillard-defends-asylum-no-advantage-test/4323616
Hamilton, A. (2014, June 15). Why 71% if Australians want boats pushed back. Retrieved December 14, 2016, from Eureka Street: https://www.eurekastreet.com.au/article.aspx?aeid=41560#.WFEi09J97Dc
Immigration Detention and Offsore Processing on Christmas Island. (2009). Australia Human Rights Commission.
Kishore, D. (2016, November 18). UN condemns Australia's offshore detention policy for asylum seekers. Retrieved December 14, 2016, from IB Times: http://www.ibtimes.co.uk/un-condemns-australias-offshore-detention-policy-asylum-seekers-1592183
Millbank, A. (2000, September 5). The Problem with the 1951 Refugee Convention. Retrieved December 14, 2016, from Parliament of Australia: http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/pubs/rp/ rp0001/01RP05
Operation Sovereign Borders. (n.d.). Retrieved Decmber 14, 2016, from Deparment of Immigration and Border Protection: http://www.osb.border.gov.au/
Panke, D., & Petersohn, U. (2011). Why International Norms Disappear Sometimes. European Journal of International Relations Vol. 18 No. 4 , 719-742.
Philips, J., & Spinks, H. (2013, March 20). Immigration Detention in Australia. Retrieved November 3, 2016, from http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/pubs/BN/2012-2013/Detention
Ramcharan, B. (2004). Human Rights and Human Security. Strengthening Disarmament and Security, 23-40.
Sampson, R., & Mitchell, G. (2013). Global Trends in Immigration Detention and Alternatives to Detention: Practical, Political, and Symbolic Rationales. Journal on Migration and Human Security Vol. 1 No. 3 , 94-113.
Sears, N. (2015, April 23). Australia turns down migrants while still at sea: Country’s immigration controls are so tough that asylum seekers on naval ships are immediately returned. Retrieved December 21, 2016, from Daily Mail: http://www.dailymail.co.uk/news/article-3051449/Australia-turns-migrants-sea-Country-s-immigration-controls-tough-asylum-seekers-naval-ships-immediately-returned.html,
Smuggling of migrants: the harsh search for a better life. (2016). Retrieved December 14, 2016, from UNODC: https://www.unodc.org/toc/en/crimes/migrant-smuggling.html,
State Parties to the 1951 Convention relating to the Status of Refugees and the 1967 Protocol. (n.d.). Retrieved December 14, 2016, from UNHCR: http://www.unhcr.org/protection/basic/3b73b0d63/states-parties-1951-convention-its-1967-protocol.html
Walden, M. (2016). A Short History of Australia's Xenophobia Towards Migrants and How Solidarity Always Prevails. Retrieved December 21, 2016, from The Vocals: http://www.thevocal.com.au/every-migrant-group-australia-met-xenophobia-high-time-change
Wendt, A. (1992). Anarchy is What States Make of It. International Organization Vol. 46 No. 2 , 391-416.





[1] Philips dan Spinks (2013) menyebutkan jumlah kasus penyelundupan manusia yang teridentifikasi pada masa pemerintahan Julia Gillard adalah sebagai berikut: 4.565 orang pada tahun 2011, 17.202 orang pada tahun 2012 dan 20.467 orang pada tahun 2013. Data ini menunjukkan dua hal. Pertama, Julia Gillard telah mengerahkan upaya yang lebih besar untuk memberantas kejahatan penyelundupan manusia sehingga menghasilkan pembengkakkan jumlah kasus antara tahun 2011 sampai 2012. Akan tetapi, data ini juga menunjukkan bahwa penyelundupan manusia terus-menerus terjadi meskipun Gillard telah menerapkan prinsip No Advantage.

Comments

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia