Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN


(Tulisan ini telah dipublikasikan dalam Prosiding Lomba Karya Tulis Mahasiswa: How ASEAN as an Institutional Platform can Adress the Security Problem in the Region?, 2013)

ASEAN adalah organisasi regional yang sering dikatakan telah berhasil menjalankan tugasnya dalam mengintegrasikan Asia Tenggara. Secara politis, ASEAN, melalui prinsip non-interference-nya, telah berhasil mengembangkan seperangkat nilai, norma, dan institusi yang memungkinkan perang di antara anggotanya menjadi tidak terpikirkan sama sekali (Prasetyono 2007). Dari segi ekonomi, ASEAN telah berhasil meningkatkan kerjasama ekonomi di antara negara-negara anggotanya melalui pembentukan sejumlah perjanjian perdagangan bebas. Dalam hal sosial-budaya, ASEAN telah berhasil mempererat hubungan penduduk Asia Tenggara melalui festival budaya, kompetisi olahraga, pertukaran pelajar, dan sejumlah acara internasional lainnya.

Pembentukan cetak biru ASEAN Community pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand menunjukkan bahwa integrasi di Asia Tenggara akan dibawa ke level yang lebih tinggi lagi. Melalui ASEAN Community, negara-negara Asia Tenggara akan dileburkan menjadi sebuah entitas yang memiliki kesamaan visi, misi, dan identitas. Hal ini berarti ASEAN akan menjadi sebuah zona, layaknya Uni Eropa, dimana masyarakatnya dapat bepergian ke seluruh wilayah ASEAN tanpa dikenakan biaya, mendapatkan kemudahan dalam melakukan hubungan ekonomi, dan yang paling penting, berkomitmen untuk menjadikan segala isu keamanan di ASEAN sebagai masalah bersama.

Sayangnya, integrasi yang telah diupayakan oleh ASEAN menemui paradox. Walaupun dikatakan berhasil meniadakan perang di antara negara-negara anggotanya, ASEAN tetap belum mampu meniadakan sengketa perbatasan yang masih sering terjadi di antara mereka. ASEAN juga belum mampu meredam konflik-konflik intranegara yang terus bertumbuh semenjak berakhirnya Perang Dingin (Singh 2000). Konflik-konflik intranegara tersebut banyak yang bereskalasi menjadi permasalahan yang mengancam keamanan nasional, seperti konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina. Permasalahan-permasalahan dalam sektor keamanan tersebut berpotensi mengganggu hubungan ekonomi dan sosial budaya yang sudah terbangun dengan baik serta dapat menghambat penciptaan ASEAN Community karena dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan antarnegara anggota ASEAN.

Pada KTT ASEAN tahun 2004, Indonesia mengeluarkan terobosan dengan mengajukan proposal pembuatan Regional Peacekeeping Operation (RPO) untuk menyelesaikan konflik-konflik internal negara, seperti konflik GAM di Aceh. Indonesia mengatakan bahwa RPO dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan pada sektor keamanan di Asia Tenggara (Bandoro 2012). Ide Indonesia pada akhirnya ditolak oleh mayoritas anggota ASEAN. Namun, banyaknya isu-isu keamanan yang belum terselesaikan di Asia Tenggara membuat studi tentang RPO menjadi sangat relevan untuk perkembangan ASEAN yang lebih baik lagi ke depannya.

Makalah ini akan menjawab pertanyaan mengenai bagaimana RPO dapat membantu ASEAN mengatasi persoalan keamanan di wilayahnya? Untuk menjawabnya, makalah ini akan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama akan menjelaskan mengenai konsep RPO secara umum beserta teknik-tekniknya. Bagian kedua akan menjelaskan mengenai urgensitas dan relevansi pembentukan RPO di ASEAN. Bagian ketiga akan menjelaskan mengenai hambatan dan tantangan bagi pembentukan RPO di ASEAN.



Tinjauan Umum: Peacekeeping Operation

Semenjak ditandatanganinya The Charter of United Nations, negara-negara anggota PBB telah sepakat untuk berpartisipasi dalam menciptakan dan menjaga perdamaian di atas dunia. Dan semenjak berakhirnya Perang Dingin, peacekeeping operation telah menjadi instrumen paling populer untuk melaksanakannya. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa lebih dari dua pertiga peacekeeping operation dilaksanakan dalam dua dekade terakhir (Helmke 2009).

Menurut definisinya, peacekeeping operation adalah aktivitas yang ditangani oleh PBB atau aktor internasional lainnya untuk memelihara perdamaian dan stabilitas keamanan di seluruh dunia. Peacekeeping operation merupakan instrumen keamanan kolektif yang personel dan wilayah operasinya dapat berada di mana saja. Ide mengenai keamanan kolektif semakin merebak seiring dengan bertambahnya interdependensi global di bidang ekonomi, sosial, dan politik semenjak Perang Dingin berakhir (Very 2012).

Pada prinsipnya, peacekeeping operation dikirim untuk mendorong terjadinya gencatan senjata dan mencegah meluasnya konflik. Dalam The Handbook of United Nations Multidimensional Peacekeeping Operations (2003), dijelaskan bahwa Ide utama dari peacekeeping operation adalah: kehadiran pihak imparsial di lapangan akan menurunkan ketegangan di antara pihak-pihak yang bertikai, sehingga dapat menyediakan waktu dan tempat untuk melakukan negosiasi damai. Oleh sebab itu, terdapat tiga prinsip yang harus dipegang oleh peacekeeping operation dalam menjalankan tugasnya: (1) persetujuan semua pihak yang bertikai; (2) menjaga imparsialitas; (3) tidak menggunakan kekerasan (United Nations Peacekeeping Operations: Principles and Guidelines 2008).

Sampai saat ini, dunia telah mengenal dua generasi peacekeeping operation. Generasi pertama disebut dengan peacekeeping operation tradisional dan generasi kedua disebut dengan peacekeeping operation multidimensional. Peacekeeping operation generasi pertama sangat lumrah dipakai pada masa Perang Dingin. Pada masa itu, peacekeeping operation hanya ditugaskan untuk mengatasi konflik yang mengancam keamanan negara. Ketika bertugas, mereka hanya menjadi sebatas observer yang bertugas memantau gencatan senjata antara pihak-pihak yang sedang berkonflik. Dengan adanya pemantauan dari peacekeeping operation, kedua pihak dapat merasa yakin bahwa pihak lainnya tidak akan memanfaatkan gencatan senjata untuk keuntungan militer (United Nations Peacekeeping Operations: Principles and Guidelines 2008).

Peacekeeping operation tradisional tidak akan memainkan peran penting dalam proses politik untuk menghasilkan resolusi konflik. Mereka dikirim ke daerah konflik hanya untuk mempertahankan kondisi dimana negosiasi atas resolusi dapat berlangsung selama mungkin. Jika resolusi atas konflik sudah berhasil dirumuskan, maka peacekeeping operation pun akan menarik diri (United Nations Peacekeeping Operations: Principles and Guidelines 2008).

Pada generasi kedua, peacekeeping operation tidak hanya ditugaskan untuk menyelesaikan konflik yang mengancam negara, namun juga konflik yang mengancam keamanan manusia, seperti kasus genosida di Rwanda. Tidak hanya mempertahankan gencatan senjata, peacekeeping operation juga dituntut untuk menggunakan pendekatan multidimensional untuk menemukan faktor ekonomi dan sosial budaya yang mengakibatkan konflik dapat terjadi (United Nations Peacekeeping Operations: Principles and Guidelines 2008). Kemudian, peacekeeping operation juga dituntut untuk melakukan usaha post-conflict peacebuilding yang berupa pengawalan terhadap proses transisi politik, pembangunan infrastruktur ekonomi, dan pemulihan hukum (United Nations n.d.).

Dalam prakteknya, peacekeeping operation multidimensional harus melibatkan berbagai elemen lokal, seperti: polisi, penduduk sipil, dan cendekiawan untuk memahami akar dari konflik. United Nations Mission in Sudan (UNMIS) adalah salah satu contoh peacekeeping operation yang berhasil melakukan pendekatan multidimensional. Mereka bukan hanya membantu Sudan Selatan untuk mendapatkan kemerdekaan, namun juga membantu Sudan Selatan untuk melakukan proses transisi dengan cara menjadi badan administratif sementara (United Nations n.d.).

Sayangnya, PBB selalu kesulitan untuk melakukan peacekeeping operation multidimensional. Ketidakmampuan personel peacekeeping operation menyesuaikan diri dengan kebudayaan di daerah operasi menyebabkan mereka sulit berinteraksi dengan elemen local (Annan 2001). Akibatnya, peacekeeping operation pun gagal untuk memahami akar dari konflik dan tidak mampu memberikan solusi perdamaian yang tepat. Bahkan dalam beberapa kasus, seperti Somalia dan Sudan, konflik yang terjadi sebagai manifestasi ekstrem dari perebutan sumber daya alam, tanah, representasi politis, yang dikombinasikan dengan marginalisasi etnis serta kebankrutan negara, membuat peacekeeping operation kehabisan akal untuk menjalankan tugasnya (Grignon dan Kroslak 2008).

Sebagai solusinya, PBB pun mulai membagi beban peacekeeping operation multidimensional dengan organisasi regional melalui pembentukan Regional Peacekeeping Operation (RPO). RPO adalah sebuah peacekeeping operation yang dipimpin oleh organisasi regional. Ide utamanya, organisasi regional yang berada pada posisi lebih dekat dengan daerah konflik tentu dapat bereaksi lebih cepat dan memiliki pemahaman mendalam terhadap konflik dibandingkan organisasi internasional, seperti PBB. Organisasi regional juga tentunya dapat berinteraksi dengan mudah terhadap penduduk di daerah operasi, sehingga dapat lebih mudah dalam melakukan peacekeeping operation multidimensional (Dorn 1998). Dalam menjalankan tugasnya, RPO akan berkolaborasi dengan peacekeeping operation PBB atau bekerja sendiri di bawah pengawasan PBB (Pelz dan Lehmann 2007).


Urgensitas Pembentukan Regional Peacekeeping Operation di ASEAN

Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah dengan isu keamanan yang cukup kompleks. Data menunjukkan bahwa sebanyak 40% konflik bersenjata di dunia terdapat di Asia, namun hanya terdapat 10% peacekeeping operation yang pernah dilaksanakan di wilayah tersebut (Helmke 2009). Hal ini berarti bahwa 30 % konflik yang terjadi di wilayah Asia, termasuk Asia Tenggara, mendapatkan pembiaran dari komunitas internasional. Dalam jangka panjang, pembiaran tersebut dapat menimbulkan eskalasi konflik di Asia Tenggara. Contohnya adalah pertempuran terbuka yang telah terjadi di antara Thailand dan Kamboja dalam perebutan wilayah sekitar Preah Vihear. Berdasarkan cetak biru ASEAN Community, disebutkan bahwa ASEAN akan membangun ASEAN Security Community (ASC) yang akan mengintegrasikan seluruh upaya negara-negara ASEAN dalam menghadapi isu-isu keamanan di Asia Tenggara dan sekitarnya (Tomotaka 2008).

Namun, terjadi kontradiksi dalam pembentukan ASC karena negara-negara anggota ASEAN sendiri masih belum memiliki keinginan kuat untuk bersikap kooperatif terkait penyelesaian isu-isu keamanan di Asia Tenggara. Daljit Singh (2009) menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena adanya keenganan di antara negara-negara anggota ASEAN untuk menyerahkan kedaulatannya pada otoritas regional. Implikasinya adalah ketidakmampuan ASEAN Regional Forum (ARF), sebagai satu-satunya badan di bawah ASEAN yang dirancang khusus untuk menghadapi isu-isu keamanan di Asia Tenggara, untuk menjalankan fungsinya menciptakan resolusi konflik. Pada jangka panjang, isu-isu keamanan kecil yang dibiarkan tanpa adanya penyelesaian dapat menjadi sebuah permasalahan besar yang dapat mengganggu stabilitas keamanan regional dan menghambat terciptanya ASC itu sendiri apalagi ASEAN Community secara keseluruhan. Pembentukan regional peacekeeping operation (RPO) tentunya dapat menjadi solusi untuk mencegah hal tersebut terjadi.

Pada dasarnya, terdapat tiga karakteristik isu keamanan di Asia Tenggara yang harus segera diatasi oleh ASEAN karena dapat berkembang menjadi permasalahan besar. Karakteristik yang pertama adalah sengketa perbatasan. Asia Tenggara yang wilayah geografisnya sangat didominasi oleh lautan mengakibatkan batas-batas antarnegara menjadi tidak terdefinisi dengan baik. Hal ini semakin diperparah dengan banyaknya sumber daya alam dan strategisnya jalur perdagangan internasional di lautan Asia Tenggara (Prasetyono 2007). Akibatnya, seluruh negara pun menjadi punya kepentingan untuk menguasai wilayah kelautan Asia Tenggara. Umumnya dalam isu sengketa perbatasan, pihak-pihak yang bersengketa tidak akan mau menahan diri, karena semua pihak merasa memiliki wilayah yang dipersengketakan. Ditambah lagi, karena teritorial adalah salah satu aspek penting bagi kedaulatan, umumnya negara tidak akan ragu-ragu untuk mengerahkan pasukan militernya demi mempertahankan teritorinya.

Contoh kasus sengketa perbatasan yang berpotensi menjadi permasalahan besar adalah konflik Laut China Selatan yang dipersengketakan oleh lima negara ASEAN dan China. Konflik yang memperebutkan wilayah kelautan di sekitar pulau Spratley ini terjadi karena adanya dugaan kuat mengenai sumber daya minyak serta gas alam di sana. Selain itu, posisi Laut China Selatan yang sangat strategis untuk perdagangan internasional juga menyebabkan negara-negara semakin bersemangat untuk mempersengketakannya. Konflik-konflik yang terjadi dapat dilihat dari pemberitaan CNN yang menyatakan bahwa terdapat kapal milik China yang mengganggu kapal pengawas United States Naval Ship (USNS) Pada tahun 2009 (CNN 2009). Pada tahun 2011, sempat muncul pertikaian antara kapal Vietnam dengan tiga kapal marinir patroli China karena pemotongan kabel kapal (China Digital Times 2011). Pada tahun 2012, kapal perang Filipina yang bernama Gregorio del Pilar bertikai dengan dua kapal pengawas China di kawasan Scarborough, yang diakui sebagai teritori kedua negara (CNN 2009). Dari berbagai konflik tersebut terlihat bahwa keadaan mulai memanas setelah tahun 2005, dimana kapal milik China menembak dua kapal memancing milik provinsi Thanh Hoa, Vietnam, membunuh 9 orang dan menahan kapal berisi 8 orang di pulau Hainan.

Karakteristik kedua adalah konflik mayoritas dan minoritas di dalam negara. Jika memperhatikan kondisi demografis negara-negara Asia Tenggara, maka dapat ditemukan bahwa di dalam setiap negara selalu ada golongan yang menjadi mayoritas dan minoritas yang direpresentasikan melalui agama. Keberadaan golongan mayoritas dan minoritas ini menyebabkan banyak konflik yang berkepanjangan. Konflik ini semakin diperparah dengan keberpihakan pemerintah pada golongan mayoritas. Hal ini menyebabkan konflik internal yang awalnya hanya bersifat horizontal antara mayoritas dan minoritas bereskalasi menjadi konflik vertikal antara kelompok minoritas dan negaranya sendiri.

Sebagai contoh, diskriminasi yang kerap dilakukan oleh mayoritas Kristen di Filipina terhadap minoritas Muslim yang hanya berjumlah 5% dari populasi Filipina memicu gelombang ketidakpuasan minoritas Muslim kepada negara (Muslim Mindanao n.d.). Minoritas Muslim yang memiliki kesamaan nasib tersebut pun bersatu dengan identitas Bangsamoro atau yang lebih dikenal dengan Moro. Dapat dikatakan bahwa Bangsamoro telah membentuk satu konsep nasionalisme sendiri yang sangat berbeda dengan Filipina. Gelombang ketidakpuasan yang semakin terorganisir ini pun berkembang menjadi sebuah organisasi separatis yang bernama Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang kerap melakukan tindak kekerasan di Filipina, sehingga mengancam stabilitas politik di Filipina. Dampak yang ditimbulkan dari konflik vertical ini adalah terhambatnya usaha pembangunan yang dilakukan oleh negara, risiko instabilitas regional, dan keterlibatan pihak luar dalam konflik (Very 2012).

Karakteristik ketiga adalah isu-isu keamanan nontradisional. Semakin mudahnya akses terhadap komunikasi dan transportasi yang merupakan implikasi dari globalisasi memberikan dampak terhadap perkembangan isu keamanan Asia Tenggara. Eric Hiariej dalam Seminar Gerakan Terorisme dan Upaya Penanggulangannya di Asia Tenggara (2012) mengungkapkan bahwa batas-batas antara militer dan nonmiliter kini telah menjadi bias sebagai akibat dari globalisasi. Senjata yang dahulu hanya dapat dimiliki orang-orang militer kini dapat dibeli dengan mudah oleh siapa saja melalui jaringan penjualan senjata api. Perang yang dahulu hanya dapat dideklarasikan oleh aktor negara, kini dapat dilakukan oleh sekelompok orang yang hanya berkomunikasi melalui internet. Hal inilah yang menyebabkan di Asia Tenggara banyak berkembang kasus-kasus seperti human atau drug trafficking, arms smuggler, dan yang paling terkenal, yaitu terorisme. Selama ini, ancaman keamanan nontradisional sulit untuk dibendung karena pelakunya dapat berpindah-pindah antarnegara. Ketidakhadirannya koordinasi yang baik terkait isu keamanan di Asia Tenggara membuat perpindahan pelaku sulit dilacak. Perpindahan pelaku kejahatan kemudian menjadi semakin mudah akibat kurangnya kehadiran polisi dan tentara di wilaya pinggiran serta minimnya kapal penjaga di perairan (Bedeski, Andersen, dan Darmosumarto 1998). Terkadang, sebuah negara dapat menghambat usaha pelacakan yang dilakukan negara lain di negaranya karena memiliki kepentingan yang berbeda.

Ketidakhadiran koordinasi negara-negara Asia Tenggara dalam menghadapi isu keamanan nontradisional dapat dilihat melalui contoh penangkapan tersangka teroris bernama Hambali. Dalam kasus ini, Hambali ditangkap di Thailand pada tahun 2003 atas dugaan menjadi dalang di balik kasus Bom Bali. Pemerintah Indonesia telah meminta Thailand untuk mengekstradisi Hambali ke Indonesia agar dapat diselidiki lebih lanjut. Namun, Thailand justru menyerahkan Hambali ke Amerika Serikat untuk diselidiki di sana. Dalam situs berita Fox News, diumumkan bahwa Amerika Serikat telah memberikan dana sejumlah 10 Juta USD untuk penangkapan Hambali (Fox News 2003). Hal ini jelas menunjukkan bahwa kepentingan Thailand untuk membantu AS telah menghambat usaha Indonesia untuk mengatasi teroris yang mengancam keamanan negaranya. Sementara itu, ASEAN tidak memiliki kekuatan untuk mengkoordinir negara-negara anggotanya terkait kasus ini.

Dalam mengatasi isu-isu keamanannya, ASEAN menjadikan ARF sebagai garda depannya. Ditetapkan pada tahun 1993, ARF menjadi sebuah organisasi keamanan kooperatif dengan wilayah cakupan Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oceania. Berbeda dengan organisasi pertahanan kolektif seperti NATO yang memiliki prinsip menciptakan keamanan dari musuh, ARF datang dengan prinsip menciptakan keamanan bersama musuh. Daljit Singh (2000) menjelaskan bahwa ide utama penciptaan ARF adalah, agar ASEAN dapat membidik negara yang berpotensi membahayakan keamanan regional untuk kemudian diajak duduk dan berbicara bersama dalam damai. Untuk melakukannya, ARF memiliki tiga langkah yang harus dilakukan secara berurutan; (1) Confidence Building Measure; (2) Preventive Diplomacy; (3) Conflict Resolution. Metode ini dipilih ASEAN karena dianggap sesuai dengan nilai-nilai ASEAN yang tercantum dalam ASEAN Way. Namun, metode ini belum mampu menyelesaikan konflik-konflik di Asia Tenggara, karena tiga hal.

Pertama, ARF tidak menjalankan fungsinya dengan konsisten. Rodolfo Severino (2008) menjelaskan bahwa ketika pertama kali dibentuk, anggota-anggota ARF menyepakati bahwa ARF hanya akan membahas isu-isu keamanan tradisional di Asia Tenggara dan sekitarnya. Namun, ARF kemudian mulai membahas isu-isu keamanan nontradisional, seperti trafficking, drug dealer, dan terorisme. Sekilas hal ini terlihat baik karena menandakan bahwa ARF selalu update dengan perkembangan zaman, namun isu yang dibahas menjadi terlalu banyak dan tidak spesifik. Dengan waktu ARF yang hanya berlangsung selama satu hari, isu-isu yang sangat banyak tersebut tidak dapat dibahas secara mendalam. Hal ini berdampak buruk pada usaha ARF melakukan confidence building measure.

Kedua, terdapat kebingungan dalam menjalankan preventive diplomacy. Para delegasi sering kebingungan mengenai konflik apa yang seharusnya dicegah oleh ARF. Pertanyaannya adalah apakah ARF harus fokus terhadap konflik antarnegara saja atau juga konflik di dalam negara. Pertanyaan lain adalah apakah ARF cukup membahas konflik yang melibatkan militer saja atau juga mencakup nontraditional issues (Severino 2008). Kebingungan ini ditambah dengan banyaknya isu yang harus dibahas membuat proses dialog yang terjadi di dalam ARF tidak pernah berlangsung secara maksimal, sehingga ARF tidak pernah mampu untuk beranjak ke langkah ketiga untuk membuat resolusi konflik.

Ketiga, kehadiran China dan Amerika Serikat di dalam ARF menyebabkan forum tidak produktif. Daljit Singh (2000) menyatakan bahwa Kedua negara superpower tersebut sering menimbulkan sebuah pedebatan yang biasanya menghabiskan waktu cukup lama dalam forum. Amerika Serikat selalu menginginkan sebuah penciptaan solusi damai yang cepat dan efisien, sementara China menginginkan sebuah penciptaan solusi secara damai namun perlahan-lahan. Selain itu, keberadaan dua negara superpower ini di dalam ARF mengakibatkan forum tidak dapat membahas isu-isu keamanan yang dapat mengancam posisi mereka. Isu Laut China Selatan, meskipun dipertentangkan oleh lima negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Brunei, Vietnam, Filipina), merupakan salah satu isu keamanan yang tidak dapat dibahas di ARF karena mengancam kepentingan China.

Karena permasalahan dalam sektor keamanan mau tidak mau akan berimplikasi pada stabilitas sektor lainnya, seperti ekonomi dan politik, maka sangat tidak masuk akal jika ASEAN menyerahkan penyelesaian isu-isu keamanannya pada lembaga yang sudah jelas tidak efektif seperti ARF. ASEAN membutuhkan sebuah lembaga baru untuk mengatasi isu-isu keamanannya dan pembentukan RPO tentu dapat menjadi salah satu jawabannya. Setidaknya terdapat dua alasan yang menyebabkan RPO dapat menjadi solusi yang relevan untuk mengatasi isu-isu keamanan di Asia Tenggara.

Pertama, konsep RPO sangat relevan dengan ide yang diusung oleh ASEAN Security Community, yaitu ide mengenai integrasi atas upaya-upaya mengatasi isu keamanan di Asia Tenggara. Ide ini secara gamblang merupakan refleksi atas keinginan negara-negara ASEAN untuk membentuk ulang arsitektur keamanan di Asia Tenggara yang sebelumnya non-kooperatif menjadi kooperatif. RPO dapat mengubah arsitektur keamanan di Asia Tenggara melalui sifat alamiahnya yang merupakan organisasi keamanan kolektif. Sebagai organisasi keamanan kolektif, RPO akan memaksa semua anggota ASEAN untuk turut berpartisipasi dan peduli terhadap semua isu keamanan di Asia Tenggara.

Sebagai contoh, dalam konflik perebutan wilayah Sabah yang dipersengketakan oleh Kesultanan Sulu, yang berasal dari Filipina, sempat terjadi sebuah perang terbuka antara pemerintah Malaysia dengan Kesultanan Sulu. Hal ini kemudian menimbulkan ketegangan politik di antara Filipina dan Malaysia. Indonesia yang biasanya selalu menjadi negara penengah dalam menyelesaikan konflik di Asia Tenggara pun tidak dapat berbuat apa-apa karena keamanan wilayahnya juga terancam akibat berada cukup dekat dari wilayah Sabah. Dalam keadaan seperti itu, arsitektur keamanan nonkooperatif yang ada di Asia Tenggara membuat tidak ada satu pun negara yang mau turun untuk menengahi konflik tersebut, sehingga konflik masih terus terjadi sampai sekarang dan berpotensi bereskalasi menjadi konflik antarnegara.

Seandainya ide pembentukan RPO telah disepakati, maka ASEAN dapat memerintahkan negara seperti Thailand, Singapura, dan Vietnam untuk membentuk satu pasukan untuk menjalankan misi perdamaian di wilayah Sabah, sehingga perang terbuka yang dilancarkan pemerintah Malaysia kepada Kesultanan Sulu dapat segera dihentikan. Dengan begitu, negosiasi antara pemerintah Malaysia dan Kesultanan Sulu pun dapat dilakukan dalam atmosfer yang lebih baik. Satu perbedaan lagi yang dapat ditimbulkan dari keberadaan RPO adalah berkembangnya kerjasama militer di antara negara-negara Asia Tenggara karena mereka harus menjalankan misi perdamaian bersama-sama. Jika hal ini dilakukan terus menerus, maka arsitektur keamanan Asia Tenggara yang sebelumnya nonkooperatif dapat berubah menjadi kooperatif secara perlahan-lahan. Hal ini juga tentunya sangat sejalan dengan semangat yang dibawa oleh ASEAN Security Community karena RPO memberikan kesempatan bagi negara-negara ASEAN untuk menciptakan keamanan kolektif.

Kedua, metode RPO sangat relevan dengan isu-isu keamanan di Asia Tenggara. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat digarisbawahi bahwa terdapat tiga karakteristik isu keamanan di Asia Tenggara: (1) sengketa perbatasan; (2) konflik mayoritas-minoritas; (3) ancaman keamanan nontradisional. Dalam isu sengketa perbatasan, metode RPO yang dilakukan atas dasar imparsialitas sangatlah tepat jika digunakan untuk menyelesaikan konflik dimana kedua pihak sama-sama merasa tidak bersalah. Sebab melalui imparsialitas, akan timbul rasa percaya dari semua pihak yang bersengketa kepada misi perdamaian yang dibuat, sehingga mereka akan menghentikan pertikaian tanpa perlu khawatir pihak lainnya mengambil keuntungan dari situasi tersebut (United Nations Peacekeeping Operations: Principles and Guidelines 2008). Hal ini telah dibuktikan melalui bagaimana Kroasia dan Yugoslavia dapat berdamai setelah bertahun-tahun memperebutkan suatu wilayah bernama Prevlaka berkat adanya misi perdamaian dari PBB yang dikirim untuk menengahi konflik kedua negara tersebut (Mlatisuma 2002). Jika metode RPO dapat diterapkan di ASEAN, maka sebuah pasukan perdamaian dapat segera dikirim sebelum pertempuran terbuka antara Thailand dan Kamboja terjadi untuk menengahi sengketa perbatasan antara kedua negara tersebut.

Dalam isu konflik mayoritas-minoritas, pendekatan multidimensional yang digunakan dalam RPO akan lebih mudah untuk mengurai permasalahan sosial, budaya, dan ekonomi yang terjadi. Umumnya, dalam Pasukan yang dikirim akan ASEAN akan dituntut untuk turun langsung ke komunitas minoritas untuk mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dari pemerintah. Hal ini akan dapat dilakukan dengan efektif melalui metode RPO, karena dalam konflik semacam ini umumnya mereka sudah kehilangan kepercayaan pada pemerintahnya sendiri. Namun, mereka tetap menyadari bahwa mereka adalah kelompok lemah yang tidak dapat memenuhi apa yang mereka inginkan dengan usahanya sendiri. Itulah sebabnya, kehadiran satu pasukan khusus yang dibentuk untuk meredam konflik yang terjadi sekaligus membantu mereka memenuhi keinginannya akan dapat diterima dengan baik. Itulah alasannya mengapa kemudian Pasukan Garuda yang dikirim dalam misi perdamaian di Darfur dapat diterima dengan baik oleh warga sipil di sana serta berhasil menghentikan eskalasi konflik (Syurganda 2012). Jika hal ini dapat diterapkan di ASEAN, tentunya permasalahan-permasalahan seperti yang dialami oleh warga minoritas Rohingya, Bangsamoro, atau Ahmadiyah dapat segera diatasi. Terakhir, dalam isu ancaman keamanan nontradisional, keberadaan RPO secara tidak langsung dapat meningkatkan koordinasi antarnegara-negara ASEAN untuk menangkap pelaku kejahatan.


Hambatan Pembentukan Regional Peacekeeping Operation di ASEAN

Regional peacekeeping operation (RPO) pada dasarnya merupakan sebuah terobosan yang sangat relevan terhadap nilai-nilai yang diusung oleh ASEAN Security Community dan penyelesaian isu-isu keamanan di Asia Tenggara yang masih terjadi sampai sekarang. Indonesia sangat menyadari hal ini, sehingga mereka mengajukan proposal pembentukan RPO pada KTT ASEAN tahun 2004. Namun, apa yang terjadi adalah penolakan keras dari anggota-anggota ASEAN lainnya.

Belinda Helmke (2009) menjelaskan bahwa Dalam dialog-dialog terbuka, negara-negara ASEAN mengemukakan bahwa alasan penolakan mereka terhadap pembentukan RPO adalah alasan finansial. ASEAN dianggap belum mampu untuk membiayai sebuah peacekeeping operation. Namun jika ditelaah lebih lanjut, sesungguhnya jumlah belanja militer negara-negara ASEAN sudah jauh melebihi biaya peacekeeping operation yang pernah dilakukan di ASEAN semenjak tahun 1990. Oleh sebab itu, ekonomi seharusnya tidak menjadi hambatan bagi ASEAN untuk membentuk RPO. Alasan yang lebih masuk akal tentu akan dapat ditemukan jika dianalisis dari segi politik dan sejarah.

Pada dasarnya, negara-negara ASEAN dapat dikarakterisasikan dari masa lalunya yang merupakan negara bekas kolonialisme. Sebagai negara yang pernah dikolonialisasi, mereka memiliki pengalaman panjang dalam bertarung mengusir penjajah kolonial dari teritorinya, hingga mereka akhirnya dapat mendirikan negara merdeka sendiri. Implikasinya adalah mereka menjadi trauma terhadap segala hal yang bersifat intervensionis terhadap teritorinya. Maka ketika ASEAN dibentuk pun, mereka mengedepankan prinsip non-interference yang melarang dengan keras negara lain untuk ikut campur pada urusan negaranya masing-masing. Itulah sebabnya ASEAN hanya memiliki ARF yang menekankan pada dialog ketimbang intervensi. Peacekeeping operation, terlepas dari prinsip imparsialitasnya, tetap saja melanggar batas kedaulatan negara, sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah intervensi (Helmke 2009).

Prinsip non-interference telah mewarnai perjalanan ASEAN selama 45 tahun ia berdiri. Maka tidak aneh jika prinsip ini telah tertanam cukup kuat dalam benak setiap pembuat keputusan di negara anggota ASEAN. Prinsip ini menyebabkan arsitektur keamanan di ASEAN menjadi bersifat tradisional seperti arsitektur negara-negara dunia pertama ketika mereka pertama kali menerapkan prinsip kedaulatan. Arsitektur keamanan seperti ini membuat ASEAN sebagai organisasi regional tidak memiliki wewenang untuk menangani isu-isu keamanan di wilayahnya (Singh 2000).


Kesimpulan
ASEAN merupakan organisasi regional yang telah berhasil mengembangkan sektor perekonomian dan sosial-budayanya, namun melupakan sektor keamanannya. Fakta-fakta menunjukkan bahwa ASEAN membiarkan konflik-konflik yang terjadi di wilayahnya hanya ditangani secara bilateral atau oleh negara yang bersangkutan saja. Jika ini dibiarkan terus, maka dunia dapat menganggap bahwa ASEAN menyetujui konlik-konflik yang melanggar HAM, seperti yang terjadi di Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa ASEAN belum mampu membangun ASEAN Security Community yang katanya akan mengintegrasikan upaya mengatasi permasalahan keamanan di Asia Tenggara, sebab perasaan akan permasalahan regional tersebut masih belum terbangun.

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation (RPO) diharapkan dapat membentuk ulang pola pikir negara-negara ASEAN agar lebih mengedepankan keamanan regional ketimbang kedaulatan negaranya. Hal ini dapat dilakukan karena RPO merupakan instrumen keamanan kolektif yang akan memaksa terjadinya kerjasama keamanan di antara negara-negara ASEAN. Dengan begitu, perasaan bahwa setiap permasalahan keamanan yang berada di manapun di ASEAN, dapat segera terbangun.

Tantangan yang ada saat ini adalah bagaimana ASEAN dapat melemahkan prinsip non-interference secara perlahan-lahan. Sebab dengan prinsip non-interference yang masih kuat, maka ASEAN Security Community yang merupakan pilar penjaga stabilitas keamanan Asia Tenggara akan sulit untuk dilakukan. Dan tanpa pilar keamanan yang kuat, tentu kita boleh bersikap pesimis terhadap masa depan ASEAN Community, karena keamanan merupakan pilar utama yang dapat menjaga bisnis dapat berjalan dan menjaga orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain.

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Politik Luar Negeri

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi