Bagaimana Musisi Punk dapat Menjadi Panglima Pengawal Demokrasi Baru Myanmar


Dalam berita yang dituliskan oleh Robin McDowell dalam Huffington Post (Radical Monks Criticized By Punks In Myanmar As Religious Attacks Escalate, 5 Agustus 2013), dituliskan bahwa semenjak berakhirnya junta militer di Myanmar yang ditandai dengan adanya parlemen yang diwakili oleh rakyat dan dibebaskannya Aung San Suu Kyi dari tahanan rumahnya, Myanmar mulai merasakan kebebasan untuk berkumpul, kebebasan pers, dan tentunya kebebasan untuk berbicara. Sayangnya, kebebasan berbicara di Myanmar lebih banyak digunakan oleh rahib-rahib Buddha radikal untuk membuat pernyataan yang bersifat diskriminatif terhadap umat Muslim. Mayoritas orang Myanmar lebih memilih untuk diam menghadapi seruan-seruan para rahib radikal ini, karena rahib merupakan orang dengan strata sosial yang cukup tinggi di Myanmar. Hanya anak-anak Punk yang mulai berani untuk membalas seruan diskriminatif para rahib radikal tersebut.

Robin McDowell kemudian mengutip kata-kata seorang vokalis dari band Punk Rebel Riot yang berma Kyaw Kyaw. Ia menyatakan bahwa para rahib-rahib radikal tersebut bukanlah rahib sejati, namun hanyalah seorang nasionalis fasis. Para rahib-rahib radikal yang tergabung dalam sebuah gerakan bernama “969” tersebut telah melakukan sejumlah kekerasan fisik pada umat Muslim Myanmar, seperti merazia masjid, memukuli umat Muslim dengan pipa dan rantai sampai mati, dan bersorak-sorak kegirangan ketika melakukannya. Salah satu pemimpin kelompok 969 tersebut bernama Wirathu. Karismanya ketika menyampaikan pidato membuat jumlah pengikutnya terus bertambah. Ia baru saja menyatakan perlunya boycott terhadap toko yang dimiliki oleh Muslim dan melarang adanya pernikahan antara perempuan Buddha dan lelaki Muslim untuk mencegah bertambahnya populasi Muslim di Myanmar.

Peristiwa yang terjadi di Myanmar saat ini tentunya bukanlah hal yang aneh, melainkan sudah umum terjadi di negara-negara yang baru saja menikmati euforia kebebasan. Menurut penulis, hal ini disebabkan oleh negara yang belum mampu mengedukasi warganya dalam meng-exercise kebebasannya. Sebab kebebasan jika yang diharapkan oleh individu tentunya tidak sama dengan kebebasan yang diharapkan oleh negara. Individu berharap bahwa ketika dia bebas, maka dia memiliki hak untuk melakukan apapun yang dia inginkan tanpa ada yang membatasi. Sementara itu, negara mengharapkan adanya keteraturan dalam masyarakat, sehingga kebebasan yang diharapkan oleh negara adalah kebebasan yang tidak melanggar kebebasan warga lainnya. Permasalahan di negara-negara yang baru saja menikmai euforia kebebasan adalah, negara belum sempat untuk mengedukasi warganya mengenai kebebasan yang diharapkan oleh negara, sehingga belum ada kesamaan persepsi mengenai makna kebebasan itu sendiri. Akibatnya, pihak-pihak yang memiliki kuasa dalam masyarakat, seperti Rahib di Myanmar, memiliki privilege untuk menafsirkan kebebasan itu sesuai keinginan mereka karena mereka tahu bahwa tidak ada yang akan melawan mereka. Ketika para Rahib menafsirkan bahwa kebebasan itu adalah bebas mendiskriminasi umat Muslim karena mereka berbeda keyakinan, maka umat Muslim tidak akan melawan balik karena mereka tidak mendapat dukungan sebesar dukungan terhadap para rahib tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 1998 di Indonesia dimana sejumlah warga Tionghoa menjadi korban keganasan warga Pribumi.

Namun menjadi pertanyaan ketika ternyata ada sekumpulan anak-anak yang menyatakan dirinya sebagai anak Punk tiba-tiba mampu dengan lantang menyatakan suara untuk melawan rahib-rahib radikal tersebut. Bagaimana mungkin anak-anak Punk ini dapat melawan rahib-rahib radikal, padahal mereka tidak memiliki dukungan kuat di belakang mereka, dan malah dianggap sebagai berandalan oleh masyarakat? Untuk menjawabnya, maka kita harus memahami bahwa Punk bukan sebagai sebuah pop-culture, namun sebagai sebuah ideologi dimana mereka percaya bahwa manusia itu terlahir tanpa terikat oleh struktur sosial apapun dan harus terus hidup seperti itu. Punk pada dasarnya merupakan ideologi perlawanan terhadap gaya hidup orang-orang Barat yang dianggap terlalu mengikat. Gerakan perlawanan Punk sudah terjadi semenjak lama dan hingga kini pun tetap demikian, dibuktikan dengan masih setianya mereka terhadap gaya rambut dan gaya berpakaian yang tentunya akan dianggap ‘aneh’ oleh sebagian orang. Karena anak Punk ini selalu merasa bebas dan tidak pernah merasa dikuasai oleh apapun, maka mereka dapat dikatakan sudah lebih ahli dalam meng-exercise kebebasannya. Mereka sudah tahu bahwa kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang tidak mengganggu kebebasan orang lainnya. Dorongan ideologis inilah yang membuat mereka tidak dapat tinggal diam ketika melihat ada sekelompok orang yang menggunakan kebebasannya untuk menginjak-injak kebebasan orang lain, itulah sebabnya mereka pun memutuskan untuk melawan rahib-rahib radikal di Myanmar.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketegangan yang terjadi di Myanmar hari ini merupakan situasi yang umum terjadi di negara yang baru saja merasakan euforia kebebasan. Permasalahan utamanya terletak pada belum adanya kesamaan persepsi mengenai makna kebebasan. Punk adalah salah satu ideologi yang selalu mempercayai kebebasan sejati, bahwa kebebasan yang benar adalah kebebasan yang tidak mengganggu kebebasan orang lain. Oleh sebab itu, anak-anak Punk memang selalu menjadi pionir dalam usaha mempertahankan kebebasan sejati di berbagai negara. Namun begitu, fakta bahwa anak-anak Punk tidak memiliki kekuatan politik yang cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah membuat usaha yang dilakukan anak-anak Punk saja tidak akan cukup. Dukungan dari mayoritas warga Myanmar yang moderat amat diperlukan untuk mengubah situasi di Myanmar.

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Politik Luar Negeri

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi