Richard Devetak: Memahami Postmodernisme


Postmodernisme adalah salah satu teori dalam studi Hubungan Internasional. Dalam komunitas keilmuan sendiri, Postmodernisme masih menjadi kontroviersial. Dalam hal ini, Postmodernisme dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang dipercaya masyarakat pada umumnya. Namun, sampai sekarang perdebatan mengenai apa itu Postmodernisme masih terus terjadi. Belum ada seorangpun yang dapat mengidentifikasikan secara gamblang mengenai apa itu postmodernisme. Oleh sebab itu, Richard Devetak dalam tulisannya yang berjudul Postmodernism ini akan membahas mengenai Postmodernisme secara umum. Kemudian secara khusus, terdapat empat poin yang dijelaskan melalui tulisan ini, yaitu:
  1. Hubungan antara kekuatan (power) dan pengetahuan (knowledge) dalam studi HI
  2. Pendekatan tekstual dalam Postmodernisme
  3. Bagaimana Postmodernisme berurusan dengan negara
  4. Usaha Postmodernisme untuk memikirkan kembali pemahman kita terkait politik

Pada poin pertama, Devetak berusaha menjelaskan mengenai aspek ontologis dari pemikiran Postmodernisme. Untuk menjelaskannya, Devetak menggunakan dua konsep, yaitu kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge). Secara umum, ketika membicarakan knowledge, Devetak menjelaskan bahwa orang-orang akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lugu (innocent) atau bebas nilai (objective). Namun, Postmodernisme menganggap bahwa knowledge merupakan hasil interpretasi terhadap fakta, sehingga knowledge secara alamiah adalah sesuatu yang bersifat subjektif. Namun, dengan suatu power tertentu, interpretasi tersebut diklaim sebagai sesuatu yang bebas nilai. Aktivitas mengklaim interpretasi inilah yang membuat knowledge menjadi apa yang dipercayai masyarakat pada umumnya, yaitu sesuatu yang lugu dan bebas nilai. Aktivitas inilah yang menjadi unit analisa utama dalam Teori Postmodernisme.

Salah satu metode yang digunakan postmodernisme untuk menjelaskan aktivitas power dalam mengklaim interpretasi terhadap fakta dan menciptakan knowledge adalah Genealogi. Dalam hal ini, Genealogi adalah metode yang berfokus pada proses pengkonstruksian knowledge di masa lalu dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kehidupan sosial kita sampai akhirnya menetapkan batasan mengenai pengetahuan yang kita miliki saat ini. Asumsinya dari metode ini adalah, sejarah yang kita ketahui saat ini merupakan hasil dari dominasi atas power yang dilakukan pada masa lalu. Dengan menggunakan metode ini, akan ditemukan lintasan-lintasan sejarah yang mungkin untuk terjadi dari suatu peristiwa dan bagaimana power berusaha menutup lintasan-lintasan tersebut sampai akhirnya hanya tersisa satu.

Pada poin kedua, Devetak berusaha menjelaskan mengenai aspek epistemologis dari Postmodernisme. Dalam hal ini, Devetak menyoroti pendekatan tekstualitas sebagai metode yang paling populer dalam Teori Postmodernisme. Untuk menjelaskan mengenai apa itu metode tekstualitas, Devetak mengutip Derrida yang berpendapat bahwa yang dinamakan ‘teks’ itu sebenarnya bukan hanya literatur ataupun ide yang riil, namun sebenarnya dunia ini pun ‘teks’ yang fenomena-fenomenanya dapat dipahami dan ditelaah lebih lanjut. Pembahasan ini menjadi begitu esensial karena hubungan internasional dapat didekonstruksikan, dipahami, dan dibaca secara ganda (double reading) karena adanya interkontekstualitas dalam hubungan internasional. Interkontekstualitas ini terjadi karena adanya perbedaan interpretasi atas dunia. Dan Derrida berpendapat bahwa menginterpretasikan interpretasi itu lebih penting daripada menginterpretasikan dunia ini

Pembacaan ganda mencoba memahami suatu masalah dengan dua kali interpretasi, yakni bukan hanya dengan melihat bagaimana suatu pemikiran ataupun konstruksi sosial itu dibangun, tetapi juga melihat hal apa saja yang belum selesai dilakukan sebelumnya. Konsepsi Derrida ini kemudian banyak dikenal dan dipakai sebagai rujukan oleh para post-modernis ketika menginterpretasikan sesuatu. Konsep lainnya yang juga banyak digunakan oleh para post-modernis adalah anarchy problematique yang dikemukakan oleh Richard Ashley. Anarchy problematique bertujuan untuk mempertegas pertentangan antara anarki dan kedaulatan secara lebih eksklusif dan lebih mendalam.

Pada poin ketiga, Devetak menjelaskan mengenai bagaimana Postmodernisme memandang negara melalui dua konsep, yaitu: kekerasan dan kedaulatan. Negara merupakan institusi yang berwenang untuk melakukan kekerasan, namun hubungan antara politik dan kekerasan dalam modernitas sangat ambigu. Di satu sisi kekerasan dapat membangun tempat perlindungan komunitas berdaulat dan di sisi lain kekerasan merupakan kondisi dari mana masyarakat komunitas yang harus dilindungi. Paradox ini membuat kekerasan yang bersifat racun dan menyembuhkan. Kekerasan menurut postmodernisme yaitu pengukuhan serta argumentatif. Karya-karya postmodern berusaha untuk menunjukkan bagaimana negara-negara berdaulat, yang demokratis bahkan liberal, membentuk diri mereka sendiri melalui pengecualian dan kekerasan. Berkaitan dengan hal tersebut Postmodernisme lebih fokus kepada pertanyaan seperti bagaimana kedaulatan secara spasial dan temporal diproduksi dan bagaimana kedaulatan itu beredar. Karena yang sangat penting dalam diferensiasi ruang politik ini adalah batas prasasti. Batas juga sangat ambigu karena mereka membentuk perlindungan yang sangat diperlukan untuk melawan pelanggaran dan kekerasan, tetapi mereka juga mempertahankan pembagian dalam melakukannya kekejaman dan kekerasan.

Selain itu, Postmodernisme juga berfokus pada wacana dan praktik yang menggantikan ancaman bagi perbedaan dalam konstitusi identitas politik. Dalam praktinya identitas politik tidak perlu harus dibentuk melawan, dan dengan mengorbankan, orang lain, tapi dalam wacana dan praktik yang berlaku keamanan dan kebijakan luar negeri cenderung untuk mereproduksi alasan ini. Berkaitan dengan hal tersebut Postmodernisme juga tertarik pada bagaimana modus subjektivitas yang berlaku menetralisir atau menyembunyikan kesewenang-wenangan mereka dengan memproyeksikan gambar secara normal, kealamian, atau keharusan. Yang mana Intinya adalah bahwa mode subjektivitas mencapai dominasi dalam ruang dan waktu melalui proyeksi dan pemaksaan kekuasaan. Negara dibuat untuk muncul seolah-olah itu memiliki esensi oleh berlakunya performatif berbagai domestik dan kebijakan luar negeri, atau apa yang mungkin lebih sederhana disebut 'kenegaraan', dengan penekanan pada 'kerajinan'.

Pada poin keempat, Devetak menjelaskan mengenai implikasi utama dari keadaan dunia sebelum didekonstruksikan oleh Postmodernisme. Salah satunya adalah, imajinasi politik kita menjadi semakin miskin dan membatasi pemahaman kita tentang dinamika politik dunia. Di sini Devetak berusaha menjelaskan upaya Postmodernisme untuk mengembangkan bahasa konseptual baru untuk mewakili politik dunia di luar ketentuan negara-sentrisme untuk memikirkan kembali konsep politik. Salah satu konsep yang dikemukakan Devetak untuk membentuk ulang pemikiran mengenai politik adalah Reterritorialization. Konsep ini berhubungan dengan logika totalisasi dari paradigma kedaulatan dan deterritorialization yang berhubungan dengan pemikiran para nomadism dimana mereka hidup secara berpindah-pindah dan memiliki kemampuan untuk melanggar batas-batas Negara serta menghindari penangkapan oleh Negara itu sendiri. Dilihat dari adanya dua perbedaan diatas bahwa yang satu menemukan keinginan untuk memiliki identitas, ketertiban dan kesatuan, dan yang lain memiliki keinginan untuk perbedaan, mengalir, dan berpindah tempat melalui jalur penerbangan.

Postmodernism’s ethical critique of state sovereignty (Postmodernisme kritik etis kedaulatan negara) perlu dipahami dalam kaitannya dengan kritik dekonstruktif totalisasi dan efek deterritorializing dari perjuangan transversal. Dekonstruksi telah dijelaskan sebagai strategi penafsiran dan kritik yang menargetkan konsep teoritis dan lembaga-lembaga sosial yang mencoba totalisasi atau stabilitas keseluruhan. Penting untuk dicatat bahwa kritik postmodern kedaulatan negara berfokus pada kedaulatan. Ada dua jenis etika yang berkembang dari postmodernisme pada hubungan internasional. Yang satu menantang deskripsi ontologis dimana argumen etis tradisional telah tertanam. Dan yang lainnya berfokus pada hubungan antara dasar ontologis dengan argumen etis.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara