Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia

Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Jurnal Global UI


Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan fenomena yang telah berkembang menjadi isu global di era kontemporer. Dianggap sebagai kejahatan luar biasa yang tidak hanya melanggar hukum, namun juga hak asasi manusia, berbagai negara di dunia mulai mengangkat diskursus pemberantasan perdagangan manusia sebagai prioritas utama dalam kebijakannya (Huijsmans, 2011).

Tren ini mulai berkembang setelah terciptanya “Protocol to Supress, Prevent, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children” yang lebih dikenal dengan ‘Protokol Palermo.’ Protokol ini kemudian menjadi instrumen hukum internasional yang mendasari penciptaan hukum pemberantasan perdagangan manusia di tingkat nasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Protokol Palermo dan menciptakan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai bentuk penerimaan mereka terhadap protokol tersebut.

Menghadapi perkembangan diskursus perdagangan manusia di tingkat global, berbagai negara mulai membuat kebijakan-kebijakan yang dirancang khusus untuk memberantas kejahatan luar biasa ini, salah satunya adalah Indonesia. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara untuk memberantas kejahatan perdagangan manusia justru merugikan korban-korban yang seharusnya mereka lindungi. Strategi pemberantasan perdagangan manusia yang dikembangkan oleh berbagai negara di dunia umumnya lebih menitikberatkan pada penangkapan pelaku dibandingkan perlindungan dan penjaminan terhadap hak-hak korban (Davidson, 2006). 

Hal ini sangat terlihat di Indonesia dimana pengadilan terhadap kasus perdagangan manusia kerap berakhir di vonis hukuman terhadap pelaku namun melupakan biaya ganti rugi yang harus dibayarkan pelaku terhadap korban. Bantuan yang diberikan pemerintah terhadap korban hanyalah sebatas bantuan pemulangan ke tempat asal (Ratnaningsih, 2016). Permasalahannya, korban yang dipulangkan dalam kondisi miskin dan traumatik setelah lama dieksploitasi mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini menyebabkan mereka menjadi rentan untuk kembali menjadi korban perdagangan manusia (Parrenas, Hwang, & Lee, 2012).

Kemudian didorong oleh keinginan untuk mencegah berulangnya kejahatan perdagangan manusia, negara, bukannya memperkuat perlindungan dan penjaminan terhadap hak bermigrasi, justru memperketat kebijakan imigrasinya dengan alasan untuk mempersempit ruang gerak pelaku perdagangan manusia (Parrenas, Hwang, & Lee, 2012). 

Di Indonesia, hal ini dilakukan dengan melakukan moratorium terhadap pemberangkatan buruh migrannya ke sejumlah negara di Timur Tengah (Aria, 2016). Kebijakan pengetatan ini terbukti tidak efektif dan justru meningkatkan kerentanan korban terhadap kejahatan perdagangan manusia karena mereka harus lebih bergantung terhadap penyedia jalur ilegal dalam bermigrasi (Feingold, 2005). 

Terkait fenomena ini, Julia Davidson (2006) menjelaskan bahwa diskursus pemberantasan perdagangan manusia telah dibajak oleh negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dalam memperkuat integritas teritori dan keamanan nasionalnya.

Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana proses yang terjadi sehingga kebijakan pemerintah Indonesia dalam rangka memberantas perdagangan manusia lebih menekankan aspek hukum pidana dan pengetatan imigrasi dibandingkan perlindungan dan penjaminan hak korban. Melalui paradigma konstruktivis, tulisan ini berasumsi bahwa lokalisasi norma internasional merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku Indonesia dalam upayanya untuk memberantas kejahatan perdagangan manusia. 

Perilaku Indonesia yang tidak mengedepankan aspek perlindungan manusia dalam upayanya memberantas perdagangan manusia mengindikasikan bahwa norma yang berkembang dan terinternalisasi di Indonesia bukanlah norma yang menekankan keamanan manusia, melainkan keamanan negara. Untuk membuktikannya, penulis akan menggunakan teori lokalisasi norma yang dikemukakan oleh Amitav Acharya (2004) untuk menunjukkan bagaimana norma-norma lokal yang ada di Indonesia mengapropriasi norma pemberantasan perdagangan manusia dan mendorong praktik-praktik sebagaimana dijelaskan di atas.

Kerangka Teori: Lokalisasi Norma

Teori mengenai lokalisasi norma berkembang dari teori Finnemore dan Sikkink mengenai difusi norma internasional. Dalam hal ini, norma didefinisikan sebagai aturan tunggal yang disepakati bersama untuk mengendalikan perilaku suatu entitas. Pada tingkat internasional, norma akan mengendalikan dan mendikte hal-hal yang pantas dilakukan oleh aktor internasional. 

Menurut, Finnemore dan Sikkink (1998), Norma internasional berkembang dari norma domestik yang bertransformasi menjadi norma internasional berkat dipromosikan suatu aktor. Norma yang telah dipromosikan di tingkat internasional kemudian akan turun kembali ke tingkat domestik, menembus filter negara yang diciptakan oleh norma-norma domestik, dan kemudian menggantikan norma domestik. Serangkaian proses inilah yang dimaksud dengan difusi norma internasional.

Secara spesifik, Finnemore dan Sikkink (1998) berargumen bahwa difusi norma internasional berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah kemunculan norma (norm emergence). Hal ini terjadi berkat sinergi dari dua elemen, yaitu enterprenir norma (norm entrepreneur) dan organisasi. Enterprenir norma menciptakan dan mempromosikan norma melalui organisasi yang ia bentuk. Secara persuasif, enterprenir norma berusaha meyakinkan masyarakat untuk menerima norma yang ia promosikan. 

Ketika jumlah masyarakat yang teryakinkan sudah mencapai titik kritis (critical mass), maka norma tersebut akan mencapai sebuah titik puncak (tipping point). Menurut Finnemore dan Sikkink, titik puncak dari sebuah norma akan dicapai ketika norma tersebut diterima oleh setidaknya sepertiga dari jumlah negara yang ada di dalam sistem internasional. Selain itu, dibutuhkan juga penerimaan dari negara penting yang diartikan sebagai negara yang harus ada agar tujuan dari pembentukan norma tersebut dapat dicapai.

Setelah mencapai titik puncak, tahap kedua dari siklus norma pun dimulai, yaitu norm cascade. Pada tahap ini, norma yang berada di titik puncak tersebut mengalami penyebaran (cascading), ditandai dengan meningkatnya negara-negara yang menerima norma tersebut. Pada fase ini, akan tercipta dinamika baru dimana negara-negara di dunia mulai menciptakan kebijakan-kebijakan untuk mengadopsi norma baru tersebut secara agresif tanpa mendapat tekanan domestik. 

Proses cascading dalam norma ini terjadi melalui sosialisasi internasional, seperti hubungan diplomatik, perjanjian internasional, atau kampanye. Penerimaan negara terhadap suatu norma akan didorong motivasi masing-masing negara yang dipengaruhi oleh bagaimana negara tersebut memandang identitasnya dalam komunitas internasional. Selain itu, penerimaan norma yang sudah mencapai titik puncak memungkinkan terjadi tekanan dari negara-negara tetangga yang sudah menerima norma tersebut terlebih dahulu (Finnemore & Sikkink, 1998).

Tahap ketiga terjadi ketika suatu norma sudah diterima dengan sangat luas (titik ekstrim dari cascading) dan terinternalisasi menjadi sesuatu yang diterima begitu saja (taken for granted). Publik tidak akan lagi mendebatkan mengenai kebenaran suatu norma. Inilah tahap terakhir dari siklus norma, yaitu internalisasi norma. 

Pada tahap ini, sebuah norma menjadi sangat kuat karena standar perilaku yang diatur norma tersebut tidak lagi dipertanyakan. Akibatnya, norma tersebut menjadi tidak terlihat dan diabaikan oleh akademisi. Dapat dikatakan bahwa norma tersebut telah menjadi sebuah kebenaran absolut. Ketika norma sudah terinternalisasi, akan terbentuk berbagai institusi yang ditujukan untuk melanggengkan kebenaran dari norma tersebut (Finnemore & Sikkink, 1998). Secara ringkas, tahapan difusi norma internasional yang dimaksud oleh Finnemore dan Sikkink dapat dilihat pada bagan ilustrasi di bawah.

Bagan 1. Difusi Norma Internasional menurut Finnemore dan Sikkink (1998) 
Akan tetapi, teori Finnemore dan Sikkinik mengenai difusi norma internasional telah banyak mendapat kritik karena dianggap kurang dalam memperhatikan dinamika yang dapat terjadi ketika suatu norma internasional terinternalisasi di tingkat domestik. Sikkink sendiri, dalam karyanya bersama Margaret Keck (1998), telah menjelaskan bagaimana struktur politik domestik dapat mempengaruhi kepatuhan negara terhadap norma yang dipromosikan oleh aktivis transnasional. 

Ide ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Cortell dan Davis (2000) yang menjelaskan secara komprehensif mengenai saliensi domestik (domestic salience) dari norma internasional. Menurut mereka, tidak semua norma internasional dapat diterima begitu saja dalam arena domestik. Situasi ini akan sangat kentara, khususnya ketika banyak norma-norma lokal yang bersaing dengan norma internasional dalam diskursus setempat. Sebagai akibatnya, norma internasional akan memiliki tingkat saliensi (penetrasi) yang berbeda di tiap ranah domestik (locale). 

Teori Cortell dan Davis mengenai saliensi norma ini menjelaskan banyaknya kasus dimana norma internasional gagal terinternalisasi di tingkat domestik.[1] Amitav Acharya (2004) kemudian melanjutkan teori ini dengan berpostulasi bahwa norma internasional bukan saja dapat ditolak ketika memasuki arena domestik, namun juga dapat diapropriasi oleh kepentingan-kepentingan lokal.

Secara umum, literatur mengenai difusi norma internasional terbagi menjadi dua perspektif. Perspektif pertama, yang dimotori oleh Finnemore dan Sikkink, menekankan pada sifat universal dari norma-norma yang dianggap memiliki kualitas ‘kosmopolitan.’ Perspektif ini meyakini norma internasional sebagai sesuatu yang secara inheren baik sehingga harus disebarluaskan sejauh mungkin agar setiap orang menerimanya. 

Pandangan ini akhirnya menimbulkan tendensi untuk memperlakukan norma internasional sebagai sebuah resep yang harus diadopsi oleh negara-negara di dunia demi mencapai ‘kemajuan.’ Sebagai akibatnya, agensi dari aktor-aktor lokal yang akan menerima norma-norma ini menjadi terabaikan karena mereka dianggap seharusnya mau menerima kemajuan ini (Acharya, 2004).

Perspektif kedua terkait difusi norma internasional kemudian berusaha menentang anggapan-anggapan seperti dikemukakan di atas. Dalam hal ini, mereka meyakini bahwa aktor-aktor lokal memiliki peran yang juga signifikan untuk mempengaruhi difusi norma internasional. Perspektif inilah yang digunakan oleh Acharya ketika menjelaskan teorinya mengenai lokalisasi norma internasional. 

Menurut Acharya (2004), ketika sebuah norma internasional mengalami cascading dan masuk ke tingkat domestik, akan terjadi sebuah proses yang disebut dengan lokalisasi. Lokalisasi ia definisikan sebagai proses pendefinisian ulang dari norma internasional dengan cara menanamkan karakteristik-karakteristik lokal ke dalam norma tersebut. Akan tetapi, Acharya menekankan bahwa lokalisasi tidak dapat disamakan dengan adaptasi. 

Meskipun kedua konsep sama-sama mengacu pada proses untuk menyesuaikan diri pada perubahan, lokalisasi memiliki keunikan karena inisiatif untuk melakukannya berada sepenuhnya di tangan aktor lokal. Adaptasi umumnya melibatkan proses bolak-balik (back and forth) untuk menemukan jalan tengah di antara norma lokal dan internasional guna menyeleksi aspek yang dapat diterima dan dibuang. 

Sementara itu, lokalisasi merupakan tindakan secara sadar dari aktor lokal untuk mengapropriasi norma internasional dan menghadirkannya dengan cara-cara yang tetap mempertahankan norma-norma lokal. Kemudian, apabila adaptasi dilakukan untuk mematuhi norma internasional, lokalisasi dilakukan secara khusus untuk memenuhi kepentingan-kepentingan lokal. Hasil akhir dari lokalisasi adalah praktik-praktik yang sepintas terlihat mematuhi norma internasional, namun mempertahankan norma-norma lokal yang telah ada sebelumnya.

Secara teoritis, Acharya (2004) menjelaskan bahwa lokalisasi dapat terjadi karena tiga faktor: 
  1. Norma domestik yang sudah ada, dan terancam digantikan oleh norma internasional, memiliki tingkat keunikan dan kekuatan penerimaan yang lebih kuat; 
  2. Elit di tingkat domestik merasa bahwa norma internasional dapat dimodifikasi untuk memperkuat legitimasi terhadap praktek-praktek di tingkat domestik yang berdasarkan pada norma domestik yang sudah ada; 
  3. Adanya kehadiran aktor domestik yang memiliki pengaruh diskursif lebih kuat dibandingkan enterprenir norma internasional dari luar negara tersebut 
Dengan mengacu pada teori lokalisasi norma, makalah ini akan menjelaskan bagaimana norma-norma lokal yang ada di Indonesia mengapropriasi norma pemberantasan manusia dan menghasilkan praktik-praktik yang lebih mementingkan keamanan negara ketimbang keamanan manusia. Oleh karena itu, bagian selanjutnya dari makalah ini akan menjelaskan kemunculan norma pemberantasan perdagangan manusia dan proses sosialisasinya hingga mencapai Indonesia. Kemudian, makalah ini akan menjelaskan bagaimana norma-norma lokal, khususnya budaya patriarki, mengapropriasi norma pemberantasan perdagangan manusia. 

Permasalahan terkait Upaya Pemberantasan Perdagangan Manusia di Indonesia

Isu perdagangan manusia sesungguhnya telah mengemuka sejak lama dan disebutkan dalam berbagai perjanjian internasional. Akan tetapi, belum ada kerangka tindakan konkret yang dipromosikan aktor manapun untuk menghadapi isu ini sampai tahun 2000. 

Definisi yang disepakati mengenai kejahatan perdagangan manusia baru muncul pertama kalinya pada Desember 2000 dalam Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, yang lebih dikenal dengan sebutan Protokol Palermo (UNESCO, 1999). Dalam hal ini, Protokol Palermo mendefinisikan perdagangan manusia sebagai:

The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation." 
-Pasal 3 huruf (a) Protokol Palermo 

Tujuan utama yang ingin dicapai PBB dari pendefinisian kejahatan perdagangan manusia adalah untuk mencegah dan memberantas perdagangan manusia (khususnya perempuan dan anak-anak) serta melindungi para korban dengan memberikan perhatian penuh pada hak asasi manusia mereka. Protokol tersebut kemudian menjelaskan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada korban perdagangan manusia, mulai dari pemulangan, pemberian kesempatan untuk mengemukakan pandangan mereka terhadap situasi yang mereka alami, dan pemulihan kondisi fisik maupun mental mereka (Pasal 6,7 & 8 Protokol Palermo). Penekanan terhadap keselamatan dan pemulihan korban secara langsung mengafirmasi keberpihakkan PBB terhadap nilai-nilai keamanan manusia.

Di Indonesia, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) dapat dikatakan sebagai representasi penuh dari norma pemberantasan perdagangan manusia yang disosialisasikan melalui Protokol Palermo. UU PTPPO dapat dikatakan melengkapi Pasal 297 KUHP tentang larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa serta UU No. 23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak dengan cara memberikan definisi yang tegas terhadap kejahatan perdagangan manusia sekaligus memberikan hukuman yang lebih berat dibandingkan kedua instrumen hukum yang sudah ada. 

Selain itu, UU PTPPO juga memberikan perhatian terhadap perlindungan saksi dan korban, mengatur kewajiban pemerintah untuk melakukan rehabilitasi, dan kewajiban terdakwa untuk membayar restitusi. Bahkan, UU PTPPO juga mengatur tindakan pencegahan melalui pembentukan GT-PPTPPO yang beranggotakan segala elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, lembaga masyarakat, sampai dengan penegak hukum. Kesesuaian UU PTPPO dengan Protokol Palermo menunjukkan keberhasilan dalam sosialisasi norma pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia.

Secara normatif, UU PTPPO memang telah merepresentasikan dengan baik anjuran Protokol Palermo untuk mengutamakan perlindungan dan pemulihan bagi korban perdagangan manusia. Namun pada praktiknya, pelaksanaan UU PTPPO di tingkat lokal menunjukkan perbedaan dan bahkan penolakan terhadap norma pemberantasan perdagangan manusia yang disosialisasikan oleh Protokol Palermo. 

Di berbagai daerah di Indonesia, banyak hakim dan jaksa yang menolak menggunakan UU PTPPO untuk mengadili pelaku kejahatan perdagangan manusia. Kalaupun ada yang menggunakan, hukuman yang diberikan cenderung tidak sesuai dengan yang diatur oleh UU PTPPO. Hal ini disebabkan adanya perspektif di kalangan penegak hukum pada tingkat lokal Indonesia yang menganggap bahwa kejahatan perdagangan manusia tidak ada ubahnya dengan kejahatan pemerkosaan (Asmarani, 2016). Inilah sebabnya mereka lebih banyak menggunakan KUHP dibandingkan UU PTPPO untuk memberantas perdagangan manusia.

Keberadaan perspektif ini juga menyebabkan UU PTPPO hanya efektif diberlakukan pada kejahatan perdagangan manusia dimana korban merupakan perempuan. Sebagai akibatnya, kejahatan perdagangan manusia yang melibatkan korban laki-laki cenderung hanya diberlakukan pasal UU Hubungan Industrial. Dalam beberapa kasus, sejumlah laki-laki yang menjadi korban perdagangan manusia juga ditolak di pusat-pusat rehabilitasi korban (Hidayati, 2012). 

Dengan demikian, upaya pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia pada tingkat lokal telah mengalami reduksi, sehingga hanya menjadi upaya pemberantasan terhadap kejahatan pemerkosaan yang korbannya terbatas pada perempuan. Hal ini sangat bertentangan dengan norma pemberantasan perdagangan manusia di tingkat internasional yang bersifat universal atau berlaku pada siapapun.

Selain mengalami reduksi dari segi pemahaman, upaya pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia juga mengalami reduksi dari segi penyelesaian. Sebagaimana dijelaskan oleh Protokol Palermo dan UU PTPPO, pemberantasan kejahatan perdagangan manusia seharusnya meliputi tiga aspek: (1) penghukuman terhadap pelaku; (2) perlindungan korban; dan (3) pencegahan kejahatan. 

Akan tetapi, aspek kedua dan ketiga sering kali luput dari upaya pemberantasan perdagangan manusia yang terjadi di Indonesia. Korban yang telah diidentifikasi polisi sering tidak mendapatkan rehabilitasi (Hidayati, 2012). Dalam beberapa kasus, polisi yang bertugas justru mempertanyakan keabsahan mereka sebagai korban karena menganggap adanya persetujuan (consent) dari korban terhadap perlakuan yang mereka terima. Hal ini sangat sering terjadi pada korban yang diperbudak dalam industri seks komersil (Ratnaningsih, 2016).

Selain itu, korban yang berhasil membawa kasusnya ke pengadilan umumnya tidak mendapatkan biaya restitusi sebagaimana diamanatkan UU PTPPO karena penegak hukum yang bertugas tidak memberitahukan korban mengenai mekanisme tersebut. Kalaupun ada yang mendapatkan restitusi, majelis hakim masih memberikan subsider berupa hukuman penjara sebagai ganti biaya restitusi tersebut (Ratnaningsih, 2016). 

Pada akhirnya, upaya pemberantasan perdagangan manusia yang terjadi di Indonesia hanya berhenti sebatas menangkap dan menghukum pelaku kejahatan kemudian melupakan perlindungan korban. Hal ini berarti bahwa pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia masih terfokus pada penegakan hukum pidana dan minim dalam hal penegakkan HAM korban.

Budaya Patriarki dan Lokalisasi Norma Pemberantasan Perdagangan Manusia

Berbagai permasalahan yang disebutkan di atas dapat dijelaskan sebagai gejala dari lokalisasi terhadap norma pemberantasan perdagangan manusia di tingkat lokal. Secara keseluruhan, makalah ini mengamati adanya kecenderungan untuk melekatkan gender perempuan terhadap korban perdagangan manusia. Lebih lanjut lagi, kejahatan perdagangan manusia terlihat diletakkan pada ruang domestik sebagai sesuatu yang tabu dimana korban dianggap sama bersalahnya dengan pelaku. 

Situasi ini, selain membuat korban tidak berani melapor atas kejahatan yang dialaminya, juga membuat hak-hak korban cenderung diabaikan di atas kepentingan menegakkan hukum pidana. Seluruh poin ini mengindikasikan bahwa upaya pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia telah diapropriasi oleh norma-norma patriarkis.

Secara umum, Indonesia adalah negara yang masih menganut budaya patriarki dan memiliki norma yang menormalisasi pemerkosaan sebagai hubungan seks semata (Asmarani, 2016). Budaya ini mengakar begitu kuat di berbagai daerah di Indonesia dan bertanggung jawab atas kurangnya akses bagi perempuan ke pendidikan dan lapangan pekerjaan. Lebih parahnya lagi, budaya ini memberikan beban ganda pada perempuan dengan mengharuskannya untuk berperan sekaligus dalam sektor domestik dan publik tanpa memberikan apresiasi yang setimpal (Sakina & Siti, 2007). 

Hal ini dilakukan agar perempuan tetap menjadi gender yang lebih inferior dibandingkan laki-laki. Dalam kaitannya dengan norma pemberantasan perdagangan manusia, budaya patriarki memiliki alasan untuk merasa terancam karena norma ini dapat mengikis keberadaannya dengan mengangkat derajat perempuan.

Secara prinsipil, norma pemberantasan perdagangan manusia mengafirmasi ide bahwa tidak ada manusia yang dapat direduksi untuk menjadi komoditas perdagangan. Namun dalam sejarahnya, manusia yang paling sering diperdagangkan adalah perempuan dan anak-anak (Hidayati, 2012). Hal ini bahkan ditegaskan oleh Protokol Palermo yang secara spesifik menyebut ‘perempuan dan anak-anak’ dalam judul dokumennya. 

Perempuan dan anak-anak cenderung lebih sering diperdagangkan karena posisinya yang tersubordinasi di dalam masyarakat. Di Kalimantan Barat, sebagai contoh, orangtua lebih rela membiarkan anak perempuannya dijual sebagai pengantin untuk orang Taiwan, karena anak laki-laki dianggap masih mampu menghidupi keluarga dengan bekerja secara ‘normal’. Dalam kasus ini, anak perempuan dianggap tidak dapat menghasilkan nilai lebih bagi keluarga selain dengan dijual ke negara lain (Sikwan, 2006). 

Dengan kata lain, subordinasi terhadap perempuan yang dimungkinkan oleh budaya patriarki merupakan salah satu pendorong utama di balik maraknya kejahatan perdagangan manusia. Tanpa adanya kelompok masyarakat yang tersubordinasi, maka tidak akan ada yang dapat diperdagangkan (Hrženjak, 2009). Hal ini menunjukkan bagaimana budaya patriarki menjamin keberadaan suplai atas orang-orang yang dapat diperdagangkan.

Selain itu, norma pemberantasan perdagangan manusia juga mengafirmasi ide bahwa perempuan dapat memiliki akses lebih terhadap sumber daya materiil dengan cara bekerja di manapun. Perlindungan dan ganti rugi terhadap korban perdagangan orang yang disertakan dalam norma pemberantasan perdagangan manusia secara tidak langsung telah mengakui bahwa perempuan sama sekali tidak bersalah karena ingin bekerja, termasuk ke luar negeri sekalipun. Negara bahkan diminta untuk secara aktif memastikan agar perempuan dapat menikmati haknya untuk bekerja (Hidayati, 2012). 

Jika norma semacam ini terinternalisasi, maka dapat terjadi perubahan terhadap relasi kuasa di masyarakat dimana perempuan dapat terbebas dari kemiskinan dan memiliki daya tawar yang tinggi. Hal ini otomatis berlawanan dengan budaya patriarki yang mensyaratkan adanya upaya pemiskinan struktural bagi perempuan agar posisinya senantiasa lebih lemah dibandingkan laki-laki (Rice, 2001). 

Oleh karenanya, memberantas kejahatan perdagangan manusia akan sama artinya dengan meruntuhkan budaya patriarki. Di sinilah kita dapat melihat bagaimana budaya patriarki merasa terancam oleh keberadaan norma pemberantasan perdagangan manusia sehingga memiliki kepentingan untuk melokalisasinya.

Lokalisasi terhadap norma pemberantasan perdagangan manusia dapat dilihat pada bagaimana kejahatan ini kerap disamakan dengan kejahatan pemerkosaan. Hal ini dilakukan dengan menyebarkan diskursus bahwa korban perdagangan manusia sesungguhnya juga bersalah karena mengundang pelaku untuk memperdagangkan mereka. Hal ini umum dilakukan dalam konteks pengadilan dan penelitian akademis yang cenderung lebih menonjolkan latar belakang dan motivasi korban dibandingkan pelakunya sendiri (Asmarani, 2016). 

Sebagai contoh, dalam salah satu Putusan Pengadilan, korban digambarkan sebagai sosok yang materialistis dan hanya menginginkan uang cepat sehingga mudah tergoda oleh pelaku kejahatan perdagangan manusia. Dalam kasus korban yang diperdagangkan sebagai buruh migran, banyak media yang seolah-olah menyalahkan keputusan korban untuk meninggalkan keluarganya demi mendapatkan uang. Berbagai eksploitasi yang mereka alami pun seolah menjadi konsekuensi logis dari perbuatan mereka. Hal ini menyebabkan masyarakat bahkan hakim sekalipun kesulitan untuk bersimpati pada mereka. 

Pada akhirnya, norma pemberantasan perdagangan manusia mengalami redefinisi dan tereduksi menjadi sekedar komplementer bagi rape culture yang sudah tertanam dalam masyarakat Indonesia (Asmarani, 2016). Lokalisasi norma inilah yang menyebabkan upaya pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia menjadi berhenti di penegakan pidana namun melupakan penegakan HAM. 

Upaya pemberantasan perdagangan manusia yang hanya berfokus pada penegakkan pidana pada akhirnya akan menguntungkan negara dengan mengangkat derajatnya sebagai sosok heroik. Dalam hal ini, aksi-aksi penyelamatan korban yang dilakukan oleh negara menjadi dapat dibingkai sebagai capaian besar dari negara dimana mereka tidak hanya menyelamatkan nyawa orang, namun juga membongkar sindikat perdagangan manusia internasional. 

Hal ini dapat dilihat dalam pemberitaan Kompas (2015) yang bertajuk “Kronologi Penyelamatan 39 WNI Korban Perdagangan Manusia di Arab Saudi;

Setelah dengan berbagai cara yang penuh risiko selama empat hari, KBRI berhasil mengeluarkan TAT (inisial korban) dari penampungan tersebut dan mengumpulkan bukti-bukti awal. Mereka juga meyakinkan Badan Investigasi dan Penuntutan Umum (BIPU) untuk melakukan penggeledahan rumah warga negara Arab Saudi atas nama Basma Al-Ghanif pada 10 Oktober.” 

Narasi penyelamatan korban yang tak berdaya (damsel in distress) seperti di atas merupakan salah satu elemen utama dari budaya patriarki. Dalam hal ini, sang penyelamat diproyeksikan sebagai sosok yang kuat dengan gender laki-laki sementara korban diproyeksikan sebagai sosok yang lemah dengan gender perempuan. Narasi ini banyak muncul dalam cerita-cerita klasik sebagai bagian akhir dimana setelahnya korban dapat ‘hidup dengan bahagia selamanya’ (Sarkeesian, 2013). 

Akan tetapi, penggunaan narasi semacam ini dalam memberitakan upaya pemberantasan perdagangan manusia sama saja mengabaikan fakta bahwa korban yang diselamatkan tetap tidak memiliki tempat tinggal (apabila ia dijual oleh keluarganya sendiri), tidak memiliki pekerjaan tetap, dan kemungkinan besar akan diasingkan oleh masyarakat asalnya (Kotz, 2017). 

Narasi ini menutupi fakta bahwa korban yang dipulangkan tidak mendapatkan keadilan maupun rehabilitasi yang memadai. Publik tidak mengetahui bagaimana korban hanya dipulangkan begitu saja ke daerah asalnya tanpa mendapatkan bantuan untuk memulihkan kondisi psikologis dan ekonomi mereka (Wahyuningsih, 2007). 

Pelaku-pelaku kejahatan perdagangan manusia yang menyamar sebagai calo TKI di daerah-daerah pun tidak pernah ditangani. Dalam kasus di NTT, jaringan calo TKI bahkan dicurigai memiliki keterkaitan dengan polisi setempat (Li, 2014). 

Permasalahan utama dari narasi seperti di atas adalah membuat publik berasumsi bahwa kasus perdagangan manusia akan selesai begitu negara menangkap pelakunya dan mengabaikan fakta bahwa masih ada tanggungan besar yang dimiliki oleh negara setelah korban diselamatkan.

Permasalahan selanjutnya dari narasi damsel in distress dalam upaya pemberantasan perdagangan manusia adalah menjadikan negara sebagai tokoh sentral (pahlawan) sementara korban direduksi sebatas alat naratif untuk menunjukkan betapa hebat sang pahlawan dalam cerita ini. Dalam hal ini, korban ditempatkan sebagai sosok yang dungu, perlu dikasihani, dan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa diselamatkan oleh negara. 

Hal ini dapat dilihat pada pemberitaan Kompas (2015) bertajuk “Kisah Elikah, TKW yang Jadi Korban Perdagangan Manusia;”

Elikah menuruti perintah wanita tersebut dan masuk ke dalam mobil. Mobil yang ditumpanginya bergerak meninggalkan bandara. Akan tetapi, bukan menuju ke kampung halaman. Ibu satu anak itu dipertemukan dengan seseorang yang mengaku agen tenaga kerja berinisial As di Cianjur. Tanpa sepengetahuan Elikah, As membawanya ke penampungan tenaga kerja di Cipayung, Jakart Timur, yaitu PT Bhayangkara.” 

Bila dibandingkan dengan pemberitaan Kompas sebelumnya, kita dapat melihat bahwa ketika aparat negara menyelamatkan korban perdagangan manusia, mereka akan disorot layaknya protagonis yang merintangi bahaya demi menyelamatkan korban yang tak berdaya (Movanita, 2015). Sementara ketika korban perdagangan manusia yang mendapat sorotan berita, mereka cenderung digambarkan sebagai orang yang dungu dan mudah ditipu karena iming-iming uang atau pekerjaan. Media kemudian akan menyorot kondisi ekonomi dan pendidikan korban yang rendah untuk memberi pemakluman terhadap ‘kedunguan’ mereka (Kuwado, 2015). 

Pada akhirnya, keberadaan narasi semacam ini menjadikan upaya pemberantasan perdagangan manusia sama sekali tidak menyentuh persoalan struktural yang memungkinkan kejahatan ini terus berlangsung. Subordinasi dan pemiskinan struktural yang memungkinkan atau memaksa perempuan untuk masuk dalam kondisi eksploitatif menjadi tidak terpikirkan lagi. Publik dibuat berasumsi bahwa kejahatan perdagangan manusia terjadi semata-mata karena ada sejumlah perempuan dungu yang ingin mencari kerja lewat ‘jalur ilegal’ (Kotz, 2017).

Dalam situasi dimana negara dianggap sebagai pahlawan dan korban perdagangan manusia dianggap sebagai ‘pencari masalah’ yang perlu diselamatkan, pola-pola victim blaming menjadi dapat berlangsung. Sebagai contoh, masyarakat menganggap bahwa buruh migran Indonesia yang menjadi korban perdagangan di luar negeri terkena ‘batunya’ akibat menggunakan pakaian yang ‘menggoda’ majikannya atau karena mereka tidak memahami budaya di Arab (Soemitro, 2010). 

Ide semacam ini tersebar begitu luas di masyarakat dan mengeksklusikan ide bahwa pemerintah telah lalai dalam menyediakan cukup perlindungan bagi warga negara yang bekerja di luar negeri. Berhubung korban perdagangan manusia telah ditetapkan sebagai penyebab utama dari kondisi mereka, negara menjadi memiliki justifikasi untuk membatasi kebebasan gerak mereka. Hal ini dilakukan melalui kebijakan moratorium yang melarang warga Indonesia untuk bekerja di negara-negara tertentu, seperti negara-negara Arab (Aria, 2016). 

Lagi-lagi, kebijakan ini dibuat dengan mengabaikan fakta bahwa korban-korban yang telah diselamatkan tetap tidak memiliki pekerjaan tetap dan kesulitan untuk mencari pekerjaan di tempat asalnya. Kondisi semacam ini umumnya akan mendorong korban untuk kembali bekerja di tempat dimana ia sebelumnya dieksploitasi karena tidak memiliki pilihan lain. 

Namun karena pemerintah telah menutup jalur legal, mereka terpaksa harus bergantung pada jasa calo atau penyedia jalur ilegal lainnya yang justru meningkatkan kerentanan mereka terhadap kejahatan perdagangan manusia (Parrenas, Hwang, & Lee, 2012).

Kesimpulan

Difusi norma pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia menunjukkan bahwa prinsip keamanan manusia telah absen dari siklus hidup norma tersebut. Sebagai instrumen hukum internasional yang mensosialisasikan norma pemberantasan perdagangan manusia, Protokol Palermo sangat menekankan pentingnya perlindungan dan pengangkatan harkat korban dalam upaya pemberantasan kejahatan luar biasa ini. 

Namun ketika norma ini mencapai tingkat domestik, terjadi lokalisasi yang mereduksi nilai-nilai dalam norma tersebut dan menjadikannya sebagai penguat dari keberlangsungan budaya patriarki. Upaya pemberantasan perdagangan manusia pada akhirnya tereduksi menjadi upaya penangkapan pelaku agar negara terlihat heroik sementara korban dipersalahkan dan dicabut kebebasannya untuk bekerja di tempat yang mereka inginkan.

Satu hal yang paling mengejutkan adalah tidak ada satu pun diskursus yang sanggup mempertanyakan konstruksi yang telah dibangun atas norma yang mendikte upaya pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia. Diskusi-diskusi terkait persoalan ini cenderung minim, berakhir di obrolan gosip warung kopi dan tidak pernah mengemuka. Masyarakat lebih memilih untuk percaya bahwa seseorang menjadi korban perdagangan manusia karena kesalahannya sendiri, ketimbang karena negara telah lalai menuntaskan kewajibannya. 

Andari (2012) menjelaskan bahwa pola viktimisasi terhadap korban perdagangan manusia telah berlangsung secara struktural melalui relasi kuasa di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat patriarkis semacam ini, penjelasan bahwa seseorang menjadi korban perdagangan manusia karena ‘kena batunya’ menjadi jauh lebih logis dibandingkan penjelasan-penjelasan yang lain. 

Hal ini mengindikasikan bahwa norma pemberantasan perdagangan manusia yang dilokalisasi dengan nilai-nilai patriarki telah menjadi kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Tidak hanya itu, subordinasi terhadap perempuan oleh budaya patriarki juga dapat dipertahankan. 

Inilah akhir dari siklus hidup norma pemberantasan perdagangan manusia di Indonesia, dari norma yang mengatur penegakkan HAM terhadap korban menjadi norma yang melegitimasi kekuasaan negara untuk merestriksi kebebasan warganya sendiri. 

Daftar Pustaka


Traffic in Women and Girls. (1994, December 23). Diambil dari United Nations: http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=A/RES/49/166
UNESCO and the Coalition against Trafficking in Women, The Penn State Report: Report of an International Meeting of Experts on Sexual Exploitation, Violence and Prostitution. (1999, April). Diambil dari UNESCO: http://unesdoc.unesco.org/mwg-internal/de5fs23hu73ds/ progress?id=G8jAbvj9lc
2001 Trafficking in Persons Report. (2001, July). Diambil dari US Department of State: http://www.state.gov/j/tip/rls/tiprpt/2001/3930.htm
Aktivis: Politik Pengaruhi Laporan Perdagangan Manusia Deplu AS. (2016, June 30). Diambil dari VOA Indonesia: http://www.voaindonesia.com/a/politik-terlibat-dalam-laporan-perdagangan-manusia-/3398866.html
Press Release: Perangi Perdagangan Manusia dengan Komitmen dan Hati. (2016, August 31). Diambil dari KPPPA: http://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/1240/press-release-perangi-perdagangan-orang-dengan-komitmen-dan-hati
Acharya, A. (2004). How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm Localization and Institutional Change in Asian Regionalism. International Organization Vol. 58 No. 2, 239-251.
Andari, A. J. (2012). Analisis Viktimisasi Stuktural terhadap Tiga Korban Perdagangan Perempuan dan Anak perempuan. Depok: Universitas Indonesia.
Aria, P. (2016, May 25). Indonesia Lanjutkan Moratorium Pengiriman PRT ke Arab. Diambil dari Tempo.co: https://m.tempo.co/read/news/2016/05/25/090773961/indonesia-lanjutkan-moratorium-pengiriman-prt-ke-arab
Asmarani, D. (2016, May 27). Ending Rape Culture in Indonesia. Diambil dari Magdalene: http://magdalene.co/news-815-ending-rape-culture-in-indonesia.html,
Cortell, A. P., & Davis, J. (2000). Understanding the Domestic Impact of International Norms: A Research Agenda. International Studies Review, Vol. 2 No. 1, 65-87.
Davidson, J. O. (2006). Will the Real Sex Slave Please Stand Up? Feminist Review No. 83, Sexual Moralities, 16-34.
Feingold, D. A. (2005). Human Trafficking. Foreign Policy No. 150, 26-30.
Finnemore, M., & Sikkink, K. (1998). International Norm Dynamics and Political Change. International Organization Vol. 52 No. 4, 887-917.
Heinrich, K. H. (2010). Ten Years After the Palermo Protocol: Where are Protection for Human Trafficking Victims? Human Rights Brief Vol. 18 No. 1, 1-9.
Hidayati, M. N. (2012). Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial Vol. 1 No. 3, 166-193.
Hrženjak, M. (2009). Female Sex Trafficking in Asia. The Resilience of Patriarchy in a Changing World. Development in Practice 19: 6, 818-819.
Huijsmans, R. (2011). The Theatre of Human Trafficking: A Global Discourse on Lao Stages. The International Journal of Social Quality Vol. 1 No. 2, 2-20.
Keck, M. E., & Sikkink, K. (1998). Activists beyond Borders: Advocacy Network in International Politics. Ithaca and London: Cornell University Press.
Kotz, R. (2017, September 19). Why Men Who Oppose Trafficking Must Fight Patriarchy. Retrieved Mei 29, 2018, from CBE International: https://www.cbeinternational.org/blogs/why-men-who-oppose-trafficking-must-fight-patriarchy
Kuwado, F. J. (2015, September 15). Kisah Elikah, TKW yang Jadi Korban Perdagangan Manusia. Retrieved November 29, 2017, from Kompas: http://nasional.kompas.com/read/2015/09/15/08032881/Kisah.Elikah.TKW.yang.Jadi.Korban.Perdagangan.Manusia
Li, D. E. (2014, August 27). Pejabat Kepolisian dalam Rantai Perdagangan Manusia. Diambil dari Indoprogress: m.news.viva.co.id/news/read/681195
Lismartini, E., & Georgina, R. R. (2015, October 1). Kemlu Pulangkan 35 WNI Korban Perdagangan Manusia. Diambil dari Viva News: m.news.viva.co.id/news/read/681195
Movanita, A. N. (2015, Oktober 25). Kronologi Penyelamatan 39 WNI Korban Perdagangan Manusia di Arab Saudi. Retrieved November 29, 2017, from Kompas: http://nasional.kompas.com/read/2015/10/25/21245441/Kronologi.Penyelamatan.39.WNI.Korban.Perdagangan.Manusia.di.Arab.Saudi
Parrenas, R. S., Hwang, M. C., & Lee, H. R. (2012). What is Human Trafficking? A Review Essay. Signs Vol. 37 No. 4, Sex: A Thematic Issue, 1011-1037.
Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime. (n.d.). Diambil dari UNHCR: http://www.ohchr.org/EN/ ProfessionalInterest/Pages/ProtocolTraffickingInPersons.aspx
Ratnaningsih, E. (2016). Pemenuhan Rehabilitasi dan Restitusi bagi Korban Perdagangan Orang. Diambil dari Universitas Bina Nusantara: http://business-law.binus.ac.id/2016/08/31/pemenuhan-rehabilitasi-dan-restitusi-bagi-korban-perdagangan-orang/
Rice, J. K. (2001). Poverty, Welfare, and Patriarchy: How Macro‐Level Changes in Social Policy Can Help Low‐Income Women. Journal of Social Issues Vol. 57 No. 2, 355-374.
Sakina, A. I., & Siti, D. H. (2007). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Share Social Work Vol. 7 No. 1, 1-29.
Sarkeesian, A. (2013, Maret 7). Damsel in Distress (Part 1) Tropes vs Women. Retrieved Mei 29, 2018, from Feminist Frequency: https://feministfrequency.com/video/damsel-in-distress-part-1/
Sikwan, A. (2006). Perdagangan Perempuan Antarnegara: Perdagangan Amoi di Singkawang, Kalimantan Barat. Populasi 17 (2), 129-142.
Soemitro, M. G. (2010, November 17). Mengapa TKI Dianiaya? Karena TKI Menggoda! Diambil dari Kompasiana: www.kompasiana.com/mariahardayanto
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime,. (n.d.). Diambil dari Kementerian Luar Negeri RI: http://pih.kemlu.go.id/files/uu_14_2009.pdf
US Department of State. (2001, July). 2001 Trafficking in Persons Report. Diambil dari US Department of State: http://www.state.gov/j/tip/rls/tiprpt/2001/3930.htm
USAID. (2006). Anti-Trafficking Technical Assistance. USAID.
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. (n.d.). Diambil dari UNSTRAT: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_21_2007.htm
Wahyuningsih, S. (2007). Upaya Perlindungan Hukum dan Rehabilitasi bagi Korban Perdagangan Anak Perempuan dengan Tujuan untuk Dilacurkan di Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret .

 ______________________________
[1] Sebagai contoh, banyaknya negara-negara yang tidak kunjung mengadopsi sistem demokrasi bahkan setelah Perang Dingin berakhir dapat dijelaskan dari lemahnya saliensi norma internasional mengenai demokratisasi di negara-negara tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Politik Luar Negeri

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi