Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 3: Komitmen terhadap Meritokrasi)


Suatu ketika seorang professor ekonomi di suatu kampus lokal membuat pernyataan bahwa ia sangat sering menggagalkan mahasiswanya, bahkan ia pernah menggagalkan seluruh kelasnya. Ketakutan oleh pernyataan tersebut, para mahasiswa pun mengajukan usul agar nilai seluruh mahasiswa di kelas disamakan berdasarkan rata-rata dari total nilai tersebut. Dengan demikian, mereka yang mendapat nilai jelek akan terangkat oleh yang mendapat nilai baik, sehingga tidak akan ada yang gagal. Singkat cerita, professor tersebut menyetujuinya. 

Setelah itu, tes pun digelar dan setelah dirata-rata, semua mahasiswa mendapatkan nilai B. Yang paling kecewa dengan nilai tersebut adalah mahasiswa yang belajar sangat keras, sebab mereka merasa bahwa usahanya telah sia-sia. Ketika tes kedua digelar, mahasiswa yang sebelumnya belajar dengan keras memutuskan untuk tidak belajar dan menikmati leverage yang diberikan oleh mereka dengan nilai yang baik. Setelah hasil tes kedua dirata-rata, seluruh mahasiswa mendapatkan nilai D, tidak ada satu pun yang senang. Ketika tes ketiga digelar, rata-ratanya menjadi F. Seisi kelas pun gagal.

Kisah di atas menggambarkan mengenai apa yang terjadi dalam masyarakat yang tak memiliki prinsip meritokrasi. Meritokrasi adalah sebuah prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu di dalam masyarakat adalah sumber daya potensial yang harus dimanfaatkan dengan cara diberi kesempatan yang sama untuk melakukan suatu hal, namun diberikan apresiasi yang berbeda berdasarkan kontribusi yang diberikannya dalam melakukan hal tersebut.

Singkatnya, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan suatu tindakan, namun orang yang berusaha keras akan mendapatkan hasil yang lebih banyak daripada orang yang berusaha lebih sedikit. Penerapan prinsip ini akan memicu semangat dari setiap individu untuk saling bersaing dan menunjukkan usaha terbaiknya yang akan berkontribusi bagi kemajuan sebuah negara. Di seluruh dunia, hampir seluruh organisasi menjadi sukses berkat mengaplikasikan prinsip meritokrasi dengan ketat.

Dalam kisah yang dijelaskan di awal, seandainya kelas tersebut menerapkan prinsip meritokrasi, maka yang akan terjadi adalah sebagai berikut: Pada tes pertama, mahasiswa yang belajar keras akan mendapatkan nilai A dan mendapat hadiah dari sang professor. Mahasiswa yang belajar sedikit hanya akan mendapatkan nilai B atau bahkan D. Mereka tidak akan mendapatkan hadiah dan mereka akan terancam gagal. Mereka pun termotivasi untuk mendapatkan apa yang didapat oleh mahasiswa yang belajar keras, sehingga mereka pun ikut belajar dengan keras. 

Ketika tes kedua digelar, hampir seluruh mahasiswa mendapat A, beberapa mendapat B, namun tidak ada yang lebih sedikit dari itu, kecuali mereka yang memilih untuk tidak belajar. Setelahnya, mereka yang telah belajar keras akan mampu lulus dari kelas tersebut, sementara mereka yang belajar sedikit akan gagal. Pada akhirnya, akan tetap ada orang yang gagal, namun poin terpentingnya adalah: kelas tersebut berhasil meluluskan orang-orang terbaik yang pantas untuk lulus dan menggagalkan orang-orang yang tidak mau memberikan usahanya. 

Dibandingkan dengan situasi di kelas pertama yang tidak memiliki prinsip meritokrasi, dimana seluruh mahasiswa gagal, termasuk yang sudah belajar dengan keras, situasi di kelas kedua ini tentu jauh lebih adil dan masuk akal. 

Ketidakhadiran meritokrasi adalah sesuatu hal yang mengakibatkan kegagalan kebijakan Lompatan Jauh Ke Depan yang dirancang oleh mao pada tahun 1958. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa di China pada masa penerapan sistem ekonomi terencana, tidak peduli berapa pun banyaknya seorang buruh bekerja, tidak peduli betapa pun besarnya kontribusi yang dibuat oleh buruh tersebut, mereka akan mendapatkan bayaran yang sama dengan buruh yang hanya bekerja sedikit. 

Hal ini menyebabkan hilangnya semangat dari warga China untuk bekerja demi mencapai tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh kebijakan Lompatan Jauh Ke Depan. Orang-orang dengan bakat hebat yang seharusnya dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi China pun tidak mau menunjukkan bakatnya karena dianggap sia-sia saja. 

Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat China adalah sebuah negara dengan penduduk lebih dari satu milyar. Seandainya Mao Zedong menerapkan prinsip meritokrasi sejak awal kepemimpinannya, maka satu milyar lebih penduduk China tersebut tidak akan menjadi satu milyar penduduk yang bermalas-malasan, melainkan menjadi satu milyar penduduk yang bekerja keras. 

Beruntung Deng Xiaoping berhasil menyadari kesalahan ini dan segera menerapkan prinsip meritokrasi pada masa kepemimpinannya yang menyebabkan penduduk China hari ini begitu disegani karena dikenal sebagai bangsa yang memiliki budaya bekerja keras. Di antara calon-calon negara maju di kawasan Asia, Singapura adalah negara terbaik yang berhasil menerapkan prinsip meritokrasi.


Komitmen Singapura terhadap Meritokrasi


Ketika merdeka di tahun 1965, Singapura menghadapi tugas berat untuk melakukan pembangunan dan bertahan hidup akibat adanya ketidaktenteraman masyarakat yang disebabkan oleh banyaknya pengangguran dan infrastruktur yang jelek. Pada tahun 1970, pemerintah kemudian memperkenalkan kerangka besar pembangunan ekonomi yang dikarakterisasikan dengan dorongan terhadap efisiensi ekonomi dan efektifitas melalui kebijakan yang berpusat pada pasar, guna menarik investasi asing dan industri yang meminta buruh berkemampuan tinggi untuk mengatasi permasalahan pengangguran. 

Sepuluh tahun kemudian, Singapura kemudian melakukan reformasi terhadap sistem pegawai negerinya dengan berfokus pada pencarian bakat-bakat unggul dan peningkatan produktifitas, guna meningkatkan nilai investasi Singapura, yang terus meningkat sampai sekarang. Dengan bantuan pegawai negeri, Singapura memasuki era yang disebut pemerintah sebagai, “Revolusi Industri Kedua (Second Industrial Revolution),” sebuah perpindahan menuju aktivitas yang berpusat pada pengetahuan, seperti R&D, desain teknik (engineering design), dan jasa piranti lunak komputer. 

Kemudian setelah tahun 1990-an, kebijakan pemerintah telah diarahkan untuk meningkatkan inovasi, penelitian, dan membangun aspek-aspek elektronik, bioteknologi, dan sektor-sektor berteknologi tinggi lainnya. Dalam setiap kegiatan perubahan yang dijelaskan tersebut, pemerintah dengan pegawai negerinya berkontribusi sangat besar. Dapat dikatakan bahwa kesuksesan perekonomian Singapura sangat didorong oleh keterlibatan total pemerintah dalam sejumlah sektor dan industri kunci. 

Pertanyaannya hanya satu: “Mengapa pegawai negeri Singapura mau bekerja sedemikian kerasnya untuk membangun Singapura?”

Pemerintah Singapura benar-benar mempertaruhkan segala yang mereka punya pada pegawai negerinya. Mereka berani membayar pegawai negerinya semahal-mahalnya untuk memastikan agar bakat-bakat terbaik di Singapura mau bekerja untuk negaranya. Dalam hal ini, pemerintah memberikan bayaran yang sangat besar, bahkan sejajar dengan sektor swasta, dan melebihi bayaran pegawai negeri di belahan dunia manapun. 

Sebagai contoh, kepala dari pegawai negeri di Singapura dibayar sebesar US$1.5 Juta per tahun, jauh lebih banyak daripada bayaran presiden Amerika Serikat (US$400,000 per tahun) dan perdana menteri Inggris (US$350,717 per tahun) digabung. Bayaran besar ini diterapkan bersamaan dengan prinsip meritokrasi, sehingga mereka yang menunjukkan kontribusi yang lebih besarlah yang akan mendapatkan bayaran terbesar. Semua orang pun, demi mendapat bayaran yang lebih besar dari presiden AS, bersaing demi mencapai posisi puncak di pegawai negeri Singapura. Situasi inilah yang mendorong pegawai negeri Singapura untuk memberikan kontribusi terbaiknya dalam membangun Singapura. 

Saking hebatnya pegawai negeri di Singapura, United Nations Development Programme (UNDP) sampai membuatkan satu laporan khusus untuk membahas sistem pegawai negeri di Singapura. Dalam laporan tersebut, UNDP menyebutkan bahwa Singapura adalah negara dengan birokrasi paling disiplin di dunia, paling efisien, paling bersih dari korupsi, dan memiliki standar akuntabilitas yang tinggi terhadap pemerintah dan pemimpin politik di negara tersebut.

Kualitas birokrasi Singapura yang amat tinggi pada akhirnya menarik minat yang besar dari investor untuk datang dan membuka bisnis di sana. Sebab dengan kualitas birokrasi yang tinggi, para pebisnis akan mendapat kenyamanan dan kemudahan, seperti: tidak perlu membayar uang pelicin untuk mempercepat pengurusan izin bisnis, mudah membayar pajak, mudah merekrut karyawan, dan yang terpenting bisnis mereka mendapatkan jaminan perlindungan yang baik dari pemerintah Singapura. 

Laporan Doing Business 2008 yang dibuat oleh World Bank menyebutkan bahwa Singapura menempati peringkat pertama dalam aspek kemudahan berbisnis, mengalahkan Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Hong Kong di belakangnya (Lihat Tabel III). Laporan semacam inilah yang membuat investor berdatangan ke Singapura untuk memulai bisnisnya dan situasi ini tercipta berkat komitmen pemerintah Singapura terhadap meritokrasi yang meningkatkan kualitas pegawai negerinya dalam menjalankan birokrasi.

  
Tabel III
Peringkat Kemudahan Berbisnis dari 178 Entitas Ekonomi Dunia Tahun 2008


Sumber: Laporan Doing Business 2008, World Bank

Semua penjelasan di atas menunjukkan bahwa kemajuan perekonomian Singapura sangat banyak dikontribusikan oleh peran dan keterlibatan pemerintah yang sangat sentral dalam hampir seluruh kegiatan kunci di Singapura. Namun, faktor pendorong utama yang menyebabkan pemerintah mampu melakukan itu adalah meritokrasi.

Melalui meritokrasi, pemerintah mampu menarik bakat-bakat terbaiknya untuk bekerja keras demi mereka. Seandainya pemerintah tidak menerapkan meritokrasi dan memberikan semua pegawai negerinya gaji yang sama yang bahkan lebih kecil daripada sektor swasta, maka bakat-bakat terbaik Singapura akan lebih memilih untuk bekerja di perusahaan multinasional. Komitmen Singapura terhadap meritokrasilah yang membuat negara tersebut menjadi sukses hari ini.

________________________________________________

Table of Contents

Comments

Popular posts from this blog

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)