Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 2: Perhatian terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)


Ribuan tahun yang lalu, Asia sempat menjadi pusat peradaban dunia. Dimulai dari peradaban China di sebelah Timur Asia dan dilanjutkan oleh peradaban Islam di jazirah Arabia. Ketika itu, seluruh dunia memandang pada Asia untuk melakukan segala sesuatunya. Asia menjadi panutan bagi perkembangan peradaban-peradaban lain di dunia, tidak terkecuali peradaban Barat. Salah satu alasan utama yang menyebabkan hal itu terjadi adalah perhatian lebih yang diberikan oleh peradaban China atau Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Peradaban China, pada masa kejayaan awalnya, berhasil menemukan sebuah teknologi revolusioner yang mempercepat pengembangan ilmu pengetahuan di seluruh dunia, yaitu kertas. Sebelum diciptakannya kertas, manusia menulis menggunakan bahan-bahan yang sangat mahal dan hanya dapat diakses oleh segelintir orang, seperti papyrus atau di atas batu. Hal itu menyebabkan pendistribusian ilmu pengetahuan menjadi sulit.

Namun dengan diciptakannya kertas yang sangat murah dan dapat diakses oleh siapa saja, ilmu pengetahuan menjadi mudah terdistribusi. Hasilnya, berbagai bentuk ilmu pengetahuan, seperti ilmu kimia dan ilmu kedokteran, berkembang dengan sangat pesat di China. Jika ingin melihat dan mempelajari teknologi kimia dan kedokteran tercanggih di dunia ketika itu, maka datanglah ke China. Maka tidak aneh jika Rasulullah pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.”

Ribuan tahun setelahnya, peradaban Islam, di bawah dinasti Abbasiyah, berhasil melanjutkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimulai oleh China. Tidak hanya itu saja, peradaban Islam juga melanjutkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimulai oleh peradaban Barat. Ketika itu, khalifah Islam memerintahkan seluruh koloni yang dikuasainya untuk menyalin seluruh literatur terkait ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab. 

Literatur-literatur yang sedemikian banyak tersebut kemudian dibawa ke Baghdad, ibukota peradaban Islam, untuk kemudian didalami dan dikembangkan. Hasilnya, Islam berhasil mensintesiskan seluruh ilmu pengetahuan yang ada di dunia untuk kemudian dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan baru. 

Salah satu ilmu pengetahuan yang berkembang menjadi teknologi yang begitu penting bagi kehidupan manusia hari ini adalah Aljabar. Melalui Aljabar, manusia diperkenalkan pada Angka Arab yang sangat mempermudah aktifitas hitung-menghitung. Berkat itu, sarjana di seluruh dunia pun berkumpul di Baghdad untuk mempelajari ilmu pengetahuan terbaik di dunia.

Ketika peradaban China dan peradaban Islam sedang menikmati berkembangnya ilmu pengetahuan, peradaban Barat justru sedang terpuruk dalam masa yang disebut sebagai Zaman Kegelapan (The Dark Ages). Ketika itu, kekuasaan teokratik yang disebabkan oleh pengaruh Gereja yang amat kuat membelenggu seluruh pikiran manusia yang tinggal di peradaban Barat. 

Gereja menentukan apa saja yang harus dipikirkan oleh manusia dan melarang mereka untuk memikirkan segala sesuatu di luar apa yang ditentukannya. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai tabu, sesuatu yang menentang kesucian agama. Mereka yang berani mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengotori kesucian agama akan mendapat ganjaran yang mengerikan berupa inkuisisi. Galileo Galilei terbunuh hanya karena ia ingin membuktikan bahwa Matahari adalah pusat dunia dan Bumi hanyalah satelit yang mengelilinginya.

Melihat perbedaan yang sangat ekstrim dalam peradaban di kawasan Asia dan Barat ribuan tahun lalu membuat banyak orang bertanya-tanya: “Mengapa Barat mampu menguasai dunia dalam dua abad terakhir ini?” Kishore Mahbubani pun tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Sebaliknya, ia justru mengetahui jawaban dari pertanyaan: “Mengapa Asia tertinggal jauh dari Barat dalam dua abad terakhir ini?” 

Mahbubani menjelaskan bahwa mindset religius yang mengharamkan pemikiran atas segala hal yang bersifat materi membelenggu manusia di Asia untuk memikirkan mengenai ‘perkembangan’ manusia dengan cara menghindari manusia untuk berpikir kritis. Tentu hal ini sangat lucu, mengingat alasan kronis yang membuat Barat tertinggal dari Asia ribuan tahun yang lalu berbalik menjangkiti Asia ribuan tahun kemudian.

Sedikit yang mengetahui bahwa peradaban Barat berutang pada peradaban Asia dalam lompatan jauhnya di dua abad terakhir ini. Renaissance dan Aufklarung yang menjadi milestone bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Barat tidaklah terjadi begitu saja. 

Jika diingat lagi, salah satu aspek yang memicu terjadinya Renaissance di Barat adalah ide mengenai kemandirian pemikiran yang disuarakan oleh Rene Descartes melalui pemikirannya yang akrab disebut dengan semboyan: “Cogito Ergo Sum.” Namun pertanyaannya tentu adalah: “Pemikiran yang bagaimana?” Descartes menjawab: “Pemikiran yang logis.” Dalam artian logis berdasarkan filsafat logika yang dibuat oleh Aristoteles di Yunani pada masa sebelum masehi.

Barat tidak pernah mampu menjawab bagaimana mereka mampu mentransfer pengetahuan yang ada di Yunani pada masa sebelum masehi ke tahun 1500-an ketika Renaissance terjadi. Segala bentuk literatur mengenai ilmu pengetahuan telah diberangus habis oleh Gereja pada Zaman Kegelapan, sehingga tidak mungkin bagi Rene Descartes untuk tiba-tiba menemukan literatur milik Aristoteles di sebuah perpustakaan dan membacanya begitu saja. 

Peradaban Islamlah yang berjasa dalam hal ini dengan terlebih dahulu mempelajari filsafat logika Aristoteles dan mengajarkannya lagi pada sarjana dari Barat yang datang untuk belajar di Baghdad. Sarjana tersebut kemudian membawa pulang pengetahuan yang didapatnya di Baghdad ke tempat asalnya di Eropa dan dari situlah peradaban Barat mengenal filsafat logika Aristoteles. Hal yang sama juga berlaku untuk ilmu pengetahuan lainnya, seperti ilmu kimia, kedokteran, Aljabar, Algebra, Astronomi.

Poin yang ingin disampaikan di sini bukanlah tentang bagaimana peradaban Asia berjasa lalu peradaban Barat harus membayar utang budi pada Islam. Poin yang ingin disampaikan adalah bagaimana peradaban Asia sempat mampu menjadi pusat peradaban dunia yang membebaskan peradaban lainnya dari belenggu kekuasaan teokratik, melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Namun pada akhirnya peradaban Asia justru jatuh dalam jurang yang sama yang peradaban Barat telah terbebas darinya, dan meninggalkan perhatiannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

Dengan mengetahui hal ini, tentu negara bangsa di kawasan Asia harus menyadari bahwa mereka mampu untuk menandingi negara-negara Barat dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam sebuah artikel di majalah Time pada tahun 2006 yang berjudul “Asia’s Great Science Experiment,” terdapat sebuah statistik mengejutkan yang mengatakan bahwa pada 90 persen dari ilmuwan bergelar PhD akan berada di Asia. Hari ini, jumlah PhD yang diproduksi oleh China per tahunnya telah melampaui jumlah yang diproduksi oleh Amerika Serikat. 

Di berbagai kawasan Asia lainnya, jumlah penerima PhD pun meningkat tajam. Semua hal ini menunjukkan bahwa Asia memang memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian dengan mengetahui bahwa negara Asia mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang lebih baik dari negara Barat, maka pemerintah di negara Asia harus memberikan fokus yang lebih kepada hal ini. Salah satu calon negara maju di kawasan Asia, yaitu India, telah berhasil membuktikan dampak positif dari memberikan perhatian lebih terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Perhatian India terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 


Pada tahun 2000, Raghunath A. Malshekar, kini direktur jenderal dari Council of Scientific and Industrial Research (CSIR) dan presiden dari Akademi Sains Nasional India, pernah membuat sebuah prediksi. Ia mengatakan bahwa abad selanjutnya adalah milik India, yang akan menjadi sebuah kekuatan ekonomi dan intelektual yang akan dipandang oleh seluruh dunia. 

Malshekar sendiri mengakui bahwa prediksi ini terdengar gila. Bagaimana mungkin sebuah negara seperti India yang dihuni oleh amat banyak orang miskin, dan buta huruf, mampu naik untuk memiliki sebuah peran yang demikian besar di tingkat global? Apa yang membuat Malshekar mampu sedemikian percaya dirinya dalam mengungkapkan prediksi tersebut? Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat ditemukan dengan melihat ulang sejarah India di awal kemerdekaannya.

Pada awal kemerdekaannya di tahun 1951, Jawaharlal Nehru membuat sebuah keputusan yang sangat bijak. Bapak pendiri India yang dikenal amat karismatik tersebut mendirikan Institute Teknologi India (IIT) di Kharagpur dekat Calcutta pada 1951. Setelahnya, enam IIT lagi didirikan di Mumbai, Chennai, Kanpur, New Delhi, Guwahati, dan Rourkee. Syarat masuk IIT murni adalah kemampuan. Hal ini memastikan bahwa India dapat mengumpulkan bakat-bakat ilmuwan terbaik di seluruh negerinya dan mengembangkan mereka dalam wadah yang tepat. 

Hari ini, Tes Masuk Gabungan (JEE) IIT merupakan tes masuk kampus tingkat S-1 yang paling diminati di seluruh dunia. Di 2002, ketika Universitas Harvard dan Institut Teknologi Massachusetts (MIT), yang merupakan kampus paling selektif di seluruh AS, menerima masing-masing 10.5 persen dan 16.2 persen pendaftar, hanya 2.3 persen pendaftar yang diterima oleh IIT, menunjukkan betapa ketatnya persaingan di sana. Stasiun berita asal AS, CBS, pernah mengatakan bahwa IIT merupakan gabungan dari Harvard, MIT, dan Princeton, serta bahwa IIT merupakan universitas terpenting di dunia yang mungkin jarang diketahui oleh penduduk AS.

Lulusan IIT pada akhirnya memang akan diserap oleh perusahaan-perusahaan kaya di Amerika dan Eropa, umumnya di Lembah Silikon (Silicon Valley), namun hal ini tidaklah menjadi sebuah kerugian bagi India sendiri. Salah satu perdana menteri India, Rajiv Gandhi, mengatakan bahwa, “Better a brain drain than a brain in the drain (lebih baik otak diserap oleh perusahaan luar daripada otak dibiarkan di selokan).” 

Pernyataan tersebut sangat benar, sebab terbukti bahwa otak-otak India yang diserap oleh perusahaan luar negeri berkontribusi signifikan bagi kemajuan India. Pertama, mereka memberikan peningkatan rasa percaya diri yang amat besar bagi seluruh warga India yang masih terjerat kemiskinan. Mereka jadi mulai berpikir, jika orang India dapat mengajar di Universitas Columbia atau menjadi pemrogram handal di Lembah Silikon, maka seluruh orang India juga bisa melakukannya. 

Kedua, beberapa warga India yang sempat bekerja di luar negeri memilih kembali untuk ke India dan memutuskan untuk membangun kembali negeri tersebut. Ketika mereka kembali, mereka telah menjadi sangat kaya, baik dari segi finansial maupun dari segi pengalaman, sehingga mereka mampu memberikan kontribusinya yang maksimal bagi kemajuan India.

Raghunath A. Malshekar adalah bukti konkret dari dua keuntungan yang didapat India melalui perhatiannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alasan mengapa Malshekar mampu begitu percaya diri dalam prediksinya bahwa abad selanjutnya akan menjadi milik India adalah karena ia melihat pengalamannya sendiri. 

Ketika kecil, Malshekar hidup sangat miskin sampai-sampai harus menahan lapar dan berjalan tanpa bersepatu. Namun dari kelas Fisika yang didapatnya di sebuah sekolah miskin di Mumbai, ia mendapatkan ilham untuk menjadi seorang ilmuwan, dan hari ini terbukti ia telah menjadi seorang presiden dari Akademi Sains Nasional India. 

Malshekar mengatakan bahwa jika keajaiban ilmu pengetahuan dapat mengubah nasib seorang bocah miskin di Mumbai sepertinya, maka keajaiban ilmu pengetahuan juga dapat mengubah nasib seluruh orang di India. Hal ini membuktikan bahwa perhatian Malshekar terhadap ilmu pengetahuan mampu meningkatkan rasa percaya diri dari warga paling miskin sekali pun.

Kemudian setelah kaya akan ilmu pengetahuan dari kuliahnya di Universitas Mumbai dan melakukan beberapa studi pasca-doktoral di Inggris, Malshekar memutuskan untuk kembali ke India dan berkontribusi bagi kemajuannya. Ketika kembali, Malshekar amat terkejut tatkala menemukan sebuah komunitas ilmu pengetahuan yang sangat tidak termotivasi di India. 

Malshekar pun langsung menerima pekerjaan untuk memimpin CSIR dan membantu ilmuwan pemerintah mengekspor pengetahuannya dengan cara menjual penelitian mereka ke perusahan multinasional. Hasilnya amat signifikan. CSIR berhasil mendapatkan 196 paten di tahun 2005 dari hanya 8 di tahun 1995. 

Malshekar juga berhasil menyukseskan kampanye melawan paten AS terkait penggunaan kunyit dalam pengobatan luka luar. Kasus tersebut merupakan pertama kalinya paten AS dicabut oleh US Patent and Trademark Office di ‘Dunia Ketiga’. Kesuksesan Malshekar kemudian memacu perubahan dalam sistem klasifikasi paten internasional.

Semua hal yang dijelaskan di atas membuktikan bagaimana perhatian lebih yang diberikan India pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak positif bagi kemajuan India. Jika Jawaharlal Nehru tidak pernah memutuskan untuk mendirikan IIT, maka bakat-bakat ilmuwan yang ada di India akan langsung diserap oleh universitas-universitas di luar negeri. 

Tanpa pernah mendapatkan pengetahuan yang mengakar di negeri asalnya, mereka tidak akan memutuskan untuk kembali ketika sudah mendapatkan pekerjaan yang amat menguntungkan di luar negeri. Kebijakan India yang memberikan perhatian lebi terhadap ilmu pengetahuan berhasil mendidik orang-orang seperti Malshekar dan mengembalikan mereka setelah mendapat pengalaman yang banyak di luar negeri untuk kemudian berkontribusi bagi kemajuan India.
________________________________________________

Table of Contents

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara