Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 5: Komitmen terhadap Budaya Perdamaian)


Pada 12 Desember 2012, Panitia Nobel Norwegia membuat kejutan dengan memberikan Penghargaan Nobel Perdamaian (Nobel Peace Prize) pada Uni Eropa. Uni Eropa dianggap telah berhasil mentransformasikan Eropa dari kawasan yang dipenuhi oleh perang menjadi kawasan yang dipenuhi oleh perdamaian.

Hal ini menjadi menarik, dari semua kesuksesan Uni Eropa menciptakan sistem regionalisme yang mapan, lengkap dengan institusi-institusinya, dan menciptakan sebuah sistem hubungan antarnegara yang baru, komitmen Uni Eropa untuk menciptakan budaya perdamaianlah yang paling dihargai oleh panitia Nobel.

Pada dasarnya, budaya perdamaian adalah kriteria utama yang paling dibutuhkan oleh calon negara maju dalam mempertahankan keberlangsungan (sustainability) dari kemajuannya. Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan sebuah negara selalu dilihat berdasarkan pertumbuhan ekonominya. Untuk mempertahankan pertumbuhan tersebut berjalan secara terus-menerus, maka dibutuhkanlah suatu kondisi yang memungkinkan itu terjadi.

Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi hanya dapat terjadi dalam kondisi dunia yang damai. Sebab hanya dalam kondisi dunia yang damailah, orang-orang mau melakukan aktifitas pertukaran atau perdagangan. Hanya dalam kondisi dunia yang damailah, orang-orang mau bekerja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Dalam kondisi dunia yang berperang, maka pertumbuhan ekonomi akan sulit terjadi atau hanya akan terjadi di negara yang mampu memonopoli semua teknologi militer, itu pun juga tidak akan menjadi jaminan. Sebab perang selalu bersifat zero-sum game, mereka yang menang akan memiliki segala yang dimiliki oleh yang kalah. 

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi di negara yang memenangkan perang, sementara negara yang kalah perang akan mengalami krisis ekonomi yang mengerikan. Dengan kata lain, bahkan negara yang mampu memonopoli teknologi militer pun akan gagal mendapatkan pertumbuhan ekonominya jika mereka kalah perang.

Negara yang telah membuktikan betapa berbahayanya tidak memiliki budaya perdamaian bagi calon negara maju adalah Jerman. Sebelum Perang Dunia berlangsung, Jerman adalah negara besar yang sedang berusaha menempatkan dirinya di panggung internasional. Ketika itu, nilai industri Jerman sudah hampir mengejar industri milik Inggris yang telah melakukan revolusi industri satu abad lebih cepat. Jerman sebetulnya mampu untuk tumbuh lebih besar lagi jika saja mereka adalah negara yang menghargai budaya perdamaian. 

Namun karena kondisi Eropa saat itu masih belum memiliki organisasi regional bernama Uni Eropa dan antara negara Eropa sendiri masih memiliki berbagai macam konflik, maka perang pun menjadi tidak terhindarkan. Jerman pun kalah dalam Perang Dunia I dan perekonomiannya langsung jatuh sampai ke paling bawah setelah diperas habis oleh negara pemenang Perang Dunia I.

Setelah kalah, Jerman berusaha bangkit lagi dan membangun kembali industrinya. Di bawah pemerintahan Nazi, mereka berhasil melakukannya. Perekonomian Jerman mulai naik lagi dan rakyat Jerman pun berjalan di atas tangga menuju kesuksesan. Akan tetapi lagi-lagi, ketidakhadiran budaya perdamaian menghilangkan kesempatan Jerman untuk mencapai kesuksesannya. Dengan begitu besarnya potensi Jerman dalam perindustrian, Adolf Hitler lebih tertarik menggunakannya untuk meluluhlantakkan Eropa dan memulai Perang Dunia II. 

Hasilnya seperti yang kita ketahui, Jerman kembali kalah, dan mereka harus mulai dari nol lagi. Hari ini, Jerman adalah negara dengan kekuatan perekonomian terbesar di Uni Eropa dan ketiga di dunia. Kesuksesan ini sebetulnya sudah dapat dicapai oleh Jerman jauh bertahun-tahun sebelumnya, namun menjadi tertunda karena ketidakhadiran budaya perdamaian. Kasus Jerman ini menunjukkan betapa pentingnya budaya perdamaian bagi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

Di Asia sendiri, budaya perdamaian ini telah ditunjukkan oleh seluruh calon negara maju-nya, dibuktikan melalui kasus krisis finansial Asia 1997-1998. Ketika krisis tersebut terjadi, terjadi berbagai ledakan (implosion) dari berbagai perekonomian di Asia: GDP Korea Selatan jatuh sampai 3.8% di kuarter pertama 1998; GDP Thailand diperkirakan jatuh antara 4 sampai 5.5 persen di 1998. GDP Hong Kong jatuh sampai 2% di kuarter pertama. 

Singapura menikmati pertumbuhan 5.6% di kuarter pertama namun diperkirakan akan jatuh menuju pertumbuhan negatif dalam paruh kedua tahun 1998. Di Malaysia, GDP jatuh 1.8% di kuarter pertama 1998. Yang paling parah didapat oleh Indonesia yang GDP-nya jatuh sampai 15%, inflasi 80%, pengangguran 17%, dan seterusnya. Asia pada tahun 1997-1998 benar-benar seperti sedang dilanda oleh badai yang amat besar.

Dalam kondisi krisis seperti itu, orang-orang berekspektasi bahwa konflik antara negara-negara di Asia akan terjadi. Richard Betts mengatakan bahwa antara negara-negara di Asia memiliki sejarah saling membenci satu sama lain yang berpotensi menimbulkan konflik lebih tinggi, terutama setelah berakhirnya Perang Dingin yang pernah mampu untuk meredam konflik tersebut melalu bipolaritasnya. 

Kishore Mahbubani mengatakan bahwa krisis finansial yang terjadi di tahun 1997-1998 itu seharusnya dapat menjadi minyak yang akan memicu terciptanya api konflik di Asia. Namun hal itu tidak terjadi, karena Asia telah menyerap budaya perdamaian yang dimulai oleh Barat melalui Uni Eropa-nya.

Kehadiran budaya perdamaian ini juga didorong oleh hadirnya organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, ASEAN. Seperti Uni Eropa, ASEAN juga diciptakan untuk mendorong kerjasama regional di antara negara-negara anggotanya untuk meminimalisir kemungkinan negara memilih jalan kekerasan dalam berhubungan dengan negara lain. ASEAN dalam hal ini telah mencapai apa yang disebut dengan zero prospect of war, sebuah keadaan dimana telah tercipta seperangkat nilai, norma, dan institusi yang menyebabkan perang di antara anggota ASEAN menjadi tidak terpikirkan sama sekali. 

Hal inilah yang menyebabkan tidak terjadinya konflik pasca-krisis finansial Asia 1997 walaupun di antara negara-negara Asia masih ada tendensi saling membenci satu sama lain. Salah satu calon negara maju di kawasan Asia yang dapat menjadi contoh terkait komitmennya terhadap budaya perdamaian adalah China.


Komitmen China terhadap Budaya Perdamaian

Kebangkitan China sebagai economic superpower di abad ke-21 ini diliputi oleh berbagai tanda tanya: “Apakah China akan menjadi kekuatan militer besar yang memicu instabilitas di kawasan Asia?” Banyak yang berusaha membuktikan kemungkinan tersebut, namun bukti yang ada saat ini masih menunjukkan bahwa bangkitnya China telah dilandasi oleh budaya perdamaian. Hal ini dibuktikan oleh perkataan seorang pemikir utama China, yang juga merupakan penasehat Hu Jintao, Zheng Bijian, yang mengatakan bahwa China percaya pada “kebangkitan yang damai (peaceful rise).”

Konsep “kebangkitan yang damai” merefleksikan sebuah konsensus yang terpikirkan dengan matang di China. Para pemimpin China sudah terlalu tahu berapa kali China mencoba untuk me-modernisasi-kan diri, namun gagal. Kesempatan yang ada hari ini untuk dapat tumbuh dan menjadi negara maju merupakan kesempatan terbaik yang pernah dimiliki China selama berabad-abad dan akan sangat berdosa mereka pada keturunannya jika menyia-nyiakan kesempatan ini dengan membuat keputusan bodoh, seperti: berperang.

China telah belajar dari kegagalan Jerman di masa Perang Dunia dan juga kegagalan Uni Soviet di masa Perang Dingin, yaitu: membuat keputusan untuk berfokus pada pengembangan militer, daripada pengembangan ekonomi. China memutuskan untuk melakukan yang sebaliknya.

Dari lima negara yang sah untuk memiliki nuklir, China adalah yang paling sedikit menyiapkan hulu ledak-nya dalam keadaan operasional. Lebih dari setengah dari sekitar empat ratus hulu ledak nuklir yang ada di China sekarang hanya disimpan di tempat yang aman saja. Bahkan kalaupun ada hulu ledak yang operasional, maka itu tidak diposisikan dalam kondisi ‘sekali tekan jalan’ seperti halnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Rusia. 

Kemudian ketika Inggris dan Perancis mengumumkan rencana mereka untuk meng-upgrade senjata nuklirnya, stok nuklir China masih tetap sama dalam dua dekader terakhir. China benar-benar hanya memfokuskan apa yang mereka punya untuk pengembangan ekonomi dan tidak berpikir untuk pengembangan militer.

David Kang, dalam essay-nya yang berjudul Why China’s Rise Will be Peaceful menjelaskan bahwa kemampuan China memberikan signal pada negara-negara tetangganya terkait kebangkitan China menyebabkan negara-negara tetangga China lebih memilih untuk mengakomodirnya daripada membuat usaha untuk menyeimbangkan kekuatan dengannya. 

Hal ini ditunjukkan pertama kali oleh fakta bahwa tidak ada ketakutan berlebihan yang dialami oleh negara-negara tetangga China terkait kebangkitan Negeri Tirai Bambu tersebut. Jepang yang memiliki sejarah panjang berkonflik dengan China dan paling berpotensi untuk menyeimbangkan kekuatan China justru tercatat mempererat hubungan kerjasama dalam berbagai bidang selama satu dekader ini. 

Hal yang sama juga dilakukan oleh Korea Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara tetangga China pun tidak terpikir untuk berusaha menyeimbangkan kekuatan dengan China.

Kang menjelaskan bahwa kebangkitan China telah menciptakan apa yang disebut olehnya sebagai hierarki kawasan. Apa yang dimaksud dengan hierarki kawasan adalah sebuah kawasan dimana di dalamnya terdapat satu kekuatan dominan yang tidak melindas negara sekunder-nya, dan juga tidak menyebabkan negara sekunder berusaha menyeimbangkan kekuatan dengannya. 

Kondisi ini dapat tercipta akibat dua hal. Pertama, China telah menyediakan informasi yang kredibel terkait kapabilitas dan niatnya kepada tetangganya ketika mereka bangkit. Kedua, negara-negara tetangga Asia juga percaya kepada klaim yang diberikan oleh China tersebut, sehingga mereka merasa tidak perlu takut kepada China, dan memutuskan untuk mengambil keuntungan.

Kang membuktikan argumennya melalui analisa terkait proses pembuatan keputusan di dalam negara-negara sekunder yang merupakan tetangga China. Pertama, negara sekunder menyadari bahwa kebangkitan suatu negara, dalam hal ini China, menyimpan berbagai potensi risiko, namun juga menyadari bahwa kebangkitan China memiliki potensi keuntungan yang sama besarnya bagi mereka. 

Ketika China meminta adanya pengakuan atau teritori dari negara sekunder, China juga akan menawarkan keuntungan, mulai dari peningkatan ekonomi dan pengurangan anggaran pertahanan, jika hubungan antara kedua negara berjalan lancar. Menyeimbangkan negara yang bangkit akan membuat negara yang melakukannya memiliki posisi yang lebih baik ketika terjadi konflik kepentingan. 

Namun keputusan untuk menyeimbangkan kekuatan juga akan membatasi keuntungan yang didapat dengan bekerjasama terhadap negara yang bangkit, dan berpotensi meninggikan anggarakan pertahanan dan malah menciptakan konflik yang tidak diperlukan. Oleh sebab itu, negara sekunder akan membuat keputusan berdasarkan perhitungan untung-rugi dari menerima atau menolak tawaran baik dari China.

Saat ini, kebanyakan negara-negara tetangga China memandang China menawarkan lebih sedikit ancaman dan lebih banyak keuntungan. Hal ini disebabkan China berhasil meyakinkan mereka melalui track record-nya dimana pertumbuhan ekonomi China selalu diikuti oleh integrasi mendalam dan keterbukaan terhadap perekonomian kawasan dan juga internasional. 

China bahkan berani membuat pernyataan tertulis bahwa mereka sama sekali tidak memilki niat untuk menggunakan kekerasan di Asia Tenggara. Kredibilitas terkait pernyataan ini juga didorong oleh fakta bahwa China hampir tidak melakukan pengembangan militer yang signifikan selama satu dekade terakhir. Strategi inilah yang sebelumnya dijelaskan sebagai “kebangkitan yang damai” oleh Zheng Bijian. 

Melalui strategi “kebangkitan yang damai”-lah, China mampu meyakinkan negara-negara tetangganya bahwa kebangkitan China akan membawa keuntungan bagi mereka, sehingga mereka lebih memilih untuk mengakomodir kebangkitan China daripada berusaha menyeimbangkan kekuatan dengan China.

Poin terpenting yang menyebabkan China mampu untuk menciptakan strategi “kebangkitan yang damai” adalah komitmennya terhadap budaya perdamaian. Seandainya China tidak berkomitmen terhadap budaya perdamaian, maka mereka akan lebih memilih untuk melakukan pengembangan militer dan mereka akan menutup-nutupi semua kegiatan perekonomiannya. 

Akibatnya, negara-negara tetangga China akan menjadi sangat curiga dan akan berusaha menghalang-halangi kebangkitan China. Jika itu terjadi, maka usaha China untuk menjadi negara maju akan terhambat dan mereka akan hanya menjadi calon negara maju selamanya. Namun China tidak melakukan itu. Komitmennya terhadap budaya perdamaian-lah yang menyebabkan China mampu mempertahankan keberlangsungan dari usahanya untuk menjadi negara maju di kawasan Asia.
________________________________________________

Table of Contents

Comments

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia