Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 6: Penegakkan Rule of Law)



Berbicara soal rule of law (aturan hukum) dan bagaimana penegakan atas hal tersebut dapat berkontribusi bagi kemajuan negara, maka kita harus mengunjungi lagi pemikiran filsafat klasik milik Thomas Hobbes. Menurut Hobbes, manusia (yang dianalogikan sebagai serigala, lupus) memiliki sifat dasar untuk selalu mencari keamanan dirinya sendiri. Terciptalah kondisi yang disebut dengan homo homini lupus, yaitu sebuah kondisi dimana manusia adalah serigala bagi serigala lainnya, sehingga manusia pun selalu dihantui oleh rasa takut akibat ancaman dari manusia lainnya. Kondisi inilah yang disebut Hobbes sebagai kondisi alamiah (state of nature) dimana diktum yang berlaku adalah bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua.

Dalam kondisi homo homini lupus, kehidupan yang damai hanyalah mimpi, dan manusia pun tidak akan pernah membicarakan soal kemajuan atau pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, dibutuhkanlah satu entitas sekuat Leviathan yang memiliki otoritas di atas para lupus untuk meredam dan memberikan rasa aman pada mereka. Setelah Leviathan diciptakan, Para lupus ini kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada sang Leviathan dengan harapan ia akan menggunakannya untuk membangun infrastruktur keamanan bagi mereka.

Sang Leviathan memiliki Otoritas Absolut
Tidak hanya uang, para lupus juga menyerahkan sebagian haknya dan bersedia untuk patuh pada sang Leviathan, sehingga Leviathan akan mendapatkan posisi yang absolut untuk menjalankan wewenangnya. Dengan demikian, hak-hak milik para lupus ditukarkan dengan rasa aman yang akan diberikan oleh sang Leviathan.

Ketika Hobbes memaparkan logika Leviathan tersebut, ia sebetulnya sedang membicarakan mengenai kekuasaan raja. Hobbes menginginkan agar raja diberikan kekuasaan absolut agar tidak ada anarki di dalam masyarakat yang akan menimbulkan terjadinya konflik, sebagaimana yang terjadi pada Perang Saudara di Inggris pada abad ke-17 antara kubu Charles I dan kubu parlemen yang disaksikannya langsung. Pengalaman inilah yang melatarbelakangi pemikiran Leviathan yang dipaparkan Hobbes.

Pada perkembangannya, logika Leviathan Hobbes mendapatkan pertentangan dari para liberalis klasik, terutama John Locke. Para liberalis klasik tidak menyetujui adanya kekuasaan absolut di tangan raja karena akan membahayakan kebebasan individu. Akan tetapi mereka setuju bahwa keadaan alamiah dimana manusia terlalu bebas sampai menimbulkan anarki benar-benar berbahaya bagi keamanan manusia sendiri, dan bahwa sebuah otoritas (atau Leviathan dalam logika Hobbes) yang kuat memang diperlukan untuk menghadapi ancaman-ancaman seperti itu. 

Oleh sebab itu, para liberalis klasik mengungkapkan bahwa yang perlu dilakukan adalah menciptakan sebuah hukum yang akan mengatur bagaimana otoritas tersebut bekerja untuk memastikan sang otoritas tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya untuk membatasi kebebasan individu. Dengan demikian, kekuatan besar milik Leviathan yang dibicarakan oleh Hobbes ditransfer ke hukum. Raja yang Hobbes inginkan untuk menjadi absolut pun menjadi berada di bawah hukum. Hukum pun menjadi Leviathan baru yang mengatur para lupus agar tidak menjadi ancaman bagi lupus lainnya. Kondisi dimana hukum menjadi otoritas utama inilah yang disebut dengan rule of law.

Sama seperti budaya perdamaian, Rule of law adalah kriteria yang dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan dalam kemajuan negara. Dengan adanya rule of law, maka seluruh warga akan dijadikan tunduk pada satu otoritas yang sama. Seluruh individu akan mendapat perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum agar tidak mendapatkan perlakuan yang semena-mena. 

Ketika mereka memulai bisnis dan merasa bahwa pemerintah membatasi hak-haknya, maka mereka dapat mengajukan gugatan pada pengadilan untuk menindak pemerintah. Ketika ada seorang karyawan yang merasa haknya diabaikan oleh atasannya, ia dapat mengajukan gugatan pada pengadilan untuk menindak atasannya. Rule of law memungkinkan siapa saja, tidak peduli apa posisinya, berapa kekayaannya, akan ditindak tegas oleh hukum jika mereka melakukan pelanggaran. Dengan begitu, individu-individu di dalam negara akan mendapatkan jaminan keamanan untuk melakukan segala aktifitasnya, sehingga mereka akan menjadi lebih produktif. Produktifitas inilah yang akan mengarahkan negara pada kemajuannya.

Akan tetapi, ide mengenai pentingnya penegakan hukum masih belum dapat diterima secara penuh oleh negara-negara Asia di mana mindset feudal masih cukup tertanam dalam benak masyarakatnya. Di China misalnya, pemikiran China tradisional mengatakan bahwa hukum hanyalah sebuah instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk memerintah. Sang kaisar (atau partai yang berkuasa) berada di atas hukum, secara mereka adalah yang menggunakannya, dan seluruh dekrit ataupun keinginannya adalah hukum itu sendiri. Bahkan ada sebuah konsep dalam pemikiran hukum di China yang disebut dengan linghouxing atau fleksibilitas, yang mengizinkan negara, atau pemimpin negara, untuk menginterpretasikan hukum berdasarkan kepentingannya sendiri.

Beruntung perkembangan yang semakin pesat dari China menyebabkan timbulnya desakan untuk melakukan reformasi terhadap sistem hukum negara tersebut. Elit-elit di wilayah perkotaan atau kelas menengah baru China mulai melihat bahwa melindungi hak individu mereka sebagai prioritas paling utama. Nicholas Bequelin dari Humah Right Watch mengatakan bahwa kelas menengah sangat menyukai hal-hal yang dapat diprediksi dan juga keamanan, dan hukum memberikan itu semua. 

Para Demonstran Penuntut Penegakan HAM di China
Menyadari bahwa keberlangsungan dari pertumbuhan ekonomi China bergantung pada keberadaan orang-orang kelas menengah ini, Partai Komunis China pun mendengarkan mereka. Beberapa terobosan pun dilakukan oleh pemerintah. Pada tahun 1991, pemerintah China memberikan pengakuan formal pertamanya terhadap hak asasi manusia dalam bentuk kertas putih yang diterbitkan oleh Dewan Negara (State Council) berjudul, “The Situation of Human Rights in China.” 

Kemudian dari 9,249 undang-undang yang diloloskan oleh pemerintah dari tahun 1991-1997, terdapat penekanan serius terhadap hak-hak warga, seperti: pembuatan undang-undang Administrative Litigation Act pada Oktober 1990 yang memberikan jalan alternatif legal pada warga ketika ketahuan negara melakukan penyalahgunaan kekuasaan; pembuatan undang-undang State Indemnity Law pada Mei 1994 yang menetapkan bahwa, “dalam kasus agensi pemerintah atau personelnya melanggar hak atau kepentingan dari warga atau organisasi, yang menimbulkan luka maka warga tersebut berhak meminta ganti rugi;” Pembuatan Law on Administrative Punishments pada Maret 1996 yang memberikan mekanisme untuk menginvestigasi dan menghukum tindak kriminal yang dilakukan oleh aparatur negara.

Akan tetapi, motivasi utama yang mendorong pemerintah China melakukan reformasi di sistem hukum hanyalah sebatas untuk menenangkan orang-orang yang sedang berprotes saja. Sama sekali tidak ada niatan dari pemerintah China untuk benar-benar mereformasi seluruh sistem hukumnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya angota Partai Komunis yang melakukan korupsi, namun tidak pernah dibawa ke pengadilan. 

Sebuah laporan oleh International Herald Tribune di tahun 2005 menyatakan bahwa sistem pengadilan China sangatlah jauh dari kata independen. Tekanan politik masih sangat berpengaruh dalam keputusan para hakim. Kebanyakan dari hakim pun sangat sedikit mendapatkan pendidikan dan banyak yang ketahuan korup. Situasi semacam inilah yang masih terjadi di China sampai hari ini.

Calon-calon negara maju di kawasan Asia lainnya pun mengalami hal yang serupa dengan China. Laporan Rule of Law Index 2012-2013 menyebutkan bahwa India merupakan negara dengan agensi administratif yang tidak bekerja dengan baik dan sistem pengadilan yang sangat buruk. Korupsi adalah permasalahan utamanya, dibuktikan dengan bagaimana diskriminasi dan kekerasan oleh polisi menjadi pemandangan biasa di sana. Indonesia sendiri mengalami permasalahan yang sangat serius terkait penegakkan rule of law. 

Jika di China pengadilan dapat dibeli oleh pemerintah, di Indonesia pengadilan dapat dibeli oleh perusahaan swasta. Semua permasalahan dalam penegakkan rule of law ini pada akhirnya akan menghambat jalan negara tersebut menuju kemajuannya. Jika ada calon negara maju di kawasan Asia yang telah cukup berhasil menerapkan prinsip rule of law, dengan segala kekurangannya, maka itu adalah Singapura.



Penegakkan Rule of Law di Singapura
Singapura Memiliki aturan hukum
yang amat ketat
Dalam Laporan Rule of Law Index 2012-2013, disebutkan bahwa Singapura menempati posisi pertama di dunia terkait penyediaan keamanan terhadap warganya. Administrasi publik di Singapura bekerja dengan sangat efektif dan korupsi berada di tingkat minimum (peringkat ke-7). Selain itu, sistem pengadilan Singapura termasuk ke dalam yang paling efektif di dunia (peringkat ke-3). Singapura mampu mencapai itu semua karena rule of law merupakan fondasi dari berdirinya negara itu.

Kasiviswanathan Shamugam, Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum Singapura, menjelaskan bahwa Singapura tidak memiliki sejarah panjang sebagai negara berdaulat. Tidak seperti negara-negara tetangganya, orang-orang Singapura tidak berbagi sejarah panjang bersama, tidak memiliki nenek moyang yang sama, ataupun semangat persatuan yang lahir dari revolusi berdarah. 

Apa yang mendefinisikan Singapura adalah kesamaan idealisme dan aspirasi untuk menciptakan negara yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua, perlakuan yang adil di depan hukum, pemusnahan korupsi, komitmen terhadap perdagangan bebas dan sistem pasar bebas, dan di atas itu semua: warga Singapura menginginkan Singapura menjadi negara maju yang dapat memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka untuk dapat bertahan dari segala bentuk musibah. 

Warga Singapura menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mencapai mimpi tersebut adalah melalui penegakkan rule of law. Mereka sadar bahwa investasi asing hanya akan datang jika Singapura dapat memberikan jaminan hukum. Oleh sebab itu, rule of law bukan hanya sebuah idealisme semata bagi warga Singapura, melainkan sebuah kebutuhan utama yang sangat mendesak.

Menurut Shamugam lagi, rule of law dapat diciptakan bukan dengan membuat hukum yang terdengar elegan, melainkan dengan membuat hukum yang dapat diaplikasikan. Tidak ada gunanya menciptakan hukum-hukum indah yang dibaluti oleh idealisme mulia, jika hukum tersebut tidak dapat diaplikasikan. Itulah sebabnya, hampir semua hukum yang dapat diaplikasikan pun dibuat di Singapura, mulai dari memenjarakan orang yang membuang sampah, memenjarakan orang yang menyeberang sembarangan, sampai memenjarakan orang yang meludah. 

Segala hal yang mungkin dilakukan dibuatkan hukumnya, sehingga hukum di Singapura menjadi begitu rigid, namun efektif karena Singapura tidak pernah bermain-main dalam menjalankan hukumnya. Orang yang menyetir sambil mabuk tidak akan ditanya-tanyai lagi, mereka akan langsung digiring ke penjara. Ketegasan inilah yang membuat seluruh warga Singapura sangat mematuhi hukum dan menciptakan kondisi rule of law yang mengarah pada kemajuan Singapura.

Akan tetapi, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Thomas Hobbes, warga Singapura harus membayar mahal kondisi rule of law ini dengan hak-hak mereka atas kebebasan. Chan Sek Keong, Chief of Justice dari Pengadilan Tinggi Singapura, mengatakan bahwa warga Singapura telah kehilangan kebebasan untuk berbicara dan berekspresi, atau untuk berkumpul dan berorganisasi; bahwa warga Singapura telah kehilangan keberaniannya untuk mengekspresikan opini mereka dalam mengkritik kebijakan pemerintah karena takut tersandung hukum dalam prosesnya. 

Tidak aneh jika kemudian Singapura menjadi target dari organisasi-organisasi terkait hak asasi manusia, seperti Human Right Watch dan International Bar Association. Laporan Rule of Law Index bahkan menyatakan bahwa satu-satunya nilai merah dalam rapor rule of law Singapura adalah di wilayah hak-hak fundamental (peringkat ke-26).

Belajar dari kasus penegakkan rule of law di Singapura membuat kita menyadari risiko dari terlalu kakunya hukum. Rule of law harus ditegakkan bukan karena itu penting untuk kemajuan suatu negara saja, tapi juga harus untuk kebaikan warganya. Sebab apa artinya kekayaan yang dimiliki jika tidak memiliki kebebasan untuk mempergunakannya. Oleh sebab itu, kita perlu belajar dari Singapura untuk soal ketegasannya dalam menjalankan hukum dan komitmennya untuk hanya membuat hukum yang dapat dijalankan, namun kita harus belajar juga untuk tidak menjadikan hukum itu sesuatu yang membelenggu kebebasan warga.

________________________________________________

Table of Contents

Comments

Popular posts from this blog

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Memahami Konstruktivisme

Richard Ned Lebow: Mengkonsepsi Ulang Ide Konstruksi Identitas 'Self' dan 'Other'

Memahami Politik Identitas

Pengaruh Ideologi Konfusianisme terhadap Hubungan Diplomatik Vietnam – China Kontemporer