Movie Review:Thirteen Days



“I do not know with what weapons World War III will be fought, but World War IV will be fought with sticks and stones. (Albert Einstein)"

Kata-kata Einstein di atas telah menggambarkan betapa mengerikannya efek perang dunia III bagi dunia, sehingga kalaupun perang dunia IV dapat terjadi maka manusia hanya dapat berperang dengan tongkat dan batu. Sampai saat ini, perang dunia III memang belum terjadi, namun lima puluh tahun yang lalu, sebuah peristiwa kecil di Kuba pernah hampir memicunya. Beruntung peristiwa tersebut dapat segera berlalu dan umat manusia berhasi terhindar dari ancaman perang dunia III. Dunia pun mengenal peristiwa tersebut sebagai Krisis Misil Kuba. Puluhan tahun kemudian, peristiwa kecil di Kuba tersebut mulai terlupakan dan negara tersebut pun masih sangat melarat berkat sanksi ekonomi AS yang masih diterimanya sampai sekarang. Demi menyegarkan ingatan umat manusia tentang sebuah peristiwa kecil yang pernah hampir melenyapkan kehidupan mereka tersebut, Roger Donaldson pun mengemasnya dalam sebuah film berjudul Thirteen Days.

Dalam film berdurasi 135 menit tersebut, penonton akan disuguhkan sebuah thriller politik cerdas yang menceritakan tentang peristiwa Krisis Misil Kuba, mulai dari latar belakangnya, intrik-intrik yang terjadi, dan proses pembuatan keputusan dalam masa itu. Semua hal tersebut diceritakan melalui kacamata Kenny O’Donnel, seorang asisten khusus Presiden JFK. Karena film ini dibuat oleh orang AS, maka jangan heran jika semua alur cerita hanya berpusat di Gedung Putih, sehingga sudut pandang Uni Soviet pun otomatis diabaikan.

Film dimulai dengan menceritakan kehidupan Kenny yang sederhana bersama istri dan lima anaknya. Adegan pun langsung beralih ke Gedung Putih dimana Kenny bersama presiden mengetahui sebuah laporan yang menakutkan dari intelijen mereka. Uni Soviet baru saja memasang landasan peluncuran roket di Kuba yang diarahkan langsung ke daerah pemukiman AS. Sontak seluruh orang di Gedung Putih pun panik. Presiden Kennedy pun dengan segera berasumsi bahwa Kruschev sedang berniat untuk memulai perang dunia III.

Tanpa basa-basi, rapat khusus pun digelar demi menentukan sikap AS terhadap Uni Soviet. Opsi pertama tentu adalah berdiplomasi dengan Uni Soviet untuk meminta mereka memindahkan landasan peluncur roket di Kuba, namun opsi tersebut tampak mustahil. Opsi selanjutnya adalah meminta Uni Soviet memindahkan roket-roketnya dengan cara paksa. Mengenai hal ini, jenderal-jenderal militer mengusulkan untuk melakukan serangan udara, dengan risiko mendapat kecaman dari dunia internasional. Sebuah negara besar menginjak-injak negara kecil, tentu bukan citra yang baik bagi AS yang menjunjung tinggi HAM. Opsi terakhir adalah melakukan Blokade.

Di sinilah terjadi perdebatan untuk menentukan sikap AS terhadap Uni Soviet. Gedung putih pun terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu Kennedy dan Kubu militer. Dalam hal ini, kubu militer percaya bahwa jalan terbaik dan satu-satunya adalah melakukan serangan udara terhadap landasan peluncur roket di Kuba. Menurut mereka, ada semacam kekhawatiran bahwa AS akan menderita kerugian besar jika harus melancarkan serangan setelah Uni Soviet menyerang.

Sementara itu, kubu Kennedy percaya bahwa jalan yang terbaik adalah melakukan blokade. Hal ini memang memerlukan waktu yang lama, namun akan benar-benar efektif jika waktunya sudah tiba. Selain itu, dengan melakukan blokade, perang dunia III akan dapat dihindari. Namun, keputusan tertinggi tetap berada di tangan presiden JFK. Ini merupakan tugas yang sangat berat baginya. Apalagi ditambah dengan celaan-celaan dari jenderal-jenderal militer yang mengatakan bahwa dirinya terlalu lambat dalam membuat keputusan.

Satu hal yang menarik tentang Thirteen Days adalah walaupun penonton sudah dapat mengetahui endingceritanya, namun cara Roger Donaldson mengemas film ini berhasil membuat penonton merasakan ketegangan yang dirasakan tokoh-tokohnya. Film ini telah berhasil menggambarkan sebuah proses pembuatan keputusan yang sangat alot, dimana sebuah keputusan yang dihasilkan akan menentukan nasib seluruh umat manusia di planet bumi. Secara gamblang, film ini juga telah menggambarkan fenomena Detterence yang sangat lazim di masa Perang Dingin, yaitu penggunaan senjata nuklir yang hanya merupakan alat untuk menggertak dan bukan untuk digunakan. Tentu film ini dapat menjadi sebuah bahan kajian keilmuan HI yang menarik.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara