Sejarah dan Filsafat Ilmu Hubungan Internasional

Tulisan ini merupakan rangkuman dari diskusi Filosofi Ilmu HI bertema "Sejarah dan Filsafat ilmu Hubungan Internasional" bersama mas Hizkiya Yosie sebagai pembicaranya



Selama ini terdapat satu pertanyaan yang selalu menggelitik para mahasiswa, yaitu, ”Apa bedanya orang yang kuliah dengan yang tidak?” Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah ‘cara berpikirnya’. Berbeda dengan orang yang tidak kuliah, seorang mahasiswa harus mulai berhenti untuk berpikir sebatas pada pertanyaan “Apa?” Mereka harus mulai berani melangkah lebih jauh untuk mencoba menjawab pertanyaan “Mengapa?” Di sinilah pengetahuan akan filsafat sangat diperlukan oleh mahasiswa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebab dengan memahami filsafat, seorang mahasiswa tidak hanya akan mengetahui apa itu ilmu HI, namun juga mengapa ilmu HI bisa ada dan mengapa kita harus mempelajarinya. Maka, demi menjawab pertanyaan pertama mengenai mengapa ilmu HI bisa ada, kali ini Diskusi Filosofi Ilmu HI akan membahas khusus mengenai Sejarah dan Filsafat Ilmu Hubungan Internasional.

Pada dasarnya, berfilsafat selalu didasarkan pada dua pertanyaan sederhana, yaitu:
  1. Apa itu ada?
  2. Bagaimana kita tahu apa itu ada?
Sepintas kedua pertanyaan ini terlihat sangat sederhana, namun ini sama sekali bukan pertanyaan lugu yang dapat dijawab dengan satu-dua kalimat. Sebaliknya, jawaban dari kedua pertanyaan ini sangatlah panjang dan saking panjangnya, ia dapat menjadi ribuan buku.


Pada dasarnya, kedua pertanyaan yang disebutkan di atas adalah pertanyaan paling fundamental dalam filsafat. Seringnya, kedua pertanyaan tersebut dapat berimplikasi pada politik. Contoh paling nyata tentang implikasi filsafat dalam politik yang akan terkait dengan topik utama kita kali ini adalah filsafat rasionalisme dari Rene Descartes.

Bagi yang belum tahu, Rene Descartes adalah seorang yang dikenal luas sebagai bapak dari filsafat modern. Secara sederhana, pemikiran Descartes dikatakan modern, sebab pada masanya orang-orang masih belum mampu berpikir secara modern. Pada masa hidup Descartes, orang-orang masih terkungkung oleh kekuasaan gereja yang memaksa mereka untuk berkata, berbuat, dan berpikir seperti apa yang dikehendaki oleh gereja. Bagi orang-orang yang berani melakukan hal-hal selain yang dikehendaki gereja akan mendapatkan sebuah hukuman sangat berat yang dikenal dengan nama Inkuisisi. Hanya Descartes seoranglah yang berani menghadapi tirani gereja dengan mengatakan, ”Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.”

Pemikiran yang dibuat oleh Descartes ini sangatlah berbeda dengan apa yang dipahami oleh gereja saat itu, yakni, ”Tuhan berkehendak maka seseorang ada.” Melaui cogito ergo sum-nya, Descartes pun menyuarakan mengenai kemandirian manusia. Bahwa untuk seseorang menjadi ada, manusia tidak perlu mendapat titah Tuhan atau menjadi keturunan raja. Apa yang manusia perlukan untuk menjadi ada, hanyalah melakukan satu hal yang dapat dilakukan oleh setiap orang, yakni berpikir. Seiring bertambahnya popularitas pemikiran Descartes, semua orang pun menjadi percaya bahwa tidak ada seorangpun manusia yang boleh memonopoli hak untuk menjadi ada. Semua orang, selama mampu berpikir, dapat menjadi ada dengan sendirinya.Inilah titik balik dari peradaban di Eropa. Dari peradaban teokratik menjadi peradaban sekuler. Peristiwa ini menunjukkan bukti dari implikasi besar filsafat terhadap konstelasi politik.

Semenjak itulah muncul terminologi baru, yakni Subjek Modern, yang definisinya adalah manusia yang berpikir rasional dan otonom. Dalam hal ini, seorang manusia yang dikategorikan sebagai Subjek Modern memiliki hak untuk mengatur semua hal tentang dirinya sendiri tanpa mendapat pengaruh dalam bentuk apapun dari manusia lainnya. Intinya, setiap manusia memiliki kekuasaan terhadap dirinya sendiri yang tak boleh diganggu gugat oleh manusia lainnya, meskipun dia raja sekalipun. Apakah penjelasan barusan terasa familiar? Jika iya, maka itu tidak aneh, sebab konsep Subjek Modern inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pembentukan konsep kedaulatan negara yang akhirnya menjadi dasar dan kajian utama dalam ilmu Hubungan Internasional.

Pada awalnya, adalah Thomas Hobbes yang pertama kali menggunakan konsep Subjek Modern untuk menciptakan teori mengenai kedaulatan negara. Dalam karyanya, Leviathan, Hobbes menyampaikan bahwa idealnya sebuah negara harus dapat mengurus kedaulatan negaranya dan kedaulatan orang-orang di dalamnya, tanpa mendapatkan intervensi dari negara lain. Sayangnya, gagasan yang disampaikan oleh Hobbes barusan masih bersifat teoritis, dalam artian Hobbes hanya mencoba untuk merumuskan bentuk paling ideal dari sebuah negara yang ada di dalam benaknya tanpa menurunkan ke level praktikal.

Itulah sebabnya, kita para mahasiswa ilmu HI harus berterimakasih pada Jean Bodin yang berhasil mengelaborasi pemikiran Hobbes dan mewujudkan kedaulatan negara dalam bentuk perjanjian Westphalia. Dalam perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun tersebut, dijelaskan bahwa negara berdaulat memiliki dua prinsip:  

  • Pertama, noninterference, dimana sebuah negara berdaulat memiliki hak untuk mengatur negaranya sendiri tanpa mendapatkan pengaruh dari negara berdaulat lainnya;  
  • Kedua, mutual recognition, dimana terdapat pengakuan dari suatu negara berdaulat terhadap negara berdaulat lainnya. 

Kedua prinsip inilah yang kemudian membentuk sistem negara yang kita pelajari dalam ilmu HI saat ini. Berkat jasanya mewujudkan pemikiran tentang kedaulatan negara tersebutlah, Jean Bodin kemudian dikenal dengan sebutan Bapak Kedaulatan.

Dari penjelasan barusan kita dapat melihat bahwa ketiga orang yang disebutkan di atas (Descartes, Hobbes, dan Bodin) telah berpikir dalam tataran yang berbeda. Descartes berpikir dalam tataran filosofis dimana ia berhasil mendobrak kesadaran dasar manusia dengan mempertanyakan sesuatu yang sangat fundamental mengenai ’ada’ dari manusia. Kemudian, Hobbes berpikir dalam tataran teoritis dimana ia berhasil menunjukkan apa yang dimaksud dengan kedaulatan negara berdasarkan pemikiran filosofis Descartes. Sementara Bodin berpikir dalam tataran praktis dimana ia berhasil mengaplikasikan teori kedaulatan negara Hobbes dengan baik melalui perjanjian Westphalia yang hasilnya dapat dirasakan oleh semua orang hingga saat ini.

Jadi, Filosofis, Teoritis, dan Praktis, itulah tiga tataran yang harus diketahui dan dimengerti oleh seorang mahasiswa. Seorang filsuf akan mempertanyakan sesuatu yang bersifat fundamental. Teoritisi akan menciptakan teori dengan bersumber pada pengetahuan fundamental di tataran filosofis. Dan Praktisi akan membantu untuk mengaplikasikan teori-teori yang ada.

Namun, tidak ada satu pun tataran pemikiran yang posisinya jauh lebih tinggi dibandingkan lainnya. Ketiga tataran tersebut bersifat tidak terpisahkan dan sama-sama dibutuhkan untuk menjawab suatu permasalahan di dunia ini. Termasuk dalam memecahkan masalah apa itu kedaulatan negara, ketiga tataran ini terbukti berhasil menyelesaikannya dengan baik.

Itulah sekilas tentang sejarah terbentuknya konsep kedaulatan negara yang menjadi dasar dan kajian utama ilmu HI saat ini. Tiga tokoh yang patut mendapatkan penghargaan kali ini adalah Rene Descartes, Thomas Hobbes, dan Jean Bodin.



Comments

  1. Terima kasih kang Gema atas ulasan ini. Sebuah masukan yang selama ini saya cari berkenaan dengan Filsafat dan hubungannya dalam kajian Hubungan Internasional. Contoh Decartes->Hobbes->Bodin ini sangat jelas idenya tentang filsafat->teori->praktis.

    Namun, di sini saya belum menemukan kaitan yang jelas mengenai Filsafat dan Ilmu. Berkenaan dengan gelar 'Ilmu' bagi Hubungan Internasional ini, saya masih bingung. Apakah Filsafat Ilmu atau Filsafat Ilmu Sosial atau bukan keduanya (saja) sehingga malah tidak bisa kita batasi sebagai suatu ilmu/science? Mempertimbangkan bahwa yang kita pelajari dalam HI tentunya tidak sekadar subjek modern lalu Realisme dan Perjanjian Westphalia.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Boleh baca postingan terbaru saya di blog ini yang mengulas singkat soal buku Asal-Usul Kedaulatan yang jg ditulis oleh narasumber dr tulisan ini. Di situ dijelaskan bahwa negara sama dengan subjek modern Renaissance. Sama-sama ingin menjadi otonom dan rasional.

      Delete
  2. Maaf, saya ingin menyalin isi dari blog Anda ini untuk blog saya, karena saya mempunyai tugas yang berkaitan tentang HI. Tapi nanti akan saya sertakan alamat blog Anda. Terima kasih

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia