Individualitas dan Komunalitas

Jika kita ditanyai apa sebenarnya produk terbaik yang telah diciptakan Amerika Serikat, maka kebanyakan akan menjawab barang-barang konsumsi, seperti elektronik, hiburan, atau makanan cepat saji. The real truth is, semua itu adalah salah. Di balik semua penciptaan produk-produk hebat tersebut, terdapat satu produk yang jauh lebih hebat dan memungkinkan Amerika Serikat menjadi negara adidaya satu-satunya di abad ke-21 ini. Apakah itu? Jawabannya adalah pendidikan.



Amerika Serikat adalah negara dengan kualitas pendidikan nomor satu di dunia. Dari sepuluh universitas terbaik yang diakui oleh dunia, delapan di antaranya berada di AS. Biaya yang dianggarkan pemerintah AS untuk pendidikan sangatlah besar dan terus bertambah setiap tahunnya. Inilah yang telah meningkatkan mutu pendidikan di AS sekaligus mutu SDM-nya.

Jika kamu pernah belajar filsafat ilmu, pastilah kamu akan diajarkan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang bebas nilai, dalam artian sebuah ilmu pengetahuan tidak mengandung norma, etika, atau perasaan. Sayangnya, hal tersebut tidak benar. Tidak mungkin sebuah ilmu pengetahuan dapat sepenuhnya bebas nilai. Jika kita belajar teori Keuntungan Absolutnya Adam Smith di Indonesia, kebanyakan orang akan duduk di belakang kelas mencorat-coret catatannya dengan gambar-gambar tidak jelas sementara kelas hanya dikuasai oleh sang pengajar dan para siswa yang duduk di kursi depan. Jika kita mempelajarinya di AS, yang terjadi adalah kelas akan sangat ramai dan orang-orang akan saling berebut untuk memberikan pendapatnya serta saling berdebat satu sama lain.

Di sinilah kita dapat melihat bahwa ada nilai yang kita dapatkan melalui pendidikan di AS, yaitu nilai untuk bersaing dan terus meningkatkan kemampuan diri. Berkat nilai yang diajarkan sejak bangku sekolah itulah, para manusia AS tumbuh menjadi manusia mandiri yang memiliki daya juang tinggi dan semangat untuk terus meningkatkan kemampuan diri. Bandingkanlah dengan Indonesia yang begitu menemui pelajaran sulit langsung menarik diri ke belakang kelas dan bahkan tidak memiliki keinginan untuk bertanya apalagi mengemukakan pendapat.

Biarpun begitu, bukan berarti bahwa kita harus meniru AS sepenuhnya. Sebab nilai-nilai yang diajarkan AS, seperti yang dipaparkan di atas, akan menjurus ke arah individualisme dan keserakahan yang akan merugikan dirinya maupun orang lain. Kita di Indonesia memiliki nilai berbeda yang membuatnya sangat unik di mata dunia. Nilai tersebut adalah nilai Pancasila, sebuah nilai yang tidak menjurus ke arah individualisme ataupun komunalisme, melainkan hanya mengambil sisi baik dari kedua nilai tersebut. Sayangnya, untuk prakteknya, nilai-nilai komunal lebih banyak diterapkan.

Akibat dari penerapan nilai-nilai komunal yang berlebihan itulah bangsa kita menjadi bangsa yang sangat lemot. Mencari orang yang dapat berinisiatif pun menjadi sebuah pekerjaan yang teramat sulit. Kebanyakan hanya menunggu seseorang yang dianggapnya lebih tinggi untuk membuat keputusan, barulah semua dapat bertindak secara serempak. Orang-orang semacam itu dalam sebuah masyarakat sesungguhnya dapat dikatakan orang-orang yang tidak siuman. Sebab mereka sama sekali tidak menyadari bahwa mereka bukanlah sekedar seorang manusia yang hanya dapat menyumbang satu angka untuk statistik kependudukan, melainkan seorang manusia yang dapat berkontribusi bagi kebaikan lebih dari 237 juta penduduk Indonesia.

Dengan kata lain, nilai-nilai komunal yang diterapkan di Indonesia ini justru malah membuat rakyat Indonesia tidak merdeka, sebab mereka selalu dipaksa menjadi pengikut dari kehendak orang-orang yang mereka anggap jauh lebih tinggi. Pada masa Bung Karno mereka dipaksa untuk mengikuti semangat revolusinya hingga mereka tidak menyadari bahwa inflasi sudah membumbung tinggi dan bencana kelaparan serta kemiskinan telah di depan mata. Pada masa Pak Harto mereka dipaksa mengikuti kebijakan pembangunan ekonominya hingga mereka tidak menyadari bahwa korupsi sudah merajalela dan tanah air yang mereka cintai telah menjadi sebuah sapi perah bagi kaum penguasa. Bahkan pada masa reformasi pun mereka kembali dipaksa mengikuti euforia kebebasan para reformis hingga mereka tidak menyadari bahwa kebebasan itulah yang justru memenjarakan mereka. Sungguh malang bangsa Indonesia ini dan itu semua adalah karena mereka masih belum memiliki kemampuan atau setidaknya kepercayaan diri untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya mereka rasakan.

Bagaimana caranya untuk memperbaiki semua itu? Jawabannya hanya satu: pendidikan. Kalau ada hal yang benar-benar dapat kita tiru dari AS adalah semangatnya untuk selalu menjunjung tinggi mutu pendidikan. Sebab tidak dapat dipungkiri lagi bahwa satu-satunya yang dapat membuat seseorang sanggup memiliki pendapat sendiri adalah pendidikan. Melalui pendidikan mereka akan mengerti bahwa tidak semua yang dikatakan para tokoh di TV itu adalah benar. Melalui pendidikan mereka akan menyadari bahwa setiap dari mereka sebenarnya sanggup membuat bangsa ini menjadi lebih baik. Dan melalui pendidikanlah, mereka dapat menemukan apa yang sebenarnya mereka rasakan, apa yang sebenarnya mereka inginkan, dan bagaimana cara mewujudkannya.

Untuk itulah, perlu dilakukan perubahan dalam sistem pendidikan kita. Perubahan yang bukan hanya menambah atau mengurangi kurikulum saja, melainkan perubahan yang sanggup membuat pemuda-pemudi Indonesia dapat mencintai kurikulum tersebut. Bagaimana membuat masyarakat Indonesia yang terlalu komunal ini menjadi lebih aktif dan sanggup berinisiatif, itulah tantangan yang harus dijawab oleh bangsa ini. Dengan kata lain, kita harus membuat masyarakat Indonesia ini dapat menyadari hak-hak individunya, namun tetap menyadari kepentingan komunitas. Oleh sebab itu, Pendidikan Pancasila yang telah hilang tersebut harus segera dikembalikan lagi, tentunya dengan fitur-fitur yang jauh lebih menarik dari sebelumnya. Tanpa Pancasila, akar ideologi kita, dan juga sebuah kesepakatan atas sebuah nilai yang sanggup menjembatani semua elemen manusia Indonesia, kita akan benar-benar tersesat. Dan ku tahu, itu bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh siapapun di negeri ini.

Comments

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia