Regionalisme Pasifik Selatan: Proses dan Hambatannya


Semenjak berakhirnya Perang Dunia ke-2, banyak bermunculan negara-negara baru dalam sistem internasional ini. Kebanyakan negara yang terlahir setelah Perang Dunia ke-2 adalah negara-negara miskin yang masih dalam tahap melakukan pembangunan kembali atas negaranya yang hancur akibat kolonialisme. Kondisi ini mengakibatkan negara-negara baru ini sangat lemah terhadap intervensi atau dominasi dari negara-negara kuat yang memenangkan Perang Dunia ke-2. Didorong oleh semangat self-determination (hak menentukan nasib sendiri), regionalisme pun menjadi solusi bagi negara-negara lemah yang baru terlahir ini untuk saling menguatkan diri dan memagari diri dari pengaruh asing. Hal inilah yang terjadi pada negara-negara di Pasifik Selatan.

Pasifik Selatan adalah sebuah kawasan yang kebanyakan terdiri dari negara-negara kepulauan dengan wilayah teritori yang amat kecil. Negara-negara ini sangat rentan terhadap intervensi asing akibat kondisi geografis mereka yang sangat strategis untuk melakukan kegiatan dagang dan untuk menaruh pangkalan militer di masa Perang Dunia. Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir pun, kawasan ini tetap menjadi rebutan bagi kekuatan-kekuatan besar yang memenangkan perang. Australia, yang merupakan bagian dari Pasifik Selatan sendiri, juga turut serta dalam usaha memperebutkan pengaruh di wilayah Pasifik Selatan.

Regionalisme di Pasifik Selatan lahir sebagai upaya untuk membebaskan pengaruh asing dari kawasan tersebut. Regionalisme Pasifik Selatan diawali dengan pembentukan organisasi regional Pacific Islands Forum menggantikan organisasi regional sebelumnya, South Pacific Commision (SPC), yang sangat didominasi oleh pengaruh asing. Berkat Pacific Islands Forum, sejumlah perjanjian kerjasama baik dalam bidang politik dan ekonomi di antara negara-negara Pasifik Selatan telah tercipta. Pacific Islands Forum bahkan berhasil membuat sebuah framework untuk meningkatkan regionalisme di kawasan tersebut ke tingkat yang lebih tinggi lagi yang bernama Pacific Plan pada awal abad ke-21.

Namun, September lalu Eminent Persons Group (EGP), lembaga konsultan kawasan Pasifik, melalui review team-nya mengungkapkan bahwa kendati telah meningkatkan kerjasama regional di Pasifik Selatan, Pacific Plan telah gagal meningkatkan integrasi regional di Pasifik Selatan. Penilaian ini dibuat berdasarkan fakta bahwa Pacific Island Countries Trade Agreement (PICTA) masih belum dapat diratifikasi. Penilaian review team EPG tersebut mengindikasikan bahwa terdapat masalah dalam perkembangan regionalisme di Pasifik Selatan.

Tulisan ini akan menjawab research question: ”Sudah sejauh manakah regionalisme di Pasifik Selatan berlangsung dan apakah yang menjadi hambatan bagi perkembangannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi?” Untuk menjawabnya, pembahasan dalam tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama, akan dijelaskan teori yang menjadi kerangka analisis dalam paper ini. Paper ini akan menggunakan Teori Regionalisme Baru-nya Bjorn Hettne terkait lima fase dalam perkembangan regionalisme. Pada bagian kedua, akan dijelaskan kronologi kerjasama regional di Pasifik Selatan mulai dari pembentukan South Pacific Commission sampai dengan pembentukan Pacific Plan. Pada bagian ketiga, akan dijelaskan mengenai hambatan-hambatan dalam perkembangan regionalisme di Pasifik Selatan.

Kerangka Analisis

Kawasan adalah sebuah entitas geografis yang berkembang melalui adanya integrasi yang berlandaskan pada kepentingan bersama. Regionalisme adalah sebuah proses politik yang mengarah pada peningkatan integrasi dari kawasan. Makalah ini akan menerapkan Teori Regionalisme Baru (New Regionalism Theory) yang dikembangkan oleh Bjorn Hettne. Hettne menjelaskan regionalisme sebagai “Sebuah proses dimana entitas geografis bertransformasi dari sekedar objek pasif menjadi subjek aktif yang mampu untuk mengartikulasikan kepentingan transnasional dari kawasan itu sendiri." Proses tersebut berlangsung dalam lima fase.

1. Regional Area. Fase pertama dari regionalisme adalah fase prasyarat. Hettne menerangkan bahwa untuk dapat terjadinya regionalisme, dibutuhkan sebuah ruang tempat proses transformasi dapat berlangsung. Secara spesifik, ruang tempat berlangsungnya proses transformasi ini mengharuskan adanya tiga kondisi, yaitu: adanya sekumpulan orang yang tinggal berdekatan secara geografis, memiliki suatu sumber daya alam yang dibagi bersama, dan memiliki kesamaan nilai-nilai budaya yang terbentuk akibat sejarah. Kondisi ruang yang demikian akan memicu terjadinya interaksi di antara orang-orang yang tinggal di dalam ruang tersebut, sehingga proses regionalisme akan mengarah pada fase kedua, yakni regional complex, yang akan dijelaskan di bawah.

2. Regional Complex. Pada fase kedua dari regionalisme, interaksi sosial yang semakin intens mengakibatkan terbentuknya sebuah sistem sosial yang bersifat informal di dalam kawasan. Namun, pengaruh sistem Westphalia yang berlandaskan pada kepentingan nasional masih mempengaruhi logika berpikir negara pada fase ini. Akibatnya, kerjasama yang terjadi pada fase ini masih dilandaskan kepada kepentingan nasional masing-masing negara atau keuntungan relatif yang dapat diraih dari kerjasama itu sendiri.

3. Regional Society. Pada fase ketiga dari regionalisme, akan terjadi formalisasi kawasan. Interaksi yang tercipta di antara negara-negara mulai mengarah kepada interaksi yang berdasarkan pada aturan yang disepakati bersama. Sebuah organisasi dapat tercipta dalam fase ini untuk memfasilitasi pembuatan aturan bersama tersebut. Dengan adanya kawasan yang semakin terorganisir, maka rasa saling percaya di antara aktor-aktor yang ada menjadi memungkinkan. Sehingga interaksi di antara mereka dapat diangkat ke tingkat yang lebih tinggi lagi untuk mengarah pada satu bentuk komunitas.

4. Regional Community. Pada fase keempat dari regionalisme, akan tercipta homogenisasi kawasan. Identitas bersama akan mulai dibangun pada fase ini seiring meningkatnya rasa saling percaya di antara negara-negara yang ada di dalam kawasan. Perbatasan antarnegara tidak lagi menjadi sekat pemisah, namun menjadi penghubung yang semakin menyatukan kepentingan dari tiap-tiap negara. Sebaliknya, sekat pemisah justru akan semakin terasa dalam membedakan negara yang berada di dalam kawasan dengan yang di luar kawasan. Hal ini tidak lain tercipta karena adanya pembentukan identitas dari kawasan tersebut.

5. Regional State. Pada fase terakhir dari regionalisme, interaksi, organisasi, dan homogenisasi, yang telah terjadi pada fase sebelumnya, akan membungkus kawasan ke dalam satu bentuk negara. Namun, regional state (negara kawasan) harus dibedakan dari nation state (negara bangsa) yang logika politiknya merupakan standarisasi dari satu model etnis tertentu. Negara kawasan yang tercipta dari gabungan beberapa negara bangsa harus dapat mengkompromikan perbedaan kebudayaan dari tiap negara dalam sebuah kebudayaan plural.

Berdasarkan kelima fase tersebut, dapat diidentifikasi bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan perpindahan fase regionalisme adalah intensitas interaksi transnasional. Dalam bahasa Bjorn Hettne, intensitas interaksi transnasional akan menciptakan sebuah perasaan yang disebut dengan kekawasanan (regionness). Regionness dapat dipahami dengan menganalogikan kenegaraan (stateness) atau kebangsaan (nationness). Semakin tinggi tingkat regionness, semakin tinggi pula fase regionalisme dari sebuah kawasan.5 Pada fase pertama, regionness masih belum tercipta, namun syarat-syarat yang memungkinkan terciptanya regionness sudah terbentuk. Pada fase kedua, regionness sudah mulai terbentuk, namun masih dilandasi oleh kepentingan nasional. Pada fase ketiga, regionness sudah mencapai tingkat menengah, dibuktikan dengan adanya seperangkat aturan formal yang melandasi interaksi kawasan. Pada fase keempat, regionness sudah mencapai tingkat tinggi, dibuktikan dengan adanya identitas bersama yang membedakan kawasan tersebut dengan kawasan lainnya. Pada fase terakhir, regionness telah mencapai tingkat tertingginya, dibuktikan dengan adanya sistem negara yang menjadi dasar bagi interaksi kawasan.

Kronologi Kerjasama Regional Pasifik Selatan

40 tahun terakhir semenjak berakhirnya Perang Dunia II, dunia internasional mulai merubah bentuknya menjadi blok-blok kerjasama regional. Kawasan Pasifik merupakan salah satu kawasan yang baru membentuk regional blok tersebut pada awal abad ke-20. Pembentukan regional blok di kawasan Pasifik Selatan dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II dimana negara- negara pemenang perang berniat untuk membentuk masa depan yang cerah bagi kawasan Pasifik Selatan. Resolusi tersebut didukung oleh Australia dan Selandia Baru sebagai negara besar di kawasan Pasifik Selatan. Sehingga kemudian pada tahun 1947 Australia, Inggris, Perancis, Belanda, Selandia Baru dan Amerika Serikat mendirikan South Pacific Commision (SPC) yang ditujukan untuk mendorong dan menguatkan kerjasama internasional untuk mempromosikan sektor ekonomi dan kesejahteraan sosial di daerah- daerah yang belum memiliki pemerintahan sendiri di Pasifik Selatan. Organisasi ini tidak memberikan wewenang politik sama sekali kepada negara- negara kecil di Pasifik Selatan sehingga pergerakan negara- negara Pasifik Selatan sangat terbatas dan didominasi oleh negara- negara pemenang Perang dunia II, terutama dalam bidang politik.

Sebagian besar aktivitas SPC berupa aktivitas perdagangan baik dalam regional maupun ke luar regional. Salah satu kegiatan perdagangan yang terjalin antara negara- negara Pasifik Selatan ialah pembentukan Pacific Islands Producers Association (PIPA). Organisasi ini diinisiasi oleh para pemimpin Pasifik Selatan dengan tujuan untuk mengintensifkan perdagangan negara- negara pulau dengan Selandia Baru. Organisasi ini kemudian hanya bertahan hingga 8 tahun.

Adanya represi politik secara terus menerus dan keinginan yang semakin besar dari negara-negara Pasifik Selatan untuk lebih mandiri menyebabkan munculnya inisiatif untuk membentuk suatu organisasi regional baru tanpa melibatkan negara- negara besar lain di luar wilayah Pasifik Selatan. Maka pada tahun 1971 berdekatan dengan kemerdekaan Fiji, PM Ratu Sir Kamisese Mara dari Fiji dengan dukungan Selandia Baru memimpin gerakan Pasifik Selatan untuk mendirikan sebuah forum regional yang kemudian disebut South Pacific Forum (SPF). Forum ini mulanya hanya terdiri dari 7 negara yaitu Australia, Cook Islands, Fiji, Nauru, Selandia Baru, Tonga dan Samoa Barat. SPF menjadi grup politik regional pertama di kawasan Pasifik Selatan dan kemudian lambat laut berkembang memayungi hingga 16 negara. Pada perkembangannya SPF lebih dikenal sebagai Pacific Islands Forum (PIF) dan ia menjadi wadah yang menampung perkembangan interaksi negara- negara di Pasifik Selatan khusunya di bidang ekonomi. Pembentukan Secretarian The South Pacific Bureau for Economic Coopertaion yang kemudian menjadi PIF Secretarian pada tahun 1981 menjadi bukti bahwa focus utama pada PIF mengarah pada kerjasama ekonomi dan proses dekolonialisasi yang semakin menjauhkan negara-negara Pasifik Selatan dari campur tangan negara- negara besar di luar kawasan Pasifik Selatan. Hal ini disebabkan oleh kuatnya keinginan negara- negara di Pasifik Selatan untuk menyelenggarakan kedaulatan yang bebas dominasi asing.

Sekretariat PIF membuka jalan bagi meningkatnya perdagangan keluar Pasifik Selatan melalui ekspor- impor yang memicu lahirnya kompetisi pada kawasan Pasifik Selatan itu sendiri. Sejumlah negara berhasil melakukan ekspor-impor secara lebih lancar ketimbang yang lain sehingga muncul persaingan dan gap dalam kepentingan nasional. Negara seperti Fiji merupakan contoh negara di Pasifik Selatan yang telah mampu mengekspor produk dalam negeri dan siap melakukan impor. Sedangkan negara-negara lain cenderung masih belum mampu mengembangkan impor dan memiliki kepentingan nasional yang berbeda dengan negara-negara mayoritas di Pasifik Selatan. Hal ini memicu kemunculan subgroup- subgroup tertentu di dalam forum yang masing-masing mengadvokasi kepentingan tertentu. Sebagai contoh ialah terbentunya Melanisan Spearhead Club yaitu subgroup dengan anggota negara-negara Melanisia yang menuntut dibebaskannya New Caledonia dan diperjelasnya perjanjian nuklir antara Pasifik Selatan dengan negara- negara di dunia. subgroup yang lain pun mulai bermunculan menjadi tanda adanya perpecahan dalam lingkungan forum sendiri.

Akhir Perang Dingin menjadi titik tolak perubahan bagi dominasi Australia di Pasifik Selatan. Australia yang merupakan negara penyumbang bantuan terbesar di kawasan Pasifik Selatan menolak member bantuan kecuali terdapat perbaikan ekonomi, sosial dan pemerintahan yang signifikan di negara-negara Pasifik Selatan. Hal ini terkait adanya Pacific Paradox yaitu kondisi bantuan melimpah yang terdapat di Pasifik namun kemiskinan tetap tidak teratasi di kawasan tersebut. Selain itu Australia menuntut adanya keterbukaan pasar yang dapat memudahkan perdagangan di Pasifik Selatan. Pada mulanya, negara- negara Pasifik Selatan menyetujui dan menerapkan strategi ini, namun karena kapasitas negara-negara Pasifik Selatan yang memang belum mampu menuju kondisi pasar bebas, maka satu per satu negara Pasifik Selatan meminta penundaan perdagangan bebas dengan Australia.

Isu ini kemudian secara lebih lanjut dibahas dalam sebuah forum yang melibatkan negara- negara anggota PIF kecuali Australia dan Selandia Baru. Forum yang menghasilkan persetujuan Pacific Agreement on Closer Economic Relations (PACER) berisi resolusi yang mengarah pada pembentukan integrasi ekonomi antar negara-negara peserta forum dalam tempo waktu 8 tahun mendatang. PACER yang diratifikasi pada 3 Oktober 2002 yang kemudian diperjelas lagi dalam persetujuan Pacific Islands Countries Trade Agreement (PICTA) yang diratifikasi pada tahun 2003. PICTA berisi tentang pembentukan perdagangan bebas antara peserta forum saja. Bagi negara peserta yang sudah negara berkembang, perdagangan bebas akan dilaksanakan dalam tempo waktu 8 tahun mendatang yaitu pada tahun 2010. Sedangkan bagi negara-negara LDC, perdagangan bebas akan diterapkan dalam tempo waktu 10 tahun mendatang yaitu pada tahun 2012. Ratifikasi kedua persetujuan tersebut kemudian mengarah pada lahirnya Pacific Plan, yaitu sebuah kerangka yang mendasari bentuk regionalisme di Pasifik Selatan.

Jika dirunut lebih jauh, pada dasarnya PACER, PICTA dan Pacific Plan lahir sebagai respon negara- negara Pasfiki Selatan terhadap tekanan internasional akan keterbukaan ekonomi dan dominasi Australia yang mulai terkesan mengontrol segala gerak-gerik negara-negara Pasifik Selatan, bahkan membatasi. Australia dituduh memanfaatkan negara-negara pulau di Pasifik Selatan sehingga negara-negara Pasifif Selatan membutuhkan ruh yang mampu mengikat negara-negara Pasifik Selatan agar lebih mampu mendukung kedaulatan dan kepentingan ekonomi satu sama lain. Pada tahun 2004 Pacific Plan lahir melalui pertemuan di Auckland Summit di Selandia Baru. Pacific Plan memiliki empat pilar utama yaitu pertumbuhan ekonomi, perkembangan yang berkelanjutan, pemerintahan dan keamanan. Pilar- pilar ini menunjukkan wilayah kepentingan regionalisme Pasifik Selatan. Tujuan pembentukan Pacific Plan ini sendiri ialah untuk integrasi yang lebih dekat sekaligus sebagai bentuk klarifikasi kembali adanya apreasiasi regionalisme terhadap anggota PIF.

Secara garis besar, Pacific Plan merupakan dasar kerangka pikir pertama yang memberi ruh terhadap regionalisme Pasifik Selatan. Berikut merupakan bagian dari dokumen Pacific Plan yang menyiratkan dasar pembentuakn regionalisme di Pasifik Selatan.

“The Pacific Plan is based on the concept of regionalism: that is, countries working together for their joint and individual benefit. Regionalism under the Pacific Plan does not imply any limitation on national sovereignty. It is not intended to replace any national programmes, only to support and complement them. A regional approach should be taken only if it adds value to national efforts.”

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa pembentukan regionalisme yang terjadi di Pasifik Selatan lebih didasari pada usaha untuk aktualisasi kedaulatan dan menyuarakan kepentingan nasional ketimbang usaha untuk memperjuangkan kepentingan kawasan. Hal ini secara lebih jauh menyebabkan adanya ketidakmampuan negara-negara Pasifik Selatan untuk mengartikulasikan kepentingan transnasional sebagai bagian dari proses regionalisme karena masih kuatnya kepentingan nasional masing-masing negara. Secara lebih lanjut hal ini menjadi hambatan yang membuat sulitnya realisasi regionalisme di Pasifik Selatan akibat tidak ada struktur yang dapat member peraturan terhadap negara anggota.

Hambatan-Hambatan dalam Proses Regionalisme Pasifik Selatan

Pacific Plan merupakan sarana untuk sepenuhnya menyadari visi misi tentang regionalisme Pasifik di masa depan. Hal ini seharusnya akan memperkuat kerjasama dan saling berintegrasi terutama dalam hal perdagangan antara negara-negara berdaulat wilayah Pasifik dan mengidentifikasi daerah-daerah di mana pulau-pulau terkecil atau negara berkembang pun berhak mendapatkan yang terbaik dari berbagi sumber daya pemerintahan di negara maju.

Negara-negara yang menandatangani Pacific Plan antara lain: Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji, Kiribati, Nauru, Selandia Baru, Niue, Palau, Papua New Guinea, Republic of Marshal Islands, Samoa, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu and Vanuatu. Dalam Pacific Plan terdapat empat pilar yang menjadi ‘living document’ atau dokumen yang hidup, maksudnya bukan hanya sebagai untuk memandu pembangunan jangka panjang di Pasifik sebagai wilayah dan untuk memastikan bahwa orang-orang akan membangun Pasifik dengan tujuan yang sama untuk menjalani kehidupan berdemokrasi dan berdaulat.

Namun hingga saat ini, realisasi yang signifikan dari Pacific Paln belum nampak sama sekali. Diduga terdapat sejumlah hambatan yang mengakibatkan sulit terwujudnya ide Pacific Plan dalam regionalisme Pasifik Selatan. Berikut merupakan hambatan yang hingga saat ini masih dihadapi oleh Pasifik Selatan terkait proses regionalisme:

Lack of political will and leadership. rencana pasifik terbilang masih belum sesuai dengan visi-misi negara anggotanya. Sebab adanya dominasi yang signifikan oleh kepentingan negara-negara yag lebih kuat sementara negara pasifik yg berupa pulau-pulau juga belum mampu untuk memimpin secara regional.

Unsuitable development. Ada beberapa negara yang lebih tumbuh dari segi ekonomi dibandingkan negara lainnya: banyak negara, terkecuali Fiji dan Nauru, sangat tergantung pada bantuan luar negeri khususnya berasal dari negara tetangga di dekatnya yakni Australia dan Selandia Baru. sebagian besar dana bantuan luar negeri tersebut dihabiskan untuk membiayai anggaran belanja pemerintah di negara masing-masing. Sebab lainnya adalah transaksi pada pasar domestik tidak berlangsung secara besar dikarenakan area yang kecil dan penduduk yang terbatas sehingga berakibat pada pendapatan nasionalnya. Misal: Papua New Guinea. Negara tersebut memiliki economic prosperity yang maju, namun adanya kelangkaan modal menyebabkan rendahnya simpanan domestik dan rendahnya pendapatan perkapita. Kenapa bisa langka? Karena adanya keterbatasan tenaga yang terampil di bidang pemasaran luar negeri sehingga tidak banyak investor asing yang ingin menginvestasikan uangnya atau berbisnis di Kepulauan Pasifik.

Kondisi infrastruktur yang seadanya membuat kepulauan Pasifik sulit bertahan dalam arus globalisasi. Sumber daya manusia yang sangat terbatas juga menjadi salah satu penyebab kurang berkembangnya perekonomian negara-negara kepulauan ini.

Framework dalam ‘Pacific Plan’ yang tidak strategis dan cenderung normatif, seperti: mengurangi kemiskinan, membangun sustainable trade, dan sebagainya. hal ini disebabkan masih rendahnya solidaritas antar negara-negara anggota Pasifik.

Belum ada kemauan untuk bekerja sama antara satu negara anggota dengan negara lain dikarenakan masih sibuk dengan urusan negara masing-masing. Australia dan Selandia Baru sempat mengusahakan akses masuk bagi barang-barang dari negara kepulauan ke pasar-pasar Selandia Baru. Namun volume perdagangan antar negara kepulaun Pasifik Selatan dengan Australia dan Selandia Baru tetap tidak menunjukkan peningkatan. Kemudian Australia berinisiatif untuk mengadakan liberalisasi perdagangan dengan cara menurunkan tarif, bebas kuota dan lain-lain, bagi semua produk yang dihasilkan oleh negara-negara kepulauan di kedua negara tersebut. Sekalipun demikian, sebagian besar negara-negara kepulauan terutama yang kecil-kecil, tidak mampu meningkatkan volume ekspor mereka. Hanya Fiji dan Nauru dapat memanfaatkan fasilitas perdagangan tersebut.

Cara bekerja SPF lebih mencerminkan norma-norma tradisi yang berlaku dalam masyarakat kawasan Pasifik., tidak ada aturan main yang resmi yang menyangkut maksud dan tujuan organisasi keanggotaan dan peraturan tata-tertib sidang. Keputusan-keputusannya pun selalu ditetapkan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat sedangkan penggunaan voting selalu dihindari jadi belum ada perlakuan yang setara untuk setiap anggota.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan terkait hambatan-hambatan yang dialami dalam regionalisme Pasifik Selatan, maka dapat disimpulkan bahwa saat ini regionalisme di kawasan tersebut baru mencapai fase kedua atau fase regional complex dalam Teori Regionalisme Baru. Pasifik Selatan memang sudah memiliki organisasi regional dengan peraturan-peraturannya, namun peraturan tersebut masih belum dapat membentuk perilaku negara-negara Pasifik Selatan agar sesuai seperti yang disepakati dalam peraturan itu sendiri. Letak geografis dapat dikatakan merupakan salah satu kendala internal bagi regionalisme Pasifik Selatan. letak geografis kepulauan di Pasifik Selatan hanya terdapat pulau-pulau yang sangat kecil, berjumlah banyak dan berpenduduk sedikit. timbul permasalahan di bidang transportasi misalnya untuk melewati daerah satu ke yang lainnya membutuhkan waktu yang lama dan jarak yang jauh. Zona iklimnya pun sangat memungkinkan terjadinya bencana alam secara periodik seperti badai, banjir, angin topan, bahkan kekeringan.

Hal ini belum ditambah dengan permasalahan kebudayaan. Mengingat perbedaan area berarti berbeda kebiasaan dan kebudayaan. Tradisi tiap-tiap negara dan wilayah-wilayah di Kepulauan Pasifik memliki banyak perbedaan. Apabila mereka kurang saling memahami dalam hal adat dan kebiasaan, interaksi sosial akan semakin sulit untuk terwujud dan proses modernisasi pun akan semakin jauh dari tercapai. Pertumbuhan penduduk dapat menemui permasalahan ketika lapangan pekerjaan tidak tersedia dan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. (emigrasi penduduk Cook Island dan Niue ). Meskipun secara teori, anggota-anggotanya sudah secara konsisten membicarakan tentang penggabungan nilai-nilai budaya dan norma dalam pembangunan di wilayah tersebut namun belum ada implementasi secara nyata. Dapat dikatakan, hal ini disebabkan adanya dominasi forum oleh negara atau pemimpin yang tidak melihat budaya secara prioritas, dengan penekanan pada solidaritas dan jaringan komunikasi. Dengan melihat permasalahan-permasalahan yang masih ada, maka perkembangan regionalisme Pasifik Selatan ke depannya menjadi meragukan.

Ditulis oleh: Gema Ramadhan Bastari, Anggraeni Dwi Widhiasih, dan Joanne Theresia Callista

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Politik Luar Negeri

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi