Perkembangan Teori HI dalam Islam: Arahan baru untuk Pemikiran dan Metodologi Islam



Pada awalnya, benua Eropa dikuasai dan didominasi di bawah otoritas kekuasaan Kristiani. Setiap nilai – nilai yang akan dijalankan mengacu kepada sumber dasar hukum dalam Alkitab Kristiani. Namun, dalam perkembangannya mulai muncul berbgai pergolakan dari sekelompok masyarakat yang lebih mengedapankan nilai nasionalisme. Bagi sebagian golongan ini, norma dan ajaran yang bersumber kepada ke-Tuhanan dinilai tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan realita yang ada. Hingga akhirnya dalam kurun waktu perang dunia ke II, Rusia maju dengan hegemoninya mulai menyebarkan dan menularkan ideologi baru yaitu komunisme. Dimana komunisme yang ditawarkan dapat mengkombinasikan pertentangan antara ideologi kristiani dan juga nasionalisme. Ideologi Komunisme ini dipromosikan sebagai suatu ideologi baru yang merupakan ide terbaik dalam mencapai universal community (Sulayman, 1967).


Sayangnya, ideologi komunisme yang ditawarkan ini tidak bisa bertahan lama berkuasa di benua Eropa. Ditandai dengan terjadinya Revolusi China yang membuat persepsi baru bahwa ideologi komunisme bukanlah suatu penawaran solusi terbaik yang bisa diterapkan. Perang dunia yang terjadi, dan juga dengan Perang Dingin yang mengikuti setelahnya membuat orang-orang barat mulai memkirkan konsep penawaran baru mengenai “Peaceful Destiny“ Mereka mulai menawarkan ideologi yang memiliki universal goal. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya LBB dan akhirnya mengalami peningkatan menjadi PBB, sebuah organisasi internasional yang engaja dibentuk untuk menjamin dan menciptakan keamanan dan stabilitas negara-negara di dunia (Sulayman, 1967).

Mengikuti perkembangannya, mulai muncul berbagai pendapat dan asumsi yang menyatakan bahwa PBB gagal dalam menjalankan fungsinya. Abu Sulayman (1967) menjelaskan bahwa PBB bukanlah seperti organisasi internasional yang dapat berdiri independen dan bertindak secara adil, tetapi PBB hanyalah sebuah organisasi yang mengikuti kekuasaan beberapa negara adikuasa saja. Hal ini merupakan salah satu indikasi faktor terkuat yang mengakibatkan munculnya pendapat bahwa ideologi barat telah berada dalam titik kegagalan. Pernyataan ini menjadi semakin terbukti dengan melihat konflik di Suriah yang telah berlangsung kurang lebih tiga tahun dan telah memakan banyak korban sipil, namun belum mencapai solusi yang memuaskan sampai saat ini. Munculnya negara yang mendukung pembiaran rezim Assad hingga penentangan dengan intervensi militer menandakan kurangnya inisiatif PBB dalam memutuskan setiap kebijakan untuk menjadikan tatanan dunia yang damai. Navi Pillay sebagai komisaris tinggi PBB urusan ham, melihat konflik Suriah tidak ada jalan keluar yang jelas dan mudah kecuali upaya perundingan secepat mungkin (Schlein, 2013).

Terlalu banyak kontradiksi yang terjadi didalam pemikiran yang ditawarkan oleh Barat. Universal goal yang selalu dipromosikan oleh Barat tampaknya hanya menjadi suatu ilusi belaka bagi mereka untuk menutupi national interest-nya masing-masing. Konsep perdamaian dan keamanan yang ditawarkan oleh Barat hanyalah bentuk baru dari usaha Barat untuk menghegemoni dunia. Setiap bagian dari Barat sebenarnya hanya ingin mendominasi dunia, mengeksploitasi berbagai sumber daya alam dan juga energi yang ada di berbgai belahan negara, dan juga memanfaatkan sumber daya manusia dengan tawaran yang murah. Berbagai alasan ini yang munculnya kesepakatan asumsi mengenai adanya “Capital Failure“ dan bahwa ideologi barat selama ini ternyata adalah sebuah “Tragic Disaster“ bagi umat manusia di dunia (Sulayman, 1967).

Pemikiran Islam yang merupakan antitesis dari pemikiran rasional tak ber-Tuhan yang dipromosikan pemikiran Barat dinilai dapat memberikan alternatif bagi hegemoni pemikiran Barat ini. Islam diharapkan dapat memberikan pemikiran-pemikiran baru, khususnya dalam kajian Hubungan Internasional, agar sistem internasional ini tidak lagi dihegemoni oleh kepentingan satu pihak saja. Namun, Abu Sulayman (1967) berpendapat bahwa pemikiran Islam kontemporer masih belum mampu untuk mengkritisi, apalagi memberikan alternatif bagi pemikiran Barat, karena pemikiran Islam masih belum memiliki landasan epistemologis yang kuat untuk melakukannya. Abu Sulayman pun mengajukan sebuah reformasi bagi pemikiran Islam yang ia percaya dapat membuat pemikiran Islam menjadi lebih kuat dan siap untuk menandingi pemikiran Barat. Paper ini akan menjelaskan secara ringkas mengenai pemikiran Abu Sulayman tersebut. Pembahasan dalam paper ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan menjelaskan mengapa pemikiran Islam kontemporer masih belum mampu menandingi pemikiran Barat. Bagian kedua akan menjelaskan mengenai tawaran reformasi yang diajukan oleh Abu Sulayman terhadap pemikiran Islam.

Pemikiran Islam Kontemporer

Tak dapat dipungkiri bahwa Islam memiliki sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan. Salah satu penemuan seorang ulama (sarjana) Islam, yaitu Arabic Number, masih digunakan sampai sekarang dalam berbagai bidang kehidupan. Namun pada abad ke-17, perpecahan internal yang terjadi di dalam Peradaban Islam mengakibatkan ilmu pengetahuan menjadi terpinggirkan. Ditambah lagi, sentimen anti-Barat yang berkembang di antara masyarakat Islam membuat mereka menutup diri dari segala hal yang memiliki kaitan dengan Barat, termasuk ilmu pengetahuan Barat (Sulayman, 1967).

Pada abad ke-17, Barat telah menemukan suatu terobosan dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial, yaitu metodologi. Terobosan Barat inilah yang sesungguhnya dibutuhkan bagi pengembangan pemikiran-pemikiran Islam. Sebelumnya, para ulama Islam, umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional dalam epistemologinya. Mereka hanya menterjemahkan apa yang telah dikatakan oleh Quran, Nabi, dan orang-orang yang dianggap bijak lainnya, untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi zaman ini. Metode semacam ini dikenal dengan sebutan taqlid (imitasi). Selain taqlid, ulama Islam juga melakukan talfiq (menyusun puzzle), yaitu menyusun kata-kata yang berasal dari Quran, Hadits, dan orang-orang bijak untuk membentuk suatu pengetahuan baru. Kedua metode inilah yang sampai sekarang masih dikedepankan dalam pengembangan pemikiran-pemikiran Islam (Sulayman, 1967).

Abu Sulayman (1967) mengatakan bahwa metode tradisionalis Islam amat menghambat pengembangan pemikiran Islam. Metode tradisionalis amat kurang dari segi empirisitas, mengabaikan observasi lapangan di hari ini, dan tidak objektif. Fakta yang ada di lapangan hari ini tidak menjadi variabel yang dapat mempengaruhi pemikiran ulama Islam. Mereka hanya berpegang teguh pada apa yang dikatakan oleh masa lalu dan menginginkan agar masa kini dapat menyesuaikan dengan masa lalu. Akibatnya, pemikiran-pemikiran Islam hanya berbicara tentang seharusnya, semestinya, dan sepantasnya saja. Tidak ada yang berbicara soal apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi umat Islam yang amat terpuruk dalam peradaban Barat hari ini. Itulah sebabnya, pemikiran-pemikiran Islam, kendati memiliki sumber pengetahuan yang mulia dan kuat dari segi moral, namun tetap belum siap untuk menggantikan pemikiran-pemikiran Barat (Abu Sulayman, 1967).

Reformasi Metodologi Islam


Jika kita melihat dan me-review kembali landasan pemikiran Islam seperti yang sudah dijelaskan oleh bab sebelumnya, akan terlihat bahwa akan munculnya suatu irelevansi antara metode yang diterapkan oleh Islam, yaitu ‘Jiah‘, yang merupakan pendekatan agresif, dengan kondisi global masa kini. Islam harus mempelajari strategi jitu untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin modern. Strategi dan juga kebijakan harus dibedakan dalam cara menginterpretasikannya jika dibandingkan dengan era beberapa ratus tahun yang lalu. Sebagai contoh, hukum yang diterapkan di Turki pada abad ke empat dan kelima terlihat sangat berbeda dengan apa yang diterapkan pada abad kesembilan ini (Sulayman, 1967).

Abu Sulayman (1967) menjelaskan bahwa Islam membutuhkan untuk mengadopsi pendekatan secara sistematis empiris di social science, sehingga bisa menciptakan framework Islam yang baru yang terlihat bisa lebih dipahami dan juga harus berkoordinasi dengan perkembangan masyarakat di era modern pada saat ini. Pembuat kebijakan harus bisa lebih mengembangkan pandangannya dalam membuat kebijakan atau di dalam menginterpretasikan Quran, tidak melalui pendekatan secara tradisional tapi lebih bersifat empiris.

Hal ini sudah pernah berusaha diwujudkan dibawah kekhalifahan Syah Waliyullah, beliau adalah ulama kelahiran India tahun 1703 M. Menurut pendapatnya nilai-nilai Islam dapat diterapkan melalui pembagian yang terpisah ke dalam tiga kelompok yaitu : 1). Al manqulat, 2). Al ma’qulat, dan 3). Al maksyufat. Adapun pengertiannya sebagaimana dikutip oleh A Ghafar Khan dalam tulisannya yang berjudul “Sifat, Sumber, Definisi dan Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Syah Waliyullah” (Bairesy, 2012), adalah sebagai berikut :

1). Al manqulat adalah ketika Ilmu-ilmu Agama yang disimpulkan dari atau mengacu kepada tafsir, ushul al tafsir, hadis dan al hadis.

2). Al ma’qulat adalah ketika dimana akal pikiran memegang peranan penting.

3). Al maksyufat adalah ketika nilai Islam dapat diterima langsung dari sumber Ilahi tanpa keterlibatan indra, maupun pikiran spekulatif

Selain itu, Syah Waliyullah juga membagi nilai Islam kedalam klasifikasi ilmu pengetahuan menjadi dua kelompok yaitu : 1) Islam sebagai Ilmu al husuli, yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat indrawi, empiris, konseptual, formatif aposteriori dan 2) Ilmu al huduri, yaitu Islam sebagai ilmu pengetahuan yang suci dan abstrak yang muncul dari esensi jiwa yang rasional akibat adanya kontak langsung dengan realitas ilahi.

Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo” berarti cinta dan” sophia” yang berarti kebenaran, sementara itu menurut I.R. Pudjawijatna (1963) “Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu . Sofia artinya kebijaksanaan , bijaksana artinya pandai, mengerti dengan mendalam, jadi menurut namanya saja Filsafat boleh dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam atau cinta dengan kebijaksanaan.

Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak. Menurut Sidi Gazlba (1976) Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan/atau eksperimen); batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian. Pengetahuan filsafat: segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatu yang diluar alam, yang disebut oleh agama Tuhan. Sementara itu Oemar Amin Hoesin (1965) mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmat. Secara umum kajian filsafat ilmu mencakup :

1) Aspek ontologis

2) Aspek epistemologis

3) Aspek Aksiologis

Aspek ontologis berkaiatan dengan obyek ilmu, aspek epistemologis berkaiatan dengan metode, dan aspek axiologis berkaitan dengan pemanfatan ilmu. Dari sudut ini filsuf muslim telah berusaha mengkajinya dalam suatu kesatuan dengan prinsip dasar nilai-nilai keislaman yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

Mengikuti zaman modern saat ini, Islam diharapkan bisa lebih fleksibel dalam mengajarkan dan menyebarkan nilai moralnya disesuaikan dengan kemudahan dan keterbukaan di dalam pengaplikasiannya. Abu Sulayman (1967) menawarkan beberapa solusi cerdas yang dapat dipertimbangkan agar islam bisa keluar sebagai solusi terbaik di dalam sejarah perkembangan dunia kedepannya. Yang pertama adalah agar ‘Usul’ dapat diinterpetasikan mengikuti role empiris yang ada. ‘Usul’ diharapkan agar bisa ditarik dan dicerna lebih dulu mengenai abstraksinya, dibuat detail mengikuti sistematika yang ada, sehingga akan menghasilkan “Islamic Social Science“ Kombinasi dan perpaduan yang sempurna.

Selain itu, diharapkan bisa adanya pembangunan kembali mengenai kajian modern dalam ruang lingkup Islam. Dan juga mengabstraksi nilai-nilai Al-Quran yang dapat memberikan dampak positif dalam meningkatkan komprehensifitas analisis. Adanya perubahan dan penerapan metode demikian diharapkan akan dapat meningkatkan pemikiran Islam dan pada saat bersamaan juga akan semakin menguatkan Quran untuk kedepannya (Sulayman, 1967).

Kesimpulan

Pemikiran Barat dan Pemikiran Islam memiliki perbedaan dari segi ontologis, namun sama dari segi aksiologis. Keduanya sama-sama berniat untuk membangun nilai-nilai yang bersifat universal, namun pemikiran Barat melakukannya dengan berlandaskan pada nilai-nilai sekular, sementara pemikiran Islam dengan berlandaskan pada nilai-nilai spiritual. Pada perkembangannya, pemikiran Barat mengungguli pemikiran Islam karena terobosan yang mereka buat dari sisi epistemologinya. Seandainya Islam tidak bersikeras menolak segala hal yang berasal dari Barat dan hanya meminjam metodologi Barat, maka pemikiran-pemikiran Islam dapat berkembang dengan pesat hari ini serta mampu memberikan tawaran alternatif bagi pemikiran-pemikiran Barat.

Keapatian ulama Islam pada metodologi Barat berakibat fatal. Pemikiran-pemikiran Barat kini mendominasi seluruh dunia, membuat manusia pada umumnya berpikir bahwa tidak ada alternatif bagi pemikiran tersebut. Dominasi pemikiran Barat juga bertanggung jawab pada pembentukan sistem internasional yang ada saat ini. Dimana terdapat organisasi internasional yang secara konseptual merupakan panggung dimana semua negara dapat berdiri sejajar, namun dikuasai oleh segelintir negara yang memiliki kekuatan lebih besar. Nilai-nilai universal yang telah dibangun oleh Barat pun semuanya menjadi sekedar retorika belaka, sebab hanya segelintir negara yang menikmati nilai-nilai universal tersebut.

Pemikiran Islam memiliki potensi yang besar untuk memberikan alternatif bagi pemikiran Barat, bahkan berpotensi untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah diciptakan pemikiran Barat. Secara historis, pemikiran Islam sudah pernah membuat sistem internasionalnya sendiri yang berdiri kokoh selama kurang lebih delapan abad. Namun untuk dapat terus berkembang, pemikiran Islam tidak boleh hanya mengandalkan fakta historis. Pengembangan epistemologi amat dibutuhkan dan epistemologi Barat adalah salah satunya. Melalui epistemologi Barat, pemikiran Islam dapat melengkapi apa yang selama ini kurang darinya, yaitu fakta empiris, kegiatan observasi, dan objektivitas. Dengan cara demikianlah, pemikiran Islam benar-benar dapat berkembang dan memberikan pemikiran alternatif bagi pemikiran Barat sebagaimana yang sudah sering di-khotbah-kan selama ini


Ditulis oleh: Gema Ramadhan Bastari, Biru Nitis Anjanie, dan Ahmad Yani Arifin





Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara