Alan Gamlen: Pendekatan Baru dalam Memandang Institusi Diaspora


Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan paradigma terhadap ide mengenai migrasi yang menyebabkan negara menjadi lebih hirau kepada diasporanya. Alan Gamlen melihat bahwa sebelumnya negara hanya memandang sisi imigrasi dari kebijakan migrasi dan melupakan emigrasi. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, institusi-institusi diaspora mulai bermunculan di hampir seluruh negara anggota PBB, baik sebagai kebijakan, lembaga formal, atau perundangan.

Di tengah peningkatan perhatian terhadap institusi diaspora, Gamlen menyesalkan kajian tentang institusi diaspora yang masih tertinggal. Menurut Gamlen, kajian mengenai institusi diaspora hanya terbatas pada studi kasus atau analisa deskriptif. Hal ini menyebabkan belum ada kajian teoritik yang mampu menjelaskan mengapa institusi diaspora muncul. Studi kasus mampu menjelaskan mengapa institusi diaspora muncul di suatu negara, namun tidak mampu menjelaskan mengapa kemunculan ini terjadi secara bersamaan di tingkat global.


Berdasarkan studi pustaka yang ia lakukan, Gamlen menyimpulkan bahwa terdapat dua pandangan utama yang mampu menjelaskan mengapa institusi diaspora muncul, yaitu tapping (menarik) dan embracing (merangkul). Menurut pandangan pertama, negara menciptakan institusi diaspora karena alasan materialistis, yaitu keinginan untuk menjadikan diaspora sebagai aset tambahan untuk memperkuat negara. Pandangan kedua jauh lebih progresif dengan melihat institusi diaspora sebagai upaya negara untuk memproyeksikan kebijakan domestiknya di luar batas teritorial.

Kedua pandangan di atas dilahirkan oleh berbagai studi kasus mengenai berbagai institusi diaspora di negara yang berbeda. Oleh sebab itu, Gamlen melihat bahwa tapping dan embracing terlalu fokus pada analisa tingkat domestik, seakan-akan negara dapat senantiasa membentuk sistem internasional, namun melupakan kemungkinan dimana perilaku negara dapat dipengaruhi dan dibentuk oleh sistem internasional. Berdasarkan kritik tersebut, Gamlen memperkenalkan pendekatan baru dalam memahami institusi diaspora yang lebih luas, yaitu tata kelola diaspora.

Tata kelola diaspora berangkat dari asumsi Foucalt mengenai metode subversif yang digunakan penguasa untuk mendisiplinkan subjeknya secara sukarela. Dalam konteks tata kelola diaspora, negara yang tentunya tidak memiliki kewenangan untuk menerapkan metode koersif pada diasporanya di luar negeri akan memilih menggunakan metode subversif, misalnya membangun identitas diaspora yang setia dan mengabdikan kemampuannya untuk memajukan negara asalnya. Institusi diaspora, dengan demikian, muncul dengan agenda mendisiplinkan diaspora.

Untuk memahami mengapa agenda di atas yang muncul, Gamlen mengajukan penggunaan pendekatan difusi untuk melacak bagaimana ide ini diciptakan dan berkembang melalui siklus norm emergence - norm cascade - norm internalization. Dalam hal ini, perkembangan ide mengenai tata kelola diaspora tidak dapat terlepas dari peran komunitas epistemik dalam mempenetrasi lembaga pemerintahan dan menjadikan ide mereka sebagai bagian dari kebijakan negara. Menurut Gamlen, komunitas epistemik yang melahirkan institusi diaspora berasal dari kalangan optimistik yang meyakini bahwa migrasj dapat bermanfaat bagi semua orang. Berkat intervensi komunitas ini, institusi diaspora menjadi semakin normal dan normatif.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga proposal yang diajukan Gamlen untuk mengembangkan studi tentang institusi diaspora. Pertama, studi harus mampu menjelaskan bagaimana institusi diaspora tercipta melalui pendekatan difusi. Kedua, studi harus melihat peran komunitas epistemik dalam mempromosikan institusi diaspora. Terakhir, studi harus memperhatikan praktek-praktek kekuasaan yang cenderung sbversif dalam membentuk identitas diaspora.

Sumber: Alan Gamlen. 2014. "Diaspora Institutions and Diaspora Governance." Center for Migration Studies of New York Vol. 48.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara