5 Fase Regionalisme


Kawasan adalah sebuah entitas geografis yang berkembang melalui adanya integrasi yang berlandaskan pada kepentingan bersama. Regionalisme adalah sebuah proses politik yang mengarah pada peningkatan integrasi dari kawasan. Hettne dan Soderbaum mendefinisikan regionalisme sebagai “Sebuah proses dimana entitas geografis bertransformasi dari sekedar objek pasif menjadi subjek aktif yang mampu untuk mengartikulasikan kepentingan transnasional dari kawasan itu sendiri.” Proses tersebut berlangsung dalam lima fase. 

1. Regional Area. Fase pertama dari regionalisme adalah fase prasyarat. Hettne dan Soderbaum menerangkan bahwa untuk dapat terjadinya regionalisme, dibutuhkan sebuah ruang tempat proses transformasi dapat berlangsung. Secara spesifik, ruang tempat berlangsungnya proses transformasi ini mengharuskan adanya tiga kondisi, yaitu: adanya sekumpulan orang yang tinggal berdekatan secara geografis, memiliki suatu sumber daya alam yang dibagi bersama, dan memiliki kesamaan nilai-nilai budaya yang terbentuk akibat sejarah. Kondisi ruang yang demikian akan memicu terjadinya interaksi di antara orang-orang yang tinggal di dalam ruang tersebut, sehingga proses regionalisme akan mengarah pada fase kedua, yakni regional complex.

2. Regional Complex.
Pada fase kedua dari regionalisme, interaksi sosial yang semakin intens mengakibatkan terbentuknya sebuah sistem sosial yang bersifat informal di dalam kawasan. Namun, pengaruh sistem Westphalia yang berlandaskan pada kepentingan nasional masih mempengaruhi logika berpikir negara pada fase ini. Akibatnya, kerjasama yang terjadi pada fase ini masih dilandaskan kepada kepentingan nasional masing-masing negara atau keuntungan relatif yang dapat diraih dari kerjasama itu sendiri.

3. Regional Society. Pada fase ketiga dari regionalisme, akan terjadi formalisasi kawasan. Interaksi yang tercipta di antara negara-negara mulai mengarah kepada interaksi yang berdasarkan pada aturan yang disepakati bersama. Sebuah organisasi dapat tercipta dalam fase ini untuk memfasilitasi pembuatan aturan bersama tersebut. Dengan adanya kawasan yang semakin terorganisir, maka rasa saling percaya di antara aktor-aktor yang ada menjadi memungkinkan. Sehingga interaksi di antara mereka dapat diangkat ke tingkat yang lebih tinggi lagi untuk mengarah pada satu bentuk komunitas.

4. Regional Community. Pada fase keempat dari regionalisme, akan tercipta homogenisasi kawasan. Identitas bersama akan mulai dibangun pada fase ini seiring meningkatnya rasa saling percaya di antara negara-negara yang ada di dalam kawasan. Perbatasan antarnegara tidak lagi menjadi sekat pemisah, namun menjadi penghubung yang semakin menyatukan kepentingan dari tiap-tiap negara. Sebaliknya, sekat pemisah justru akan semakin terasa dalam membedakan negara yang berada di dalam kawasan dengan yang di luar kawasan. Hal ini tidak lain tercipta karena adanya pembentukan identitas dari kawasan tersebut.

5. Regional State. Pada fase terakhir dari regionalisme, interaksi, organisasi, dan homogenisasi, yang telah terjadi pada fase sebelumnya, akan membungkus kawasan ke dalam satu bentuk negara. Namun, regional state (negara kawasan) harus dibedakan dari nation state (negara bangsa) yang logika politiknya merupakan standarisasi dari satu model etnis tertentu. Negara kawasan yang tercipta dari gabungan beberapa negara bangsa harus dapat mengkompromikan perbedaan kebudayaan dari tiap negara dalam sebuah kebudayaan plural.

Berdasarkan kelima fase tersebut, dapat diidentifikasi bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan perpindahan fase regionalisme adalah intensitas interaksi transnasional. Dalam bahasa Hettne dan Soderbaum, intensitas interaksi transnasional akan menciptakan sebuah perasaan yang disebut dengan kekawasanan (regionness). Regionness dapat dipahami dengan menganalogikan kenegaraan (stateness) atau kebangsaan (nationness). Semakin tinggi tingkat regionness, semakin tinggi pula fase regionalisme dari sebuah kawasan.

Pada fase pertama, regionness masih belum tercipta, namun syarat-syarat yang memungkinkan terciptanya regionness sudah terbentuk. Pada fase kedua, regionness sudah mulai terbentuk, namun masih dilandasi oleh kepentingan nasional. Pada fase ketiga, regionness sudah mencapai tingkat menengah, dibuktikan dengan adanya seperangkat aturan formal yang melandasi interaksi kawasan. Pada fase keempat, regionness sudah mencapai tingkat tinggi, dibuktikan dengan adanya identitas bersama yang membedakan kawasan tersebut dengan kawasan lainnya. Pada fase terakhir, regionness telah mencapai tingkat tertingginya, dibuktikan dengan adanya sistem negara yang menjadi dasar bagi interaksi kawasan.


Sumber

Björn Hettne dan Fredrik Söderbaum, “Theorizing the Rise of Regionness,” dipresentasikan dalam 3rd Annual Conference After the Global Crises: What Next for Regionalism (1999): 10-18.
\

Comments

Popular posts from this blog

Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis: Kembalinya Gerakan Buruh untuk Menentang Kapitalisme

Teori Pembentukan Negara ala Islam

Book Review: Bioteknologi dan Kapitalisme: Perubahan Makna Kehidupan Manusia

Book Summary: Chapter 11 The American Democracy: Congress: Balancing National Goals and Local Interests

Kerajaan Tonga