Antara Kosmopolitanisme dan Komunitarianisme: Adakah Pilihan Ketiga?


Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di LSF Cogito 



Pembicaraan tentang moralitas dalam hubungan internasional (HI) sudah berlangsung jauh sebelum kajian ini diformalisasikan menjadi disiplin ilmu pada tahun 1919.[1] Adalah Immanuel Kant yang mengenalkan kita pada konsep standar moralitas universal yang harus dipatuhi setiap individu untuk menciptakan apa yang ia sebut sebagai ‘perdamaian abadi’. Kata kunci yang digunakan di sini adalah ‘harus’. Moralitas memberikan sebuah aturan yang menetapkan apa yang ‘seharusnya’ dan ‘tidak seharusnya’ dilakukan oleh individu. 

Kant berargumen bahwa standar moralitas universal hanya dapat dijunjung jika semua individu mematuhi standar tersebut dan melawan segala hasrat alamiah yang memerintahkan kita untuk melakukan sebaliknya.[2] Pada perkembangannya, konsep ini menjadi bahan kajian dan diskusi yang menarik di kalangan akademisi, namun terlalu ambisius untuk dipraktekkan. Ketika realisme mendominasi pemikiran ilmu HI pada akhir Perang Dunia II, konsep moralitas praktis terlupakan begitu akademisi HI hanya memandang negara sebatas aktor egois yang hanya mempedulikan kepentingannya sendiri.[3]

Akan tetapi, dengan berkembangnya pemikiran kritis dalam ilmu HI dan kehadiran konstruktivisme pada tahun 90-an yang memandang pentingnya nilai dan ide dalam membentuk perilaku aktor internasional, pembicaraan tentang moralitas kembali menempati ruang diskusi ilmu HI. Pertanyaan utama yang diajukan kali ini adalah “Kepada siapakah kewajiban moral ini kita berikan? (To whom do we owe our moral obligations? )”.[4] 

Pertanyaan ini kemudian melahirkan dua kubu: kosmpolitanisme dan komunitarianisme. Kosmopolitanisme menjawab “Kepada setiap manusia!” sementara komunitarianisme menjawab “Kepada sesama komunitas kita!” Jika ditranslasikan ke diksi ilmu HI, kosmopolitanisme berargumen bahwa negara memiliki tanggung jawab yang sama kepada setiap manusia, termasuk yang tinggal di luar batas teritorinya, sementara komunitarianisme berargumen bahwa negara hanya bertanggung jawab kepada setiap manusia yang tinggal di dalam batas teritorinya. Pada prakteknya, perbedaan pandangan di antara kedua kubu ini melahirkan kebijakan yang sangat berbeda.[5]

Negara yang berpihak pada kubu kosmopolitanisme akan menganggap setiap orang sebagai warga negaranya sendiri dan merasa berhak untuk menjamin nasib mereka semua tanpa kecuali. Ketika diketahui bahwa orang-orang yang tinggal di negara X mengalami penderitaan karena perlakuan semena-mena oleh pemimpinnya, maka negara Y yang menganut doktrin kosmopolitanisme akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan pemimpin negara X dan menyelamatkan warga negara X dari tirani. 

Ketika warga negara Z kehilangan rumahnya akibat bencana alam, maka negara Y akan membuka lebar pintu imigrasinya, memberikan tempat tinggal baru bagi mereka di negara Y, dan memberikan mereka pekerjaan. Negara yang menganut doktrin kosmopolitanisme adalah ibarat Bapa di Surga Yang Maha Adil, mengasihi semua orang, dan membuka pintu rumahnya pada siapapun. Tidak ada kata ‘orang asing’ di dalam kamus kosmopolitanisme.

Sementara itu, negara yang berpihak pada kubu komunitarianisme hanya akan peduli pada warga negaranya sendiri. Orang-orang yang berada di luar batas teritori mereka adalah orang asing, seekor alien yang tidak dapat dipahami, berpotensi sebagai ancaman, dan harus diregulasi oleh undang-undang agar tidak menimbulkan permasalahan. Justifikasi yang diberikan untuk melegitimasi kebijakan yang terlihat ‘kejam’ ini adalah bahwa negara memiliki kontrak sosial dengan penduduknya dan oleh karenanya memiliki tanggung jawab untuk mendahulukan kepentingan mereka dibandingkan siapapun. 

Dalam kasus pelanggaran HAM yang dilakukan negara X, negara W yang menganut doktrin komunitarianisme tidak akan berbuat apa-apa. Mereka akan berargumen bahwa tidak ada gunanya menghabiskan sumber daya nasional untuk memenuhi kepentingan mereka yang bukan warga negaranya. Kemudian dalam kasus bencana alam di negara Z, negara W tidak akan membuka pintu imigrasinya dan berargumen bahwa membiarkan alien dalam jumlah besar memasuki teritorinya akan menciptakan potensi ancaman keamanan dalam negeri yang tidak diinginkan oleh penduduknya. Negara yang menganut doktrin komunitarianisme adalah ibarat seorang Don mafia yang menyayangi keluarganya melebihi siapapun namun tidak ragu untuk bersikap bengis kepada selainnya.

Sejauh ini, essay ini telah membandingkan kosmopolitanisme dan komunitarianisme secara tidak adil melalui narasi pahlawan dan penjahat. Namun perlu diketahui bahwa semua itu dilakukan dengan nada sarkastis. Jika ditanya opini pribadi, saya akan mengatakan bahwa kosmopolitanisme adalah kemunafikan yang sangat besar. Pada prakteknya, tidak ada negara yang pernah menerapkan doktrin kosmopolitanisme seperti yang telah dijelaskan di atas. Kalaupun ada yang melakukan, maka mereka memiliki suatu agenda tersembunyi di baliknya atau melakukannya dengan terpaksa. 

Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) telah melakukan serangan unilateral kepada Irak dengan justifikasi “membebaskan warga Irak dari tirani” dan “membebaskan dunia dari ancaman ‘Si Gila’ Saddam Husein dan senjata biologisnya.[6]” Akan tetapi, dunia kemudian mengetahui bahwa Saddam tidak pernah memiliki senjata penghancur massal dan AS terbukti memfabrikasi alasan penyerangannya. [7] 

Sejumlah pihak berspekulasi bahwa serangan AS ke Irak sesungguhnya dilakukan untuk menguasai pasokan minyak yang berlimpah di Irak.[8] Kendati spekulasi ini tidak pernah dikonfirmasi, fabrikasi yang dilakukan AS sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdapat agenda tersembunyi di balik serangan ‘kemanusiaan’ yang mereka lakukan. Sebab jika memang tidak ada agenda tersembunyi, untuk apa mereka menciptakan alasan yang mengada-ada?

Dalam contoh lain, krisis pengungsi di Uni Eropa menunjukkan betapa tidak relanya negara-negara Uni Eropa untuk menerima 200,000 lebih warga Suriah yang terusir dari rumahnya akibat perang saudara. Negara-negara seperti Inggris dan Perancis mengeluhkan bahwa mereka sudah tidak lagi sanggup untuk menampung tambahan pengungsi lagi.[9] Satu-satunya alasan mereka mau menampung segelintir pengungsi dari Suriah adalah karena mereka terlanjur menandatangani Traktat Uni Eropa yang mengharuskan mereka untuk menjunjung tinggi kemanusiaan di atas segalanya dan media serta advokat transnasional terus-menerus menekan mereka untuk menepati traktat tersebut.[10] 

Jika boleh memilih, mereka tidak akan menerima pengungsi sama sekali. Warga negara mereka pun terus-menerus menyuarakan protes terhadap jumlah pengungsi yang semakin tidak terkendali dan mengkhawatirkan keamanan mereka.[11] Sebuah desa di Swiss bahkan rela membayar denda sebesar £200,000 daripada harus menerima 10 orang pengungsi.[12] Namun tentu saja, tindakan yang sama tidak akan dapat dilakukan di tingkat nasional karena denda yang harus dibayarkan Swiss untuk menolak 50,000 orang pengungsi akan terlalu besar. Dengan kata lain, negara-negara Eropa tidak memiliki pilihan selain menerima pengungsi dalam keadaan terpaksa.

Berdasarkan fakta-fakta yang ada, saya harus mengatakan bahwa tidak ada negara yang dapat menggantikan peran Tuhan di muka bumi. Tidak ada negara di dunia ini yang cukup altruistik untuk menggunakan sumber daya mereka yang terbatas demi orang-orang yang bukan konstituen mereka. 

Pada akhirnya, kosmopolitanisme, ketika diterapkan, tidak akan lebih dari retorika atau jargon politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan nasional yang dimiliki suatu negara. Skenario terbaik yang dapat muncul adalah kosmopolitanisme akan menjadi landasan filosofis dari suatu perjanjian internasional yang pada akhirnya harus diikuti negara dalam keadaan terpaksa. Tidak ada hal baik yang muncul dari penerapan kosmopolitanisme sebagai kompas moral suatu negara.

Dibandingkan dengan kosmpolitanisme, pendekatan komunitarianisme jelas lebih realistis. Kesadaran untuk hanya bertanggung jawab kepada warga negaranya sendiri akan membuat negara memfokuskan pemanfaatan sumber dayanya untuk memenuhi kepentingan warganya. Jika semua negara menggunakan doktrin ini tentu tidak akan ada orang yang menderita karena kebutuhan mereka sudah dipenuhi oleh negaranya masing-masing. Namun apakah hal tersebut mungkin? 

Bagaimanapun juga, saya tetap tidak dapat mengadvokasikan komunitarianisme sebagai pendekatan yang lebih cocok dalam isu kemanusiaan. Bukan karena doktrin ini menuntut negara untuk bersikap kejam kepada orang yang bukan warga negaranya, melainkan karena doktrin ini akan mengisolir sebuah negara dari komunitas internasional.

Pada dasarnya, tidak semua negara memiliki kapasitas dan cadangan sumber daya yang sama. Ada negara miskin, ada negara kaya, semua itu adalah fakta yang harus kita terima. Dalam kondisi dimana suatu negara tidak mampu menggunakan sumber daya nasionalnya untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, mereka akan melakukan kebijakan luar negeri untuk mencari cara mengatasi kekurangan tersebut. 

Hari ini, menyerang negara lain jelas tidak akan menjadi pilihan pertama yang muncul di benak pembuat keputusan, sehingga kebijakan luar negeri yang akan muncul umumnya adalah kerjasama. Di sinilah doktrin komunitarianisme menjadi bermasalah. Negara yang menganut doktrin komunitarianisme secara alamiah akan menolak untuk berinteraksi dengan negara lain. Jika suatu negara sudah menerapkan doktrin tersebut untuk waktu lama, seberapa besarkah kemungkinannya negara lain mau bekerjasama dengan negara tersebut?

Donald Trump adalah seorang pemimpin yang berusaha menanamkan nilai-nilai komunitarianisme di Amerika Serikat. Dengan slogannya, “America first!” dan “Make America Great Again” Trump memutus segala kerjasama multilateral yang pernah dibuat AS, menutup pintu imigrasinya dari pengungsi, dan memperketat pengawasan terhadap alien tanpa sertifikat. Kebijakan-kebijakan tersebut memang sejalan dengan slogan kampanye yang dibunyikan Trump untuk hanya memfokuskan perhatiannya kepada warga Amerika. 

Akan tetapi, sejumlah pihak berspekulasi bahwa kebijakan-kebijakan semacam ini hanya akan membawa kejatuhan bagi kedigdayaan Amerika Serikat. Umair Haque, sebagai contoh, mengatakan bahwa kebijakan ekonomi Trump akan membawa AS ke masa depresi. Tanpa kerjasama multilateral seperti Trans Pacific Partnership (yang sudah dibatalkan oleh Trump), tingkat ekspor akan menurun. Pada saat yang sama, investasi asing juga akan menurun jika mereka melihat tren pertumbuhan ekonomi yang buruk dari Amerika. 

Hal ini akan mengakibatkan penurunan pendapatan AS secara keseluruhan yang berdampak pada kemampuan warganya dalam mengkonsumsi barang. Jika kita mengacu pada persamaan makroekonomi yang menyatakan bahwa PDB = Konsumsi + Pengeluaran pemerintah + Investasi + Ekspor, maka pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan akan jatuh. Itu baru dalam soal kebijakan ekonomi.[13]

Haque justru berargumen bahwa hal terbesar yang akan hilang dari AS dengan penerapan kebijakan komunitarianisme a la Trump adalah soft power dan kepemimpinan moral. Model ekonomi AS telah menjadi panutan banyak negara-negara berpendapatan menengah seperti Korea dan Thailand. Namun dengan kebijakan ekonomi Trump yang menunjukkan tren negatif, apakah masih ada negara lain yang mau mengikuti AS? 

Tentu negara-negara tersebut akan lebih tertarik untuk mengikuti model ekonomi China yang diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia menggantikan AS. Selain itu, dengan menutup diri dari pengungsi dan (apabila jadi) membangun tembok sepanjang perbatasan Amerika-Meksiko, AS praktis menanggalkan statusnya sebagai garda terdepan nilai-nilai kebebasan dan kemanusiaan. 

Komitmen AS terhadap nilai-nilai tersebut (walau dengan kemunafikan) adalah kerangka utama yang membentuk soft power AS. Jika pernah ada masanya AS begitu disegani komunitas internasional, maka hal itu terjadi bukan hanya karena mereka merupakan negara dengan kekuatan ekonomi dan militer terbesar di dunia, namun juga karena mereka adalah negara yang mendukung dan membela nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kepemimpinan Trump dan komunitarianismenya, AS hanya berakhir sebagai bahan tertawaan warga negara lain.[14]

Kasus Donald Trump di atas telah menjelaskan mengapa saya tidak begitu percaya pada pendekatan komunitarianisme. Secara pribadi, saya lebih menyukai nilai-nilai yang ditawarkan oleh kosmopolitanisme. Seandainya kita dapat hidup berdampingan tanpa terhalangi batas, tanpa terhalangi identitas nasional, tentu hal itu akan sangat luar biasa. Akan tetapi, pendekatan ini jelas mustahil diterapkan oleh negara, baik karena negara adalah aktor yang egois dan juga karena suatu negara akan memiliki keterbatasan sumber daya untuk memenuhi nilai-nilai kosmopolitanisme. 

Secara singkat, saya menilai kosmopolitanisme sebagai ide yang baik namun tidak realistis, sementara komunitarianisme sebagai ide yang buruk namun lebih realistis. Layaknya memakan buah simalakama, tidak ada pilihan yang baik di antara dua pilihan tersebut. Pertanyaan penting yang seharusnya diajukan dalam situasi seperti ini adalah, “Apakah ada pilihan ketiga? Dapatkah kita melampaui perdebatan tanpa akhir ini dan mencapai sebuah sintesis dari kedua ide tersebut?” Sejumlah akademisi HI telah mencoba memberikan jawaban bagi pertanyaan tersebut.

Sebagai contoh, Hsuan-Hsiang Lin berusaha menjembatani perdebatan antara komunitarianisme dan kosmopolitanisme dengan menggunakan metode Hegelian. Lin berargumen bahwa sejumlah elemen dalam kosmopolitanisme sangat penting dalam pembahasan mengenai etika internasional. Elemen yang dimaksud adalah kesejahteraan setiap manusia yang harus dipenuhi. Namun begitu, Lin juga melihat bahwa kepentingan negara harus diperhatikan begitu pula dengan latar belakang sejarah yang memungkinkan hal ini terjadi. 

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Lin mengajukan sebuah pandangan mengenai etika internasional yang merupakan sintesis dari komunitarianisme dan kosmopolitanisme. Menurut Lin, sebuah etika internasional harus menekankan pendekatan yang berpusat pada warga (people-centric approach). Pada saat yang sama, setiap warga harus memiliki moralitas dan mengakui keberadaan warga lain, memiliki rasa keadilan, dan mampu memformulasikan visi untuk mencapai kebaikan serta terlibat dalam berbagai jenis aktifitas untuk mewujudkannya. Dengan adanya kondisi seperti itu, setiap etnis akan terlihat sama, tidak ada lagi orang asing, semua adalah manusia dengan kewajiban moral yang sama.[15]

Selanjutnya, Lin mengajukan sebuah proses deliberasi di dalam forum politik internasional dimana representasi dari masing-masing warga memilih prinsip keadilan internasional mana yang sesuai dengan preferensi mereka. Menurut Lin, penggabungan preferensi aturan moral internasional yang berdasarkan asas demokrasi akan menghasilkan prinsip-prinsip yang sudah ada, seperti kesetaraan dalam kedaulatan serta non-intervensi, bukan prinsip-prinsip kontroversial seperti keharusan negara melayani kepentingan setiap manusia. 

Ini merupakan kompromi paling realistis yang dapat dibayangkan oleh Lin. Nilai-nilai moralitas dan people-centric akan dapat diekspresikan di forum politik internasional tanpa mengurangi kedaulatan negara. Dengan begitu, ide komunitarianisme mengenai keharusan negara melindungi warga dan kedaulatannya pun tetap dapat terakomodir.[16]

Proposal Hsuan-Hsiang Lin pada dasarnya adalah pembentukan budaya politik internasional yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Budaya tersebut tidak perlu dipaksakan sebagai kebijakan negara, melainkan sebagai model percontohan yang dapat dirujuk untuk menghadapi suatu permasalahan tertentu. Dengan membatasi nilai-nilai kosmopolitanisme sebagai budaya, negara masih akan memiliki kedaulatan beserta kemampuan untuk melindungi warganya secara maksimal. 

Akan tetapi, jika suatu ketika warganya sendiri meminta negara untuk membantu negara lain, maka negara tersebut tetap akan dapat melakukannya. Dalam hal ini, forum politik internasional yang diajukan Lin tersebut akan berguna sebagai konsiderasi bagi sebuah negara untuk memasuki dimensi kosmopolitanisme. Kita dapat melihat contoh dari penerapan model moralitas seperti ini pada Australia.

Australia hari ini merupakan negara yang sangat ketat terhadap pengungsi, khususnya yang memasuki Australia secara ilegal melalui jalur laut. Namun pada tahun 1975, Australia pernah menerima ribuan manusia perahu yang lari dari Vietnam Selatan karena ibukota mereka telah dikuasai oleh Vietcong. Opini publik yang begitu masif pada waktu itu menuntut pemerintah Australia agar menerima kedatangan orang-orang Vietnam ini tanpa restriksi. Hal tersebut menyebabkan Australia membuka pintu imigrasinya tanpa syarat walau tidak ada keuntungan yang akan mereka dapat.[17] 

Walaupun di kemudian hari Australia menyadari bahwa jumlah manusia perahu yang memasuki Australia semakin banyak dan pada akhirnya memperketat aturan imigrasinya, namun Australia tetap memiliki pilihan untuk melihat kembali pada sejarahnya. Dengan demikian, baik nilai kosmopolitanisme maupun komunitarianisme tetap dapat diakomodir. Sintesis inilah yang saya anggap paling cocok untuk digunakan dalam menghadapi isu kemanusiaan.



[1] Lucian Ashworth, “The Origins of International Relations,” British International Relations, diakses dari https://www.bisa.ac.uk/index.php/research-articles/539-the-origins-of-international-relations pada 26 Mei 2017.
[2] Robert Johnson dan Adam Cureton, “Kant’s Moral Philosophy,” Stanford University (7 Juli 2016), diakses dari https://plato.stanford.edu/entries/kant-moral/ pada 26 Mei 2017.
[3] Joseph M. Grieco, “Anarchy and the limits of cooperation: a realist critique of the newest liberal institutionalism,” International Organization Vol. 42 No. 3 (1988), hlm. 485.
[4] Eric Gallager, “Are Cosmopolitanism and Communitarianism Really Opposites?” Academia (26 Oktober 2012), diakses dari https://www.academia.edu/2371246/Are_Cosmopolitanism_and_Communitarianism_Really_ Opposites pada 26 Mei 2017.
[5] Ingeborg Haukvik, Communitarianism vs Cosmopolitanism?: Refugee and asylum policy of the Conservative “blue-blue” government, Norwegian University of Life Sciences, 2015, hlm. 7-11.
[6] George W. Bush, “A transcript of George Bush’s war ultimatum speech from the Cross Hall in the White House,” The Guardian (18 Maret 2003), diakses dari https://www.theguardian.com/world/2003/mar/18/ usa.iraq pada 26 Mei 2017.
[7] Julian Borger, “There were no weapons of mass destruction in Iraq,” The Guardian (7 Oktober 2004), diakses dari https://www.theguardian.com/world/2004/oct/07/usa.iraq1 pada 26 Mei 2017.
[8] Nafeez Ahmed, “Iraq invasion was about oil,” The Guardian (20 Maret 2014), diakses dari https://www.theguardian.com/environment/earth-insight/2014/mar/20/iraq-war-oil-resources-energy-peak-scarcity-economy pada 26 Mei 2017.
[9] Marcin Zaborowski, “Why eastern Europe’s resistance to refugee quotas is not ‘selfish’,” The Guardian (16 September 2015), diakses dari https://www.theguardian.com/commentisfree/2015/sep/16/eastern-european-migrants-refugees-selfish pada 26 Mei 2017.
[10] “Migrant crisis: EU ‘must accept 200,000 refugees’, UN says,” BBC (4 September 2015), diakses dari http://www.bbc.com/news/world-europe-34148891 pada 26 Mei 2017.
[11] Joshua Melvin, “Calais migrants: ‘We’re not wanted in France’,” The Local fr (13 Oktober 2014), diakses dari https://www.thelocal.fr/20141013/calais-migrants-were-not-welcome-in-france pada 26 Mei 2017.
[12] James Rothwell, “Swiss village chooses to pay £200,000 fine instead of accepting 10 refugees as ‘they won’t fit in’,” The Telegraph (30 Mei 2016), diakses dari http://www.telegraph.co.uk/news/2016/05/30/swiss-village-chooses-to-pay-200000-fine-instead-of-accepting-10/ pada 26 Mei 2017.
[13] Umair Haque, “Three Things America Lost Today,” Umair Haque (19 Januari 2017), diakses dari https://umairhaque.com/three-things-america-lost-today-12e9217c523a pada 30 Mei 2017.
[14] Haque, “Three Things.”
[15] Hsuan-Hsiang Lin, “Beyond the Debate between Cosmopolitanism and Communitarianism: Toward a Hegelian Synthesis,” Fo Guang University (28 Maret 2008), diakses dari  http://fguir.fgu.edu.tw:8080/bitstream/ 039871000/3676/1/Beyond+the+Debate+between+Cosmopolitanism+and+Communitarianism%EF%BC%9AToward+a+Hegelian+Synthesis.pdf pada 30 Mei 2017.
[16] Lin, “Beyond the Debate.”
[17] Stephen Thompson, “1975 Tu Do Refugee Boat,” Migration Heritage Centre (2006), diakses dari http://www.migrationheritage.nsw.gov.au/exhibition/objectsthroughtime/tudo/ pada 30 Mei 2017. (Thompson, 2006)

Comments

Popular posts from this blog

Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis: Kembalinya Gerakan Buruh untuk Menentang Kapitalisme

Book Review: Bioteknologi dan Kapitalisme: Perubahan Makna Kehidupan Manusia

Book Summary: Chapter 11 The American Democracy: Congress: Balancing National Goals and Local Interests

Mengapa Paus Francis Tidak Begitu Bijak: Hubungan Kapitalisme-Agama dan Implikasinya

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah