The Matrix dan Realita yang Banal

Tulisan ini adalah rangkuman dari bedah filem The Matrix yang dilaksanakan di Universitas Paramadina pada tahun 2012 dan ditulis bersama Nahdlatur Rosyidah


Menjelang pemilu tahun 2014 nanti, kita mulai banyak menemukan kampanye-kampanye para calon presiden republik ini, baik di media cetak maupun media elektronik. Kita disajikan oleh berbagai macam ajakan dan tawaran yang terkesan murni diniatkan untuk membangun republik ini. Seruan oleh salah satu calon presiden yang mengajak kita untuk menjadi bagian dari penggerak perubahan masa depan bangsa, padahal dirinya yang telah jelas mengaburkan bahkan mematikan masa depan banyak dari masyarakat kita di daerah jawa timur. Pada masa-masa kampanye inilah kita disajikan berbagai macam realitas yang menyeret kita untuk mendefinisikan kembali mengenai hidup itu sendiri.

Jean Baudrillad, seorang teoritisi pascamodern, secara singkat menjelaskan bahwa hiperrealitas adalah suguhan 'realitas' yang lebih nyata dari aslinya, keadaan dimana kita tidak mampu lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang maya. Menurut baudrillad, televisi atau media audio visual merupakan tempat suguhan hiperrealitas karena kemampuannya untuk membangun sebuah realitas sosial.

Film The Matrix (1999) banyak diklaim memberikan ilutrasi yang jelas mengenai konsep hiperrealitas. Matrix yang digambarkan sebagai suatu program komputer yang memberikan gambaran nyata mengenai simulasi hidup yang sedang kita jalani. Dalam Matrix, apa yang disebut 'nyata' bukanlah apa yang terlihat sebenarnya. Justru kenyataannya mereka yang tinggal dalam Matrix tidak pernah melihat dunia yang sebenarnya karena berada di luar sudut pandang mereka. Hanya mereka yang memilih untuk melepaskan diri dari Matrix-lah yang benar-benar menjalani kehidupan yang sebenarnya.

Selain menampilkan banyak adegan-adegan aksi yang menegangkan, film ini sangat dikenal karena sarat akan nilai pesan moral dan filosofi mendalam yang dibungkus secara brilian dan dimainkan dengan baik oleh Keanu Reeves. Universal Group Discussion pada 29 November 2013 telah melakukan bedah film The Matrix dengan dipandu oleh Azis Rahmani (Peneliti Pacivis) untuk mengenalkan pada civitas akademika terkait konsep hiperrealitas Jean Baudrillard dan relevansinya dalam kehidupan hari ini. Berikut adalah resume dari bedah film tersebut.


Apa itu Hiperrealitas?

Azis Rahmani menjelaskan bahwa Jean Baudrillard membuat konsep Hiperrealitas sebagai bentuk kritik kepada teori Marxis Klasik. Baudrillard mengatakan bahwa realitas sosial yang dianalisis oleh Marx telah mengalami perubahan hari ini. Pada masa Marx, relasi sosial terjadi karena relasi kelas, namun hari ini, yang disebut oleh Baudrillard sebagai masa pascamodern, relasi sosial terjadi karena relasi simbol.

Terminologi pascamodern itu sendiri muncul sejak bukunya Jean Françios Lyotard dimana ia menjelaskan perbedaan modern dengan postmodern. Pada masa modern, pembicaraan selalu mengenai apa itu kebenaran dan bagaimana mendefinisikan kebenaran. Apa itu identitas? Apa itu sosial? Semua ide-ide ini berusaha untuk dibakukan dalam definisi tunggal yang harus disepakati bersama. Lyotard menjelaskan bahwa masyarakat pascamodern tidak lagi membutuhkan adanya kebenaran tunggal karena mereka memiliki cara sendiri untuk mendefinisikan kebenarannya dan mereka sangat meng-embrace keberagaman. Dalam kondisi semacam itulah, Jean Baudrillard menciptakan konsep hiperrealitasnya.

Dalam suatu wawancaranya, Jean Baudrillard pernah menyatakan bahwa konsep hiperrealitas yang digambarkan dalam film The Matrix sama sekali berbeda dari konsep hiperrealitas yang dia buat. Hiperrealitas menurut Baudrillard adalah suatu kondisi sosial yang sebetulnya bersifat banal (tak bermakna) namun menjadi seolah bermakna karena adanya simbol-simbol yang menyembunyikan kebanalan tersebut. Hiperrealitas hadir secara nyata dalam kehidupan kita dan kita dapat benar-benar merasakannya. Hal ini berarti bahwa hiperrealitas bukanlah sebuah ilusi yang diciptakan oleh para mesin dan hanya dapat dirasakan oleh manusia yang lehernya sudah di-plug seperti yang digambarkan dalam The Matrix. Penggambaran hiperrealitas yang disamakan dengan ilusi dalam The Matrix inilah yang menyebabkan Jean Baudrillard menyatakan bahwa film The Matrix sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsep Hiperrealitas yang ia buat.

Hiperrealitas umum terlihat dalam advertisement dan banyak dikembangkan oleh akademisi yang mendalami disiplin Ilmu Komunikasi. Hiperrealitas dapat mengubah logo yang sebetulnya hanyalah sebuah lempengan besi menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Hal ini dilakukan dengan menempelkan nilai-nilai sosial ke dalam logo tersebut. Contohnya dapat dilihat ketika kita disuguhi tas Louis-Vuitton baru yang diklaim memiliki berbagai inovasi dalam hal mode sehingga dia menjadi sangat cocok dengan gaya fashion kekinian. Jika kita mau berpikir lebih dalam lagi, kita akan menyadari bahwa tas Louis-Vuitton tersebut hanyalah sebuah tas yang banal, namun karena ditempeli dengan simbol kekinian, kita menjadi merasakan suatu kebanggaan sendiri begitu mengenakan tas tersebut. Logo Louis-Vuitton sendiripun menjadi semacam jaminan yang merepresentasikan nilai kekinian tersebut.

Media dalam hal ini menjadi medium untuk mempromosikan simbol-simbol hiperrealitas. Akibat kekuatan media dalam mempengaruhi masyarakat, kita dibuat menjadi terbiasa dengan simbol-simbol tersebut, bahkan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Kita jadi percaya bahwa mengendarai BMW berarti meningkatkan status sosial kita. Kita jadi percaya bahwa rokok Sampoerna lebih berkualitas dibandingkan rokok Jawa, sehingga pantas dihargai lebih mahal, kendatipun kedua rokok tersebut dibuat dengan tembakau yang sama


Bagaimana Melihat Kebanalan di Balik Hiperrealitas?

Setelah menjelaskan mengenai konsep hiperrealitas secara umum, peserta diskusi kemudian mencoba menanyakan apakah hal-hal yang diketahui mereka selama ini hanyalah sebuah kebanalan atau tidak. Pertanyaan pertama datang dari Adit yang bertanya mengenai kebanalan di balik simbol anak-anak muda yang selalu meneriakkan bahwa pemuda bisa mengubah dunia. Azis Rahmani menjawabnya dengan mengatakan bahwa yang harus dilihat dalam konteks pemuda adalah apa yang berusaha direpresentasikan oleh simbol 'pemuda' ini dan kenapa harus simbol 'pemuda' yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu itu?

Peserta diskusi yang lain, Anggraeni, kemudian menanyakan apakah K-Pop juga bagian dari simbol hiperrealitas? Azis Rahmani merespon pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa ia memiliki seorang keponakan yang setelah menonton K-Pop menjadi rajin memakan Kimchi. Memakan Kimchi menjadi simbol yang menunjukkan bahwa dia adalah pengagum setia K-Pop, kendatipun Kimchi sendiri hanyalah sebuah makanan.

Azis Rahmani sendiri menambahkan bahwa simbol-simbol hiperrealitas paling banyak terlihat pada masa pemilu. Pada masa pemilu kita akan sangat sering disuguhi simbol-simbol pencitraan dari mereka yang ingin maju sebagai pemimpin, namun jika dipikir lebih dalam lagi akan tersadar bahwa semua itu sebetulnya tidak bermakna. Semua itu hanyalah representasi tapi tidak memiliki makna yang jelas.


Kesimpulan

Hiperrealitas adalah kondisi sosial yang nyata namun banal. Simbol-simbol dan relasi di antara simbol tersebut bertanggung jawab dalam penciptaan kondisi sosial ini. Ketika simbol-simbol itu sudah sedemikian kuat, hal-hal yang sebetulnya banal akan terlihat memiliki makna, dan bahkan mampu menjadi norma sosial. Di sinilah pentingnya bagi kita untuk dapat mengetahui mana yang banal dan mana yang bermakna. Sebab jika kita sudah mengetahuinya, maka kita tidak akan terjebak membeli barang dengan harga sangat mahal hanya karena kita percaya pada nilai yang melekat padanya.

Konsep Jean Baudrillard terkait hiperrealitas telah memberikan pemahaman untuk membedakan mana yang banal dan tidak. Sayangnya konsep ini sampai sekarang masih belum banyak diterapkan dalam disiplin ilmu selain Ilmu Komunikasi. Tentunya akan sangat baik jika disiplin ilmu Hubungan Internasional dapat mengeksplor lebih jauh lagi mengenai konsep ini.

Comments

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia