Globalisasi, Kapitalisme dan Ekonomi Internasional


Globalisasi banyak disebut-sebut sebagai pemantik ekonomi internasional. Melemahnya demarkasi antarnegara mendorong terciptanya perpindahan barang dan manusia secara bebas. Pada saat yang sama, aliran modal menjadi dapat mengalir bebas ke bank-bank di seluruh dunia. Hiperglobalis secara umum merayakan fakta ini. Kenichi Ohmae, sebagai contoh, menyatakan bahwa ekonomi dunia tidak pernah lebih baik setelah merebaknya globalisasi. Tidak hanya akan meningkatkan perekonomian setiap negara di dunia secara drastis, globalisasi juga diprediksi akan menggiring dunia ke arah perdamaian dimana perdagangan internasional menjadi norma utama yang berlaku.[1] Optimisme semacam ini tentu terasa menyegarkan, namun cenderung membutakan kita dari berbagai konsekuensi mengerikan yang globalisasi dapat timbulkan. Pertanyaan pertama yang harus diajukan untuk menyerang argumen hiperglobalis adalah: apakah peningkatan ekonomi internasional tersebut akan terdistribusi merata ke setiap manusia di penjuru dunia?

Karl Marx sebelumnya telah memvonis bahwa kapitalisme akan hancur karena kontradiksi internalnya sendiri. Menurutnya, hasrat kapitalisme untuk mengejar efisiensi produksi demi melanjutkan akumulasi kapital akan menimbulkan fenomena over-produksi, dimana barang yang dihasilkan produsen jauh melebihi kapasitas pasar untuk mengkonsumsinya. Fenomena ini disebabkan oleh kecenderungan kapitalisme untuk mengeksploitasi buruh-buruhnya sehingga para buruh pada akhirnya tidak sanggup untuk mengkonsumsi barang-barang yang mereka produksi.[2] Argumen Karl Marx terdengar masuk akal di tahun 1883, namun itu karena Marx sama sekali tidak memperhitungkan keberadaan globalisasi. Di luar ekspektasi Karl Marx, over-produksi tidak pernah benar-benar terjadi karena produsen dapat dengan mudah mengekspor produk-produknya ke luar negeri. Tidak hanya itu, pemilik modal juga dapat dengan mudah mengabaikan protes kaum buruh dengan cara mengekspor lapangan pekerjaan (outsourcing) ke luar negeri. Semua hal ini dapat terjadi berkat kebebasan perpindahan barang dan manusia yang dimungkinkan oleh globalisasi.

Pada akhirnya, globalisasi menciptakan kondisi perdagangan internasional yang didominasi oleh kelas pemodal. Perusahaan seperti Nestle, sebagai contoh, dapat memonopoli hampir segala jenis produk makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh dunia. Praktek monopoli semacam ini ditunjang oleh pola produksi yang disebut dengan rantai nilai global (global value chain). Dalam hal ini, sebuah perusahaan dapat memecah produksi menjadi berbagai bagian-bagian kecil yang masing-masing dihasilkan di berbagai tempat yang tersebar di seluruh dunia. Pola rantai nilai global sangat menguntungkan bagi pemilik modal karena: (1) produksi massal menjadi lebih efisien ketika masing-masing pabrik hanya perlu memproduksi barang yang merupakan spesialisasinya (2) pemilik modal dapat menghindari over-produksi karena tersebarnya simpul-simpul produksi memberikan akses terhadap berbagai pasar berbeda; dan (3) perusahaan lebih aman dari dampak mogok kerja karena belum ada serikat pekerja lintas negara yang mampu mengorganisir mogok kerja secara bersamaan di seluruh rantai produksi. Hasil akhirnya adalah efisiensi produk yang terus meningkat yang berarti percepatan akumulasi kapital dan profit bagi pemilik modal. Hal ini juga berarti bahwa segala peningkatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di seluruh dunia akan lebih banyak diserap oleh kelas pemilik modal yang mampu memonopoli pasar dengan menerapkan pola rantai nilai global, sehingga ketimpangn sosial dapat diperkirakan akan tetap bertahan.[3]

Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa globalisasi merupakan instrumen yang terlalu convenient untuk menutupi kontradiksi internal dari kapitalisme. Dapat dikatakan bahwa globalisasi membantu kapitalisme untuk melanjutkan evolusinya dan memberikan lebih banyak kesempatan bagi kuku-kukunya untuk mencengkeram dunia ini. Bahkan ketika kapitalisme menyebabkan krisis finansial tahun 2008, globalisasi lagi-lagi memberi jawaban dalam wujud suntikan modal dari Uni Eropa dimana uangnya berasal dari tabungan asuransi sosial yang dihimpun oleh seluruh masyarakat Eropa. Berbagai kesepakatan yang dibuat para pemimpin Eropa pun akhirnya berhasil menahan krisis tersebut agar tidak merebak ke luar negara-negara PIGS. Rasanya seolah-olah globalisasi ini hadir untuk kepentingan kapitalisme dan pada kenyataannya hal tersebut memang dapat dibenarkan. Tentu penulis sadar bahwa banyak orang yang menganggap hal ini merupakan sesuatu yang baik. Banyak yang berargumen bahwa distribusi kesejahteraan tidak seberapa dibandingkan ketertiban sosial yang tercipta ketika ekonomi dikuasai oleh segelintir aktor. 

Sayangnya, perspektif yang digunakan oleh penulis tidak bisa melihat kapitalisme selain sebagai sistem eksploitatif yang akan menyengsarakan banyak manusia. Oleh karenanya, penulis lebih tertarik untuk mengungkit kengerian-kengerian yang ditimbulkan karena globalisasi telah mengamplifikasi kapitalisme daripada membahas pengaruhnya terhadap intrik-intrik perdagangan internasional atau rezim investasi global. Toh keduanya pun adalah sindrom yang hanya dapat timbul di dalam sistem kapitalisme. Di dalam dunia tanpa kapitalisme, kita tidak akan lagi perlu untuk berdagang atau menanam modal apalagi mengakumulasi kapital hanya untuk sekedr bertahan hidup.


[1] Kenichi Ohmae, End of Nation-State: The Rise of Regional Economics, New York: Simon and Schuster Inc., 1995.
[2] Aguilar & Sen, “Comparing Conceptualizations of Social Capital,” Journal of Community Practice 17:4 (2009), 424-443.
[3] Milberg & Winkler, Outsourcing Economics: Global Calue Chains in Capitalist Development, Cambridge, 2013.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara