Capitalism, A Love Story: Perang melawan Kapitalisme

Tulisan ini merupakan resume dari diskusi film Capitalism, A Love Story yang diadakan oleh HIMAHI Paramadina pada 20 September 2013



1,000 tahun setelah Imperium Suci Romawi runtuh, peradaban kita menilai peradaban tersebut sebagai peradaban yang mengkerdilkan manusia, membatasi ruang kreasinya, dan menindasnya habis-habisan. 1,000 tahun setelah peradaban kita runtuh, orang-orang di peradaban masa depan mungkin akan menilai peradaban kita sebagai sebuah peradaban yang bukan hanya menindas manusia, namun juga mengeksploitasinya habis-habisan demi kepentingan segelintir orang saja. Itulah kiranya pesan yang ingin disampaikan Michael Moore melalui film-nya yang berjudul Capitalism: A Love Story.

Kapitalisme, dalam film Moore, digambarkan sebagai penjahat sadis yang menghisap semua yang dimiliki oleh korbannya, bahkan setelah korbannya sudah meninggal sekalipun, hanya demi satu tujuan: akumulasi keuntungan. Kesadisan Kapitalisme terlihat terutama pada para pekerja yang dipaksa untuk bekerja sedemikian keras hanya untuk mendapatkan bayaran yang tak senilai dengan separuh dari nilai kerjanya. Kesadisan Kapitalisme lebih terlihat lagi ketika diketahui adanya perusahaan yang menggunakan kematian pekerjanya untuk mendapatkan uang asuransi. Sebuah kebijakan yang disebut dengan ‘Dead Peasant Insurance.’

Kerakusan Kapitalisme dalam menciptakan akumulaisi keuntungan dengan cara eksploitatif menciptakan disparitas sosial yang amat luar biasa dimana 1% penduduk AS memiliki kekayaan lebih besar daripada kekayaan 95% penduduk AS digabungkan dan itu masih belum cukup. Kelompok 1% tersebut masih terus menerus mengeluarkan terobosan-terobosan baru untuk melakukan eksploitasi dan menciptakan akumulasi keuntungan bagi Kapitalisme. Dimulai dari judi derivatif di Wall Street sampai ke sub-prime mortgage. Yang terakhir disebut adalah salah satu penyebab utama krisis ekonomi global tahun 2008 yang mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaan dan kehilangan tempat tinggalnya hanya untuk menyelamatkan sektor-sektor yang menopang Kapitalisme seperti: Bank dan Perusahaan Multinasional.

Bagi Michael Moore, Kapitalisme bukanlah sistem ekonomi yang diinginkan oleh siapapun. Konstitusi Amerika Serikat tidak pernah menyebut-nyebut Kapitalisme untuk menjadi sistem ekonomi AS. Semua agama menganggap bahwa Kapitalisme adalah dosa. Namun kita semua terus menerus di-brainwash untuk percaya bahwa Kapitalisme adalah sistem terbaik yang pernah diciptakan, yang memberikan kebebasan berusaha, kebebasan memilih kerja, dan kesempatan yang sama bagi semua orang. Oleh sebab itu, dirasakan perlu adanya sosialisasi untuk memberikan pemahaman yang sesungguhnya mengenai Kapitalisme agar kita dapat menghadapi Kapitalisme dengan maksimal.

Universal Group Discussion (UGD) pada 20 September 2013 telah mengadakan bedah film Capitalism: A Love Story dengan dipandu oleh Dodi Mantra (Akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia) untuk membuka mata civitas academika akan bahaya nyata dari sistem Kapitalisme. Bush, pada tahun 2001 telah mengkampanyekan “War on Terror” guna membuka mata dunia akan bahaya Terorisme, maka UGD akan mengkampanyekan “War on Capitalism” untuk melakukan hal yang sama juga. Berikut adalah resume dari diskusi tersebut.

Apa Itu Kapitalisme?

Dodi Mantra selaku pemandu diskusi mengajukan sebuah pertanyaan yang sederhana namun menyentak pikiran para peserta diskusi, yaitu: Apa itu Kapitalisme? Berbagai pendapat pun keluar. Salah seorang peserta diskusi, Intan, mengatakan bahwa Kapitalisme adalah sama dengan penjajahan, namun dalam bentuk lain. Peserta diskusi yang lain, Cia, menganggap bahwa Kapitalisme adalah alat Amerika Serikat untuk menguasai dunia dan membentuk tatanan dunia baru. Ada yang lebih dalam, Gian, mengatakan bahwa Kapitalisme adalah sebuah state of mind dimana kita dibuat berpikir punya banyak pilihan padahal kita tidak memiliki pilihan apapun.

Namun, Dodi Mantra mengatakan bahwa apapun itu Kapitalisme, satu yang dapat disepakati bersama adalah bahwa Kapitalisme itu bermasalah dan harus dilawan. Masalah atau kontradiksi utama yang dimiliki oleh Kapitalisme adalah ketimpangan. Ada yang menderita ada yang bahagia, ada yang miskin sekali ada yang kaya sekali. Kapitalisme adalah sistem yang dijalankan dengan menggunakan eksploitasi dengan cara memproduksi sebuah barang dengan biaya yang serendah-rendahnya dengan cara seperti mengurangi upah buruh, untuk kemudian dijual lagi dengan harga yang setinggi-tingginya. Kapitalisme, sesuai kata Michael Moore di akhir film-nya, adalah iblis (Capitalism is evil). Tidak mungkin kita mengatur iblis, itulah sebabnya Kapitalisme harus dimusnahkan.

Bagaimana Melawan Kapitalisme?

Menyikapi pernyataan Dodi Mantra, salah seorang peserta diskusi, Lumina, mengatakan bahwa tidak mungkin dapat memusnahkan Kapitalisme karena sistem tersebut sangatlah sesuai dengan sifat dasar manusia yang rakus. Jika Kapitalisme dimusnahkan, maka manusia akan menemukan sistem baru untuk memuaskan kerakusan mereka. Dalam hal ini, kerakusan para manusia sama sekali tidak dapat disalahkan karena hal tersebut memang tercipta secara alami dalam setiap diri manusia.

Namun, peserta diskusi yang lain, Niken, menyatakan keraguannya pada pernyataan Lumina. Niken menyangkal pernyataan bahwa menjadi rakus adalah sifat alami setiap manusia. Dodi Mantra menimpali sangkalan Niken dengan mengatakan bahwa terlepas kita mengatakan sistem ini malaikat atau iblis, cocok dengan sifat alami manusia atau tidak, sistem ini tetap harus dilawan karena mengandung banyak sekali permasalahan. Sayangnya, perlawanan yang dilakukan sejauh ini cenderung berujung pada penguatan sistem ini sendiri. 

Film Capitalism: A Love Story yang dibuat oleh Michael Moore ini juga sebetulnya menopang keberadaan sistem Kapitalisme itu sendiri. Sebab film ini banyak sekali mengidentifikasi permasalahan dalam sistem Kapitalisme, namun di akhir film yang dituntut olehnya adalah peningkatan upah, jaminan sosial, dan liburan, sesuatu yang jelas-jelas sudah dilakukan oleh Kapitalisme untuk mempertahankan keberadaannya. Oleh sebab itu, sebelum memutuskan untuk melawan sistem Kapitalisme, yang harus kita lakukan adalah memahami terlebih dahulu bagaimana sistem ini bekerja sehingga perlawanan yang kita lakukan tidak akan berujung pada penguatan sistem ini.

Bagaimana Sistem Kapitalisme Bekerja?

Kapitalisme adalah sistem produksi yang dilakukan dengan cara mengubah sesuatu yang ada dalam kehidupan kita menjadi sesuatu lain yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Peningkatan nilai tersebut dilakukan melalui interaksi sosial atau hubungan antarkelas. Sistem produksi seperti ini belum pernah ada semenjak manusia pertama hidup di Bumi. Sebelum masa pengelompokkan manusia (pre-class society), manusia hidup dengan satu tujuan, yaitu bertahan hidup. Untuk dapat bertahan hidup, mereka membutuhkan makan, untuk dapat makan mereka harus bekerja. Dari hasil kerja tersebutlah, manusia dapat memproduksi dalam hal ini makanan untuk mereka dapat bertahan hidup.

Namun perlahan-lahan semuanya berubah, manusia tidak lagi perlu untuk berinteraksi langsung dengan alam untuk berproduksi, namun cukup dengan berinteraksi dengan sesama manusia. Hal ini menyebabkan manusia terbagi dalam dua kelompok. Ada kelompok yang tidak bekerja (yang hanya perlu berinteraksi dengan manusia) dan kelompok yang bekerja (yang harus berinteraksi langsung dengan alam). Kelompok yang tidak bekerja kemudian mengambil nilai kerja dari kelompok yang bekerja. Modus ini disebut dengan eksploitasi. Akibat eksploitasi, kelompok yang bekerja menjadi tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri tapi juga untuk orang lain.

Modus eksploitasi sebetulnya sudah digunakan pada masa Feudalisme, namun eksploitasi yang dilakukan oleh Feudalisme berbeda dengan Kapitalisme. Di dalam Feudalisme, masyarakat melakukan aktivitas produksi yang kemudian dieksploitasi oleh tuan tanah, namun hasil produksi tersebut hanya akan digunakan untuk masyarakat mereka sendiri. 

Misalnya tuan tanah menyuruh masyarakat untuk menanam kentang, maka setelah dipanen kentang tersebut hanya akan digunakan untuk dimakan. Namun dalam Kapitalisme, hasil panen kentang tadi tidak akan dimakan, tapi akan dijual. Penjualan tersebut dilakukan untuk mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain, eksploitasi nilai kerja dalam Kapitalisme bukan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan namun untuk dipertukarkan demi mendapat keuntungan.

Hal ini menyebabkan hal pertama yang dibutuhkan seseorang untuk memulai produksi adalah uang. Dari uang kita akan jadikan komoditas yang akan dipertukarkan untuk mendapatkan uang kembali. Dodi Mantra memberikan contoh misalnya seseorang memulai bisnis sepatu diawali dengan 100jt yang kemudian ditukar dengan buruh-buruh yang akan menjahit dan bahan-bahan seperti kulit, sol, dan mesin jahit. Habis sudah 100jt tadi. Dalam proses selanjutnya, buruh-buruh tersebut membuat sepatu yang nilainya lebih tinggi dari 200jt. 100jt keuntungan didapat oleh si pemilik bisnis. Pertanyaannya darimana nilai 100jt ini berasal? Tentunya berasal dari nilai kerja buruh yang diambil oleh si pemilik bisnis.

Kesimpulan
Melalui pemahaman terhadap cara kerja Kapitalisme, dapat disimpulkan bahwa Kapitalisme adalah sistem yang berjalan dengan mengeksploitasi nilai kerja orang lain. Hasil keuntungan dari eksploitasi tersebut akan digunakan lagi untuk melakukan eksploitasi yang lebih besar lagi. AKumulasi profit ini harus diteruskan karena jika tidak maka perusahaannya akan bankrut oleh perusahaan lain yang lebih kuat dalam hal akumulasi profit-nya. Jadi jelas bahwa sistem Kapitalisme memang memaksa manusia untuk menjadi rakus. Oleh sebab itu perlu dipertanyakan apakah manusia memang pada dasarnya sudah rakus ataukah manusia menjadi rakus setelah muncul sebuah sistem ekonomi bernama Kapitalisme?

Comments

Popular posts from this blog

Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis: Kembalinya Gerakan Buruh untuk Menentang Kapitalisme

Book Review: Bioteknologi dan Kapitalisme: Perubahan Makna Kehidupan Manusia

Book Summary: Chapter 11 The American Democracy: Congress: Balancing National Goals and Local Interests

Mengapa Paus Francis Tidak Begitu Bijak: Hubungan Kapitalisme-Agama dan Implikasinya

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah