Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)


Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink dalam “International Norm Dynamics and Political Change” berusaha melakukan teorisasi terhadap konsep norma internasional. Sesuatu yang mereka anggap belum pernah dilakukan secara serius oleh akademisi ilmu Hubungan Internasional (HI). Terdapat tiga argumen yang berusaha mereka buktikan melalui tulisan ini, yaitu: (1) adanya pembelokan dalam studi HI dari yang sepenuhnya materialis menjadi kembali mengikutsertakan aspek-aspek immaterial, seperti norma dan ide; (2) proses pembentukan norma; dan (3) hubungan norma dan rasionalitas tidak saling mengecualikan (mutually exclusive) (Finnemore and Sikkink 1998).

Finnemore dan Sikkink menyatakan bahwa studi awal dari ilmu HI diwarnai dengan perdebatan kelompok idealisme (yang mementingkan kemampuan norma dan ide untuk mengendalikan perilaku negara) dan kelompok realisme (yang mementingkan kemampuan struktur, power, dan aspek-aspek materiil dari HI). Sayangnya, kelompok idealisme memiliki kelemahan dalam melakukan teorisasi norma, dibandingkan realisme yang melakukan teorisasi power dan struktur. Puncaknya, Behavioral Revolution dalam ilmu HI yang memperkenalkan metodologi a la ilmu sains menimbulkan antusias tinggi di kalangan akademisi HI terhadap pengukuran (measurement). Norma dan ide yang dianggap tidak dapat diukur menjadi terpinggirkan dan ilmu HI menjadi terkekang pada studi mengenai aspek material dari hubungan internasional (Finnemore and Sikkink 1998).

Menurut Finnemore dan Sikkink, sikap apati terhadap studi norma dalam HI mulai berubah pada tahun 1980-an. Dengan dipimpin para konstruktivis seperti John Ruggie dan Alexander Wendt, studi kelompok idealisme kembali dibangkitkan namun dengan semangat baru. Terinspirasi dari Behavioral Revolution, para konstruktivis mulai menitikberatkan pada research design dan teorisasi dalam studinya. Kendati masih sulit diukur, studi norma kontemporer kini telah memiliki kejelasan dari segi konseptual. Finnemore dan Sikkink melihat bahwa situasi kontemporer dalam studi norma merupakan saat yang tepat untuk melakukan teorisasi yang baku terhadap konsep norma dalam hubungan internasional (Finnemore and Sikkink 1998).

Pertama, dari segi definisi, Finnemore dan Sikkink melihat pentingnya membedakan konsep norma dan institusi. Menurut mereka, norma merupakan aturan tunggal yang mengendalikan perilaku sementara institusi merupakan kumpulan norma yang telah terstruktur. Mereka juga memberikan dua tipologi norma, yaitu norma regulatif yang bersifat membatasi perilaku dan norma konstitutif yang melegitimasi aktor baru. Dalam konteks hubungan internasional, norma terbagi menjadi norma domestik dan norma internasional. Norma internasional merupakan norma yang menentukan perilaku yang pantas dilakukan bagi negara-negara. Norma internasional berkembang dari norma domestik yang menjadi internasional berkat dipromosikan aktor. Norma internasional memiliki kemampuan untuk menembus filter negara yang diciptakan oleh norma-norma domestik. Dalam artian, norma internasional memiliki kemampuan untuk menggantikan norma domestik (Finnemore and Sikkink 1998).

Secara spesifik, Finnemore dan Sikkink berargumen bahwa norma internasional berkembang melalui apa yang mereka sebut sebagai siklus norma (norm life cycle). Siklus norma diawali dari kemunculan norma (norm emergence). Hal ini terjadi berkat sinergi dari dua elemen, yaitu enterprenir norma (norm entrepreneur) dan organisasi. Enterprenir norma menciptakan dan mempromosikan norma melalui organisasi yang ia bentuk. Secara persuasif, enterprenir norma berusaha meyakinkan masyarakat untuk menerima norma yang ia promosikan. Ketika jumlah masyarakat yang teryakinkan sudah mencapai titik kritis (critical mass), maka norma tersebut akan mencapai sebuah titik puncak (tipping point) (Finnemore and Sikkink 1998).

Setelah mencapai titik puncak, tahap kedua dari siklus norma pun dimulai, yaitu pengaliran norma (norm cascade). Pada tahap ini, norma yang berada di titik puncak tersebut mengalir ke bawah, ditandai dengan meningkatnya negara-negara yang menerima norma tersebut. Proses pengaliran norma ini terjadi melalui sosialisasi internasional. Ketika norma tersebut sudah diterima dengan sangat luas (titik ekstrim dari pengaliran), norma tersebut akan terinternalisasi dan menjadi sesuatu yang diterima begitu saja (taken for granted). Inilah tahap terakhir dari siklus norma, yaitu internalisasi norma. Ketika norma sudah terinternalisasi, akan terbentuk berbagai institusi yang ditujukan untuk melanggengkan kebenaran dari norma tersebut (Finnemore and Sikkink 1998).

Pada bagian akhir, Finnemore dan Sikkink berargumen bahwa rasionalitas dan norma sesungguhnya memiliki keterhubungan yang intim. Mereka mengatakan bahwa norma sesungguhnya diciptakan oleh agen rasional yang secara strategis berupaya memaksimalkan penerimaan masyarakat terhadap norma yang dipromosikannya. Pilihan-pilihan strategi yang digunakan enterprenir norma, dalam hal ini, merupakan pilihan rasional yang didukung oleh pengetahuannya terhadap pengetahuan umum. Hal yang umum itu juga bukanlah sesuatu yang ada begitu saja melainkan tercipta dari kontestasi norma-norma di antara aktor politik yang berkuasa. Dengan demikian, Finnemore dan Sikkink menyimpulkan bahwa norma dan rasionalitas sesungguhnya saling berkaitan. Perdebatan konstruktivis dan positivis mengenai pentingnya norma atau rasionalitas menjadi tidak berarti lagi (Finnemore and Sikkink 1998).


Analisis

Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink telah memberikan sumbangsih yang besar bagi studi terhadap norma dalam hubungan internasional. Melalui teori siklus norma, kita jadi lebih mampu memahami bagaimana norma terbentuk sampai terinternalisasi menjadi seperti kebenaran yang tidak kita pertanyakan lagi. Akan tetapi, Finnemore dan Sikkink belum mampu menjelaskan bagaimana norma yang sudah terinternalisasi dapat berubah atau bahkan menghilang. Mereka hanya memberikan sedikit penjelasan mengenai norma prominen yang memiliki keunggulan dibandingkan norma lain dan peran konteks waktu dalam mengubah norma. Hal ini tentunya merupakan sebuah kekurangan teoritis (theoretical gap) yang perlu diisi.

Ann Florini dalam “The Evolution of International Norms” berhasil memberikan penjelasan yang cukup baik untuk menjelaskan kekurangan dari teori Finnemore dan Sikkink. Dalam tulisannya, ia mencoba memahami mengapa norma-norma yang sudah terinternalisasi[1] selama berabad-abad dapat berubah. Ia memberikan contoh seperti agresi lintas batas negara yang dulunya dianggap sebagai instrumen standar kebijakan negara, namun kini menjadi tindakan keji yang dikutuk oleh komunitas internasional. Untuk menjelaskan hal ini, Florini mengajukan teori evolusi norma yang menganalogikan norma selayaknya gen pada tubuh manusia (Florini 1996).

Layaknya gen, norma merupakan unit instruksional yang mempengaruhi perilaku organisme yang menjadi induknya (host organism). Unit instruksional ini dapat berpindah dari satu induk ke induk lainnya melalui proses pewarisan. Dalam konteks norma, mereka diwariskan dari satu aktor ke aktor lainnya melalui perpindahan kultural. Kemudian selayaknya gen, norma juga bersaing dengan norma-norma lainnya untuk menentukan instruksi mana yang paling sesuai bagi induk-nya. Norma yang dianggap tidak kompatibel tidak akan direproduksi lagi dan akan menghilang. Melalui analogi ini, Florini berupaya menciptakan teori yang menjelaskan kondisi-kondisi yang menyebabkan sebuah norma menyebar atau mengecil (Florini 1996).

Pertama, Florini menjelaskan mengapa ada norma yang mampu bertahan hidup sementara ada yang hilang. Florini menjelaskan bahwa norma, selayaknya gen, harus terus-menerus direproduksi agar dapat bertahan hidup. Norma tidak mampu mereproduksi dirinya sendiri, melainkan harus direproduksi oleh induk-nya – seperti negara. Jika sebuah norma sanggup menginstruksikan induknya untuk bertahan hidup, maka sang induk akan memiliki kesempatan lebih tinggi untuk mereproduksi normanya. Hal inilah yang dimaksud Florini sebagai Survival of the Fittest dalam norma. Norma yang memiliki kemampuan lebih baik untuk menciptakan induk yang fit dalam mereproduksinya akan memiliki kesempatan lebih tinggi untuk bertahan hidup. Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa norma dapat menghilang ketika induk dari norma tersebut sudah tidak mampu lagi untuk mereproduksinya (Florini 1996).

Penjelasan Ann Florini di atas telah memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana norma yang sudah terinternalisasi dapat berubah (melalui persaingan) atau bahkan menghilang (tidak direproduksi lagi). Namun, penjelasan Florini yang terlalu bergantung pada analogi cenderung menjauhkan kita dari memahami konteks empiris yang ia maksud. Untuk meluruskan hal ini, penulis akan menggunakan tulisan Diana Panke dan Ulrich Petersohn yang berjudul, “Why International Norms Disappear Sometimes” untuk memberikan perspektif lain mengenai bagaimana sebuah norma dapat berubah atau menghilang.

Panke dan Petersohn berargumen bahwa kebanyakan literatur HI hanya menjelaskan mengenai pembentukan, difusi, dan sosialisasi norma namun kurang dari segi teoritis dan empiris mengenai dinamika dan kondisi yang menyebabkan norma internasional mengalami kemerosotan. Menurut mereka, norma dapat menghilang melalui proses yang disebut dengan kemerosotan norma (norm degeneration). Kondisi pertama yang dibutuhkan untuk kemerosotan norma adalah adanya aktor yang melanggar atau menantang norma yang sudah terinternalisasi. Akan tetapi, ketidakpatuhan (non-compliance) terhadap norma saja tidak cukup bagi sebuah norma untuk mengalami kemerosotan. Terutama jika aktor-aktor lainnya memilih melakukan tindakan untuk menghukum aktor pelanggar norma. Dalam kondisi ini, norma yang sudah terinternalisasi justru akan bertahan atau bahkan bertambah kuat (Panke and Petersohn 2011). Kemerosotan norma hanya dapat dimulai jika tindakan pelanggaran tersebut diikuti oleh aktor-aktor lainnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Finnemore dan Sikkink mengenai pengaliran norma (norm cascade) (Finnemore and Sikkink 1998).

Pengaliran dalam kemerosotan norma dapat dipercepat jika sistem internasional bersifat tidak stabil. Dalam kondisi tidak stabil, dimana standar yang diatur oleh norma mengalami kegoyahan, inovasi teknologi mengubah tradisi, dan norma-norma yang berkaitan dengannya telah banyak dilanggar, maka akan terjadi pergeseran paradigma yang mengarah pada percepatan kemerosotan sebuah norma. aktor yang ingin menghilangkan norma tidak perlu lagi menjustifikasi tindakannya yang melanggar norma tersebut. Mereka dapat memanipulasi konteks dan meyakinkan lawannya bahwa tindakan mereka adalah yang benar (Panke and Petersohn 2011). Kondisi tidak stabil inilah yang dimaksud oleh Florini sebagai kondisi dimana induk sebuah norma tidak mampu lagi mereproduksinya (Florini 1996). Pada akhirnya, pelanggaran terhadap norma tidak lagi dinilai sebagai pelanggaran melainkan sebagai sebuah praktek baru.

Menurut Panke dan Petersohn, Terdapat dua hasil dari degenerasi norma. Pertama, norma yang sudah terdegenerasi digantikan oleh norma saingannya yang sudah ada ketika itu. Hasilnya adalah perubahan norma. Kedua, jika norma yang terdegenerasi tidak memiliki saingan, maka norma tersebut akan menghilang begitu saja. Hal inilah yang menjelaskan mengapa terdapat norma yang menghilang kendati sudah terinternalisasi – mereka memberi contoh kasus: degenerasi norma mengenai peperangan kapal selam, norma anti-tentara bayaran, dan norma anti-intervensi militer (Panke and Petersohn 2011).


Kesimpulan
Studi mengenai norma dalam hubungan internasional telah berkembang sangat pesat semenjak Finnemore dan Sikkink namun masih banyak kekurangan-kekurangan yang harus diisi dari segi teoritis maupun empiris. Kekurangan utama dari tulisan Finnemore dan Sikkink adalah penjelasan mengenai bagaimana norma dapat berubah atau menghilang. Florini dan Panke dan Petersohn cukup mampu mengisi kekurangan teoritis dalam hal tersebut, namun mereka masih kekurangan studi empiris untuk membuktikan teorinya. Hal ini tentunya menjadi tantangan yang harus dijawab akademisi HI ke depannya.


Daftar Pustaka
Finnemore, Martha, and Kathryn Sikkink. 1998. "International Norm Dynamics and Political Change." International Organization Vol. 52 No. 4 887-917.

Florini, Ann. 1996. "Evolution of International Norms." International Studies Quarterly Vol. 40 No. 3 363-389.

Panke, Diana, and Ulrich Petersohn. 2011. "Why International Norms Disappear Sometimes." European Journal of International Relations Vol. 18 No. 4 719-742.


____________
[1] Florini tidak menggunakan konsep internalisasi dalam tulisannya. Namun dari contoh-contoh yang diberikannya (perbudakan, peperangan, kolonialisme), jelas bahwa ia mengacu pada norma-norma yang terinternalisasi sebagaimana dijelaskan oleh Finnemore dan Sikkink.

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Politik Luar Negeri

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi