Mengapa Pemerintah Indonesia Tidak Peduli dengan Diasporanya

Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Jurnal ISAFIS 2016


Dilihat dari sejarahnya, penyebaran penduduk Indonesia ke negara-negara asing sudah berlangsung semenjak zaman kolonial Belanda. Dimulai dari suku Minangkabau, Jawa, Bugis, sampai Ternate, mereka meninggalkan Hindia-Belanda secara paksa atau sukarela dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik daripada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial.[1] Setelah merdeka dan menjadi Indonesia pun, sejumlah warga negara Indonesia juga meninggalkan Indonesia untuk belajar, membuka usaha, dan umumnya mencari lapangan pekerjaan. Akan tetapi, diskursus diaspora baru terangkat ke media-media nasional Indonesia ketika Kongres Diaspora Indonesia pertama (KDI I) digelar di Los Angeles pada tahun 2012.

Secara teoritik, konsep diaspora kontemporer merupakan sebuah bentuk tantangan terhadap konsep tradisional dari kewarganegaraan. Hal ini dikarenakan diaspora berada di luar negara, baik secara fisik maupun administratif, namun mengklaim dirinya sebagai bagian dari negara tersebut. Diaspora, dengan demikian, telah menentang makna konvensional dari menjadi warga negara dan memperluasnya. Identitas sebagai warga dari suatu negara tidak lagi hanya dimiliki oleh mereka yang secara resmi terdaftar dalam catatan kependudukan, namun juga dapat dimiliki oleh mereka yang merasa menjadi bagian dari negara tersebut. Dengan mengutip Benedict Anderson, Shain dan Barth menjelaskan bahwa diaspora merupakan bagian dari ‘imagined community’ yang yang dibangun atas imajinasi tentang tanah air.[2] Konsep kontemporer dari diaspora inilah yang diperkenalkan oleh KDI I.

Sebelum tahun 2012, pemerintah dan publik Indonesia hanya menaruh perhatian pada buruh migran atau secara umum warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.[3] Pemahaman publik Indonesia terhadap konsep diaspora pun menjadi terbatas pada orang-orang yang memegang paspor Indonesia. Akan tetapi, KDI I mendeklarasikan bahwa warga negara asing yang pernah menjadi warga negara Indonesia atau merupakan keturunan warga negara Indonesia juga merupakan bagian dari diaspora Indonesia.[4] Bahkan, Dino Patti Djalal, pemrakarsa dari KDI, menambahkan bahwa mereka yang sama sekali tidak memiliki ikatan apa pun secara fisik dengan Indonesia, namun memiliki kecintaan mendalam pada Indonesia, juga dapat dianggap sebagai bagian dari diaspora Indonesia.[5] Definisi diaspora yang diberikan oleh KDI inilah yang mengangkat diskursus baru di ranah publik Indonesia bahwa mereka yang bukan warga negara Indonesia namun memiliki ikatan batin dengan Indonesia dapat menjadi aset penting bagi kemajuan negara.

Sebagai aset negara, diaspora Indonesia memiliki potensi sosial, politik, dan ekonomi yang besar di tingkatan global. Anies Baswedan, salah satu pembicara di KDI I, menjelaskan bahwa dunia akan memandang Indonesia sebagai aktor global karena kini warga negara Indonesia bukan hanya yang berada di tanah air namun juga seluruh diaspora Indonesia di seluruh dunia.[6] Perlu digarisbawahi bahwa diaspora Indonesia tidak hanya terdiri dari buruh sektor informal, namun juga intelektual, pengusaha, dan seniman yang telah terbukti mampu bersaing di tataran global.[7] Jika pemerintah Indonesia mampu menggali potensi seluruh diasporanya, maka mereka dapat meningkatkan dan mempromosikan hubungan transnasional antara Indonesia dan negara penerima dengan cara menjadi jembatan atau bahkan melakukan pertukaran nilai-nilai positif di antara kedua negara.[8] Sementara itu, Potensi ekonomi diaspora dapat dilihat secara sederhana dari meningkatnya jumlah remitansi yang akan diterima oleh pemerintah Indonesia. Lebih dari itu, diaspora Indonesia juga berpotensi menjadi agen kepentingan nasional Indonesia dengan cara meningkatkan daya tarik investasi ke Indonesia atau membantu transfer teknologi dari negara maju ke Indonesia.[9]

Selain sebagai aset, diaspora juga merupakan aktor transnasional independen yang memiliki agendanya tersendiri. Dalam hal ini, diaspora Indonesia yang diwakili oleh Jaringan Diaspora Indonesia (JDI) – sebuah institusi diaspora yang terbentuk setelah KDI I di Los Angeles – memiliki agenda untuk mereformasi kebijakan imigrasi di Indonesia.[10] Secara spesifik, mereka ingin agar pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan dwi-kewarganegaraan. Akan tetapi, pemerintah Indonesia belum melakukan langkah-langkah serius untuk dapat menggali potensi diasporanya. Sejauh ini, kebijakan langsung yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia terkait diaspora hanyalah pembentukan Desk Diaspora Indonesia (DDI) yang kewenangannya sangat terbatas. Revisi UU Kewarganegaraan sudah masuk ke program legislasi nasional (prolegnas) 2016, akan tetapi usulan penerapan dwi-kewarganegaraan secara permanen (termasuk kepada orang dewasa) masih mendapat banyak tentangan dari kalangan intelektual dan pejabat publik.[11] Wacana baru yang berkembang adalah Kementerian Luar Negeri akan mengeluarkan Kartu Diaspora Indonesia. Namun kartu tersebut hanya dibuat dengan tujuan pendataan.[12]

Dalam survey International Organization for Migration (IOM) tahun 2006 yang ditujukan untuk membantu pemerintah negara berkembang mengidentifikasi kelemahan kebijakan diasporanya, dijelaskan bahwa pemerintah cenderung mengalami kesulitan untuk memahami siapa diaspora ‘mereka.[13]’ Hal ini dapat menjelaskan pasifnya pemerintah Indonesia dalam menghadapi tuntutan diasporanya. Tulisan ini akan memberikan pemahaman mendalam terhadap diaspora Indonesia sebagai aktor transnasional independen dan menjelaskan mengapa pergerakan mereka belum mampu mempengaruhi perubahan kebijakan pemerintah Indonesia. Pemaparan dalam tulisan ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, penulis akan melakukan tinjauan teoritik terhadap konsep diaspora melalui teori diaspora dalam perspektif ilmu Hubungan Internasional yang dikembangkan oleh Yossi Shain dan Aharon Barth. Kemudian di bagian kedua, penulis akan menjelaskan karakteristik diaspora Indonesia, tantangannya, dan menjelaskan mengapa pergerakan mereka belum mencapai hasil yang diharapkannya. Pada akhirnya, tulisan ini menyimpulkan bahwa diaspora Indonesia merupakan aktor yang lebih lemah dalam relasi-kekuatannya terhadap pemerintah Indonesia. Hal inilah yang memberikan pemerintah Indonesia alasan untuk ‘tidak peduli’ terhadap tuntutan diaspora Indonsia.

Diaspora dalam Kajian Empiris

Tipologi diaspora dapat dibagi menjadi dua: berdasarkan fungsinya dan peranannya dalam politik internasional. Berdasarkan fungsinya, Milton Esman membagi diaspora menjadi tiga jenis: (1) Penetap – diaspora yang mendatangi tempat baru dengan tujuan menjadi kelompok mayoritas dengan cara menaklukkan tempat baru tersebut (diaspora jenis ini umumnya hanya ditemukan pada masa kolonialisme); (2) Pekerja – diaspora golongan proletar yang meninggalkan tanah air dengan tujuan mencari peluang hidup yang lebih baik di tempat barunya; (3) Wiraswasta – diaspora golongan elit yang memiliki kemampuan bisnis dan intelektual untuk menaiki tangga sosial di tempat barunya walaupun sebagai minoritas.[14]

Tipologi Milton Esman terhadap diaspora menunjukkan bahwa diaspora beroperasi dengan logika ‘division of labor’ dimana terdapat kelas sosial di antara anggota diaspora dan bahwa salah satu kelas memiliki keuntungan komparatif dibandingkan kelas lainnya. Sebagai contoh, Kendati tulisan ini mengklaim bahwa diaspora merupakan aktor transnasional yang bersifat independen, fakta empiris menunjukkan bahwa tidak semua anggota diaspora menikmati tingkat independensi yang setara. Diaspora wiraswasta yang telah berhasil mengakumulasi kekayaan dan menikmati status resminya di negara penerima, cenderung memiliki independensi yang lebih tinggi dibandingkan diaspora pekerja yang hanya menjadi pekerja sektor informal di negara penerima. Kekuatan diaspora wiraswasta yang relatif lebih besar, baik dari segi ekonomi, politik, maupun sosial, memberinya kesempatan yang lebih besar untuk menentukan agenda dari sebuah komunitas diaspora dibandingkan diaspora pekerja.[15]

Kemudian berdasarkan peranannya dalam politik internasional, Shain dan Barth membagi diaspora menjadi dua jenis: (1) Pasif – diaspora yang tidak melakukan tindakan atau tidak memiliki kepentingan dalam politik diaspora. Umumnya mereka tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari identitas nasional negara asalnya, namun cenderung diidentifikasikan secara sepihak oleh aktor lain. Akan tetapi, mereka tetap dapat dimobilisasi sebagai gerakan massal oleh diaspora aktif jika merasa memiliki kesamaan kepentingan; (2) Aktif – kategori diaspora aktif terbagi lagi menjadi diaspora yang aktif mempengaruhi politik domestik di negara penerima dan negara asalnya. Umumnya mereka merupakan anggota elit dalam institusi diaspora yang memiliki kekuatan ekonomi, politik, dan sosial untuk dapat membentuk kelompok lobi di negara penerima atau mendanai gerakan politik di negara asal. Merekalah yang memiliki kekuatan untuk memobilisasi diaspora pasif dengan cara mempromosikan kepentingan diaspora atau menanamkannya.[16]

Sebagai aktor transnasional, diaspora memiliki agenda-agenda kepentingan yang akan diupayakan untuk dapat terwujud. Shain dan Barth membagi kepentingan diaspora menjadi empat: (1) Membuat tanah air mengakui mereka sebagai bagian dari identitas nasionalnya; (2) Memastikan keamanan dan kesejahteraan tanah air agar mereka dapat memiliki tempat untuk pulang; (3) Memastikan keselamatan diaspora di negara penerima; dan (4) Memastikan keberlangsungan institusi diaspora. Kepentingan nomor (1), menurut Shain dan Barth, merupakan kepentingan utama yang harus dicapai oleh diaspora. Hal ini disebabkan diaspora senantiasa hidup dengan identitas yang tidak jelas dan terus dihadapkan pada persoalan loyalitas ganda – loyalitas kepada tempat baru sebagai lokasi hidup dan loyalitas kepada tanah air sebagai tempat asal mereka. Ketika tanah air mengakui mereka sebagai bagian dari identitas nasionalnya, maka diaspora dapat terbebas dari rasa bersalah yang terus mereka alami akibat tidak tahu kemana harus mengarahkan loyalitasnya.[17]

Diaspora dalam Kajian Akademis

Dalam konteks akademis, literatur-literatur awal mengenai diaspora hanya diarahkan pada fenomena menyebarnya kaum Yahudi dari Eropa Timur ke penjuru dunia. Selama beberapa dekade, diaspora hanya dipahami sebagai fenomena tersebarnya manusia dari tempat asalnya akibat kejadian traumatik.[18] Berkembangnya kajian-kajian mengenai diaspora menyebabkan perluasan makna diaspora menjadi, secara umum, meliputi seluruh manusia, individu maupun kelompok, yang berpindah dari tanah airnya namun tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air tersebut. Kendati demikian, perdebatan definisi masih tetap terjadi di kalangan peneliti diaspora. Berbeda dengan pemaknaan kelompok positivis sebelumnya, kelompok konstruktivis berusaha memperluas lebih lanjut mengenai definisi diaspora. Dalam pemahaman konstruktivis, diaspora bukanlah sekedar ‘kelompok manusia’, namun juga merupakan praktik, klaim, dan sikap dalam kehidupan sosial. Kurangnya perumusan konseptual yang baku ini pada akhirnya mempersulit upaya akademisi dalam meneliti diaspora karena seluruh unit analisisnya akan dipengaruhi oleh pemaknaannya terhadap konsep diaspora. Apakah diaspora merupakan sebuah kelompok manusia? Elit atau konglomerat di dalam kelompok tersebut? Sebuah jejaring? Atau bahkan sebuah pola diskursif? Keberpihakan akademisi pada salah satu konsep akan menentukan hasil analisisnya terhadap persoalan diaspora.[19]

Tanpa bermaksud untuk menengahi perdebatan konseptual mengenai diaspora, penulis memutuskan untuk menggunakan definisi diaspora berdasarkan perspektif ilmu yang dikuasai penulis, yaitu Hubungan Internasional (HI). Shain dan Barth, salah satu akademisi pertama yang merumuskan teori diaspora dengan menggunakan perspektif HI, mendefinisikan diaspora sebagai orang-orang dengan kesamaan tanah air yang tinggal, kurang lebih secara permanen, di luar batas teritori tanah airnya – tanah air yang nyata maupun simbolik, independen maupun di bawah kendali asing. Anggota diaspora mengidentifikasi dirinya sendiri, atau diidentifikasi oleh aktor lain – di luar mapun di dalam tanah airnya – sebagai bagian dari komunitas nasional tanah air tersebut. Oleh sebab itu, diaspora sering mendapatkan panggilan untuk berpartisipasi, atau terlibat, dalam urusan rumah tangga tanah airnya. Kemudian dalam paradigma liberalisme, diaspora dapat dianggap sebagai salah satu aktor non-negara yang bersifat independen, memiliki kepentingan, dan dapat mempengaruhi politik domestik maupun internasional.[20]

Diaspora dalam Teori Hubungan Internasional

Ilmu Hubungan Internasional memandang diaspora sebagai aktor transnasional independen yang berupaya mempengaruhi kebijakan suatu negara untuk menjalankan agendanya. Shain dan Barth menjelaskan bahwa teori yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah konstruktivisme, yang dapat menjelaskan bagaimana identitas dan motif diaspora terbentuk, dan liberalisme, yang dapat menjelaskan langkah yang akan diambil oleh aktor non-negara berdasarkan motifnya. Kedua teori ini dapat digabungkan, menurut Shain dan Barth, karena konstruktivisme dan liberalisme memiliki kesamaan asumsi dan klaim dalam konteks diaspora.[21]

Konstruktivisme dan Dinamika Identitas Nasional

Konstruktivis menjelaskan bahwa negara merupakan aktor sosial. Negara dianggap tidak hanya sebagai aktor rasional yang dikuasai oleh “logika konsekuensi,” namun juga sebagai aktor sosial yang ingin mengekspresikan identitasnya melalui “logika kepatutan.” Dengan demikian, kepentingan nasional tidak selalu dibuat sebagai reaksi terhadap faktor eksternal dari negara, namun juga faktor internal negara, yaitu warganya yang secara kolektif membentuk identitas nasional dari negara tersebut. Lebih lanjut lagi, konstruktivisme menjelaskan bahwa identitas merupakan variabel yang dibentuk oleh faktor domestik dan internasional. Perkembangan atau perubahan dari identitas nasional pada akhirnya akan mempengaruhi kepentingan atau kebijakan sebuah negara.[22]

Lalu apa itu identitas nasional? Dengan mengutip Alexander Wendt, Shain dan Barth menjelaskan bahwa identitas nasional pada dasarnya merupakan identitas pribadi ataupun korporat yang terbentuk dari gabungan narasi atas Diri Sendiri oleh seluruh penduduk di sebuah negara. Akan tetapi, dengan mengutip Roxanne Doty, Shain dan Barth menjelaskan bahwa narasi atas Diri Sendiri tersebut tidak hanya oleh mereka yang berada di dalam negara secara fisik, namun juga oleh mereka yang mengidentifikasikan diri atau diidentifikasikan sebagai bagian dari negara tersebut. Pemahaman konstruktivis terhadap identitas nasional ini menjadi relevan ketika membicarakan diaspora yang secara fisik bukan bagian dari sebuah negara, namun secara ruhaniah merupakan bagian dari negara tersebut.[23]

Dalam konteks hubungan internasional, konstruktivisme menjelaskan bahwa terdapat dinamika dalam identitas nasional, dimana terdapat kompetisi untuk menentukan siapa yang berhak menentukan identitas nasional suatu negara. Dengan mengapropriasi dinamika tersebut, seorang aktor akan memiliki kekuatan untuk menentukan identitas nasional dan juga mengarahkan kebijakan negara agar sesuai dengan identitas yang ditentukan. Dengan demikian, identitas nasional dapat menjadi sumber daya penting bagi seorang aktor untuk menjalankan agendanya.[24]

Akan tetapi, Shain dan Barth menjelaskan bahwa identitas nasional, bagi diaspora, bukanlah sekedar cara (means) untuk mencapai kepentingan tertentu, melainkan juga akhir (end) dari agenda diaspora. Diaspora memiliki motif untuk mengapropriasi dinamika identitas nasional di negara asalnya bukan hanya karena memiliki kepentingan untuk mendapat kepentingan materiil (dengan cara mengarahkan kebijakan negara), namun juga karena memiliki identitas nasional adalah kepentingan diaspora itu sendiri. Identitas nasional memiliki makna yang lebih penting bagi kelompok diaspora, dibandingkan bagi mereka yang tinggal di dalam teritori negara, karena diaspora tidak memilikinya. Jika mereka yang tinggal di dalam teritori negara merasakan identitas nasional setiap harinya, identitas diaspora cenderung tidak stabil karena harus mengabdi pada negara penerima secara fisik, sementara ruhaninya ingin mengabdi kepada negara asalnya. Persoalan loyalitas ganda ini pada akhirnya menimbulkan rasa bersalah di antara diaspora yang mendorong mereka untuk terlibat dalam dinamika pembentukan identitas nasional di negara asal agar mereka dapat memiliki identitas yang stabil.[25]

Liberalisme dan Dinamika Politik Domestik

Liberalisme menentang asumsi bahwa negara merupakan satu-satunya aktor dalam politik internasional dan bahwa negara merupakan sebuah unit tunggal. Liberalisme justru menganggap bahwa aktor utama dalam politik internasional adalah individu atau kelompok yang saling bertarung untuk mempromosikan kepentingan-kepentingan yang berbeda. Negara, dengan demikian, bukanlah sebuah unit tunggal, melainkan representasi dari koalisi kelompok-kelompok kepentingan tersebut. Sebagai akibatnya, negara tidak memiliki kepentingan pasti (seperti keamanan atau kekuasaan sebagaimana diklaim oleh realisme), namun memiliki kepentingan tertentu yang dapat berubah-ubah tergantung pada kelompok kepentingan mana yang sedang memegang kekuasaan.[26]

Menurut teori liberalisme, kemampuan seorang aktor untuk mempengaruhi kebijakan sebuah negara ditentukan oleh relasi kekuatan di antara negara dan masyarakatnya. Semakin lemah kekuatan negara dibandingkan masyarakat, maka semakin mudah bagi seorang aktor untuk mempengaruhi kebijakan negara. Dalam konteks ini, ‘lemah’-nya kekuatan negara tidak berarti lemah dalam parameter ekonomi atau keamanan, melainkan lemah dalam artian mudah dimasuki pengaruh sosial dalam proses pembuatan keputusannya. Negara-negara demokratis seperti Amerika Serikat merupakan contoh dari negara yang lemah dalam konteks ini.[27]

Diaspora, dalam teori liberalisme, harus dipandang sebagai salah satu aktor yang mempertarungkan kepentingannya untuk mengapropriasi dinamika identitas nasional dalam arena politik domestik. Dalam hal ini, diaspora dapat dianggap sebagai aktor domestik sekaligus aktor transnasional. Diaspora menjadi aktor transnasional karena lokasi fisiknya yang berada di luar batas teritori negara, namun menjadi aktor domestik karena dipersepsikan oleh negara asal sebagai bagian dari identitas nasionalnya. Hal ini juga berlaku sebaliknya terhadap relasi negara penerima dengan diaspora, sehingga diaspora memiliki keistimewaan untuk mempengaruhi kebijakan di negara asal dan penerima. Melalui pemahaman ini, diaspora, menurut Shain dan Barth, telah memperkaya studi liberalisme dengan cara memperluas makna ‘domestik’ dari sekedar internal negara menjadi internal identitas. Cara pandang inilah yang memungkinkan liberalisme dapat memahami pengaruh diaspora terhadap sebuah negara.[28]

Sebagai aktor yang memiliki agenda untuk mengapropriasi dinamika identitas nasional di negara asalnya, diaspora akan menggunakan cara apa pun untuk mencapai agenda tersebut. Mereka akan menggunakan sumber daya finansial yang umumnya dikumpulkan dari internal kelompok diaspora itu sendiri. Hal ini menjadi mungkin karena sebagian kelompok diaspora umumnya memiliki kekayaan yang relatif besar dibandingkan warga yang tinggal di negara asalnya. Kemampuan diaspora untuk mengumpulkan sumber daya finansial secara mandiri inilah yang membuat diaspora menjadi aktor independen yang agendanya tidak ditentukan oleh siapapun melainkan internal kelompok diaspora itu sendiri. Dengan menggunakan kekuatan finansial pribadinya, diaspora dapat mendanai sejumlah organisasi masyarakat sipil atau partai politik di negara asal untuk mewujudkan agendanya.[29]

Kendati demikian, diaspora tidak dapat disamakan dengan kelompok kepentingan lainnya yang menggunakan cara serupa untuk mencapai kepentingannya karena diaspora juga dapat menggunakan kekuatan diplomatiknya untuk menjadi kelompok kepentingan di negara penerima. Hal ini memungkinkan diaspora untuk memberikan informasi-informasi internasional penting kepada pemangku kepentingan di negara asal yang hanya mungkin didapat berkat lokasi mereka di negara penerima. Dengan begitu, diaspora dapat memperingatkan atau memberi masukan kepada pemangku kepentingan di negara asal mengenai dampak internasional dari kebijakan luar negeri yang akan dikeluarkan oleh negara tersebut. Kemampuan inilah yang memberikan keuntungan bagi kelompok diaspora dibandingkan kelompok-kelompok kepentingan domestik lainnya.[30]

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Diaspora


Dengan melihat diaspora sebagai kelompok kepentingan berbasis identitas yang ingin mempengaruhi kebijakan di negara asalnya, Shain dan Barth merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas diaspora secara umum. Pada dasarnya, untuk dapat mempengaruhi kebijakan di sebuah negara, diaspora membutuhkan motif, kesempatan, dan cara (means); dalam artian, diaspora harus memiliki kepentingan dan keinginan untuk memperjuangkannya serta memiliki kapasitas untuk melakukannya. Kapasitas ini akan bergantung pada kemampuan organisasi diaspora untuk mengorganisir anggotanya menjadi kelompok berpengaruh (yang bergantung pada rezim di negara asal dan penerima), dan tingkat penerimaan negara asal terhadap pengaruh diaspora. Dengan demikian, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi aktivitas diaspora: (1) tingkat motivasi diaspora; (2) rezim sosial dan politik di negara asal dan penerima; dan (3) relasi kekuatan antara kelompok diaspora dengan negara asalnya. Ketiga faktor ini saling berkaitan satu sama lain.[31]

Tingkat Motivasi Diaspora

Tingkat motivasi diaspora tidak selalu merata di antara satu diaspora dengan lainnya. Sebagaimana dijelaskan di bagian kajian empiris, terdapat pembagian kelas yang nyata di antara anggota diaspora yang dapat mempengaruhi tingkat motivasi masing-masing diaspora untuk bertindak. Diaspora pekerja dan wiraswasta tentunya memiliki pandangan yang berbeda terhadap isu identitas nasional berdasarkan perbedaan kemampuan intelektual di antara kedua kelas tersebut. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan ada diaspora yang memutuskan untuk menjadi anggota pasif dan aktif. Akan tetapi, perbedaan kelas bukanlah satu-satunya faktor karena nyatanya terdapat diaspora pekerja yang hidup dalam sektor informal selama bertahun-tahun di negara lain, namun tetap memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap tanah airnya. Sebaliknya, terdapat juga diaspora wiraswasta yang cenderung apati terhadap tanah airnya dan lebih memilih untuk menikmati keuntungan-keuntungan yang tidak akan ia peroleh di tanah airnya.[32]

Faktor lain yang menentukan tingkat motivasi diaspora adalah pandangan mereka terhadap persoalan loyalitas ganda. Semakin dalam rasa bersalah yang mereka rasakan dengan loyalitas ganda tersebut, maka semakin tinggi motivasinya untuk menjadi bagian dari identitas nasional tanah airnya. Akan tetapi, jika persoalan loyalitas ganda dianggap terlalu membebani, bukan tidak mungkin seorang diaspora justru mengabaikannya sama sekali. Kemampuan diaspora untuk menanggung beban loyalitas ganda yang ia terima akan ditentukan oleh pengaruh kultural dan penerimaan tanah airnya terhadap isu diaspora. Jika diaspora terikat sangat kuat pada budaya di tanah airnya atau jika tanah airnya telah memberikan banyak keuntungan sehingga ia dapat bernostalgia terhadapnya, maka beban loyalitas ganda akan menimbulkan rasa bersalah yang tidak dapat ia abaikan. Kemudian, semakin tinggi penerimaan negara terhadap isu diaspora yang dapat ditunjukkan melalui kebijakan-kebijakan yang mengapresiasi diasporanya, maka motivasi untuk menyelesaikan persoalan loyalitas ganda akan semakin meningkat. Pada akhirnya, tingkat motivasi diaspora akan ditentukan oleh tingkat kohesi antara diaspora dengan tanah airnya.[33]

Rezim Sosial-Politik di Negara Asal dan Penerima

Rezim di negara penerima diaspora akan menentukan kapasitas diaspora untuk memperluas pengaruhnya atau bahkan untuk sekedar berorganisasi. Secara umum, rezim nondemokrasi cenderung menghalangi atau bahkan melarang aktivitas organisasi masyarakat sipil. Aturan ini cenderung akan diperlakukan semakin tegas kepada kelompok diaspora yang dianggap memiliki efek negatif terhadap persatuan nasional. Selain itu, kapasitas diaspora untuk beraktivitas juga ditentukan oleh kesempatan yang diberikan negara penerima untuk berkomunikasi dengan negara asalnya. Diaspora di negara yang lemah (mudah dipengaruhi faktor sosial) cenderung lebih mudah untuk beraktivitas karena tidak perlu menghadapi persoalan-persoalan yang dialami oleh diaspora di negara nondemokratis.[34]

Kelemahan negara asal juga menjadi faktor penting bagi diaspora untuk dapat beraktivitas. Akan tetapi, kelemahan negara asal juga dapat dimaknai sebagai lemah dalam parameter ekonomi dan keamanan. Teori dasar migrasi menjelaskan bahwa manusia cenderung berpindah ke tempat yang menawarkan lebih banyak keuntungan ekonomi dibandingkan negara asalnya. Hal inilah yang menjelaskan mengapa negara asal diaspora cenderung lebih lemah secara ekonomi dibandingkan negara penerimanya. Jika diaspora berasal dari negara yang lemah secara ekonomi, maka mereka tetap dapat beraktivitas, meskipun rezim di negara asal bersifat nondemokratis. Hal ini disebabkan negara asal akan sangat mengapresiasi keuntungan ekonomi yang dapat ditawarkan oleh diaspora. Akan tetapi, hal ini juga harus didukung oleh penerimaan negara asal terhadap masukan-masukan kelompok diaspora. Jika negara asal diaspora menolak adanya intervensi dari kelompok diaspora karena memiliki ideologi nasionalisme kuat dan menganggap diaspora sebagai pengkhianat negara atau tidak pernah berkontribusi, maka diaspora akan kesulitan untuk mencapai kepentingannya.[35]

Relasi Kekuatan antara Diaspora dan Negara Asal

Relasi kekuatan antara diaspora dan negara asalnya dapat ditentukan oleh seberapa besar negara asal membutuhkan sumber daya yang dapat diberikan oleh diaspora. Kebutuhan ini umumnya dapat diukur melalui seberapa banyak kapital yang dapat diinvestasikan diaspora atau seberapa besar bantuan politik yang dapat diberikan diaspora dengan menjadi entitas diplomatik di negara penerimanya. Akan tetapi, diaspora juga harus memiliki kesamaan visi dengan negara asalnya mengenai arah kebijakan yang akan ditempuh. Selain itu, kelompok diaspora sendiri juga harus memiliki kesamaan pandangan terkait kebijakan yang harus ditempuh oleh negara asalnya. Jika kelompok diaspora tidak mampu menyatukan visinya atau visinya bertentangan dengan negara asalnya, maka diaspora akan kesulitan untuk menjalankan aktivitasnya secara umum.[36]

Berdasarkan pemaparan di atas, Shain dan Barth merumuskan teori bahwa agar diaspora dapat beraktivitas dan mencapai kepentingannya, dibutuhkan dua prakondisi, yaitu: rezim demokratis dan motif berbasis identitas yang kuat. Pengaruh diaspora terhadap kebijakan negara asal akan ditentukan oleh relasi kekuatan di antara negara asal dan diaspora yang ditentukan oleh tiga faktor: (1) kekuatan negara asal (secara materiil, ideologis, dan penerimaan terhadap diaspora); (2) tingkat kohesi diaspora dengan negara asalnya; (3) tingkat kebutuhan negara dalam memandang diaspora sebagai asetnya.[37]

Sejarah Diaspora Indonesia

Semenjak Abad ke-18, suku-suku dari kepulauan Indonesia telah melakukan ‘perantauan’ ke negeri asing. Suku Minangkabau dan Bugis Makassar tercatat sebagai salah satu suku pertama yang meninggalkan Hindia-Belanda dengan tujuan berdagang atau sekedar dorongan kultural. Sebagian dari perantau suku Bugis dan Minangkabau telah berhasil menjadi diaspora penetap di tempat barunya. Hal ini dapat terlihat di Semenanjung Malaya (kini Negara Malaysia), dimana terdapat kesultanan yang didirikan oleh suku Minangkabau dimana teritorinya kini menjadi salah satu negara bagian Malaysia, yaitu Negeri Sembilan. Suku Bugis, di lain pihak, telah melahirkan keturunan-keturunan yang kemudian menjadi sultan-sultan di Johor dan bahkan perdana menteri Malaysia sekarang.[38]

Suku Jawa, pada masa yang sama, umumnya berdiaspora sebagai buruh kolonial Belanda atau Inggris. Di Malaysia, sebagai contoh, ribuan suku Jawa menerima kontrak kerja dari Inggris untuk bekerja di perkebunan Johor. Umumnya mereka menerima kontrak tersebut karena berharap pemerintah Inggris akan memberikan perlakuan yang lebih baik dari pemerintah Belanda. Sementara itu, ribuan orang Jawa juga dipekerjakan sebagai buruh pabrik oleh pemerintah kolonial Belanda di Suriname dan New Caledonia. Beberapa suku Jawa juga ditempatkan sebagai tentara Belanda di Sri Lanka. Sebagian kecil dari suku Jawa tersebut berhasil pulang, namun sebagian besar memutuskan untuk menetap dan membangun komunitas Jawa di tempat-tempat tersebut yang masih bertahan hingga sekarang. Selain itu, terdapat juga suku-suku Aceh, Batak, Madura, Sunda, Ternate yang berdiaspora dengan kondisi serupa – namun jumlah mereka sangat kecil.[39]

Kesamaan dari suku-suku yang berdiaspora pada masa kolonial tersebut adalah mereka belum mengenal konsep Indonesia. Ingatan mereka tentang tanah air bukanlah tentang negara Indonesia, namun desa-desa tempat mereka dibesarkan, kuburan leluhur mereka, dan juga budaya asli dari kesukuan tersebut. Oleh sebab itu, mereka umumnya tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai diaspora Indonesia, melainkan diaspora Bugis, Minangkabau, Jawa, dsb. Bahkan, sebagian sudah melebur dengan identitas nasional setempat, seperti yang terjadi pada diaspora Bugis, Minangkabau, dan Jawa di Malaysia yang kini mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu.[40]

Setelah kemerdekaan Indonesia diakui pada tahun 1949, diaspora Indonesia menjadi semakin beragam. Secara umum, mayoritas diaspora Indonesia pada masa ini meninggalkan Indonesia dengan tujuan mencari peluang usaha atau belajar. Sebagai contoh, beberapa suku minang merantau ke Singapura untuk membuka Restoran Padang atau berdagang pernak-pernik Arab. Akan tetapi, terdapat juga diaspora yang diakibatkan oleh masa peralihan Indonesia. Hal inilah yang dialami oleh orang-orang Indo (keturunan dari pernikahan orang Belanda asli dengan Pribumi) yang merasa bahwa situasi mereka di Indonesia sudah tidak lagi aman akibat kebijakan-kebijakan nasionalisasi pemerintah ketika itu. Mereka pun pergi ke Belanda dan menemukan bahwa kebudayaan mereka amat berbeda dengan kebudayaan Belanda asli. Situasi ini membuat mereka sulit untuk menentukan identitas mereka sesungguhnya.[41]

Kemerdekaan Indonesia tidak serta-merta mendapat dukungan penuh dari seluruh masyarakat. Hal ini menyebabkan banyak pemberontakan yang terjadi di masa-masa awal kemerdekaan, salah satunya oleh PRRI/Permesta yang berbasis di Maluku. Setelah gerakan pemberontakan tersebut berhasil diberantas oleh pemerintah Indonesia, banyak anggota-anggota pergerakan tersebut yang melarikan diri ke Belanda dan menetap di sana. Sebagian bahkan masih aktif memperjuangkan Republik Maluku Selatan dari Belanda. Hari ini, diaspora Indonesia di Belanda umumnya didominasi oleh orang-orang keturunan Maluku.[42]

Memasuki era globalisasi, percepatan teknologi komunikasi dan transportasi telah menyebabkan biaya migrasi berkurang secara drastis. Hal ini menyebabkan kelonjakan jumlah perpindahan manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia. BNP2TKI pada tahun 2012 mencatat bahwa terdapat 1.9 juta orang Indonesia di Malaysia dan 1.1 juta orang Indonesia di Arab Saudi yang bekerja sebagai buruh migran. Sejumlah kecil lainnya juga bekerja di Hong Kong, Asia-Pasifik, Eropa, Amerika, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Jumlah ini tentunya belum termasuk mereka yang bekerja secara illegal di negara masing-masing. Umumnya buruh migran Indonesia meninggalkan Indonesia akibat sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Mereka bekerja pada sektor-sektor informal dengan harapan dapat membiayai keluarganya yang ditinggalkan di Indonesia.[43]

Akan tetapi, tidak semua diaspora Indonesia merupakan pekerja-pekerja sektor informal. Beberapa, dalam jumlah kecil, telah berhasil menaiki tangga sosial di negara-negara barunya dan menjadi sosok yang prominen di tengah masyarakat. Cerita-cerita kesuksesan diaspora Indonesia telah banyak dibagikan melalui Kongres Diaspora Indonesia (KDI). Antara lain adalah cerita diaspora Suriname yang memperlihatkan bahwa diaspora Jawa telah berhasil menempati posisi-posisi penting dalam kabinet Suriname. Di Afrika Selatan, diceritakan bahwa Syeikh Yusuf asal Makassar, telah dianggap sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan dan diakui oleh Nelson Mandela. Lebih spesifik lagi adalah cerita-cerita para individu, seperti Dino Patti Djalal, Tania Gunadi, Kawan Soetanto, Mahdi Musa, Iwan Sunito, Edward Wanandi, seluruh individu ini menceritakan bagaimana mereka memulai karir sebagai pekerja sektor informal dan berjuang untuk menjadi salah satu tokoh berpengaruh di negara penerimanya. Ada yang menjadi bintang Hollywood, ada yang menjadi edukator terkenal, ada yang menjadi pejabat eksekutif di perusahaan multinasional, bahkan ada yang menjadi seorang CEO.[44]

Motivasi Diaspora Indonesia

Sukses ataupun tidak, seluruh diaspora yang memutuskan untuk berpindah tentu membawa kenangan atas tanah airnya dengan harapan dapat kembali ke sana suatu saat nanti. Diaspora Indonesia, umumnya memutuskan untuk menetap di negara penerimanya karena memiliki tuntutan untuk mengembangkan karirnya. Hal inilah yang menyebabkan sebagian diaspora Indonesia memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan. Akan tetapi, mereka tetap tidak pernah melupakan tempat asalnya. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai upaya yang dilakukan diaspora untuk menghidupkan kembali tanah airnya dengan cara membangun komunitas dan institusi yang dapat mereproduksi kembali lingkungan tanah airnya seperti yang dilakukan oleh diaspora Kanada.[45]

Dengan meminjam bahasa Milton Esman, diaspora merupakan entitas transnasional yang secara fisik merupakan bagian dari tempat barunya, namun secara ruhaniah merupakan bagian dari tanah airnya. Di rumah dan dengan tetangganya, mereka berkomunikasi menggunakan bahasa asli tanah airnya. Mereka pun mengikuti perkembangan berita terkini dari tanah airnya dan bahkan membuat publikasi dengan bahasa aslinya. Bagi sanak saudara yang ditinggalkan di tanah airnya, mereka mengirimkan sejumlah uang. Dalam beberapa kasus, mereka juga membiayai gerakan politik untuk mendukung tanah airnya. Semua hal ini dilakukan karena diaspora merasa memiliki ikatan batin dengan tanah airnya dan mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai orang asli tanah airnya.[46]

Melalui Kongres Diaspora Indonesia (KDI) yang telah digelar tiga kali, diaspora Indonesia berusaha untuk mengekspresikan rasa kepemilikannya terhadap identitas Indonesia. Hal ini terutama sangat menonjol di kalangan diaspora Indonesia yang kini menjadi warga negara asing. Melalui kesediaannya untuk datang menghadiri KDI II dan III di Jakarta, diaspora Indonesia berusaha menunjukkan keinginan mereka untuk berkontribusi bagi kemajuan Indonesia. Hal yang mereka inginkan adalah agar Indonesia, baik di tingkat pemerintah sampai dengan masyarakatnya, mau mengakui mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Lebih dari itu, mereka juga mengharapkan adanya respek dan apresiasi dari bangsanya. Mereka tidak mau ada anggapan bahwa orang-orang yang tinggal di luar negeri tidak loyal kepada bangsa Indonesia.[47] Dino Patti Djalal, pemrakarsa KDI, mengatakan: “Dianggap yang berpaspor asing nasionalismenya sudah hilang. Padahal nasionalisme mereka masih besar. Semangat untuk bersinergi kepada Tanah Air masih besar.[48]

Jaringan Diaspora Indonesia (JDI) adalah institusi Diaspora yang terbentuk berkat KDI I di Los Angeles. Dari segi jumlah, jaringan, dan individu yang terlibat di dalamnya, JDI dapat dikatakan sebagai institusi diaspora Indonesia yang paling besar dan berpengaruh. Dalam hal ini, JDI dapat dikatakan mewakili aspirasi umum dari diaspora-diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Secara kasat mata, kepentingan JDI adalah melakukan reformasi kebijakan imigrasi di Indonesia. Mulai dari kemudahan mendapat visa kunjungan ke Indonesia sampai dengan perumusan kebijakan dwi-kewarganegaraan.[49] Akan tetapi, dengan menggunakan teori diaspora yang diajukan Shain dan Barth, maka dapat dikatakan bahwa JDI yang sesungguhnya adalah menjadi bagian dari identitas nasional Indonesia. Dengan adanya dwi-kewarganegaraan, diaspora Indonesia akan dapat memastikan bahwa mereka diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia sekaligus dapat memiliki tempat untuk pulang.[50]

Namun tentu saja tidak semua diaspora Indonesia memiliki motivasi yang sama dengan JDI. Dari sekitar delapan juta diaspora Indonesia yang diestimasi oleh JDI, tercatat bahwa jumlah peserta terbanyak yang menghadiri KDI adalah 9,000 orang pada KDI II yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2013 (Diaspora Indonesia Akan Berkumpul Ketiga Kalinya di Jakarta 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa hanya sebagian kecil dari diaspora Indonesia yang aktif dalam perpolitikan diaspora sementara sisanya masih pasif.

Di sisi lain, respon negara Indonesia terhadap tuntutan JDI juga berpengaruh terhadap tingkat motivasi diaspora Indonesia. Dalam berbagai literatur media nasional Indonesia, diskursus yang paling menonjol adalah seputar potensi remitansi diaspora. Secara spesifik, Kompas.com menyebutkan bahwa besaran remitansi diaspora dapat mencapai US$ 7.2 miliar atau sekitar Rp 72 Triliun.[51] Akan tetapi, belum ada langkah serius dari pemerintah Indonesia untuk menanggapi tuntutan JDI di sektor imigrasi. Presiden Joko Widodo, pada Oktober 2015, telah menyatakan akan mendorong RUU Dwi-Kewarganegaraan, namun hanya untuk anak hasil perkawinan campur.[52] Hal ini menunjukkan bahwa masih ada keengganan untuk memberikan dwi-kewarganegaraan pada mantan WNI. Terkait hal ini, Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional, menjelaskan bahwa dwi-kewarganegaraan seringkali dimanfaatkan mereka yang melakukan kejahatan penghindaran pajak. Hikmahanto, lebih lanjut, mempertanyakan validitas perlindungan negara terhadap orang yang memiliki dwi-kewarganegaraan.[53] Sejauh ini, wacana yang paling mendekati tuntutan JDI adalah gagasan Kementerian Luar Negeri untuk membuat Kartu Diaspora Indonesia.[54] Akan tetapi, kartu tersebut hanya dibuat untuk tujuan pendataan, bukan bentuk pengakuan pemerintah Indonesia terhadap identitas diasporanya.[55]

Respon pemerintah Indonesia yang, bukan hanya terlambat, tapi juga tidak memuaskan tuntutan JDI, akan menurunkan tingkat motivasi diaspora Indonesia secara umum dan juga membatasi kapasitas JDI untuk memobilisasi diaspora Indonesia yang masih pasif. Dalam hal ini, banyak diaspora Indonesia yang masih pasif karena tidak memandang persoalan identitas nasional sebagai sesuatu yang begitu penting. Kita tentu tidak asing dengan diskursus bahwa “Indonesia adalah negara yang tidak menghargai merit seseorang sehingga banyak orang-orang berkemampuan di Indonesia yang pergi ke negara lain dimana merit mereka lebih dihargai.[56]” Menghadapi diskursus ini, beredar pula diskursus lain yang menyatakan bahwa “orang-orang berkemampuan yang meninggalkan Indonesia sudah tidak peduli dengan nasib bangsa dan tidak memiliki rasa kebangsaan.[57]” Diaspora-diaspora yang meyakini kebenaran dari diskursus-diskursus ini pada akhirnya dapat menjadi apati dan memutuskan menjadi diaspora pasif. Tidak aneh jika kemudian berkembang diskursus di kalangan diaspora Indonesia bahwa “Indonesia hanya tertarik dengan remitansi diaspora.[58]” Tanpa adanya respon yang baik dari pemerintah Indonesia, maka JDI akan kesulitan untuk memobilisasi diaspora-diaspora yang sudah menjadi pasif ini.

Relasi Kekuatan Jaringan Diaspora Indonesia dengan Pemerintah Indonesia

Secara umum, mayoritas diaspora Indonesia berada di negara-negara demokratis sehingga Jaringan Diaspora Indonesia (JDI) dapat memobilisasi agendanya tanpa ada masalah. Hal yang sama juga berlaku pada Indonesia yang merupakan negara demokratis dan mau menerima masukan-masukan dari JDI. Akan tetapi, ketika berbicara tentang relasi kekuatan JDI dan pemerintah Indonesia, dapat dikatakan bahwa JDI memiliki posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan pemerintah Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia, dalam teori diaspora Shain dan Barth, merupakan negara yang “kuat” dari segi ekonomi dan ideologinya.

Indonesia bukanlah negara miskin. Dengan pertumbuhan PDB yang sangat tinggi semenjak krisis ekonomi 1998, World Bank mencatat bahwa Indonesia merupakan negara terbesar kesepuluh dari segi kekuatan konsumsinya dan merupakan anggota dari G-20.[59] Tidak seperti Vietnam yang telah melegalisasi kebijakan dwi-kewarganegaraan, Indonesia memiliki kekuatan ekonomi yang relatif besar sehingga potensi ekonomi diaspora Indonesia tidak serta-merta membuat pemerintah tergiur. Selain itu, tanpa perlu melegalisasi kebijakan dwi-kewarganegaraan pun, pemerintah Indonesia sudah mendapat remitansi yang cukup besar dari buruh migran Indonesia. BNP2TKI mencatat bahwa jumlah remitansi buruh migran Indonesia yang masuk dan beredar sepanjang semester I 2016 adalah sebesar Rp 62 Triliun.[60] Tentu saja jika Indonesia melegalisasi kebijakan dwi-kewarganegaraan, jumlah remitansi ini akan semakin besar karena juga mengikutsertakan diaspora yang kini menjadi warga negara asing. Belum lagi jika ditambah dengan potensi kapital yang dapat diinvestasikan oleh diaspora Indonesia. Akan tetapi, untuk melakukan hal ini, maka Indonesia harus mengorbankan prinsip kesatuannya yang diekspresikan melalui kebijakan kewarganegaraan tunggal.

Semenjak awal kemerdekaan, Indonesia adalah negara yang menganut kuat prinsip kesatuan, tercermin dari Sila ke-3 Pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia.” Dengan demikian, hanya ada satu jenis orang Indonesia, yaitu mereka yang mengabdi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akibatnya, Indonesia cenderung mempermalukan orang-orang yang berkewarganegaraan ganda. Hal ini terlihat jelas pada kasus pencopotan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar, setelah menjabat selama 20 hari karena diketahui memiliki paspor Amerika Serikat.[61] Menyikapi hal ini, anggota DPR Komisi I, Effendi Simbolon, menyatakan:

Tidak perlu kita mengakomodir itu (orang dengan dwi-kewarganegaraan) …sumpah …menjadi warga negara Amerika kan …harus mengingkari semua ketentuan dan perintah negara asalnya, berarti dia mengingkari Pancasila dong, dia mengingkari UUD 1945, bagaimana masih bisa mengakomodir karena persoalan talenta.[62]”

Pernyataan keras dari salah satu pejabat publik di Indonesia tersebut menyiratkan bahwa mengakui dwi-Kewarganegaraan, bagi Indonesia, bukan hanya berarti mengorbankan ideologi dan identitas negara, tapi juga melakukan pembiaran kepada orang-orang yang tidak loyal terhadap bangsa. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa keuntungan ekonomi yang dapat diberikan oleh diaspora Indonesia tidaklah sepadan dengan pengorbanan ideologi yang harus dilakukan oleh negara.

Dalam teorinya, Shain dan Barth menjelaskan bahwa diaspora tidak hanya mampu menawarkan keuntungan ekonomi, tapi juga kepentingan politik.[63] Akan tetapi, figur-figur besar diaspora Indonesia yang mampu memberikan keuntungan politik pada pemerintah umumnya masih menjadi warga negara Indonesia, seperti Dino Patti Djalal, Sri Mulyani, B.J. Habibie, dan Erick Thohir. Tanpa memiliki tokoh besar yang berkewarganegaraan asing, JDI akan kesulitan untuk meyakinkan pemerintah mengenai urgensitas dari perumusan kebijakan dwi-kewarganegaraan. Ditambah lagi, Kecilnya jumlah diaspora Indonesia yang aktif juga berpengaruh pada bagaimana pemerintah Indonesia merespon tuntutan JDI. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia belum dapat melihat bukti nyata dari potensi besar diaspora yang dijanjikan oleh JDI. Selagi JDI belum mampu menunjukkan bahwa ia mampu memobilisasi diaspora-diaspora Indonesia lainnya yang masih pasif, maka pemerintah Indonesia akan tetap pasif dalam menghadapi tuntutan JDI.

Kesimpulan


Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas bahwa pemerintah Indonesia memang memandang diaspora sebagai aset (dibuktikan dengan adanya pertimbangan terhadap potensi remitansi diaspora), namun tidak menganggap bahwa nilai aset tersebut lebih tinggi daripada pengorbanan ideologi yang harus dilakukan negara. Lebih lagi, Indonesia masih memiliki kekuatan ekonomi yang relatif kuat sehingga belum begitu membutuhkan keuntungan finansial yang dijanjikan oleh diaspora Indonesia. Berdasarkan teori diaspora Shain dan Barth, pemerintah Indonesia adalah aktor yang lebih ‘kuat’ dalam relasinya dengan Jaringan Diaspora Indonesia (JDI), sehingga mereka dapat bersikap ‘tidak peduli’ terhadap tuntutan JDI.

Di sisi lain, JDI juga belum memiliki sesuatu yang dapat ditawarkan untuk menaikkan posisi mereka dalam relasinya dengan pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, JDI masih belum mampu memobilisasi seluruh diaspora Indonesia yang masih pasif, sehingga pemerintah Indonesia belum memiliki alasan untuk ‘peduli’ terhadap tuntutan JDI. Jika dibiarkan, respon buruk pemerintah Indonesia akan semakin merenggangkan kohesi sosial antara diaspora Indonesia yang masih pasif dengan negara Indonesia. Tanpa mendapat kepastian yang jelas dari pemerintah Indonesia mengenai tuntutan JDI, diaspora pasif tidak akan memiliki motivasi untuk memperjuangkan kepentingan JDI. Interkonektivitas antara motivasi diaspora dan respon pemerintah inilah yang menjadi hambatan terbesar yang harus diatasi oleh JDI untuk dapat mewujudkan agendanya.

___________________________________________________________
[1] Evelyn Tan-Cullamar, "Indonesian Diaspora and Philippine-Indonesian Relations," Philippine Studies Vol. 41 No. 1 (1993), 40.
[2] Yossi Shain dan Aharon Barth, "Diasporas and International Relations Theory," International Organization Vol. 57 No. 3 (2003), 442-453.
[3] Muhammad Dhafi Iskandar, Laporan Kongres Diaspora Indonesia: 2nd Congress of Indonesian Diaspora Pulang Kampung (Paris: PPI Prancis, 2013), 1, Diakses pada 4 September 2016, http://www.ppifrance.fr/download/lpj_ppi-prancis_2012-2013/lpj2013_Laporan%20Acara % 20Kongres%20Diaspora%20Indonesia.pdf.
[4] Vina Mubtadi, “Kongres Diaspora Indonesia Sepakati Pembentukan Jaringan Global Diaspora,” VOA Indonesia, 10 Juli, 2012, diakses pada 3 September 2016, http://www.voaindonesia.com/a/kongres-diaspora-indonesia-sepakati-pembentukan-jaringan-diaspora-indonesia/1381737.html.
[5] B.E. Satrio, “Diaspora Indonesia; Konektivitas Menjadi Jiwa Nasionalisme,” IDN Kuala Lumpur, 2013, diakses pada 3 September 2016, http://idn.kbrikualalumpur.org/index.php/80-template-details/general/110-diaspora-indonesia-konektivitas-menjadi-jiwa-nasionalisme
[6] Mubtadi, “Kongres Diaspora Indonesia Sepakati.”
[7] Pasti Liberti Mappapa, “Presiden Indonesian Diaspora Network: Diaspora Tuntut Kewarganegaraan Ganda,” Detik.com, 19 Agustus 2015, diakses pada 3 September 2016, http://news.detik.com/wawancara/2995530/presiden-indonesian-diaspora-network-diaspora-tuntut-kewarganegaraan-ganda.
[8] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 450.
[9] Mappapa, “Presiden Indonesian Diapora Network.”
[10] “Diaspora Power,” Indonesian Inside, Januari, 2014, diakses pada 5 September 2016, http://www.insideindonesia.org/diaspora-power (accessed September 5, 2016).
[11] Isyana Artharini, “Probematika di balik kewarganegaraan ganda,” BBC.com, 18 Agustus, 2016, diakses pada 5 September 2016, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/08/160817_ indonesia_kewarganegaraan_ganda
[12] Nabilla Tashandra, “Ini Penjelasan Menlu soal Rencana Pembuatan Kartu Diaspora,” 31 Agustus, 2016, diakses pada 5 September 2016, http://nasional.kompas.com/read/2016/08/31/23042561/ini.penjelasan.menlu.soal. rencana. pembuatan.kartu.diaspora
[13] Agniezka Weinar, “Instrumentalising Diasporas for Development: International and European Policy Discourses,” dalam Diaspora and Transnationalism: Concepts, Theories and Methods, ed. Rainer Baubock dan Thomas Faist (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), 73.
[14] Milton J. Esman, Diaspora in the Contemporary World (Cambridge: Polity Press, 2009), 15-18.
[15] Maria Koinova, “Autonomy and Positionality in Diaspora Politics,” International Political Sociology Vol. 6 No. 1 (2012), 101-102.
[16] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 453-454.
[17] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 454-459.
[18] Weinar, “Instrumentalising Diasporas for Development,” 74.
[19] Maria Koinova, “Diasporas and International Politics: Utilising the Universalistic Creed of Liberalism for Particularistic and Nationalist Purposes,” dalam Diaspora and Transnationalism: Concepts, Theories and Methods, ed. Rainer Baubock dan Thomas Faist (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), 150.
[20] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 452.
[21] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 457.
[22] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 457-458.
[23] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 458.
[24] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 458-459.
[25] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 459.
[26] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 460.
[27] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 460.
[28] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 460-461.
[29] Shain dan Barth, “Diaspora and IR Theory,” 461.
[30] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 462.
[31] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 462
[32] Koinova, “Autonomy and Positionality,” 101-102.
[33] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 463.
[34] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 463-464.
[35] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 464-465.
[36] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 465.
[37] Shain dan Barth, “Diaspora and IR Theory,” 466.
[38] “Diaspora Orang Indonesia Melintas Samudera,” Media Kalla, 8 Oktober, 2013, diakses pada 5 September 2016, http://www.mediakalla.co.id/diaspora-orang-indonesia-melintas-samudera/.
[39] “Diaspora Orang Indonesia Melintas Samudera.”
[40] Reza Zaini, “Diaspora Indonesia: Sejarah Perantau yang Berkembang dan Terlupakan,” Kompasiana, 17 Juni, 2015, diakses pada 5 September 2016, http://www.kompasiana.com/m.rezazaini/diaspora-indonesia-sejarah-perantau-yang-berkembang-dan-terlupakan_556fc2f8307a619c30bbf124.
[41] Zaini, “Diaspora Indonesia.”
[42] Zaini, “Diaspora Indonesia.”
[43] Jodhi Yudono, “Kisah para Pengembara,” Kompas.com, 20 Agustus, 2013, diakses pada 5 September 2016, http://nasional.kompas.com/read/2013/08/20/2024240/Kisah.Para.Pengembara
[44] “Diaspora Power.”
[45] Peter Mothe, “Canadian Indonesian Diaspora Society Launches Indiegogo Campaign for Immigrant Oral History Project,” The Georgia Straight, 6 Mei, 2015, http://www.straight.com/news/446066/canadian-indonesian-diaspora-society-launches-indiegogo-campaign-immigrant-oral-history.
[46] Esman, Diaspora and Contemporary World, 5.
[47] “Diaspora Power.”
[48] Whisnu Mardiansyah, “Diaspora Desak Pemerintah Terapkan Dwi Kewarganegaraan di Indonsia,” Metro TV News.com, 18 Agustus, 2016, diakses pada 5 September 2016, http://news.metrotvnews.com/politik/0kprd67N-diaspora-desak-pemerintah-terapkan-dwi-kewarganegaraan-di-indonesia.
[49] “Diaspora Power.”
[50] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 454-455.
[51] Jodhi Yudono, “Kisah para Pengembara.”
[52] “Jokowi Janji Dorong RUU Dwikewarganegaraan,” Kompas.com, 5 September, 2016, diakses pada 5 September 2016, http://nasional.kompas.com/read/2015/10/26/15413891/Jokowi.Janji.Dorong.RUU.Dwikenegaraan.
[53] Artharini, “Problematika Kewarganegaraan Ganda.”
[54] Tashandra, “Ini Penjelasan Menlu.”
[55] “Peran Diaspora Indonesia bagi Kemajuan Bangsa,” Tabloid Diplomasi, 29 Oktober, 2015, diakses pada 5 September 2016, http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/218-diplomasi-juli-2015/1944-peran-diaspora-indonesia-bagi-kemajuan-bangsa.html.
[56] I Gusti Krishna Aditama, “Dampak Globalisasi bagi Indonesia: Brain Drain atau Brain Gain?” FOIS, 22 Oktober, 2015, diakses pada 5 September 2016. https://fois.or.id/dampak-globalisasi-bagi-indonesia-brain-drain-atau-brain-gain-4c4a64394bc2#.mhvrdhpi6
[57] “Simpang Amsterdam – Benarkah Pelaku Brain Drain, Pengkhianat Negara,” Radio Nederland Wereldomroep Indonesia, 19 November, 2011, diakses pada 5 September 2016, http://archief.wereldomroep.nl/bahasa-indonesia/radioshow/benarkah-pelaku-brain-drain-pengkhianat-negara.
[58] Richardson Kilis, “What is the Impact of the Congress of Indonesian Diaspora,” Quora, 20 Agustus, 2013, diakses pada 4 September 2016, https://www.quora.com/What-is-the-impact-of-the-Congress-of-Indonesian-Diaspora.
[59] “Indonesia Worldview,” World Bank, terakhir diperbaharui 5 April 2016, diakses pada 5 September 2016, http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/overview.
[60] “BNP2TKI: Remitansi TKI Mencapai Rp 62 Triliun,” BNP2TKI, 25 Agustus, 2016, diakses pada 5 September 2016, http://www.bnp2tki.go.id/read/11560/BNP2TKI:-Remitansi-TKI-Mencapai-Rp-62-Triliun.
[61] Inggried Dwi Wedhaswary, “Menyoal Wacana Dwi-Kewarganegaraan, Menguntungkan atau Merugikan Indonesia?,” Kompas.com, 23 Agustus, 2016, diakses pada 5 September 2016, http://nasional.kompas.com/read/ 2016/08/31/23042561/ini.penjelasan.menlu.soal.rencana.pembuatan.kartu.diaspora.
[62] Artharini, “Problematika Kewarganegaraan Ganda.”
[63] Shain dan Barth, “Diasporas and IR Theory,” 462.

Comments

Popular posts from this blog

Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis: Kembalinya Gerakan Buruh untuk Menentang Kapitalisme

Book Review: Bioteknologi dan Kapitalisme: Perubahan Makna Kehidupan Manusia

Book Summary: Chapter 11 The American Democracy: Congress: Balancing National Goals and Local Interests

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Mengapa Paus Francis Tidak Begitu Bijak: Hubungan Kapitalisme-Agama dan Implikasinya