Nicholas Onuf: Memahami Konsep Institusi

Tulisan ini merupakan review dari karya Nicholas Onuf yang berjudul “Institutions, Intentions, and International Relations.” Review of International Studies, Vol. 28 No. 2 (2002): 211-228.

Nicholas Onuf memulai tulisannya dengan menyatakan bahwa Hubungan Internasional, pada awalnya, merupakan ilmu yang mempelajari tentang negara dan perilakunya. Baik realisme maupun liberalisme, mengasumsikan negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional namun memiliki pandangan berbeda mengenai pengaruh institusi terhadap negara. Melihat konteks tersebut, Onuf justru berusaha menghindar dari perdebatan “Apakah institusi berpengaruh atau tidak?” dan lebih memilih untuk menjelaskan bagaimana institusi terbentuk. Untuk dapat melakukannya, Onuf melakukan dialektika antara teori-teori institusi dari Friedrich Hayek, Carl Menger, dan Francis Lieber.

Friedrich Hayek menjelaskan bahwa institusi dapat terbentuk melalui dua cara: (1) direncanakan dan didesain oleh manusia (artifisial); (2) terbentuk secara spontan akibat interaksi manusia (alami). Menurut Hayek, institusi yang bersifat artifisial dapat menciptakan konsekuensi yang tak diinginkan akibat ‘salah desain’ oleh agen (manusia). Jauh lebih baik, menurut Hayek, jika institusi dibiarkan terbentuk secara alami dan terpisah dari (rekayasa) agen. Dengan demikian, para agen akan dapat memiliki ruang untuk berpikir lebih rasional. Komitmen Hayek pada prinsip Laissez-faire membuatnya berada di posisi yang mendukung institusi alami (seperti pasar). Onuf tidak mempermasalahkan posisi Hayek, namun ia mempermasalahkan dikotomi yang diciptakannya.

Menurut Onuf, yang alami dan yang artifisial tidak dapat dipisahkan. Sebab manusia selalu menciptakan sesuatu berdasarkan template yang disediakan oleh alam. Dalam konteks institusi, Onuf, dengan mengutip Aristoteles, menyatakan bahwa hukum alam lah yang mengarahkan manusia untuk menciptakan institusi. Menciptakan dikotomi antara alami dan artifisial sama saja mengatakan bahwa manusia memiliki keinginan (intention) yang berlawanan dengan alam. Dengan demikian, Onuf menyimpulkan bahwa institusi terbentuk melalui rancangan manusia yang didorong oleh keinginan untuk mengikuti hukum alam (cont: bersosialisasi sesama manusia).

Onuf memperkuat argumennya dengan membahas teori Carl Menger. Menurut Menger, institusi (atau fenomena sosial dalam bahasa Menger) terbentuk akibat kesepakatan anggota masyarakat atau legislasi. Kesepakatan ini didorong oleh kepentingan manusia yang bersifat impulsif. Dengan mengutip Adam Smith, Onuf menegaskan bahwa agregat kepentingan manusia pada akhirnya menjadi kepentingan masyarakat dan mendorong mereka untuk menciptakan institusi. Menger juga melegitimasi kritik Onuf kepada Hayek dengan menyatakan bahwa institusi terus-menerus berkembang akibat hal-hal tak terduga (alami) dan campur tangan manusia (artifisial). Masing-masing variable (alami dan artifisial) saling mempengaruhi satu sama lain dan melahirkan institusi.

Onuf kemudian membahas definisi institusi menurut Hans Lieber yang menyatakan bahwa institusi merupakan sekelompok law, usage, dan operation[1] yang saling berhubungan dengan erat dan membentuk entitas independen yang bersatu dan memiliki karakteristik yang unik. Onuf menyatakan bahwa definisi ini merupakan yang paling umum dan sulit dikembangkan lagi. Prinsip ‘bekerjasama antar-sesama agen manusia’ pada akhirnya menjadi fitur utama yang ditemukan pada institusi-institusi yang ada sekarang.

Dalam konteks ilmu Hubungan Internasional, Onuf menjelaskan bahwa akademisi-akademisi HI banyak yang terpengaruh oleh pemikiran Hayek dan memberikan cerita-cerita mengenai dikotomi institusi artifisial dan alami. Kelompok pemikir liberal membanggakan superioritas institusi artifisial, seperti hukum internasional, perdagangan bebas, dan berbagai konferensi multilateral dalam menjaga perdamaian. Akan tetapi, pecahnya perang menimbulkan pandangan di kelompok pemikir realis bahwa institusi-institusi tersebut telah ‘salah desain’ dan mengakibatkan perang.

Realis pun menjadi memiliki posisi yang menolak keras institusi (bahkan terkesan irasional, menurut Onuf) karena beranggapan bahwa rekayasa sosial (dalam bentuk institusi artifisial) hanya akan mengakibatkan konsekuensi tak diinginkan. Anarki, bagi realis, menjadi institusi alami yang mereka anggap lebih superior daripada institusi artifisial (milik liberalis) karena memberikan ruang bagi negara (yang mereka anggap selayaknya manusia) untuk dapat berpikir rasional. Dikotomi institusi artifisial dan alami dalam hubungan internasional inilah yang berusaha dikritik oleh Nicholas Onuf.

Analisis

Pertama-tama, penulis perlu menjelaskan bahwa membaca tulisan Nicholas Onuf mengenai institusi tanpa memahami definisi institusi itu sendiri sangatlah menyulitkan. Onuf tidak pernah memberikan definisi institusi yang ia gunakan dalam tulisan ini (kendati ia menyebutkan definisi Menger, Lieber, dan Ruggie). Pemahaman Onuf akan institusi juga sangat berbeda dari pemahaman yang umum diberikan kelompok liberalis institusionalis. Onuf tidak hanya membicarakan institusi yang sudah terinstitusionalisasi (seperti PBB atau hukum internasional) tapi juga membicarakan institusi yang bersifat nonmateriil, seperti norma-norma dalam masyarakat. Penulis juga menangkap bahwa Onuf berusaha mengatakan bahwa anarki sendiri merupakan sebuah institusi, sementara realis memahaminya sebagai struktur.

Perasaan yang dialami penulis ketika membaca tulisan Onuf tidaklah bersifat eksklusif. John Duffield menerangkan bahwa institusi internasional dalam studi Hubungan Internasional tidak pernah memiliki definisi yang dapat disepakati. Selama bertahun-tahun, menurut Duffield, akademisi yang mempelajari institusi internasional menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan fenomena-fenomena empiris yang berbeda, seperti organisasi antarpemerintah (IGO), rezim internasional, dan seperangkat norma. Hal ini bukan saja menciptakan kebingungan, namun juga membatasi studi mengenai institusi internasional itu sendiri. Untuk mengatasi hal ini, Duffield dalam “What Are International Institutions” berupaya untuk menciptakan definisi institusi internasional yang bersifat lebih inklusif (Duffield, 2007).

Dalam tulisannya, Duffield memberikan empat kategori pendefinisian institusi internasional, yaitu: (1) definisi tradisional – institusi sebagai organisasi formal; (2) definisi ilmu sosiologi – institusi sebagai pola perilaku (3) definisi rasionalis – institusi sebagai aturan; (4) definisi konstruktivis – institusi sebagai norma Untuk menginklusikan seluruh definisi tersebut, Duffield mengajukan definisi baru perihal institusi internasional, yaitu ‘seperangkat norma (konstitutif, regulatif, dan prosedural) yang relatif stabil dan aturan yang mengatur sistem internasional, aktor di dalamnya (aktor negara dan non-negara), serta aktivitasnya. Definisi ini bersifat inklusif, dalam artian hanya perlu memenuhi salah satu syarat yang dicantumkan definisi (mis. norma regulatif) untuk dapat menjadi institusi (Duffield, 2007).

Berdasarkan kategorisasi Duffield, penulis dapat menyimpulkan bahwa konsepsi institusi yang digagas Nicholas Onuf termasuk dalam kategorisasi keempat, yaitu institusi sebagai seperangkat norma. Pemahaman inilah yang membuat Onuf menganggap anarki sebagai institusi, mengingat sikap menjaga dan menghormati kedaulatan merupakan sebuah norma yang disepakati antara negara.

Argumen utama Onuf dalam tulisan ini adalah bahwa institusi merupakan produk dari hukum alam yang mempengaruhi tindakan manusia. Institusi yang diciptakan manusia pada akhirnya akan mempengaruhi hukum alam (melalui rekayasa sosial). Dengan cara inilah, hukum alam dan tindakan manusia saling membantu dan melahirkan institusi. Pihak yang ingin diserang oleh Onuf melalui argumen ini adalah kelompok pemikir behavioralis dalam ilmu HI yang memperdebatkan keunggulan institusi artifisial (liberalis) dan institusi alami (realis). Pertanyaan yang ingin penulis ajukan terkait argumen ini adalah, “Perbedaan apa yang akan dihasilkan jika kita menggunakan perspektif Onuf dalam melihat institusi?” Alastar Iain Johnston memberikan jawaban yang cukup memuaskan terkait pertanyaan ini.

Johnston menjelaskan bahwa institusi internasional dapat mempengaruhi perilaku negara dengan cara memicu perubahan perilaku secara endogen (dari dalam). Kesimpulan ini dicapai setelah Johnston melihat bahwa pemikir realis dan liberalis hanya mempertimbangkan pengaruh institusi internasional dalam memicu perubahan perilaku secara eksogen (dari luar). Liberalis beranggapan bahwa perilaku negara dapat dikendalikan dengan cara memberikan hadiah (reward) dan hukuman (punishment) kepada negara anggota institusi. Realis memandang bahwa institusi dapat merubah perilaku negara dengan cara menjanjikan peningkatan keamanan bagi negara anggota guna mem-balance negara yang menjadi ancaman (Johnston, 2001).

Dengan menggunakan perspektif Onuf, kita dapat melihat bahwa pemikiran liberal berusaha merekayasa sifat dasar negara (yang mementingkan diri sendiri) melalui mekanisme reward & punishment, sementara realis berupaya menjaga sifat alami negara yang akan selalu rasional dan hanya akan bekerjasama dengan negara lain jika terdapat kepentingan untuk mem­-balance sebuah ancaman bersama.

Selanjutnya, Johnston menjelaskan bahwa perubahan endogen oleh institusi dapat dilakukan dengan cara memicu sosialisasi di antara negara. Sosialisasi, menurut Johnston, merupakan konsep yang telah lama diabaikan dalam ilmu Hubungan Internasional. Para realis memandang bahwa sosialisasi hanyalah sebatas proses seleksi untuk melenyapkan negara-negara gagal yang tidak mampu melakukan balance of power. Sementara liberalis mengabaikan konsep itu sama sekali dengan alasan kesulitan mengamati perubahan dalam kepentingan dan preferensi negara.

Johnston, dengan mengutip Alexander Wendt, menjelaskan bahwa sosialisasi antarnegara adalah yang menciptakan norma anarki. Hal ini dapat terjadi melalui adanya interaksi sosial yang bersifat persuasive dan memberikan pengaruh. Kedua hal inilah yang akan memicu perubahan endogen pada identitas negara yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilakunya. Dalam hal ini, Johnston berargumen bahwa institusi internasional haruslah dianggap sebagai sebuah lingkungan sosial yang memfasilitasi proses sosialisasi antarnegara (Johnston, 2001).

Perspektif Onuf dapat dikatakan melengkapi penjelasan Johnston mengenai pentingnya sosialisasi antarnegara. Menurut Onuf, institusi didesain oleh manusia dengan mengikuti template yang telah disediakan alam. Salah satu template tersebut, menurut Aristoteles, adalah bersosialisasi antarsesama manusia. Dengan menggunakan perspektif ini, penjelasan Johnston menjadi lebih masuk akal.

Institusi internasional baik yang bersifat formal ataupun nonformal merupakan rancangan manusia yang didorong oleh keinginan mereka untuk bersosialisasi. Selama diskursus mengenai pentingnya sosialisasi antarnegara terus berkembang, maka desain institusi akan semakin diarahkan untuk memfasilitasi sosialisasi. Jeffrey T. Chekel memberikan konteks untuk argumen ini dengan menjelaskan mengenai Uni Eropa yang telah berhasil membangun Eropa menjadi sebuah komunitas. Menurut Chekel, sosialisasi berperan penting dalam menciptakan hal tersebut (Checkel, 2005).

Kesimpulan

Nicholas Onuf telah berhasil membuktikan bahwa institusi internasional merupakan produk rekayasa manusia yang didorong oleh hukum alam. Penjelasan ini memberikan perspektif baru bahwa apa yang diciptakan oleh manusia belum tentu sepenuhnya terlepas dari alam, begitu pula sebaliknya. Penjelasan ini juga membuka kemungkinan bagi institusi untuk memfasilitasi proses sosialisasi antarnegara (sesuatu yang telah lama diabaikan oleh pemikir HI) mengingat sosialisasi antarmanusia merupakan salah satu hukum alam, menurut Aristoteles.

Daftar Pustaka

Checkel, J. T. (2005). International Institutions and Socialization in Europe: Introduction and Framework. International Organization Vol. 59 No. 4, 801-826.

Duffield, J. (2007). What Are International Institutions? International Studies Review Vol. 9 No. 1, 1-22.

Johnston, A. I. (2001). Treating International Institutions as Social Environments. International Studies Quarterly Vol. 45 No. 4, 487-515.

____________________________________________________________________
[1] Penulis mengalami kesulitan menerjemahkan ketiga konsep ini. Kemungkinan besar, ketiga konsep tersebut mengacu pada nilai-nilai umum yang dianut dalam masyarakat

Comments

  1. Pada akhirnya, perkembangan dari teori institusionalisme menunjukkan bahwa institusi mampu mempengaruhi perilaku negara. Selain itu, perkembangan teori kritis juga menunjukkan bahwa perkembangan yang terjadi saat ini akan mengarah pada kondisi dimana negara harus mengabaikan logika anarki dan tunduk pada institusi
    Referensi: Perbatasan Institusionalisme Judi Online

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara