Periodisasi Politik Luar Negeri Republik Indonesia



Masa Orde Lama 


Pada masa Orde lama, sistem pemerintahan Indonesia yang menganut sistem Demokrasi Terpimpin mengakibatkan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (PLN-RI) menjadi bersifat sangat ideosinkretik atau Soekarno-sentris. Oleh sebab itu, sifat anti-westernisasi dan anti-imperialisasi, yang dimiliki Soekarno, sangat kental terlihat pada PLN RI di masa Orde Lama. Selain itu, pendekatan yang digunakan oleh PLN RI cenderung bersikap globalis atau berusaha untuk menyatukan seluruh negara di dunia.

Awalnya, kepentingan nasional utama Indonesia adalah mendapatkan pengakuan internasional terhadap berdirinya NKRI. Namun setelah Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin, kepentingan nasional Indonesia berkembang menjadi radikal, yakni untuk mendukung Revolusi Indonesia, sebuah usaha untuk meningkatkan pamor Indonesia di dunia internasional dan membentuk kekuatan baru yang dapat menyaingi Blok Barat dan Blok Timur.

Diplomasi merupakan instrumen utama Indonesia dalam meraih kepentingan nasionalnya. Hal ini terlihat dari bagaimana Indonesia selalu mengikuti sidang PBB untuk mendapatkan pengakuan internasional dan merebut daerah yang masih dikuasai Belanda, seperti Irian Barat. Selain itu, Tindakan ekonomi juga digunakan Indonesia untuk menciptakan persahabatan dengan India, yakni melalui penyumbangan beras seberat 500 ton bagi rakyat kelaparan di India. Terakhir, di bawah Demokrasi Terpimpin, Indonesia banyak menggunakan propaganda yang mengklaim bahwa mereka merupakan pemimpin dari New Emerging Forces (NEFOS) yang akan berperang melawan Old Established Forces (OLDEFOS).

Keberhasilan utama PLN-RI masa Orde Lama adalah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional akan kedaulatan NKRI. Keberhasilan lainnya adalah membangun hubungan baik dengan negara-negara di Asia dan Afrika. Namun, PLN-RI yang terlalu banyak difokuskan untuk meraih kekuatan politik membuat Indonesia mengabaikan sektor ekonomi yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakatnya. Akibatnya, Indonesia di masa Orde Lama dikenal sebagai negara yang garang dalam melakukan hubungan internasional, namun penduduknya masih kelaparan.

Di antara faktor pendukung keberhasilan PLN-RI di masa Orde Lama, salah satunya adalah kualitas para diplomatnya yang benar-benar memahami apa yang menjadi kepentingan nasional Indonesia. Faktor kedua adalah kepemimpinan Soekarno yang begitu karismatik membuatnya sangat dicintai oleh rakyat Indonesia, sehingga seluruh kebijakannya, bahkan yang paling tidak rasional sekalipun, selalu mendapatkan dukungan dari rakyat. Dari segi eksternal, faktor pendukung keberhasilan PLN-RI Orde Lama adalah kehadiran Amerika Serikat dan Uni Soviet yang saling berebut pengaruh di Indonesia. Keduanya berusaha untuk memastikan bahwa negara besar dengan penduduk 90 juta jiwa lebih tersebut akan memihak pada bloknya, sehingga Indonesia banyak mendapatkan bantuan secara politis dari AS dan Uni Soviet di awal kemerdekaannya.

Namun, karena pemerintahan Indonesia pada masa Orde Lama sangat didominasi oleh Soekarno, maka popularitas Soekarno sebagai pemimpin akan sangat menentukan keberhasilan PLN-RI. Jika popularitas Soekarno turun, maka kemungkinan besar PLN-RI tidak dapat dijalankan karena tidak mendapatkan dukungan rakyat. Kenyataannya, popularitas Soekarno memang menurun semenjak beliau dituduh berperan dalam peristiwa G30S. Terlepas benar atau salahnya tuduhan tersebut, peristiwa tersebut benar-benar menjatuhkan popularitas Soekarno sampai akhirnya beliau dilengserkan oleh MPR.


Masa Orde Baru


Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan Indonesia dikuasai oleh militer dengan Soeharto sebagai pemimpinnya. Oleh sebab itu, PLN RI menjadi bersifat militeristik yang mengedepankan penciptaan stabilitas regional. Berlawanan dengan Orde Baru yang sangat kental dengan retorika Anti-Barat, Orde Baru jelas-jelas menunjukkan sikap pro-Barat melalui berbagai kebijakannya yang mengizinkan modal asing masuk ke Indonesia dan menunjukkan sikap Anti-Timur melalui kebijakannya yang melarang ideologi Komunis berkembang di Indonesia..

Pada tahap awal Orde Baru, kepentingan utama Indonesia adalah memperbaiki keadaan ekonominya yang mengalami inflasi sampai 650% sebagai warisan dari Orde Lama. Untuk melakukannya, Indonesia perlu terlebih dahulu memperbaiki hubungan dengan negara-negara Barat yang dapat memberikan suntikan modal bagi usaha mereka. Setelah perekonomian dapat kembali pulih, suntikan modal tersebut akan digunakan untuk kepentingan Indonesia yang lainnya, yaitu melaksanakan pembangunan. Pada perkembangannya, Indonesia yang sudah mapan merasa perlu untuk menciptakan keamanan di tingkat regional agar pemulihan pembangunan yang sudah terjadi dapat berjalan dengan lancar tanpa mendapat gangguan.

Diplomasi masih merupakan instrumen utama bagi Indonesia untuk meraih kepentingan nasionalnya. Diplomasi berperan sangat penting bagi Indonesia untuk memulihkan kembali hubungan dengan negara-negara Barat, seperti Malaysia dan menciptakan organisasi regional ASEAN. Diplomasi juga berperan penting agar Indonesia bisa mendapatkan modal-modal asing yang sangat dibutuhkannya untuk pemulihan perekonomian dan pembangunan. Kemudian, kepemimpinan yang bersifat militeristik juga menyebabkan Indonesia banyak membeli senjata-senjata untuk memperkuat militernya sehingga instrumen Perang dan Senjata pun tersedia bagi Indonesia. Secara tersembunyi, Indonesia memang pernah menggunakan instrumen Perang dan Senjata untuk menganeksasi wilayah Timor Leste yang kemudian diintegrasikan dengan NKRI sebagai Provinsi Timor-Timur.

Jika dievaluasi, dapat dikatakan bahwa PLN-RI di masa Orde Baru telah berhasil memperbaiki keadaan ekonomi yang sangat buruk yang ditinggalkan oleh pemerintah Orde Lama. Modal asing yang mengalir begitu deras memperlancar usaha Indonesia melakukan pembangunan, sehingga kondisi perekonomian Indonesia menjadi semakin baik dari hari ke hari. Indonesia juga berhasil membentuk ASEAN yang berjasa dalam menciptakan stabilitas keamanan di Asia Tenggara, sehingga tidak ada perang yang terjadi di antara negara-negara anggotanya. Namun, catatan buruk Indonesia di bidang HAM dan demokrasi membuatnya mendapatkan sejumlah kecaman dari dunia internasional, contoh konkretnya adalah embargo yang dilakukan oleh AS terhadap Indonesia semenjak peristiwa penembakan di Timor Timur menyebar ke media massa.

Kepemimpinan Soeharto memiliki peran kunci dalam keberhasilan PLN-RI di masa Orde Baru. Gaya memimpinnya yang tenang membuatnya dapat menciptakan PLN-RI yang tepat bagi keadaaan perekonomian Indonesia yang sangat buruk saat itu. Pribadinya yang dikenal tegas membuatnya sangat disegani di kalangan negara-negara Asia Tenggara, sehingga memungkinkan terciptanya stabilitas regional yang baik. Kemudian, kedekatannya dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, membuat Indonesia mendapatkan akses ke modal asing yang amat besar. Selain itu, Indonesia juga mendapatkan sejumlah dana akibat politik containment AS yang bertujuan untuk membiayai negara apapun asalkan mereka menentang Komunisme.

Hambatan terbesar yang dihadapi pemerintah Orde Baru adalah kehadiran militer yang begitu kuat dalam setiap birokrasi pemerintahan. Bahkan dalam Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), militer dapat mengambil alih fungsi pembuatan PLN-RI. Kehadiran militer yang hanya dapat berpikir mengenai penciptaan stabilitas dan keamanan ini menyebabkan Kemenlu tidak memiliki keleluasaan untuk membuat PLN yang lebih inovatif. Selain itu, kehadiran militer juga menyebabkan Kemenlu menjadi sangat tertutup, sehingga masyarakat tidak memiliki akses terhadap Kemenlu. Alhasil, ketiadaan transparansi menyebabkan masyarakat kurang mempercayai kinerja Kemenlu.



Masa Reformasi 


Pada masa Reformasi, pemulihan sistem demokrasi Indonesia menyebabkan karakteristik PLN-RI mengalami banyak perubahan seiring bergantinya pemimpin. Namun, warisan sikap pro-Barat dari Orde Baru masih diteruskan sehingga Indonesia di era reformasi menjadi salah satu negara yang pro terhadap pembentukan pasar bebas. Warisan Orde Baru yang masih menjadi karakteristik PLN-RI era reformasi adalah pendekatan regionalis dalam menciptakan kebijakan.

Pada tahap awal era Reformasi, kepentingan nasional Indonesia adalah memperbaiki keadaan domestiknya yang sangat carut marut di segala bidang, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Oleh sebab itu, pada tahap ini, Indonesia kurang begitu memperhatikan PLN-RI. Baru ketika kondisi Indonesia sudah pulih di bawah kepemimpinan Presiden Megawati, Indonesia mulai menunjukkan arah yang jelas bagi PLN-nya, yaitu meningkatkan hubungan dengan negara-negara ASEAN dan memperkuat kerjasama ekonomi. Untuk melakukannya, Indonesia perlu untuk memperbaiki citranya yang sempat buruk akibat sejumlah kebijakan pemerintah Orde Baru yang dianggap melanggar HAM. Pada perkembangannya, di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono, Indonesia memantapkan diri sebagai negara yang menjadikan perdamaian dunia sebagai salah satu kepentingan nasionalnya.

Diplomasi tetap menjadi instrumen utama PLN-RI di era Reformasi. Perbedaannya, jika Indonesia menutup diri dari Blok Barat pada masa Orde Lama dan menutup diri pada Blok Timur di masa Orde Baru, maka Indonesia di masa Reformasi membuka diri pada semua negara. Hal ini tercermin melalui doktrin PLN-nya, yaitu Million Friends and Zero Enemies. Doktrin ini menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menganggap negara apapun sebagai musuh, melainkan sebagai teman, bahkan sebagai mitra jika memungkinkan. Doktrin inilah yang membuat citra Indonesia sebagai peace-maker di dunia internasional semakin kuat. Kemudian, Indonesia juga mulai mengembangkan banyak pendekatan berbeda dalam berdiplomasi, seperti Public Diplomacy, Multitrack Diplomacy, Shuttle Diplomacy untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Sejauh ini, PLN-RI di era Reformasi telah berhasil dalam memperbaiki citra Indonesia di dunia internasional. Pendekatan melalui Public Diplomacy membuat masyarakat di belahan dunia lainnya dapat mengenal Indonesia dengan lebih baik. Di antaranya, mereka menjadi mengerti bahwa Indonesia telah berhasil mengembangkan demokrasinya dengan baik, kendatipun mereka merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang kerap dianggap anti-demokrasi. Kemudian, reputasi Indonesia dalam melakukan berbagai pendekatan diplomasi berbeda, seperti Multitrack Diplomacy dan Shuttle Diplomacy membuat Indonesia dipercaya sebagai pihak yang sanggup menjadi penengah dalam berbagai konflik. Hal ini ditunjukkan dengan betapa percayanya Presiden Myanmar pada Jusuf Kalla yang datang untuk membantu mengatasi krisis kemanusiaan yang menimpa Suku Rohingya di Myanmar. Dari segi ekonomi, Indonesia juga berhasil meningkatkan perekonomiannya secara stabil, bahkan di tengah krisis global sekalipun. Hal ini membuat citra Indonesia semakin baik di dunia internasional.

Dapat dikatakan bahwa prinsip Million Friends and Zero Enemies yang diterapkan oleh Presiden Yudhoyono memberikan peran kunci bagi pencitraan Indonesia di dunia internasional. Berkat prinsip tersebut, Indonesia dipercaya menjadi penengah dalam berbagai konflik di dunia. Prinsip tersebut juga memaksa Indonesia untuk mengembangkan diplomasinya dari sekedar diplomasi konvensional menjadi diplomasi yang lebih canggih lagi. Selain itu, pertumbuhan perekonomian yang tinggi membuat Indonesia menjadi primadona bagi para investor yang sedang kesulitan di tengah krisis global. Hambatan terbesar yang dialami oleh pemerintah di era Reformasi adalah merebaknya ancaman-ancaman baru yang bersifat nontradisional, seperti terorisme, jaringan narkoba, perdagangan manusia, yang mengganggu stabilitas dan keamanan regional. Ancaman-ancaman ini umumnya bergerak dengan pola baru yang belum pernah ditemui sebelumnya, sehingga cukup menyulitkan untuk ditangani sampai tuntas.



Kesimpulan 



Indonesia merupakan salah satu negara yang orientasi Politik Luar Negerinya terus mengalami perubahan. Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perubahan PLN-RI umumnya terjadi karena adanya perubahan kondisi domestik. Selain itu, sistem pemerintahan Indonesia yang belum mapan menyebabkan faktor ideosinkretik pemimpin sangat menentukan dalam pembuatan PLN-RI, sehingga orientasi PLN pun dapat berubah seiring bergantinya pemimpin.

Pada Era Reformasi ini, sudah mulai tampak konsistensi PLN-RI, yakni untuk berperan dalam menciptakan perdamaian dan meningkatkan kerjasama ekonomi. Tantangan Indonesia selanjutnya adalah bagaimana Indonesia dapat semakin memperkuat regionalisme ASEAN agar integrasi di antara anggotanya menjadi semakin erat. Indonesia juga harus dapat memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas yang telah banyak ditandatangani dengan semaksimal mungkin. Untuk melakukannya, Indonesia tentu harus menjaga konsistensi orientasi PLN-RI, sehingga meskipun presiden Indonesia berganti pada 2014 nanti, PLN-RI yang sudah berhasil di periode sebelumnya dapat terus dilanjutkan.





Comments

Popular posts from this blog

Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis: Kembalinya Gerakan Buruh untuk Menentang Kapitalisme

Book Review: Bioteknologi dan Kapitalisme: Perubahan Makna Kehidupan Manusia

Book Summary: Chapter 11 The American Democracy: Congress: Balancing National Goals and Local Interests

Mengapa Paus Francis Tidak Begitu Bijak: Hubungan Kapitalisme-Agama dan Implikasinya

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah