Filsafat Politik Islam ala Al-Mawardi


Al-Mawardi adalah salah seorang pemikir Islam terkemuka yang hidup di paruh akhir Daulah Abbasiyah. Dia adalah pemikir yang termasuk dalam mahzab Syafi’i, mahzab yang masih menerima budaya-budaya lokal untuk diintegrasikan dengan Islam selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan Syari’a. Al-Mawardi selama masa hidupnya berhasil menelurkan filsafat politik Islam yang sangat relevan dengan kondisi zamannya dan masih diaplikasikan di berbagai negara saat ini.

Sebelum masuk ke pemikiran filsafat politik Islam Al-Mawardi, perlu kiranya untuk mengetahui filsafat politik Islam secara umum terlebih dahulu. Filsafat politik Islam pada dasarnya tidak dapat terlepas dari filsafat politik Yunani. Secara khusus, filsafat ‘Republik’ yang ditelurkan Plato dimana dikatakan bahwa seorang pemimpin tidak hanya harus memiliki kharisma dan ketangkasan seorang raja, namun juga harus memiliki kedalaman pengetahuan seorang filsuf untuk dapat memimpin dengan baik. Selain itu, tidak semua orang harus memiliki pengetahuan akan kepemimpinan, cukup segelintir orang yang berpendidikan saja yang dapat terlibat dalam kepemimpinan.

Filsafat ‘Republik’ Plato kemudian dianut oleh berbagai pemikir politik Islam klasik, seperti Al-Ghazali. Al-Ghazali menyebutkan bahwa seorang khalifah harus memiliki pengetahuan agama sedalam ulama dan ketangkasan memimpin seorang raja. Mereka tidak hanya harus paham teori tatanegara, tapi juga harus paham Syari’a. Namun pada masa Al-Mawardi, disadari bahwa mencari seseorang yang memiliki dua kemampuan luar biasa semacam itu amatlah sulit. Apalagi ketika dilihat kenyataan bahwa orang yang tak kurang pengetahuan agamanya seperti Utsman bin Affan pun dapat terlibat kasus korupsi dan nepotisme, pemikiran ideal ala Republikan Plato tersebut menjadi semakin dianggap tidak relevan.

Al- Mawardi kemudian berpikir pragmatis bahwa sulit bahkan mustahil untuk mencari seorang raja filsuf seperti yang didambakan oleh Plato dan Al-Ghazali. Ia pun mulai berpikir agar kemampuan memimpin raja dan kedalaman pengetahuan filsuf tersebut dapat dipisah, namun tetap tidak membuat negara Islam menjadi negara sekular. Dirumuskanlah konsep pembagian kekuasaan vertikal antara kekuasaan politik dan kekuasaan agama dengan agama tetap berada di puncak. Perwujudan dari konsep ini adalah, khalifah menjadi sekedar seorang raja yang memiliki kekuasaan politik sesuai dengan batas wilayah kekuasaannya. Namun, raja tersebut harus dipilih, diangkat, dan dibaiat oleh suatu dewan yang berisikan ulama-ulama dengan pengetahuan Islam mendalam. Ketika seorang raja harus membuat keputusan yang berkaitan dengan agama, maka raja tersebut harus berkonsultasi dengan dewan ulama. Ketika sang raja melakukan tindakan yang melanggar syari’a, dewan ulama berhak untuk menjatuhkan raja. Peran dewan ulama dalam pemikiran Al-Mawardi inilah yang kemudian menginspirasi peran MPR dalam pemerintahan Indonesia era Soekarno sampai awal Reformasi. Dewan ulama sendiri masih ada sampai sekarang di Indonesia dalam bentuk MUI walaupun tidak memiliki kekuatan sebesar dewan ulama yang dibayangkan oleh Al-Mawardi.

Comments

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia