Memahami Politik Identitas



Bicara soal politik identitas, kita perlu memahami terlebih dahulu kata kunci dari mata kuliah ini, yaitu ‘identitas’. Perlu dipahami bahwa Identitas adalah sesuatu yang tidak dianggap ada dalam asumsi positivis karena identitas merupakan variabel yang tidak dapat dikuantifikasikan. Namun, mempelajari identitas adalah sesuatu yang dapat menjadi terobosan bagi pembelajaran postpositivistik dalam HI, sehingga membantu untuk mengembangkan keilmuan HI ini ke tingkat lebih tinggi.

Bicara soal identitas mungkin terdengar simpel, namun sebetulnya identitas mengandung makna yang kompleks. Tanyakan saja pada orang-orang, “Apa itu identitas?” Pasti sulit sekali menjawabnya. Kemudian coba tanya, “Siapa kamu?” Jawabannya pasti berbeda-beda. Ada yang mengatakan, “Aku mahasiswa,” ada yang mengatakan, “Aku Jawa,” ada yang mengatakan, “Aku manusia.” Sesungguhnya identitas itu melekat dalam diri kita, memanifestasi menjadi diri kita sendiri. Pertanyaan selanjutnya yang perlu ditanyakan adalah, “Apakah identitas itu given atau constructed?” Umumnya orang akan menjawab bahwa identitas itu constructed, memiliki makna yang plural, sehingga identitas tidak pernah statis, selalu dinamis. Orang mungkin akan berpikir bahwa ada identitas yang given, seperti nama, namun nama pun tidak absolut. Nama Gema, misalnya, bisa diubah ketika dia mendapatkan nama julukan ‘sensei’ di lingkungan pergaulannya. Ketika nama ‘sensei’ tersebut lebih populer daripada nama ‘Gema’, maka identitas Gema dengan sendirinya berubah menjadi sensei.

Kemudian, perlu dipahami juga bahwa kita dapat menciptakan identitas terhadap entitas lain di luar kita, begitu pula sebaliknya. Harus dicatat bahwa ketika kita teridentifikasi oleh orang lain kita juga tidak dapat bertindak apa-apa terhadap pengidentifikasian tersebut. Hal ini menyebabkan ada beberapa identitas yang dapat dikategorikan sebagai given, misal: ras. Saya tidak bisa mengaku orang Perancis karena ras saya Betawi. Walaupun saya tinggal lama di perancis dan saya sudah menjadi warganegara Perancis, saya tetap akan teridentifikasikan sebagai orang Betawi oleh orang lain, semata-mata karena saya berkuli cokelat dan berambut hitam. Itulah sebabnya, identitas tidak akan pernah bisa diciptakan dengan narsisitas. Self mengidentifikasi other dan other mengidentifikasi self.

Dalam dunia internasional, saling identifikasi antarnegara juga terjadi. Apa yang menjadi identitas suatu negara sesungguhnya adalah identitas yang dipersepsikan oleh negara lain, contohnya: Amerika negara superpower. Identitas AS tersebut bukanlah dibuat oleh AS sendiri, melainkan oleh negara-negara lain yang merasa lebih rendah kekuatannya dibandingkan AS. Itulah sebabnya ada akademisi yang mengatakan bahwa AS, terkena krisis seperti apapun, selama negara-negara berkembang masih menganggapnya superpower, maka dia akan tetap superpower.

Namun, ada beberapa akademisi yang berpendapat bahwa di tidak semua entitas memiliki privilege untuk mengidentifikasikan entitas lainnya. Ada argumen bahwa hanya mereka yang memiliki power-lah yang dapat mengidentifikasikan entitas lain, contoh: negara Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga. Pembagian negara tersebut didasarkan pada tingkat perekonomian suatu negara yang mana indikator kemajuan ekonomi tersebut ditentukan oleh negara maju. Dalam hal ini, negara Dunia Ketiga tidak memiliki kekuatan untuk mengidentifikasi negara Dunia Pertama sebagai negara miskin, sebab mereka tidak memiliki kekuatan untuk menentukan indikator kemajuan ekonomi, karena mereka tidak memiliki pengaruh di organisasi ekonomi internasional, seperti IMF dan WTO.

Kant dan Hegel pernah berdialektik dan menemukan bahwa identitas tidak dapat dibentuk tanpa proses pembentukan yang simultan dan pembahasan mendalam terkait the other. Ketika mendiskusikan tentang other, self akan mendeskripsikan dirinya dengan positif, sementara other akan dideskripsikan dengan negatif. Oleh sebab itu, peran the other sangatlah penting bagi pembentukan identitas yang simultan.

Dalam sejarah romawi kuno, others selalu di-stereotype-kan negatif untuk dapat menimbulkan ketakutan pada masyarakat dimana dia berasal. Contohnya dapat dilihat dalam film 300, ketika adegan utusan Persia datang ke Sparta untuk meminta Sparta menyerah. Sparta menghina mereka, kemudian membunuh utusan tersebut. Muncullah ancaman bahwa Persia akan menyerang sparta, Sparta pun mengkonstruksikan Persia sebagai kekuatan jahat yang berniat menduduki Sparta, merampas tanah mereka, dan wanita mereka. Pengkonstruksian negatif terhadap Persia ini membuat orang-orang Sparta jauh lebih mudah diorganisir untuk menghadapi Persia.

Hal yang sama juga terjadi ketika Kant dan Hegel, sebagai filsuf zaman pencerahan mengidentifikasikan zaman kegelapan. Mereka tentunya akan membuat stereotype buruk pada kekuatan di zaman kegelapan, yaitu gereja, dengan mengatakan bahwa gereja mengkerdilkan kreasi manusia, membunuh Galileo Galilei hanya karena Galileo berpihak pada teori Copernicus yang menegakkan kebenaran sejati bahwa sesungguhnya Bumi bukanlah pusat semesta seperti yang dikatakan oleh Gereja. Nama ‘Zaman Kegelapan’ dan ‘Zaman Pencerahan’ itu sendiri tentunya dibuat oleh filsuf Zaman Pencerahan yang berhasil mendapatkan kekuatan lebih tinggi dari gereja untuk membangun konstruksi negatif terhadap kekuatan gereja dan membangun konstruksi positif terhadap mereka sendiri.

Dengan memahami konsep identitas yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka kita tentunya dapat mulai meraba-raba bahwa identitas sesungguhnya dapat menjadi landasan bagi gerakan sosial. Menggunakan identitas sebagai landasan gerakan sosial merupakan taktik yang lumrah dan amat efektif di masa lampau, ketika teknologi untuk melakukan verifikasi masih belum secanggih social media. Politik identitas akan menjadi semakin efektif jika digunakan dalam kondisi kacau, dibandingkan dalam kondisi damai yang umum terjadi saat ini, sebab natur manusia ketika situasi kacau mereka akan cenderung berkumpul. Ketika manusia sudah berkumpul, maka konstruksi positif-negatif antara self terhadap other dapat dilakukan secara terus menerus, membuat identifikasi self dan other tersebut menjadi semakin termanifestasi secara utuh.

Namun, berbicara soal politik identitas, maka konstruksi positif atas self dan konstruksi negatif atas other saja tidaklah cukup untuk merekatkan orang-orang yang sedang dalam kondisi chaos. Dibutuhkan suatu power yang cukup besar untuk menjamin kedigdayaan identitas tersebut, maka dibuatlah negara bangsa, suatu entitas yang terbentuk dengan meng­-overgeneralize identitas kepada setiap penduduk yang tinggal di wilayahnya. Dengan natur setiap negara yang secara simultan selalu membangun konstruksi identitas, maka sistem internasional pun menjadi bersifat anarki, jauh berbeda dengan masa Holy Roman Empire ataupun Daulah Islamiyah dimana hanya terdapat satu kekuatan terpusat yang melakukan konstruksi identitas.

Dengan adanya variabel identitas, maka perang dan damai bukan hanya ditentukan oleh balance of power, namun juga oleh identitas. Amerika Serikat mungkin memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari seluruh negara yang ada di dunia. Namun identitas mereka sebagai negara Liberal memaksa mereka untuk tidak menggunakan kekuatannya untuk menindas, maka mengurangi kemungkinannya untuk menyatakan Perang. Tentu hal ini amat berbeda jika Jerman yang menjadi unipolar di bawah Hitler dimana mereka mengusung identitas Bangsa Arya yang Unggul yang akan menjadi raja bagi seluruh bangsa lainnya. Kesimpulannya, pembicaraan HI benar-benar menjadi bertambah luas. Masih banyak hal yang belum kita pahami soal hubungan internasional dan mempelajari Politik Identitas tentunya dapat menjadi jalan untuk menemukan hal-hal yang belum ditemukan tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara