Perempuan Indonesia dalam Skema Migrasi yang Tidak Melindungi


Globalisasi telah membuat dunia menjadi sangat sempit berkat teknologi transportasi dan komunikasinya. Orang-orang kini dapat bepergian antarnegara dengan sangat mudah sehingga lapangan pekerjaan menjadi tersebar di mana-mana. Orang yang merasa tidak puas hanya dengan pekerjaan di negerinya kini dapat memilih untuk bekerja di luar negeri. Indonesia memiliki banyak sekali orang-orang semacam itu. Hal ini disebabkan lapangan pekerjaan Indonesia yang belum merata atau hanya terpusat di pulau Jawa, lebih tepatnya Jakarta. Akibatnya, banyak orang yang terpaksa untuk bekerja di luar negeri demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang-orang ini umumnya berpendidikan rendah sehingga pekerjaan yang mereka dapat di luar negeri hanyalah pekerjaan kasar seperti buruh proyek dan pembantu rumah tangga (PRT). Mereka disebut dengan TKI atau Tenaga Kerja Indonesia dan mayoritasnya adalah wanita.


Para TKI ini sering sekali mendapat perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerjanya. Mereka kerap mendapat majikan kejam yang tidak pernah memberikan kelonggaran dalam pekerjaan mereka dan kerap menyiksa mereka baik secara fisik maupun batin. Akibatnya, banyak TKI kita yang pulang tanpa membawa hasil, bahkan menjadi lebih miskin dibandingkan ketika mereka berangkat. Mengapa ini semua bisa terjadi? Penyebabnya ada dua yaitu cacatnya hukum Indonesia yang mengatur soal perlindungan TKI dan sistem sosial dari negara tujuan TKI yang mengizinkan ketidakadilan gender.

Kecacatan Hukum Perlindungan TKI
Di negara ini, tidak ada satupun hukum yang benar-benar dapat menjamin keselamatan TKI yang bekerja di luar negeri. Padahal, negara yang menjadi tujuan utama mereka adalah negara-negara Islam yang masyarakatnya bersifat patriarkial. Dalam masyarakat patriarkial, perempuan selalu mendapat ketidaksamaan hak dengan laki-laki dan hal tersebut dilegitimasi oleh hukum mereka. Akibatnya, perempuan Indonesia yang bekerja di sana menjadi sangat rentan terhadap berbagai kekerasan gender dan mereka tidak dapat melawannya.

Selain hukum yang tidak menjamin, para TKI juga sering mendapatkan pungutan liar dari pihak-pihak tak bertanggung jawab di bandara. Orang-orang ini seolah sudah mengincar TKI sejak keberangkatan mereka. Mereka tahu bahwa para TKI adalah orang-orang berpendidikan rendah sehingga mudah sekali untuk ditipu.

Hal ini bahkan diperparah dengan absennya pemerintah dalam setiap permasalahan yang dihadapi TKI. Pemerintah justru lebih memilih untuk menyerahkan kewenangan mereka pada pihak swasta, PJTKI, yang tentu lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kelangsungan hidup TKI. Ini jelas-jelas merupakan pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Pemerintah seharusnya menjamin keselamatan warganya di manapun mereka berada. Yang terjadi di negeri ini, pemerintah senang karena kebanjiran devisa sementara rakyatnya dibiarkan terlunta-lunta di negeri orang tanpa perlindungan.

Sesungguhnya permasalahan yang dihadapi TKI dapat diantisipasi melalui pendidikan. Pendidikan khusus mengenai hukum, kebudayaan, dan sistem sosial di negeri yang akan menjadi tujuan kerja mereka. Melalui pendidikan semacam ini, tentu para TKI akan dapat berbaur dengan masyarakat di sana dan bertindak serta bersikap sesuai dengan sistem sosial di sana. Tapi tentu saja masalah pendidikan ini juga diserahkan kepada pihak swasta. Hasilnya, pendidikan hanya menjadi formalitas semata, diberikan sekenanya, bahkan ada PJTKI yang melakukan doktrinasi pada TKI. Doktrinasi bertujuan agar TKI mematuhi setiap perintah majikannya, bahwa majikan adalah raja, dan mereka harus memenuhi setiap keinginan majikannya. Bukanlah hal yang aneh jika mereka menjadi sangat rentan terhadap kekerasan gender dan sayangnya, pemerintah menutup mata soal ini.

Ketidakadilan Gender di Negara Tujuan TKI
Melalui uraian di atas, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa terjadi kecacatan dalam hukum kita yang mengatur dan melindungi TKI, namun masalah yang dialami TKI tidak hanya bersumber dari itu. Sumber terbesar dari masalah-masalah yang dialami TKI adalah negara yang menjadi tujuan mereka, dimana negara tersebut masih menganut paham patriarkial yang mengizinkan terjadinya ketidakadilan gender, tapi sebelum membahas lebih lanjut soal ketidakadilan gender, ada baiknya kita mengenal lebih dekat dahulu dengan apa yang disebut gender.

Sebelumnya perlu diketahui bahwa gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin. Seks hanya menunjukkan perbedaan laki-laki dan perempuan melalui tanda biologisnya, yaitu alat reproduksi, yang bersifat kodrati atau tidak dapat diubah. Gender lebih merujuk pada perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial yang dibentuk melalui kebudayaan masyarakatnya. Dengan kata lain, perbedaan gender bukan berasal dari ketetapan Tuhan, melainkan dari konstruksi sosial masyarakatnya sehingga gender sesungguhnya bersifat dinamis dan dapat diubah-ubah tergantung pada masyarakatnnya. Contoh dari perbedaan gender adalah laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, sementara perempuan dianggap santun, emosional, dan lemah lembut.

Sayangnya, orang-orang sering salah kaprah dengan menganggap bahwa perbedaan gender adalah sesuatu yang bersifat kodrati dan tidak boleh diubah. Lebih lanjut lagi, perbedaan gender ini juga didukung oleh agama bahkan kekuasaan negara sehingga perbedaan gender menjadi suatu ketetapan dan orang yang bertindak di luar ketetapan itu dianggap aneh. Kenyataannya, perbedaan gender hanyalah hasil rekayasa pemikiran manusia belaka. Kalau ada yang beranggapan bahwa laki-laki itu harus macho dan perempuan itu harus santun, maka dia telah terperangkap pada konsep gender kuno yang berasal dari proses sosialisasi, penguatan, dan konstruksi sosial yang sangat panjang.

Perbedaan gender pada akhirnya akan menimbulkan pembagian peran yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Sebenarnya hal ini akan berdampak baik jika pembagian peran itu tidak menimbulkan ketidakadilan, namun kenyataan yang terjadi sekarang berkata tidak. Perbedaan gender selalu mengarah pada ketidakadilan gender dan bersifat tidak menguntungkan bagi salah satu gender, dalam hal ini perempuan.

Entah mengapa, perempuan sering sekali menjadi objek dari ketidakadilan gender. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh anggapan yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak dapat berpikir rasional sehingga tidak dapat tampil sebagai pemimpin atau pengambilan keputusan, akibatnya perempuan selalu mendapat posisi yang tidak penting dan tidak strategis.

Ketidakadilan gender yang telah dialami perempuan sampai saat ini sangat beragam mulai dari marginalisasi (pembatasan), pemberian stereotipe yang tidak menguntungkan, kekerasan, sampai beban kerja. Yang paling menyakitkan dari semua itu adalah beban kerja perempuan. Perlu diketahui, bahwa beban laki-laki hanyalah beban produktif, dalam artian ia hanya perlu bekerja mencari nafkah kemudian pulang dan bersantai-santai, sementara perempuan memiliki beban ganda untuk melayani suami, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan melahirkan anak.

Konsep ketidakadilan gender ini akan lebih parah di negara yang menganut paham patriarkial seperti Arab Saudi. Arab Saudi adalah negara ultrakonservatif yang segala hukumnya bersumber pada ajaran Islam. Dalam ajaran Islam, dikatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Hal ini ditafsirkan oleh mereka sebagai tanda bahwa perempuan itu selalu lebih lemah dari laki-laki; bahwa perempuan tidak boleh melakukan apapun tanpa izin laki-laki; bahwa perempuan harus selalu memenuhi dan melayani segala keinginan laki-laki.

Simpulan
Tentu tulisan ini tidak akan membahas ajaran Islam lebih jauh, tapi satu hal yang pasti, ajaran Islam yang ditafsirkan oleh Arab Saudi telah merugikan kaum perempuan dan melanggar hak asasi mereka. Lebih lagi, mereka juga memberikan perlakuan yang sama pada TKI yang bekerja di sana. Akibatnya, mereka terpaksa harus menuruti segala keinginan majikannya termasuk ketika mejikan ingin menyiksa mereka. Para korban ini bahkan tidak bisa melawan karena menurut hukum yang berlaku di Arab Saudi, perlakuan demikian adalah lumrah.

Pemerintah sebagai pelindung dan penjamin hak setiap warga negaranya tentu tidak boleh diam saja menyikapi hal ini. Kewenangan pengurusan dan perlindungan TKI yang telah diserahkan pada pihak swasta harus dikembalikan lagi sepenuhnya kepada negara. Kebijakan untuk melindungi TKI harus benar-benar ditegakkan dan pemerintah harus terlibat dalam pelaksanaannya.

Saat ini pemerintah memang telah melakukan moratorium terhadap pengiriman TKI ke Arab Saudi, tapi apakah kebijakan itu akan benar-benar baik bagi Indonesia? Fakta bahwa TKI adalah penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas bagi Indonesia adalah tidak terbantahkan. Tanpa devisa dari TKI, tentu negara ini harus mencari pinjaman yang lebih banyak lagi untuk APBN-nya. Selain itu, alasan para TKI bekerja di luar negeri adalah karena mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak di negeri ini. Pemerintah seharusnya tidak boleh menutup mata terhadap hal ini.

Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Selama ini, pemerintah baru aktif menggelar rapat untuk mengurus masalah TKI setelah kejadiannya menjadi sangat masif dan menjadi isu Internasional. Lebih lagi, pemerintah selalu terlambat memberikan solusi bagi masalah TKI sehingga salah satu saudara kita, Rukhyati, kini harus menjadi korban. Langkah antisipasi harus selalu diutamakan. Langkah itu dapat berupa pendidikan yang konsisten serta seleksi yang ketat bagi calon TKI atau kalau mau lebih baik, pemerintah harus menciptakan lebih banyak lagi lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia dengan gaji yang tidak kalah dari pekerjaan luar negeri. Dengan cara itu, tentu rakyat Indonesia tidak akan berpikir untuk bekerja di luar negeri, bahkan pihak asing akan berdatangan untuk bekerja di Indonesia dan menghasilkan devisa tersendiri yang tidak kalah banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Politik Luar Negeri

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi